“Dasar brengsek! Kau cari saja wanitamu sendiri yang bebas dan masih sendiri” Bentak Patrick dengan mata melotot dan tangan terkepal di sisi tubuhnya. Lukas hanya mengacungkan jempol ke udara dan terus berjalan, Berbaur dengan tamu undangan lainnya. Maureen melirik Patrick dengan tatapan heran rasanya mustahil suaminya ini cemburu. Namun, melihat apa yang diperlihatkan Patrick tadi lebih menyerupai orang yang cemburu. Patrick yang merasa dipandangi langsung menoleh ke arah Maureen dan melihatnya dengan tatapan mengejek. Ia menegaskan kepada Maureen, kalau jangan merasa besar hati dan menganggap dirinya berharga bagi Patrick. Maureen dengan cepat memalingkan wajah. Ia lebih suka melihat ke arah lain dibandingkan menatap wajah sombong suaminya. Keduanya saling diam memperhatikan orang-orang selama beberapa menit. Maureenlah yang memecahkan keheningan tersebut dengan berkata, “Mengapa kau tidak bergabung dengan tamu
“Apa yang akan kau lakukan, kalau aku tidak bersedia melakukannya?” Tantang Sandra dengan dagu terangkat angkuh. Patrick menggeram marah ia memukul setir kemudi dengan keras. Ia mencaci Sandra yang sudah membuat kekacauan dan ia akan menghancurkan wanita itu, kalau sampai tidak melakukan klarifikasi atas apa yang tadi dikatakannya di dekat kolam renang. Wajah Sandra menjadi pias ia takut dengan amarah yang baru saja diperlihatkan Patrick. Tidak seharusnya memang ia memancing amarah Patrick yang hanya akan membuat pria itu semakin menjauh saja darinya. Dengan ragu-ragu tangan Sandra terulur menyentuh tangan Patrick yang terletak di atas setir. Ia meminta maaf dan sadar sudah melakukan kesalahan. Ia juga akan mengklarifikasi berita tentang kehamilannya. Tangan Sandra dihempaskan dengan kasar oleh Patrick, kemudian ia membuka pintu mobil sisi dirinya, lalu turun. Diputarinya mobil, hingga ia mencapai sisi pintu bagian Sandra.
“Kau selalu saja mengungkit apa yang sudah lewat! Kau sekarang sudah menikah dan seharusnya kau menjadikan apa yang pernah Ayah lakukan, sebagai pelajaran!” Bentak Ayah Patrick emosi.Ia benci dengan Patrick yang selalu saja mengungkit kesalahan di masa lalunya. Ia baru menyadari, kalau kesalahannya sudah membuat Putranya menjadi seorang yang pendendam.Tak ingin bertengkar lebih lama lagi dengan Patrick, Ayahnya beranjak keluar dari ruang kerja tersebut. Namun, ia berhenti sebentar di depan pintu dan meminta kepada Patrick untuk menemui Maureen dan menceritakan apa yang terjadi.Patrick menatap kepergian Ayahnya dalam diam, ia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk melakukan apa yang dikatakan oleh Ayahnya.Ia tidak perlu memberikan penjelasan kepada Maureen, karena baginya pendapat Istrinya itu sama sekali tidaklah penting.Beberapa saat kemudian, pintu ruang kerja Patrick diketuk. Setelah dipersilakan masuklah sekretarisnya dengan membawakan apa yang ia minta.Patrick langsung
“Apa maksudmu berkata, seperti itu? Aku sudah mengatakan kepadamu, kalau aku tidak pernah memaksamu untuk mengakui anakku!” ucap Maureen kecewa.Patrick tidak peduli dengan kekecewaan Maureen, ia tetap bersikeras dengan apa yang dimintanya dan ia memberikan waktu kepada Maureen untuk berfikir sampai besok.Maureen keluar dari ruang kerja Patrick, ia berjalan masuk kamar tidur, kemudian langsung menuju balkon di kamar tersebut.Berdiri di pinggir pagar pembatas balkon Maureen melihat ke bawah. Di mana Ibunya berada. Sanggupkah ia meninggalkan Patrick dan membuat Ibunya kehilangan rasa nyaman, yang selama ini ia dapatkan?Ia juga tidak akan bisa mengganti semua biaya yang sudah dikeluarkan Patrick untuknya dan Ibunya. Maureen merasa sedih, karena tidak memiliki jawaban yang menyenangkan baginya.‘Apakah aku harus menuruti permintaan Patrick? Namun, resikonya besar untuk calon anakku,’ batin Maureen. Tangannya mengusap perutnya yang semakin besar.‘Apa yang harus Ibu lakukan padamu, Saya
