"Awwww!" Tubuh laki-laki itu terpental. Dia terlempar karena tertabrak mobil dari arah berlawanan. Dia meraung dan kini tengah terkapar di tengah jalan.Aku pun meringis dan bangkit. Sepeda motorku tergeletak di tepi jalan.Tadi tuh, dia tiba-tiba berusaha menendang sepeda motorku dari samping kanan. Aku berusaha membalas dan akhirnya bisa membuat sepeda motornya oleng. Posisinya yang berada di tengah terguling dan akhirnya terserempet mobil dari arah berlawanan. Sementara itu aku pun terjatuh, tapi ke arah kiri dan hanya menubruk trotoar. Lagi pula, mobil Reza mengikuti dari belakang. Aku terhalang oleh mobil Reza ketika terjatuh tadi. “Aduh, tolong! Tolong!” Laki-laki itu mengerang dalam remang. Wajahnya tampak meringis kesakitan. Aku yang sudah terbangun dari sepeda motorku mendekatinya dan mengulurkan tangan sambil bicara, “Bapak mau saya tolong atau saya laporkan! Saya tahu Bapak disuruh orang buat nyelakain saya, kan?” tebakku. Tetap berpura-pura tangguh walau pinggang sakit j
Aku masih tertegun ketika tiba-tiba Mbak Merina sudah berdiri di sampingku sambil bersedekap. “Ahmmm … adikku, Sayang … Mbak sudah menyiapkan kejutan untukmu ketika mereka datang … semoga suka, ya!” tukasnya berbisik lalu menepuk pundakku dan dia kembali masuk ke dalam.Kejutan? Kejutan apa yang dia maksud? Hanya saja, mana sempat aku mikir lama-lama. Ainina sudah berhambur memburuku dan merentangkan tangannya. “Hay, Mbak Syfa! Assalamu’alaikum! Duh kangen sama Mbakku ini ... sehat, Mbak?" “Wa’alaikumsalam! Sehat, dong!”Ainina memelukku, lalu bergantian dengan Caca. Pelukan kami tak lama, Bu Ayu dan Pak Dion datang. Aku mencium punggung tangan Bu Ayu dan Pak Dion, lalu mempersilakannya masuk. Terakhir yang berjalan paling kalem, Bang Zayd dan rupanya datang bersama Pak Hakim. Aku menyambut Pak Hakim dengan suka cita lalu mempersilakannya masuk juga. Bapak begitu sigap menyambut. Bahkan sibuk mengatur tempat duduk. Hanya saja tampak sedikit canggung ketika menyambut Pak Hakim. Se
Pov Zayd“Wah, saya sangat tersanjung, Pak Dion! Kalau begitu saya ikut saja. Di hotel mana, ya, Pak Dion rencananya?” Ayahnya Syfa terlihat antusias. Papi terus menjelaskan dengan gamblang, apa-apa yang sudah kami rencanakan. Sesekali aku melirik wajah cantik dengan mata yang bundar itu, tengah menatap serius pada Papa. Sesekali dia meringis ketika pipinya dicubit oleh tangannya sendiri. Aku menggeleng pelan, dia memang unik dan nyentrik. Kelakuannya yang nyeleneh justru malah menarik perhatian. Aku pun iseng mengirim pesan pada Ainina yang duduk bersisian dengan dia. [Ai, tolong sadarin Asyfa. Kasihan pipinya dari tadi jadi korban.]Pesanku langsung dibaca Ainina setelah ponselnya bergetar.Gawai dia letakkan, lalu adikku tampak mencubit lengan Asyfa. Gadis itu ikut menoleh ke arah Ainina sambil mengaduh kaget. Lalu dia menoleh ke arahku mengikut sudut mata Ainina.Aku mendongak, sengaja menantang padangannya, biasnya dia akan melengos. Namun, tak seperti biasa yang seringnya ka
Pertemuan dua keluarga berakhir juga. Kami mengantar keluarga Bang Zayd hingga ke teras. Ainina dan Caca bergantian memelukku, lalu melambaikan tangan. Mereka calon adik yang menyenangkan. Seperginya mereka, Bapak menatap penuh kemarahan pada Mbak Merina. Namun, aku masih melihat sekuat tenaga, dia menahan diri. Suaranya lirih dan terdengar bergetar ketika mengajak putri kesayangannya itu pulang. “Papa duluan saja, aku ada acara lagi sama Reza,” ketus Mbak Merina. Wajahnya tampak sekali kusut dan semrawut. Aku tahu, dia mungkin tertekan karena gak bisa menggagalkan acaraku. “Jangan keluyuran, sudah malam! Pulang, Papa mau bicara!” tukasnya tegas. Lalu ngeloyor pergi gitu saja. Mbak Merina mendengus, lalu melirik ke arahku. Dia berjalan lalu berdiri menjejeriku dan bicara pelan, “Jangan kamu pikir, kamu sudah menang. Kamu kira Mbak merasa kalah dari kamu, hah?” Aku memiringkan kepala, lalu kusipitkan mata dan menatap pupil hitamnya tajam sambil bicara, “Aku gak bilang gitu. Mbak s
