Pov AyuAku dan Dion saling bertukar pandang. Akhirnya keributan ini pun selesai. Malu, pastinya ada. Tetangga pasti akan menjadikan ini sebagai bahan gunjingan. Apalagi selama ini pencitraan Tante Lani yang sebagai istri anggota Dewan dan orang terpandang sudah melekat. Alangkah kagetnya mungkin yang mereka rasakan, ketika ternyata orang yang kaya raya malah ditagih utang di depan umum disertai makian. “Maafin atas semua kejadian ini, Ay. Maafin ya, Bu.” Dion menatapku dan Ibu saling bergantian. “Gak apa, Yon. Sudah ‘kan?” Aku tersenyum samar. “Iya, sih. Hanya saja gak enak sebetulnya sama kerabat dan tetangga kamu. Belum apa-apa sudah ada keributan.” Dion menyugar rambutnya dan berjalan menuju ke arah kursi kosong. Aku mengikutinya, begitu pun Ibu. Sengaja kugandeng tangannya. Kami pun duduk. “Ini boleh diberesin saja ‘kan Bu Rohmah?” Seorang tetangga menghampiri seraya menunjuk pada tenda.“Iya, boleh. Makasih banyak Pak Anwar bantuannya.” Ibu mengangguk dan mengatupkan tangan
Ya, Tuhaaan. Rasanya ada sengatan listrik berlarian di dalam sini. Aku mengatur napas dan menghela napas panjang. Kutatap punggung lebarnya yang sudah tiba di ambang pintu. Namun, dia berhenti. Lantas menoleh padaku dan mengedipkan satu matanya. Aku menggeleng kepala, lantas masuk dan gegas mengganti pakaian. Namun, serangan dadakan itu entah kenapa begitu berkesan. Bahkan setiap kali aku ingat, lupa akan dosanya, yang kuingat malah kenangan manis yang melekat begitu saja. Kuusap bekas bibir tipis yang menempel di dahi lalu tersenyum lagi untuk ke sekian kali. Mungkin ini yang Ibu bilang, makin dekat hari pernikahan, makin banyak godaan. Aku pun berbaur dengan para tetangga dan kerabat yang masih ada dan ikut beres-beres. Para lelaki membongkar tenda, menyusun kursi, menggotong meja dan hal-hal berat lainnya. Para kaum perempuan termasuk aku, mengambil semua piring kotor. Menyisihkan makanan yang masih tersisa dan mengemasnya, menyapu halaman, mengepel lantai dan lain-lain. Cukup m
Pov LaniFeelingku memang tepat. Lira menjadikan momen ini untuk membullyku. Bukan sekali dua kali, bahkan sejak acara dimulai dia terus-terusan saja memojokanku. Aku memilih lebih banyak diam. Andai Lira tahu, kali ini bukan aku yang tengah diserang, tetapi sebentar lagi akan tiba gilirannya. Andai saja kemarin dia ada di rumah, pastinya para polisi itu sudah datang untuk memeriksanya. Namun, sayangnya dia baru kembali tadi pagi, entah ke mana dua hari kemarin dia pergi. Hari ini harusnya para polisi itu datang untuk menangkapnya. Dan sejak tadi, aku diam-diam merekam semua sindirannya. Ya, setidaknya untuk menguatkan barang bukti.“Ya ampuuun, ternyata seorang Nyonya Subekti bisa punya utang sebanyak dan selama itu gak bayar-bayar. Gak nyangka banget, ya. Kirain tajir, padahal pura-pura kaya doang. Jangan-jangan berlian yang dipakainya ini juga hasil ngutang?” Lagi, untuk ke sekian kali. Lira bersama Jeng Nelly dan Jeng Risma, dua orang teman arisan yang kini dukungannya menjadi co
Ayu hanya berdiri sambil tersenyum. Tangannya masih sibuk dengan gawai. Lalu mengangkat wajah dan menatap Lira. “Sudah ya, Tante! Sudah saya kirim dua ratus juta, saya lebihkan satu juta karena Tante sudah nunggu cukup lama pelunasan utangnya!” Suaranya yakin, tegas dan senyumnya penuh kepercayaan diri. Aku baru lihat sisi lainnya sekarang. Aku menganga dibuatnya. Bahkan gayanya tampak elegan. Aku baru sadar jika pakaian gamis yang dikenakannya itu limited edition juga. Tasnya, aku tahu itu merk terkenal. Beralih pada sepatu, aku pun berdecak. Itu ‘kan sepatu yang mahal. “Sebentar saya check, jangan-jangan uangnya gak masuk. Limit transfer kan cuma seratus juta.” Lira mengotak-atik gawainya. “Hmmm, mungkin itu fasilitas untuk debit card Tante saja, kalau di saya, bisa kok sampai lima ratus juta sehari.” Ayu, lagi-lagi menyunggingkan senyuman. “Mama, mari! Ayu sudah selesaikan dengan Tante Lira.” Suara Dion membuyarkan pikiranku.“Oh, iya, iya. Saya permisi, ya, Jeng!” Aku mengatu
