“Kenapa aku bisa berada di sini? Vila siapa ini? Apa mungkin Cherry membawaku ke Vilanya? Tidak mungkin! Lalu, siapa pria di luar sana?” Jenia terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia benar-benar merasa bingung dengan apa yang telah terjadi padanya saat ini.
Tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu, membuat Jenia semakin risau. Jenia menggigit jari, berharap ia mendapatkan ide luar biasa untuk bisa lepas dari sana.
Jenia hanya bisa duduk diam sembari memikirkan cara untuk dapat keluar dari tempat itu. Suara pintu yang terbuka membuat Jenia kaget. Tidak ada orang yang datang dari balik pintu itu, hanya sepasang tangan yang menaruh nampan berisi makanan dan minuman di belakang pintu, kemudian pintu terkunci kembali.
Seperti seorang tahanan di balik jeruji besi, kurang lebih hal itu yang dirasakan Jenia saat ini. Bahkan, mereka seolah-olah tengah memberikan makan pada seekor macan sehingga mereka takut untuk menemui Jenia secara langsung.
“Siapa mereka? Mengapa mereka mengurungku di sini? Di mana Cherry?” Jenia tidak berhenti bertanya pada dirinya sendiri.
Matanya menatap pada makanan yang masih berada di belakang pintu. Ia mengambil napas panjang lalu mengembuskan dengan kasar dan membuang muka ke arah lain, merasa enggan untuk menyantap makanan itu.
“Aku tidak ingin makan! Bawa kembali makanan kalian!” pekik Jenia mengancam seolah-olah akan ada orang yang datang mendengarkan teriakannya kali ini.
Jenia kembali berselimut, berusaha untuk menahan rasa lapar yang sejatinya sudah membuat perutnya bergemuruh sejak tadi.
“Hei, aku tidak akan makan! Keluarkan aku dari sini!” Jenia terus terpekik.
Ia tidak peduli pada suara parau yang terdengar tegas di telinganya, yang ia pedulikan adalah sang ayah yang pasti dari semalam sudah menunggunya untuk pulang. Bisa saja ayahnya, Maheza, menunggunya dengan tangkai sapu yang siap untuk dipukulkan pada Jenia karena tidak pulang semalam tanpa memberikan kabar.
Pintu kamar tempat Jenia berada kembali terbuka, kali ini seorang wanita yang tampak renta datang dan membawakan makanan itu pada Jenia. Dari pakaian seragam yang ia kenakan, sudah jelas bahwa dia adalah asisten rumah tangga di vila itu.
“Anda siapa?” tanya Jenia dengan bibir manyun.
“Saya diperintahkan tuan muda untuk mengantarkan makanan ini kepada Nona. Nona harus makan, jika nona tidak makan, maka seluruh orang yang berada di vila saat ini juga tidak boleh makan!” tutur wanita tua itu dengan bahasa yang lugas dan santun.
Jenia menganga, peraturan aneh itu benar-benar tidak biasa terdengar di telinganya. Biasanya, Maheza selalu menghukum Jenia dan melarang Jenia untuk makan, tetapi karena kebaikan kakak tirinya, Jenia masih bisa mengisi perutnya yang kosong.
Namun, peraturan di vila itu sungguh berbeda, membuat Jenia yang berhati lembut merasa tidak tega jadinya. Jenia tidak ingin orang lain menderita karena dirinya.
“Makanlah walau sedikit, sejak pagi Nona tidak menyantap apapun!” ucapnya lagi dengan nada khawatir.
“Baiklah, akan aku lakukan, aku akan menyantap semua makanan ini karena aku tidak ingin kalian menjadi kelaparan, tapi …” Jenia terdiam sejenak, sedangkan wanita tua itu tampak menantikan apa yang akan Jenia ucapkan.
“Tapi, aku ingin kalian membiarkan aku keluar dari tempat ini, aku harus pulang!” rengek Jenia.
Wanita itu berbalik badan dan meninggalkan Jenia tanpa berkata sepatah katapun. Membuat Jenia merasa jengkel lalu menyantap makanannya dengan rasa kesal.
Penjagaan di depan kamar Jenia begitu ketat, ada tiga orang yang berdiri di depan pintu. Di anak tangga juga terdapat dua orang yang berdiri di sana. Di depan setiap pintu yang mengarah keluar dari vila itupun dijaga ketat oleh pria yang berseragam hitam dengan otot yang menyembul dari balik baju yang mereka kenakan.
“Kenapa mereka mengurungku di sini? Kesalahan apa yang telah aku lakukan? Apa Papa memiliki hutang sehingga mereka menyandera aku sampai papa melunasi hutangnya dengan menjualku?” Jenia tidak berhentinya bertanya-tanya.
