“Lira, please!” Aku menarik tangannya. Gak mau jadi buah bibir para tetangga tukang nasi uduk ini nantinya. Lira benar-benar bar-bar dan buat malu. “Lo juga, Lan! Mana yang katanya sahabat! Tega-teganya buat anak gadis gue patah hati! Bukannya lo sudah janji, hah? Lo bakal nikahin anak-anak kita?! Kalau lo ingkar, jangan salahkan gue kalau gue bakal sita minimarket lo buat bayarin utang lo yang sudah menahun itu, heh?!”Lira malah balik membentakku. Terkejut bukan main. Rupanya begini aslinya Lira. Padahal dia selama ini selalu menunjukkan sikapnya yang high class dalam setiap pertemuan. Bahkan bicaranya saja lembut. “Tante! Tolong berhenti buat keributan! Apa Tante gak malu kalau keributan ini Viral? Tolong pikirkan nama baik Om Handoko juga, Tan!” Dion menatap Lira. Kilat marah tampak pada netranya.“Yang harus dipikirkan justru nama baik keluarga Subekti. Bagaimana kalau seluruh dunia tahu kalau Nyonya Subekti yang terhormat berhutang ratusan juta dan gak bayar utang selama berta
Pov AyuAku dan Dion saling bertukar pandang. Akhirnya keributan ini pun selesai. Malu, pastinya ada. Tetangga pasti akan menjadikan ini sebagai bahan gunjingan. Apalagi selama ini pencitraan Tante Lani yang sebagai istri anggota Dewan dan orang terpandang sudah melekat. Alangkah kagetnya mungkin yang mereka rasakan, ketika ternyata orang yang kaya raya malah ditagih utang di depan umum disertai makian. “Maafin atas semua kejadian ini, Ay. Maafin ya, Bu.” Dion menatapku dan Ibu saling bergantian. “Gak apa, Yon. Sudah ‘kan?” Aku tersenyum samar. “Iya, sih. Hanya saja gak enak sebetulnya sama kerabat dan tetangga kamu. Belum apa-apa sudah ada keributan.” Dion menyugar rambutnya dan berjalan menuju ke arah kursi kosong. Aku mengikutinya, begitu pun Ibu. Sengaja kugandeng tangannya. Kami pun duduk. “Ini boleh diberesin saja ‘kan Bu Rohmah?” Seorang tetangga menghampiri seraya menunjuk pada tenda.“Iya, boleh. Makasih banyak Pak Anwar bantuannya.” Ibu mengangguk dan mengatupkan tangan
Ya, Tuhaaan. Rasanya ada sengatan listrik berlarian di dalam sini. Aku mengatur napas dan menghela napas panjang. Kutatap punggung lebarnya yang sudah tiba di ambang pintu. Namun, dia berhenti. Lantas menoleh padaku dan mengedipkan satu matanya. Aku menggeleng kepala, lantas masuk dan gegas mengganti pakaian. Namun, serangan dadakan itu entah kenapa begitu berkesan. Bahkan setiap kali aku ingat, lupa akan dosanya, yang kuingat malah kenangan manis yang melekat begitu saja. Kuusap bekas bibir tipis yang menempel di dahi lalu tersenyum lagi untuk ke sekian kali. Mungkin ini yang Ibu bilang, makin dekat hari pernikahan, makin banyak godaan. Aku pun berbaur dengan para tetangga dan kerabat yang masih ada dan ikut beres-beres. Para lelaki membongkar tenda, menyusun kursi, menggotong meja dan hal-hal berat lainnya. Para kaum perempuan termasuk aku, mengambil semua piring kotor. Menyisihkan makanan yang masih tersisa dan mengemasnya, menyapu halaman, mengepel lantai dan lain-lain. Cukup m
Pov LaniFeelingku memang tepat. Lira menjadikan momen ini untuk membullyku. Bukan sekali dua kali, bahkan sejak acara dimulai dia terus-terusan saja memojokanku. Aku memilih lebih banyak diam. Andai Lira tahu, kali ini bukan aku yang tengah diserang, tetapi sebentar lagi akan tiba gilirannya. Andai saja kemarin dia ada di rumah, pastinya para polisi itu sudah datang untuk memeriksanya. Namun, sayangnya dia baru kembali tadi pagi, entah ke mana dua hari kemarin dia pergi. Hari ini harusnya para polisi itu datang untuk menangkapnya. Dan sejak tadi, aku diam-diam merekam semua sindirannya. Ya, setidaknya untuk menguatkan barang bukti.“Ya ampuuun, ternyata seorang Nyonya Subekti bisa punya utang sebanyak dan selama itu gak bayar-bayar. Gak nyangka banget, ya. Kirain tajir, padahal pura-pura kaya doang. Jangan-jangan berlian yang dipakainya ini juga hasil ngutang?” Lagi, untuk ke sekian kali. Lira bersama Jeng Nelly dan Jeng Risma, dua orang teman arisan yang kini dukungannya menjadi co
