Pov Ayu“Selamat siang! Mohon maaf, Ibu Lira yang mana, ya?Kami mendapatkan surat tugas untuk pemeriksaan Bu Lira. Terlapor, melaporkan Ibu atas tindakan perbuatan tak menyenangkan!”Aku melirik ke arah Dion, sedikit terheran ketika ada beberapa orang berseragam cokelat tiba-tiba mendatangi rumah perempuan yang melabrakku. Namun, Dion pun mengedik yang menandakan tidak tahu menahu ada hal itu. Hanya saja, perempuan yang duduk di kursi belakang itu, tampak senyum-senyum sendiri. Sepertinya dia tahu sesuatu. Namun, mana berani aku bertanya. “Sekarang, ayo jalan!” ucap Tante Lani setelah para polisi itu memaksa Tante Lira yang meronta-ronta ikut ke dalam mobilnya. “Kenapa Tante Lira dibawa polisi, sih, Ma?” Kudengar pertanyaan Dion terlontar. “Ya buat tanggung jawabin kesalahan dia lah.” Tante Lani menjawab dengan entengnya. “Kesalahan?” Dion kembali melempar tanya pada mamanya. Sementara itu, aku hanya duduk diam menjadi pendengar setia. Belum berani nimbrung berlebihan karena aku
“Yon, gimana?” Aku menatap Dion. Ragu kalau harus jalan berdua dengan perempuan yang entah sudah bisa nerima aku atau belum. “Sana, temani Mama. Waktunya kamu taklukkin dia.” Dion mengusap pucuk kepalaku dengan senyum mengembang pada bibirnya. Aku diam sesaat. Bingung dan bener-bener masih ragu. Nanti ngobrolin apa, ya? Jalan berdua doang sama calon mertua tanpa ada pernah mengobrol apapun sebelumnya selain pertengkaran dengannnya. “Gih!” Dion menoel ujung hidungku. Aku pun akhirnya turun dan berjalan bersisian dengan Tante Lani. Tak ada obrolan yang berarti. Kami lebih banyak saling terdiam. Aku hanya temani dia belanja. Benar-benar tak mengambil apa-apa. “Mau gak sop iga?”Sesekali dia bertanya. Hah. Aku malah shock ketika dia bertanya padaku dengan senyuman dan tampak begitu lembut. “Gumana, Ma? Sop iga?” tanyaku memasitkan. “Iya, itu tampak masih segar-segar!” tukasnya seraya langsung menarik lenganku menuju etalase frozen food. Aku melongo, rasanya mimpi. Kok bisa secepa
Pov Viona“Hallo, Mbak. Korban yang pertama hanya saya serempet tadi, dibuat shock terapi dulu. Namun, untuk korban yang kedua, sudah saya eksekusi. Pelunasannya bisa ditransfer sekarang?” Suara dari seberang telepon terdengar. “Hmmm, Saya hanya akan bayar kalau semuanya sudah selesai. Kerjakan dulu sisanya. Sekalian saya pastikan dulu keadaannya!” Aku tak mau gegabah. Memberikan bayaran pada orang yang kerjanya setengah-setengah. Lekas kumatikan panggilan dan menatap pantulan diri pada cermin. “Tante Laniku tersayang … ini belum seberapa dibanding sakit hati dan corengan rasa malu yang Tante berikan pada Mama. Seumur hidup. Keluarga kami adalah keluarga terpandang. Hanya saja, kamu sudah membuat keluarga kami menjadi berurusan dengan kasus pidana dan membuat citra kami rusak.” Aku lekas mengambil satu set jamsuit yang akan kugunakan untuk pergi hari ini. Kupoles tipis riasan pada wajah. Hari ini aku akan menemui pengacara. Semalam Papa telepon, dia sudah menghubungi Pak Adiwarman-
“Siang, Om!” Aku menyapa lelaki yang tengah tepekur sendirian di kursi tunggu. Wajahnya kusut dan tampak tak bersemangat. “Siang, Vio! Sendirian?” Dia melongok ke belakang. Aku memutar bola mata. Namun tentunya ketika Om Subekti sedang tak memandang wajahku. Ya pasti sendirian, karena Tante Lani kan sudah buat Mama mendekam di kantor kepolisian dan tengah diproses sekarang. “Iya, Om! Papa kan masih di Luar negeri. Dia titip salam saja buat Om sama Tante, juga Dion!” Senyum kuukir dan parsel buah kuserahkan pada lelaki paruh baya itu. “Oh, iya, iya. Hmmm … makasih parsel buahnya, Vio.” Dia ambil parsel itu dan disimpan pada kursi tunggu yang kosong di sebelahnya. “Sama-sama, Om! Keadaan Tante gimana? Kaget banget waktu tadi dengar kabar dari security kalau Tante kecelakaan.” Aku memasang wajah muram. Kalau dipikir-pikir, aktingku sama Dewi malah lebih jago aku. Hanya saja, aku tak tertarik jadi model maupun bintang iklan. Capek dan melelahkan, mending aku habiskan waktu mudaku bua