Ia kembali ingat pada Cherry. Entah bagaimana nasib Cherry saat ini, apakah Cherry juga mengalami hal yang sama dengannya? Atau Cherry diperlakukan lebih parah dibandingkan dengannya?
Huh, Jenia mengembus napas kasar, ia tidak bisa membayangkan jika kemalangan dan penyekapan ini juga terjadi pada sahabatnya.
“Cherry pasti akan menderita, bahkan orang tua Cherry di kampung pasti akan sangat sedih apalagi orang tua Cherry tidak akan mampu menebusnya jika pencuri ini meminta uang tebusan,” pikir Jenia.
“Papa!” seketika Jenia teringat pada Maheza, sang papa yang telah berusia renta itu pasti akan terkena serangan jantung jika mengetahui keberadaan putrinya yang terkurung di sebuah tempat dengan pengawasan ketat seperti ini.
Jenia beranjak mendekati pintu. Ia tidak bisa berlama-lama berada di tempat itu. Ia harus keluar dari sana dan kembali pulang untuk menemui Maheza yang pasti marah karena menunggu kepulangannya.
“Tolong … lepaskan aku, biarkan aku pulang!” rengek Jenia menggedor-gedor pintunya meminta untuk dilepaskan dari kurungannya saat ini.
Tidak ada jawaban dari luar, tetapi tak lantas membuat Jenia menyerah karena keadaan itu, Jenia kembali terus menggedor pintu sembari merengek meminta untuk dibukakan.
Pintu itu terbuka, Jenia mundur sedikit ke belakang. Seorang pria berpostur tinggi tegap dengan mengenakan topeng di wajahnya datang menghampiri Jenia.
Kharismatik pria itu membuat Jenia terdiam kaget, terlihat jelas dari postur tubuhnya yang tinggi tegap. Jenia sama sekali tidak tahu siapa orang yang berada di balik topeng itu.
“Kamu pasti bos mereka, kamu pasti salah orang, aku bukan anak orang yang paling kaya, aku juga bukan anak yang dimanjakan orang tua, sehingga jika kamu meminta tebusan pada mereka, mereka pasti tidak akan memberikannya,” tutur Jenia menepiskan rasa takutnya.
Pria itu dapat memandang dan melihat Jenia dengan jelas dari balik topengnya. Gadis itu berwajah lugu, tetapi ia juga cukup pandai dalam berkata-kata. Pria bertopeng itu mengamati Jenia dari puncak kepala hingga ke ujung kaki.
Pria di hadapan Jenia saat ini adalah Marvin Hadijaya Sasena, seorang duda kaya raya pemilik usaha furniture terkenal di Indonesia. Dari matanya ia menunjukkan kemarahan pada Jenia yang selalu berisik meminta untuk dilepaskan.
“Aku mohon, Tuan. Lepaskan aku dari sini, aku harus kembali pulang dan bekerja! Lagi pula, keluargaku tidak memiliki uang untuk memberikan tebusan kepadamu,” rengek Jenia lagi dengan nada memelas dan memohon, menyatukan kedua telapak tangannya.
“Diam! hentikan rengekanmu itu!” suara itu terdengar tegas dan penuh kemarahan. Seketika, Jenia menutup mulutnya, merasa kaget dengan apa yang ia dengar barusan.
Setelah seharian menunggu untuk dibebaskan, kali ini Jenia hanya mendapatkan hardikan dari pria bertopeng itu.
Marvin berjalan selangkah demi selangkah mendekati Jenia, sedangkan Jenia melangkah mundur hingga tubuhnya terhenti di sebuah tembok yang beradu dengan punggungnya.
“Apakah mulutmu ini tidak bisa diam, hah?” tanyanya lagi dengan penuh emosi.
Jenia masih bungkam, ia terlalu takut untuk menjawab pertanyaan pria bertopeng itu. Orang yang sedang berada di dalam kemarahan bisa melakukan apapun kepadanya, Jenia masih belum siap jika ia harus meninggalkan Papanya dengan cara mati mengenaskan di tangan pria itu.
“Apa kamu tahu siapa dirimu itu?” tanyanya lagi dengan nada tegas, membuat jantung Jenia terasa ingin copot mendengarkannya.
“Aku Jenia!” celetuk Jenia.
“Kamu adalah milikku, aku sudah membelimu dengan harga yang cukup mahal, aku harap kamu tidak akan mengecewakanku! Maka, lakukan tugasmu dengan baik dan tutup mulutmu itu!” tegasnya lagi.
Bibir Jenia ternganga mendengarkan pengakuan pria yang sama sekali tidak pernah ia kenali itu.
