Pov Ayu (Ibunda Zayd) “Mi, kamu yakin, kali ini Zayd beneran bawa calon mantu kita?”Papi Dion menatapku. “Entahlah … sepulangnya dari Singapura kemarin, belum sekalipun dia mengenalkan sosok perempuan. Tiba-tiba dia mengaku sudah punya calon, sedikit excited sih, Pi.” “Apa dia kembali sama perempuan yang waktu itu, Mi?”“Yang mana?” “Waktu Zayd mau lanjutin S2, mereka kan sempat renggang. Nah kelanjutannya seperti apa?” “Oh Karina? Entah, hanya saja malam itu waktu Mami telepon kalau gadis yang cv taarufnya nyasar itu gak jadi datang, terus ‘kan Mami bilang ke Zayd, kalau Mami akan pilihkan Arlia untuk jadi istrinya. Eh dia langsung bilang katanya, dia sudah ada calon. Aneh, sih. Masa iya bisa mendadak gitu.” “Hmmm … sudah tahu Zayd gak suka Arlia, Mi! Masih saja. Jangan-jangan dia bawa perempuan kali ini gara-gara menghindari paksaan Mami pada Arlia saja. Tahu sendiri ‘kan mereka temenan sejak kecil, mungkin Zayd sudah nganggap saudara. Ya, walaupun Papi tahu, Mami sangat suka
Bu Ayu, Ainina dan Caca melambaikan tangan ketika aku baru saja masuk ke dalam mobil milik Bang Zayd. Tanganku terasa dingin. Di dalam tadi, jujur aku sangat gugup sekali. Untung saja gak pingsan. “Bang, nyari yang anget-anget dulu, ya!” tukasku sambil bersandar pada jok mobil. Pakai baju gamis kayak gini, berasa jadi ustazah.“Apaan?” Pelukan. Ingin kujawab kayak gitu. Namun kuurungkan. Nanti Bang Zayd minta nambah, bahaya. “Bakso, wedangan, mie ayam, soto ….”“Mau dimakan semua itu?” “Ck, milih maksudnya. Satu saja.” “Laper, ya?” “Sedikit, sih. Cuma mau ngangetin ini aja, dingin banget!” Plak!Aku menangkupkan satu tangan ke pipinya. Dia terkejut sampai menjauhkan tubuhnya dan beristighfar. “Abang pikir, aku setan. Sampe diistighfarin!” “Dingin banget, Fa.” “Ya, makanya ngajak nyari yang anget. Untung masih bisa pulang. Coba pas tadi keburu jadi es batu. Abang susah bawa pulangnya.” “Ngarang!” “Emang!” “Yang bayar siapa?” “Dih, cowok kok nanya gitu. Abang lah.” “Oke.”
"Oh bagus! Kirim saja, Ma. Biar Syfa leluasa membuat laporan ke polisi! Syfa laporkan sekalian kalau Bang Irfan melakukan pemerkosaan!” lantangku pada Mama Renita. Kalau terlanjur viral, ya sudahlah viral sekalian. Anggap saja sedang jadi aktris. “Astaghfirulloh … Syfa. Apa tadi, pemerkosaan?” Astagaa aku lupa. Ibu tak boleh mengetahui ini. Dia kan baperan dan panikan. Namun, sepertinya Mama Renita sengaja. Dia paling senang kalau melihat Ibu panik dan sedih. “Iya, Nur. Mereka sudah melakukannya. Mungkin suka sama suka. Ya, Mbak kira sih, Syfanya juga gatel. Mungkin berharap biar Irfan benar-benar menikahinya. Cuma pas sudah gituan, tiba-tiba dapat mangsa baru. Entah pake tipu daya apa dia pikat itu laki barunya.” “Kamu jangan menghina Asyfa, Mbak. Putri saya tak akan berbuat serendah itu.” Ibu tampak tak terima. “Ini bukti, Nur. Sudah ada bukti. Sebetulnya, Syfa juga tinggal terima Irfan, beres semua. Gak usah sok jual mahal, padahal doyan juga.” Ucapan Mama Renita mulai kelua
Sejak tadi aku gelisah. Duduk, bangun, berjalan mondar-mandir di dalam rumah. Papa benar-benar gila. Masa iya pertunanganku dengan Reza mau dibarengin sama Asyfa dan laki-laki itu. Aku mau jadi pusat perhatian, gak mau terbagi. Ini gak boleh terjadi. Enak saja dia mau numpang jadi ratu di singgasanaku, sorry. “Kan nanti juga akad nikahnya beda, Mer. Syfa sama Zayd masih harus persiapan dulu. Ini ‘kan cuman tunangan. Ya gak apa lah harusnya barengan. Papa juga jadi gak usah ngeluarin budget dua kali ‘kan? Kamu ini bikin Papa pusing, kemarin sudah cetak undangan waktu kamu sama Irfan, gak jadi, nambah budget lagi klarifikasi dan buat undangan baru. Sekali ini, tolong, nurut sama Papa, ya!” “Gak mau pokoknya, Pa. Aku gak mau.” “Please, Mer. Kali ini saja. Papa keuangannya benar-benar sedang tipis. Kalau calon suaminya Syfa orang biasa, sih, gak apa. Papa adakan saja syukuran sama tetangga dan Pak RT saja. Tapi ini mau di taro di mana harga diri Papa, Mer. Masa iya calon besan Papa kay