Pov Ayu“Selamat siang! Mohon maaf, Ibu Lira yang mana, ya?Kami mendapatkan surat tugas untuk pemeriksaan Bu Lira. Terlapor, melaporkan Ibu atas tindakan perbuatan tak menyenangkan!”Aku melirik ke arah Dion, sedikit terheran ketika ada beberapa orang berseragam cokelat tiba-tiba mendatangi rumah perempuan yang melabrakku. Namun, Dion pun mengedik yang menandakan tidak tahu menahu ada hal itu. Hanya saja, perempuan yang duduk di kursi belakang itu, tampak senyum-senyum sendiri. Sepertinya dia tahu sesuatu. Namun, mana berani aku bertanya. “Sekarang, ayo jalan!” ucap Tante Lani setelah para polisi itu memaksa Tante Lira yang meronta-ronta ikut ke dalam mobilnya. “Kenapa Tante Lira dibawa polisi, sih, Ma?” Kudengar pertanyaan Dion terlontar. “Ya buat tanggung jawabin kesalahan dia lah.” Tante Lani menjawab dengan entengnya. “Kesalahan?” Dion kembali melempar tanya pada mamanya. Sementara itu, aku hanya duduk diam menjadi pendengar setia. Belum berani nimbrung berlebihan karena aku
“Yon, gimana?” Aku menatap Dion. Ragu kalau harus jalan berdua dengan perempuan yang entah sudah bisa nerima aku atau belum. “Sana, temani Mama. Waktunya kamu taklukkin dia.” Dion mengusap pucuk kepalaku dengan senyum mengembang pada bibirnya. Aku diam sesaat. Bingung dan bener-bener masih ragu. Nanti ngobrolin apa, ya? Jalan berdua doang sama calon mertua tanpa ada pernah mengobrol apapun sebelumnya selain pertengkaran dengannnya. “Gih!” Dion menoel ujung hidungku. Aku pun akhirnya turun dan berjalan bersisian dengan Tante Lani. Tak ada obrolan yang berarti. Kami lebih banyak saling terdiam. Aku hanya temani dia belanja. Benar-benar tak mengambil apa-apa. “Mau gak sop iga?”Sesekali dia bertanya. Hah. Aku malah shock ketika dia bertanya padaku dengan senyuman dan tampak begitu lembut. “Gumana, Ma? Sop iga?” tanyaku memasitkan. “Iya, itu tampak masih segar-segar!” tukasnya seraya langsung menarik lenganku menuju etalase frozen food. Aku melongo, rasanya mimpi. Kok bisa secepa
Pov Viona“Hallo, Mbak. Korban yang pertama hanya saya serempet tadi, dibuat shock terapi dulu. Namun, untuk korban yang kedua, sudah saya eksekusi. Pelunasannya bisa ditransfer sekarang?” Suara dari seberang telepon terdengar. “Hmmm, Saya hanya akan bayar kalau semuanya sudah selesai. Kerjakan dulu sisanya. Sekalian saya pastikan dulu keadaannya!” Aku tak mau gegabah. Memberikan bayaran pada orang yang kerjanya setengah-setengah. Lekas kumatikan panggilan dan menatap pantulan diri pada cermin. “Tante Laniku tersayang … ini belum seberapa dibanding sakit hati dan corengan rasa malu yang Tante berikan pada Mama. Seumur hidup. Keluarga kami adalah keluarga terpandang. Hanya saja, kamu sudah membuat keluarga kami menjadi berurusan dengan kasus pidana dan membuat citra kami rusak.” Aku lekas mengambil satu set jamsuit yang akan kugunakan untuk pergi hari ini. Kupoles tipis riasan pada wajah. Hari ini aku akan menemui pengacara. Semalam Papa telepon, dia sudah menghubungi Pak Adiwarman-
“Siang, Om!” Aku menyapa lelaki yang tengah tepekur sendirian di kursi tunggu. Wajahnya kusut dan tampak tak bersemangat. “Siang, Vio! Sendirian?” Dia melongok ke belakang. Aku memutar bola mata. Namun tentunya ketika Om Subekti sedang tak memandang wajahku. Ya pasti sendirian, karena Tante Lani kan sudah buat Mama mendekam di kantor kepolisian dan tengah diproses sekarang. “Iya, Om! Papa kan masih di Luar negeri. Dia titip salam saja buat Om sama Tante, juga Dion!” Senyum kuukir dan parsel buah kuserahkan pada lelaki paruh baya itu. “Oh, iya, iya. Hmmm … makasih parsel buahnya, Vio.” Dia ambil parsel itu dan disimpan pada kursi tunggu yang kosong di sebelahnya. “Sama-sama, Om! Keadaan Tante gimana? Kaget banget waktu tadi dengar kabar dari security kalau Tante kecelakaan.” Aku memasang wajah muram. Kalau dipikir-pikir, aktingku sama Dewi malah lebih jago aku. Hanya saja, aku tak tertarik jadi model maupun bintang iklan. Capek dan melelahkan, mending aku habiskan waktu mudaku bua