Ayu hanya berdiri sambil tersenyum. Tangannya masih sibuk dengan gawai. Lalu mengangkat wajah dan menatap Lira. “Sudah ya, Tante! Sudah saya kirim dua ratus juta, saya lebihkan satu juta karena Tante sudah nunggu cukup lama pelunasan utangnya!” Suaranya yakin, tegas dan senyumnya penuh kepercayaan diri. Aku baru lihat sisi lainnya sekarang. Aku menganga dibuatnya. Bahkan gayanya tampak elegan. Aku baru sadar jika pakaian gamis yang dikenakannya itu limited edition juga. Tasnya, aku tahu itu merk terkenal. Beralih pada sepatu, aku pun berdecak. Itu ‘kan sepatu yang mahal. “Sebentar saya check, jangan-jangan uangnya gak masuk. Limit transfer kan cuma seratus juta.” Lira mengotak-atik gawainya. “Hmmm, mungkin itu fasilitas untuk debit card Tante saja, kalau di saya, bisa kok sampai lima ratus juta sehari.” Ayu, lagi-lagi menyunggingkan senyuman. “Mama, mari! Ayu sudah selesaikan dengan Tante Lira.” Suara Dion membuyarkan pikiranku.“Oh, iya, iya. Saya permisi, ya, Jeng!” Aku mengatu
Pov Ayu“Selamat siang! Mohon maaf, Ibu Lira yang mana, ya?Kami mendapatkan surat tugas untuk pemeriksaan Bu Lira. Terlapor, melaporkan Ibu atas tindakan perbuatan tak menyenangkan!”Aku melirik ke arah Dion, sedikit terheran ketika ada beberapa orang berseragam cokelat tiba-tiba mendatangi rumah perempuan yang melabrakku. Namun, Dion pun mengedik yang menandakan tidak tahu menahu ada hal itu. Hanya saja, perempuan yang duduk di kursi belakang itu, tampak senyum-senyum sendiri. Sepertinya dia tahu sesuatu. Namun, mana berani aku bertanya. “Sekarang, ayo jalan!” ucap Tante Lani setelah para polisi itu memaksa Tante Lira yang meronta-ronta ikut ke dalam mobilnya. “Kenapa Tante Lira dibawa polisi, sih, Ma?” Kudengar pertanyaan Dion terlontar. “Ya buat tanggung jawabin kesalahan dia lah.” Tante Lani menjawab dengan entengnya. “Kesalahan?” Dion kembali melempar tanya pada mamanya. Sementara itu, aku hanya duduk diam menjadi pendengar setia. Belum berani nimbrung berlebihan karena aku
“Yon, gimana?” Aku menatap Dion. Ragu kalau harus jalan berdua dengan perempuan yang entah sudah bisa nerima aku atau belum. “Sana, temani Mama. Waktunya kamu taklukkin dia.” Dion mengusap pucuk kepalaku dengan senyum mengembang pada bibirnya. Aku diam sesaat. Bingung dan bener-bener masih ragu. Nanti ngobrolin apa, ya? Jalan berdua doang sama calon mertua tanpa ada pernah mengobrol apapun sebelumnya selain pertengkaran dengannnya. “Gih!” Dion menoel ujung hidungku. Aku pun akhirnya turun dan berjalan bersisian dengan Tante Lani. Tak ada obrolan yang berarti. Kami lebih banyak saling terdiam. Aku hanya temani dia belanja. Benar-benar tak mengambil apa-apa. “Mau gak sop iga?”Sesekali dia bertanya. Hah. Aku malah shock ketika dia bertanya padaku dengan senyuman dan tampak begitu lembut. “Gumana, Ma? Sop iga?” tanyaku memasitkan. “Iya, itu tampak masih segar-segar!” tukasnya seraya langsung menarik lenganku menuju etalase frozen food. Aku melongo, rasanya mimpi. Kok bisa secepa
Pov Viona“Hallo, Mbak. Korban yang pertama hanya saya serempet tadi, dibuat shock terapi dulu. Namun, untuk korban yang kedua, sudah saya eksekusi. Pelunasannya bisa ditransfer sekarang?” Suara dari seberang telepon terdengar. “Hmmm, Saya hanya akan bayar kalau semuanya sudah selesai. Kerjakan dulu sisanya. Sekalian saya pastikan dulu keadaannya!” Aku tak mau gegabah. Memberikan bayaran pada orang yang kerjanya setengah-setengah. Lekas kumatikan panggilan dan menatap pantulan diri pada cermin. “Tante Laniku tersayang … ini belum seberapa dibanding sakit hati dan corengan rasa malu yang Tante berikan pada Mama. Seumur hidup. Keluarga kami adalah keluarga terpandang. Hanya saja, kamu sudah membuat keluarga kami menjadi berurusan dengan kasus pidana dan membuat citra kami rusak.” Aku lekas mengambil satu set jamsuit yang akan kugunakan untuk pergi hari ini. Kupoles tipis riasan pada wajah. Hari ini aku akan menemui pengacara. Semalam Papa telepon, dia sudah menghubungi Pak Adiwarman-
Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i
“Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu
Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu
“Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar
“Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s
Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l
“Apa? Zayd mau menikahi Karina?” Kali ini Mami Ayu yang terkejut. “Kalau gak salah dengar sih, iya, Mami. Syfa ke sini mau minta pendapat Mami. Baiknya kami gimana?” Mami Ayu tak menjawab pendapat Asyfa, tapi dia langsung menoleh pada Ainina sambil bicara, “Ai, telepon Abang kamu sekarang! Panggil ke sini! Biar semua masalah bisa jelas ujung pangkalnya!” Ainina sigap mengambil ponsel lalu menelpon Zayd. Sementara itu, Tante Harum dan Azriel berpamitan. “Jangan lupa, ya, datang nanti ke pernikahan Arlia, Syfa!” Tante Harum menepuk pundak Asyfa. Dia dan Azriel sudah berdiri untuk berpamitan. “Inysa Allah, Tante!” Asyfa tersenyum dan mengangguk sopan. Dia bukan tipe pendendam. Yang dulu-dulu dan sudah berlalu, ya, sudahlah. “Semoga segera dapat momongan, ya! Doakan juga Arlia agar bisa memiliki keturunan,” tukasnya dengan senyuman getir. Tiba-tiba ada perasaan aneh di hati Asyfa. Entah kenapa, dia merasa bersalah karena dulu tak berempati ketika mendengar jika Arlia akan sulit men
Pov 3Asyfa menatap kartu debit yang dipegangnya. Reza melarangnya membayar. Lelaki itu sudah beranjak setengah jam yang lalu, tapi dirinya masih duduk termenung di saung lesehan itu. Entah kenapa, tiba-tiba Asyfa merasa malas untuk beranjak. Dunianya terasa asing, sunyi dan senyap. Rasa takut sendirian kembali datang. Memori waktu kecil terasingkan berlarian. Gegas dia beranjak pulang. Rupanya di rumah sudah ada Ainina dan Caca yang menunggunya. Kedua gadis itu tampak sumringah ketika kakak iparnya datang. “Mbak habis dari mana, si?” oceh Ainina sambil memeluk Asyfa singkat. Begitupun dengan Caca. “Habis dari rumah Ibu.” Asyfa menjawab datar lalu mengajak dua adik iparnya masuk. “Bang Zayd panik tahu, Mbak. Dia telepon Ibu, katanya Mbak Syfa sudah pulang, telepon si BIbi, belum sampe. Kamilah jadi diutus kemari.”Aku terkekeh, lalu menyuguhkan minuman dari lemari es untuk dua adik iparku, lalu duduk pada sofa dan mengambil satu biji softdrink. “Tumbenan juga sekhawatir itu.” Aku
Pov 3Reza sedikit panik ketika mendengar kabar kecelakaan itu. Kemarin malam tepatnya, tapi dia sedang di Jakarta, masih ada pemotretan. Akhirnya baru pagi tadi dia sempat menjenguk gadis kecil di ruang ICU itu. Ketika dia berkunjung tadi, tampak kondisi gadis kecil itu sudah membaik. Reza pun tak lama di sana, dia gegas beranjak pergi lagi. Reza belum bisa show up tentang hubungan yang sudah dirancang oleh dua keluarga besarnya dengan perempuan pilihan Mama Pinah itu sekarang. Bagiamanapun, Reza belum resmi bercerai. Dia masih menjadi suami sah dari Merina. Pikiran Reza yang semrawut karena perseteruan Merina dan mamanya yang terjadi hampir di setiap detik, membuatnya enggan pulang. Apalagi ketika tiba di rumah, yang ada hanya rumah semrawut, dan pakaian kotor berserakan. Reza yang lelah butuh ketenangan. Dia pun akhirnya mampir dulu ke sebuah rumah makan. Letaknya yang strategis membuat rumah makan tersebut selalu ramai. Namun, ketika Reza hendak mencari tempat duduk ketika tiba-