“Kau tidak berhak meminta apapun juga kepadaku, Maureen! Kau banyak berhutang budi kepadaku dan keluargaku!” Bentak Patrick di ujung sambungan telepon.Sambungan telepon ditutup dengan cepat oleh Patrick. Ia sudah mengatakan apa yang diinginkannya dan Maureen harus bersedia melakukanya. Ia tidak akan menerima penolakan dari Maureen dengan alasan apapun juga.Patrick memasukkan ponselnya ke atas meja, sepertinya jalan-jalan ke kebun apel bisa mendinginkan sedikit kepalanya.Ia pun keluar dari ruang kerjanya, ketika di depan meja kerja sekretarisnya Patrick berhenti sebentar. “Aku akan keluar, kalau ada yang mencariku katakan agar menemuiku di kebun apel!”“Baik, Pak!” sahut sekretaris Patrick.Dengan santai Patrick berjalan menuruni tangga menuju lantai satu, setelahnya ia menaiki mobil yang biasa digunakannya untuk berkeliling kebun apel.Sesampainya di hamparan kebun apelnya Patrick berhenti memperhatikan para pekerja yang sedang memetik buah apel.Duduk diam dalam mobilnya, sambil m
“Kau!” Maureen menutup mulut menahan isak tangis yang hendak keluar dari mulutnya.Maureen urung menyampaikan apa yang hendak dikatakannya kepada Patrick. Ia merasa terhina dan direndahkan, karena ada beberapa pekerja perkebunan yang juga mendengarkan apa yang dikatakan Patrick.Menahan air mata yang hendak tumpah Maureen berlalu dari tempat itu. Dengan langkah kaki yang gontai dan kepala menunduk Maureen berjalan menjauh dari perkebunan apel tersebut.Tak dihiraukannya panggilan dari Lukas, yang memintanya untuk berhenti. Ia juga tidak membalikkan badan, ketika mendengar, kalau Patrick dan Lukas berkelahi.Kehamilannya yang besar membuat Maueen hanya sanggup berjalan dengan perlahan saja. Ia tidak pulang ke rumah Patrick ataupun ke gedung kantor Patrick di mana mobilnya berada.Hati Maureen hancur dan ia merasa tidak memiliki harga diri lagi di hadapan pekerja perkebunan apel tadi.‘Berapa lama lagikah aku sanggup bertahan dengan apa yang diucapkan Patrick? Tes DNA! Baiklah, setelah
“Pergilah, kalau kau datang hanya untuk menghinaku saja!” ucap Maureen dengan suara yang lemah. Ia benar-benar lelah tidak hanya fisik saja, tetapi juga batinnya.Maureen menelungkupkan kepalanya di atas meja makan dan mengabaikan kehadrian Patrick. Ia tidak peduli, apakah suaminya itu pergi ataukan tetap berada di rumah ini.Patrick selama beberapa menit terdiam melihat Maureen yang mengabaikan dirinya. Tiba-tiba saja ia dilanda rasa cemas, takut Maureen sakit mengingat ia yang sedang hamil.“Apakah kau sakit? Aku akan membawamu ke rumah sakit untuk memeriksakan kehamilanmu!” ucap Patrick.Maureen mengangkat kepalanya dari atas meja lalu melihat ke arah Patrick. “Tidak perlu! Aku baik-baik saja aku hanya ingin sendirian di sini! Kalau kau keberatan Ibuku masih berada di rumahmu aku akan meminta kepada perawatnya untuk mengantarkan ke sini.”Kembali Maureen merebahkan kepalanya. Ia hanya ingin istirahat saja sebentar. Ia ingin merebahkan badannya di atas tempat tidur, tetapi ia masih
“Mengapa tidak! Bukankah aku pernah menjadi bagian dari tempat ini?” ucap wanita dengan penampilan anggun tersebut.Patrick mendengus, lalu berlalu masuk penginapan dan tidak menghiraukan wanita itu. Sekalipun, namanya dipanggil berulangkali.Setibanya ia di ruangan Maureen, Patrick melihat Istrinya itu terkejut melihat kedatangannya.“Aku datang untuk menjemputmu!” Tegur Patrick.Maureen menganggukkan kepala, lalu mengambil tasnya yang berada di atas meja. Ia berjalan keluar dari ruangannya bersama-sama dengan Patrick.Ketika keduanya melewati meja resepsionis terdengar suara perdebatan. Antara seorang wanita yang tidak dikenalnya dengan pegawai resepsionis yang bertugas.Wanita itu langsung menoleh, ketika merasa diperhatikan. Dan ia tersenyum senang yang ditujukan kepada Patrick.“Patrick Sayang! Tolong katakan kepada pegawaimu yang bodoh ini, kalau aku memiliki kamar khusus di penginapan ini!” ucap wanita itu percaya diri.Maureen melihat wanita dan Patrick secara bergantian. Ia m