*** Bersambung***
Jika kalian suka cerita ini, jangan lupa tambahkan ke rak kalian ya!
“Kamu adalah milikku!” suara itu kembali menggema di telinga Jenia. Jenia membulalangkan matanya, ia tidak mengerti apa maksud perkataannya. Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa dia membeli Jenia, sedangkan Jenia sendiri tidak pernah memberikan diri dan hidupnya kepada orang lain. “Kamu bohong, kamu mau uang ‘kan? Aku akan memberikan uang yang kamu mau, aku pasti akan memberikannya, tetapi izinkan aku untuk pulang. Aku harus pulang!” pinta Jenia. Pria itu menarik Jenia dan memelintir tangan Jenia kebelakang. Jenia merintih kesakitan. Ia mendekatkan wajahnya dekat dengan wajah gadis itu. “Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dari tempat ini sampai kamu memberikan anak untukku!” bisiknya dengan nada yang tegas. Jenia merintih kesakitan, tetapi ia masih dapat mendengarkan suara bisikan pria bertopeng itu. Jenia membuka matanya dengan lebar. Bagaimana bisa Jenia memberikan dia seorang anak sedangkan ia sama sekali tidak kenal dengan pria di hadapan
Di tempat lain, Cherry tengah menunggu kedatangan seseorang di dekat halte bus. Ia berdiri cukup lama sembari terus menatap pada layar ponselnya. Terik mentari yang memanas, semakin terasa membakar api semangat Cherry untuk membawa barang bawaannya pergi. Cherry sudah memesan sebuah tiket bus yang akan mengantarkan ia ke suatu tempat. “Jo!” Cherry memeluk pria bertubuh tinggi tegap yang baru saja turun dari mobil merahnya. Pria itu mengusap punggung Cherry. Seakan ia tidak merelakan Cherry untuk pergi dengan membawa beban banyak di dekatnya. “Cher, apa kamu yakin akan meninggalkan aku sendiri di sini?” pria bermata sayu nan teduh itu mempertanyakan kepergian Cherry kali ini. “Maafkan aku, Jo. Aku harus pergi, karena ayah dan ibuku saat ini sedang sakit, mereka memerlukan aku!” “Tapi, kamu pasti akan kembali, ‘kan, Cher, demi aku?” tanya Jonathan Alexandria yang merupakan kekasih Cherry. Dari mata yang teduh itu terlihat jelas, betapa i
Dahi Jenia mengerenyit, kepalanya masih terasa begitu sakit karena benturan keras yang disebabkan oleh pria bertopeng itu. Jenia menguatkan tubuhnya untuk duduk dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Menatap pada jendela, langit di luar sana sudah mulai gelap, hujanpun sudah mulai reda. Bahkan lampu kamar itu pun menyala begitu menyilaukan mata. Jenia sadar bahwa ia masih berada di tempat yang sama, di Vila di mana Jenia sendiri tidak tahu dengan jelas di mana posisi vila itu. “Ternyata aku tidak sedang bermimpi. Ini adalah kenyataan pahit yang harus aku telan, tapi, sampai kapan aku terkurung di sini?” tanya Jenia pada dirinya sendiri. Ia terus memikirkan cara untuk dapat keluar dari ruangan itu. Jenia memijat pelipisnya yang masih terasa sakit. Seakan tidak dapat menemukan cara karena begitu banyaknya pengawal di luar sana, Jenia kembali menangis, kali ini ia benar-benar merasa hidupnya akan berakhir begitu saja di tempat yang sangat asing bagi
“Tanda tangani kontrak ini, atau kamu akan menyesal!” geram pria itu mencekik Jenia penuh amarah. “Tidak! Aku tidak akan menandatanganinya!” Jenia keras kepala, menolak untuk menandatangani surat kontrak yang ada di atas ranjangnya. “Huh, ternyata kamu memanglah gadis yang amat keras kepala. Kamu terlalu egois, sehingga kamu tidak memikirkan keluargamu yang berada di Jakarta akan hidup menderita karenamu!” Jenia membulatkan matanya mendengarkan ucapan pria itu yang merembet kepada keluarganya. Mungkinkah dia mengenal keluarga Jenia? ataukah ini hanya sekadar ancama belaka? “Kamu tidak kenal siapa keluargaku!” ucap Jenia dengan bangga dengan suaranya yang ia paksakan. Cekikan itu semakin kuat membuat Jenia merasa kesulitan untuk bernapas. Jenia merasa suaranya tercekat. “Pikirkanlah baik-baik, jika kamu tidak ingin tanda tangani perjanjian ini, maka bersiaplah mengucapkan selamat tinggal kepada ayah tercintamu, aku bisa membuatnya mati
Jenia sudah memikirkan dengan matang cara untuk keluar dari vila itu. Ia tidak akan peduli dengan hasil yang akan ia capai. Namun, Jenia percaya diri, bahwa ia bisa terbebas dari genggaman pria bertopeng itu meskipun ia harus mempertaruhkan nyawanya. “Aku pasti bisa menjalankan rencanaku ini,” ucapnya yakin meskipun ada sedikit kegetiran di dalam hatinya. Jenia tersenyum memandang pada langit yang mulai kelam. Seharian ini pria bertopeng itu tidak mendatanginya, membuat ia merasa sedikit lega dan dapat memulihkan kesehatannya setelah kemarin ia harus menahan rasa sakit yang diberikan oleh pria kejam itu. Jenia menatap vas bunga berbahan kaca yang ada di atas lemari kayu dekat kamar mandi. Jenia mengelus vas bunga itu dengan senyum penuh harapan. “Vas bunga yang sangat cantik, aku harap kamu sangat berguna di dalam kehidupanku ini!” tukas Jenia tidak luput pandangannya dari memandangi vas bunga dan mengelus benda yang ada di hadapannya itu.