Pov VionaSebelum beranjak dari lapangan parkir rumah sakit. Aku menghubungi orang suruhanku lagi. Orang yang direkomendasikan seorang kenalan. Orang yang menjual jasa apa saja demi rupiah. Termasuk melakukan kejahatan. “Hallo! Gimana, apa target utama sudah dieksekusi?” tanyaku. “Maaf, Mbak. Gue sepertinya gak lanjut jalanin tugasnya kalau target yang harus dicelakai itu Ayu yang itu. Gue tak bisa melakukan hal itu pada perempuan yang pernah menolong Kakek gue. Bisa ganti yang lain gak? ” tanyanya. Aku mendelik, memutar bola mata dengan jengah. “Jadi orang jahat jangan nanggung, dong! Kerjaan kok pilih-pilih! Kalau lo gak kerjain sisanya, jangan harap gue juga mau lunasin pembayaran sisanya!” bentakku. Aku lekas mematikan telepon. Jadi orang jahat kok milih-milih, aneh. Namun belum satu menit sambungan telepon mati. Nomor itu kembali menghubungi. Aku tersenyum miring. Pastinya dia gak mau kehilangan uang yang menggiurkan itu. “Gimana, berubah pikiran?” tanyaku seraya tersenyum
“Kabar apa, Vio? Rasanya gak ada lagi yang bisa bikin Mama gembira selain keluar dari sini.” Dia berucap lemah. “Mama pasti senang … ini kurasa lebih menggembirakan dari pada kabar Mama keluar dari sini.” Aku tersenyum penuh keyakinan. Lantas aku mengetik pada layar gawai. Gak berani bilang takut polisi jaga itu dengar atau bisa jadi di ruang tahanan ini ada CCTV tersembunyi. Kuangsurkan pesan dalam kolom WA yang kukirim pada nomor Papa. Foto Tante Lani di rumah sakit bukti keberhasilanku membalaskan perbuatan Tante Lani untuk Mama.[Vio sudah balesin sakit hati Mama. Lihat, Tante Lani sekarang lagi kritis. Efek dari tabrakan itu ada benturan keras di kepala dia, jadi dia gak sadar-sadar sampai sekarang. Vio rasa itu setimpal untuk semua yang dia lakukan sama Mama.] Mama tampak tersentak ketika membaca sederet tulisan itu. Dia menatap padaku seolah tak percaya.“K--kamu nabrak Lani?” Mama melotot dan mengucap kata itu tanpa suara. Aku paham, Mama kaget dan pastinya bangga. Aku pun
[Aktris bernama asli Dewi Tresno Sugiarto yang tengah naik daun dan terkenal dengan nama panggung Dewi Maya, hari ini dilarikan ke rumah sakit terdekat. Terkonfirmasi dari Nyonya Friska---Ibu dari Dewi Maya, putrinya tersebut menderita kanker rahim.] Headline news di atas sudah menjadi trending topik. Menyisakan luka dan sesal pada seorang perempuan yang tengah tergeletak di atas ranjang rumah sakit. Dewi tergugu, kabar tersebut benar-benar telak memukulnya. Tak manyangka sama sekali kalau rahimnya harus terkena penyakit yang mematikan. Penyakit yang mungkin menjadi sebuah teguran karena dia sering sekali mempermainkan kehamilan. Beberapa kali aborsi dan menyembunyikan semua itu dari keluarga dan dunia luar hanya demi satu hal yaitu job yang mengalir lancar dan namanya menjadi semakin terkenal. Sesel, kini hanya itu tersisa. Beberapa hari ini, bahkan dirinya hanya terbaring dan bengong memandangi langit-langit kamar rumah sakit. Friska---sang ibu awalnya begitu benci atas tuduhan
“Ke sinilah, maafkan kalau istri saya tak mengenali kalian. Istri saya mengalamai hilang ingatan sementara.” Deg!Friska dan Lira tampak terkejut, lalu keduanya memburu ranjang rawat inap di mana Lani terbaring di sana.“Lani, kami sahabat kamu. Maaf kalau jadi seperti ini?” Lira yang teringat ini adalah perbuatan Viona langsung memeluk Lani diikuti Friska. Lani menatap dengan pandangan bingung, apalagi Lira terisak dengan sangat kencang. Rasa bersalahnya makin menjadi mengetahui apa akibat kenekatan Viona yang sudah bermain-main dengan nyawa. “Lani, maafkan aku. Maafkan putriku.” Lira berucap seraya menggenggam tangan Lani. “Kamu siapa, kenapa saya harus memaafkan kalian?” Lira menyeka air mata dan menatap Lani.“Saya Lira, ini Friska, kita sahabatan sudah sangat lama. Kalau anak sekarang bilang, kita ini adalah Bestie. Kamu beneran gak ingat kami, Jeng?” Lira menyeka air matanya. Lani menggeleng, dia membagi pandangan pada dua perempuan paruh baya itu. “Maaf, saya gak ingat.”