"Awwww!" Tubuh laki-laki itu terpental. Dia terlempar karena tertabrak mobil dari arah berlawanan. Dia meraung dan kini tengah terkapar di tengah jalan.Aku pun meringis dan bangkit. Sepeda motorku tergeletak di tepi jalan.Tadi tuh, dia tiba-tiba berusaha menendang sepeda motorku dari samping kanan. Aku berusaha membalas dan akhirnya bisa membuat sepeda motornya oleng. Posisinya yang berada di tengah terguling dan akhirnya terserempet mobil dari arah berlawanan. Sementara itu aku pun terjatuh, tapi ke arah kiri dan hanya menubruk trotoar. Lagi pula, mobil Reza mengikuti dari belakang. Aku terhalang oleh mobil Reza ketika terjatuh tadi. “Aduh, tolong! Tolong!” Laki-laki itu mengerang dalam remang. Wajahnya tampak meringis kesakitan. Aku yang sudah terbangun dari sepeda motorku mendekatinya dan mengulurkan tangan sambil bicara, “Bapak mau saya tolong atau saya laporkan! Saya tahu Bapak disuruh orang buat nyelakain saya, kan?” tebakku. Tetap berpura-pura tangguh walau pinggang sakit j
Aku masih tertegun ketika tiba-tiba Mbak Merina sudah berdiri di sampingku sambil bersedekap. “Ahmmm … adikku, Sayang … Mbak sudah menyiapkan kejutan untukmu ketika mereka datang … semoga suka, ya!” tukasnya berbisik lalu menepuk pundakku dan dia kembali masuk ke dalam.Kejutan? Kejutan apa yang dia maksud? Hanya saja, mana sempat aku mikir lama-lama. Ainina sudah berhambur memburuku dan merentangkan tangannya. “Hay, Mbak Syfa! Assalamu’alaikum! Duh kangen sama Mbakku ini ... sehat, Mbak?" “Wa’alaikumsalam! Sehat, dong!”Ainina memelukku, lalu bergantian dengan Caca. Pelukan kami tak lama, Bu Ayu dan Pak Dion datang. Aku mencium punggung tangan Bu Ayu dan Pak Dion, lalu mempersilakannya masuk. Terakhir yang berjalan paling kalem, Bang Zayd dan rupanya datang bersama Pak Hakim. Aku menyambut Pak Hakim dengan suka cita lalu mempersilakannya masuk juga. Bapak begitu sigap menyambut. Bahkan sibuk mengatur tempat duduk. Hanya saja tampak sedikit canggung ketika menyambut Pak Hakim. Se
Pov Zayd“Wah, saya sangat tersanjung, Pak Dion! Kalau begitu saya ikut saja. Di hotel mana, ya, Pak Dion rencananya?” Ayahnya Syfa terlihat antusias. Papi terus menjelaskan dengan gamblang, apa-apa yang sudah kami rencanakan. Sesekali aku melirik wajah cantik dengan mata yang bundar itu, tengah menatap serius pada Papa. Sesekali dia meringis ketika pipinya dicubit oleh tangannya sendiri. Aku menggeleng pelan, dia memang unik dan nyentrik. Kelakuannya yang nyeleneh justru malah menarik perhatian. Aku pun iseng mengirim pesan pada Ainina yang duduk bersisian dengan dia. [Ai, tolong sadarin Asyfa. Kasihan pipinya dari tadi jadi korban.]Pesanku langsung dibaca Ainina setelah ponselnya bergetar.Gawai dia letakkan, lalu adikku tampak mencubit lengan Asyfa. Gadis itu ikut menoleh ke arah Ainina sambil mengaduh kaget. Lalu dia menoleh ke arahku mengikut sudut mata Ainina.Aku mendongak, sengaja menantang padangannya, biasnya dia akan melengos. Namun, tak seperti biasa yang seringnya ka
Pertemuan dua keluarga berakhir juga. Kami mengantar keluarga Bang Zayd hingga ke teras. Ainina dan Caca bergantian memelukku, lalu melambaikan tangan. Mereka calon adik yang menyenangkan. Seperginya mereka, Bapak menatap penuh kemarahan pada Mbak Merina. Namun, aku masih melihat sekuat tenaga, dia menahan diri. Suaranya lirih dan terdengar bergetar ketika mengajak putri kesayangannya itu pulang. “Papa duluan saja, aku ada acara lagi sama Reza,” ketus Mbak Merina. Wajahnya tampak sekali kusut dan semrawut. Aku tahu, dia mungkin tertekan karena gak bisa menggagalkan acaraku. “Jangan keluyuran, sudah malam! Pulang, Papa mau bicara!” tukasnya tegas. Lalu ngeloyor pergi gitu saja. Mbak Merina mendengus, lalu melirik ke arahku. Dia berjalan lalu berdiri menjejeriku dan bicara pelan, “Jangan kamu pikir, kamu sudah menang. Kamu kira Mbak merasa kalah dari kamu, hah?” Aku memiringkan kepala, lalu kusipitkan mata dan menatap pupil hitamnya tajam sambil bicara, “Aku gak bilang gitu. Mbak s
Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i
“Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu
Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu
“Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar
“Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s
Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l
“Apa? Zayd mau menikahi Karina?” Kali ini Mami Ayu yang terkejut. “Kalau gak salah dengar sih, iya, Mami. Syfa ke sini mau minta pendapat Mami. Baiknya kami gimana?” Mami Ayu tak menjawab pendapat Asyfa, tapi dia langsung menoleh pada Ainina sambil bicara, “Ai, telepon Abang kamu sekarang! Panggil ke sini! Biar semua masalah bisa jelas ujung pangkalnya!” Ainina sigap mengambil ponsel lalu menelpon Zayd. Sementara itu, Tante Harum dan Azriel berpamitan. “Jangan lupa, ya, datang nanti ke pernikahan Arlia, Syfa!” Tante Harum menepuk pundak Asyfa. Dia dan Azriel sudah berdiri untuk berpamitan. “Inysa Allah, Tante!” Asyfa tersenyum dan mengangguk sopan. Dia bukan tipe pendendam. Yang dulu-dulu dan sudah berlalu, ya, sudahlah. “Semoga segera dapat momongan, ya! Doakan juga Arlia agar bisa memiliki keturunan,” tukasnya dengan senyuman getir. Tiba-tiba ada perasaan aneh di hati Asyfa. Entah kenapa, dia merasa bersalah karena dulu tak berempati ketika mendengar jika Arlia akan sulit men
Pov 3Asyfa menatap kartu debit yang dipegangnya. Reza melarangnya membayar. Lelaki itu sudah beranjak setengah jam yang lalu, tapi dirinya masih duduk termenung di saung lesehan itu. Entah kenapa, tiba-tiba Asyfa merasa malas untuk beranjak. Dunianya terasa asing, sunyi dan senyap. Rasa takut sendirian kembali datang. Memori waktu kecil terasingkan berlarian. Gegas dia beranjak pulang. Rupanya di rumah sudah ada Ainina dan Caca yang menunggunya. Kedua gadis itu tampak sumringah ketika kakak iparnya datang. “Mbak habis dari mana, si?” oceh Ainina sambil memeluk Asyfa singkat. Begitupun dengan Caca. “Habis dari rumah Ibu.” Asyfa menjawab datar lalu mengajak dua adik iparnya masuk. “Bang Zayd panik tahu, Mbak. Dia telepon Ibu, katanya Mbak Syfa sudah pulang, telepon si BIbi, belum sampe. Kamilah jadi diutus kemari.”Aku terkekeh, lalu menyuguhkan minuman dari lemari es untuk dua adik iparku, lalu duduk pada sofa dan mengambil satu biji softdrink. “Tumbenan juga sekhawatir itu.” Aku
Pov 3Reza sedikit panik ketika mendengar kabar kecelakaan itu. Kemarin malam tepatnya, tapi dia sedang di Jakarta, masih ada pemotretan. Akhirnya baru pagi tadi dia sempat menjenguk gadis kecil di ruang ICU itu. Ketika dia berkunjung tadi, tampak kondisi gadis kecil itu sudah membaik. Reza pun tak lama di sana, dia gegas beranjak pergi lagi. Reza belum bisa show up tentang hubungan yang sudah dirancang oleh dua keluarga besarnya dengan perempuan pilihan Mama Pinah itu sekarang. Bagiamanapun, Reza belum resmi bercerai. Dia masih menjadi suami sah dari Merina. Pikiran Reza yang semrawut karena perseteruan Merina dan mamanya yang terjadi hampir di setiap detik, membuatnya enggan pulang. Apalagi ketika tiba di rumah, yang ada hanya rumah semrawut, dan pakaian kotor berserakan. Reza yang lelah butuh ketenangan. Dia pun akhirnya mampir dulu ke sebuah rumah makan. Letaknya yang strategis membuat rumah makan tersebut selalu ramai. Namun, ketika Reza hendak mencari tempat duduk ketika tiba-