Jenia mengandalkan segala kepandaiannya kali ini. Ia tidak bisa terus berlari sedangkan para pengawal itu terus saja mengejarnya, lagi pula, Jenia tidak tahu jalan mana yang harus ia telusuri agar terbebas dari tempat gelap dan dipenuhi pepohonan itu. Di hadapan Jenia ada sebuah pohon yang menjulang tinggi dan begitu banyak dahan di pohon yang bisa Jenia andalkan kali ini. Jenia tersenyum senang, seakan kepintarannya memberikan keberuntungan padanya. Ia tidak peduli dengan kemungkinan-kemungkinan binatang yang ada di atas pohon itu. Jenia berusaha untuk memanjat pohon itu setingginya, hingga para pengawal yang terus saja mengejarnya tidak dapat menemukan keberadaannya. Dari atas pohon, Jenia bisa mendengarkan suara para pengawal yang masih mengejarnya dan mencari-cari keberadaannya. Ia meneguk salivanya ketika seokor ular putih berada di dekatnya. Ia berusaha untuk tetap diam dan tenang, saat ular pohon menjulur melewati tubuhnya. Rasa
“Apa maksud ucapanmu itu?” tanya Jenia dengan nada yang mulai meninggi. Jonathan meneguk salivanya, jakunnya turun naik mendengarkan suara Jenia yang bernada tinggi dan memekakan telinganya. Sepertinya kali ini ia telah salah dalam berkata sehingga memancing kemarahan gadis yang tengah terpuruk di belakangnya saat ini. “Maaf, aku hanya bercanda saja, aku tidak bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya!” Jonathan berusaha untuk meyakinkan Jenia dengan menggeleng-gelengkan kepala, menunjukkan bahwa ia adalah pria yang baik-baik. “Kenapa kalian para pria selalu saja seenaknya dalam bicara? Bukankah kamu tahu apa yang kamu katakan barusan itu adalah salah satu pelecehan terhadap wanita?” “Tolong, jangan berpikir seperti itu tentangku, aku sungguh-sungguh, sama sekali tidak bermaksud seperti itu, aku hanya bercanda saja,” gagap Jonathan. “Dalam situasi seperti ini, kamu masih bisa membuat guyonan kepadaku?” “Baiklah, aku minta maaf! Aku menga
Marvin tengah dirawat oleh seorang Dokter karena luka akibat vas bunga itu begitu dalam. Sedangkan Ferdinand mondar-mandir di luar ruangan menantikan Dokter keluar dari dalam dan memberikan kabar padanya. “Dasar bodoh! Kenapa kalian bisa melepaskan gadis itu begitu begitu saja!” berang Marvin pada salah seorang pengawal yang bertugas untuk menjaga Jenia. Tangan Ferdinand tidak hentinya menampar dan memukuli wajah pria di hadapannya itu, dengan kekesalan yang mendalam dan amarah yang memuncak. “Aku tidak mau tahu, sekarang kalian cari gadis itu sampai dapat dan pastikan kalian membawanya kembali ke hadapanku!” tegas Ferdinand. Pengawal itu pergi setelah mendapatkan perintah dari Ferdinand. Ferdinand begitu merasa kesal. Bagaimana tidak, ia merasa takut jika saja Marvin bangun dan mempertanyakan keberadaan gadis itu. Marvin pasti akan marah besar padanya dan membatalkan semua kerja sama yang sudah ada di depan mata karena gadis itu. Ferdin