“Kalian kenapa, sih? Lagi main india-indiaan?” tanyaku pada lelaki yang wajahnya memang mirip aktor bollywood itu. Reza mengusap wajah, lalu mengulangkan tangan sambil meneruskan larinya mengejar Mbak Merina. Wah seru, nih!Aku sudah hendak mengikuti mereka. Kepo, sebetulnya. Namun suara Bang Zayd terdengar dan membuatku mengurungkan niat. “Asyfa! Mau ke mana?”Aku menoleh, tampak wajah gantengnya Bang Zayd lagi lihatin aku. Tangannya bersedekap di depan dada membuat bulu-bulu lebat yang tumbuh di tangannya itu terlihat. Niat hati yang tadi mau mengikuti Mbak Merina sama Reza, kalah sama gerak kaki yang refleks banget nyamperin Bang Zayd. Gak kuat lihat bulu-bulu lebat itu berasa pengen, pengen nyabutin maksudnya.“Ya, Bang. Mau ke Abang, kok.”Dia menggeleng, lalu melepas tangannya yang tadi saling silang di depan dada, lalu berpindah dan dimasukkan pada dua saku celana. Cool banget gayanya. Dia berjalan sambil menunduk, berlalu meninggalkanku. Aku jadinya berhenti dan menatap pun
Pov Nur – Ibunda AsyfaBerulang kali aku membuka pintu kamar Asyfa hanya demi melihat wajahnya yang sedang lelap. Dia sudah terlelap sejak sore, mungkin capek karena hari ini banyak kunjungan dari keluarga yang menginap juga. Syukurlah Asyfa tumbuh jadi gadis mandiri dan kuat. Sekeras apapun masa kecilnya, dia tak rapuh dan goyah. Bullyan dan hinaan dari teman-teman sebayanya sejak duduk di sekolah dasar, rupanya hanya membuat kian menangguhnya mental Asyfa. Tak terasa, besok dia sudah akan menikah. Jujur, ini masih berasa seperti mimpi. Aku cukup terkejut ketika tiba-tiba seorang laki-laki meminangnya. Lebih terkejut lagi ketika aku tahu latar belakangnya seperti apa. Aku tak pernah melihatnya pacaran. Semenjak putus dari Irfan, lalu berganti dekat dengan Reza, tapi tiba-tiba saja datang orang lain yang melamarnya. Bagiku, Asyfa selalu penuh kejutan. Zayd Zhafar Bardion, seorang laki-laki yang tampak penuh tanggung jawab dan memiliki mental dewasa. Sanak saudara yang kuundang sud
“MasyaAllah cantiknya putri Ibu ….” Suara Ibu membuatku yang baru saja selesai dipoles oleh MUA mendongak. Mataku terasa berat karena dipakaikan bulu-bulu jejadian. Jadi pengantin itu, entah kenapa begitu merepotkan. Sejak shubuh sudah bangun. Masih dingin padahal harus sudah mandi. Lalu ini mukaku dipoles entah dengan berapa lapis dempulan. Alhasil setelah beberapa jam baru selesai. Memang sih, hasilnya memukau. “Ayo, Fa. Sudah ditunggu di meja akad.” Suara Ibu lagi setelah penata rias menyelesaikan sematan peniti pada kerudung yang membalut kepalaku. Meskipun hari-hari, aku belum pakai kerudung. Namun, permintaan Mami Ayu, pada acara akad dan resepsi aku harus tertutup. Yang ditutup itu, lebih ekslusif katanya. Jadi malu. Langkahku yang hendak menuju meja akad tersendat. Sepasang mataku beradu dengan seorang pangeran yang tampak gagah dengan balutan tuxedo warna putih. Dia tengah duduk berhadap-hadapan dengan Bapak dan ada pak penghulu juga di sana. Di kirinya ada kursi kosong. I
“Maafin ya, Bang! Sobatku memang kadang rada-rada,” tukasku sambil nyengir kuda dan menggaruk kepala. “Gak masalah, Papi sama Mami gak pemilih juga jenis musik. Dangdut, oke juga.” Syukurlah, aku merasa lega. Hanya saja, tetap saja sobat durhaka tuh Rita. Lagu yang dibawakannya itu loh, gak pas momennya. Obrolan kami terganggu ketika tampak seorang perempuan dengan gaun panjang yang belahannya sampai p*ha berjalan melenggang. Dia datang sendirian. Wajahnya tampak glowing terawat dengan polesan make up yang memukau. Rambutnya sepunggung digerai. Bang Zayd tampak membuang napas kasar ketika perempuan itu sudah mendekat. Dia masih menyalami Mami Ayu dan tampak mereka pun sudah saling kenal. Aku, melihat tatapan perempuan itu, entah kenapa jadi ingat pada tatapannya Mbak Merlina. Tatapan Mbak Merina ketika melihat Bang Zayd yang membuat aku gak rela. “Selamat, ya, Zayd! Kirain kemarin bohongan waktu kamu bilang sudah ada calon!” tukasnya sambil tersenyum yang tampak dipaksakan. Bicar