“Kenapa aku bisa berada di sini? Vila siapa ini? Apa mungkin Cherry membawaku ke Vilanya? Tidak mungkin! Lalu, siapa pria di luar sana?” Jenia terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia benar-benar merasa bingung dengan apa yang telah terjadi padanya saat ini.
Tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu, membuat Jenia semakin risau. Jenia menggigit jari, berharap ia mendapatkan ide luar biasa untuk bisa lepas dari sana.
Jenia hanya bisa duduk diam sembari memikirkan cara untuk dapat keluar dari tempat itu. Suara pintu yang terbuka membuat Jenia kaget. Tidak ada orang yang datang dari balik pintu itu, hanya sepasang tangan yang menaruh nampan berisi makanan dan minuman di belakang pintu, kemudian pintu terkunci kembali.
Seperti seorang tahanan di balik jeruji besi, kurang lebih hal itu yang dirasakan Jenia saat ini. Bahkan, mereka seolah-olah tengah memberikan makan pada seekor macan sehingga mereka takut untuk menemui Jenia secara langsung.
“Siapa mereka? Mengapa mereka mengurungku di sini? Di mana Cherry?” Jenia tidak berhenti bertanya pada dirinya sendiri.
Matanya menatap pada makanan yang masih berada di belakang pintu. Ia mengambil napas panjang lalu mengembuskan dengan kasar dan membuang muka ke arah lain, merasa enggan untuk menyantap makanan itu.
“Aku tidak ingin makan! Bawa kembali makanan kalian!” pekik Jenia mengancam seolah-olah akan ada orang yang datang mendengarkan teriakannya kali ini.
Jenia kembali berselimut, berusaha untuk menahan rasa lapar yang sejatinya sudah membuat perutnya bergemuruh sejak tadi.
“Hei, aku tidak akan makan! Keluarkan aku dari sini!” Jenia terus terpekik.
Ia tidak peduli pada suara parau yang terdengar tegas di telinganya, yang ia pedulikan adalah sang ayah yang pasti dari semalam sudah menunggunya untuk pulang. Bisa saja ayahnya, Maheza, menunggunya dengan tangkai sapu yang siap untuk dipukulkan pada Jenia karena tidak pulang semalam tanpa memberikan kabar.
Pintu kamar tempat Jenia berada kembali terbuka, kali ini seorang wanita yang tampak renta datang dan membawakan makanan itu pada Jenia. Dari pakaian seragam yang ia kenakan, sudah jelas bahwa dia adalah asisten rumah tangga di vila itu.
“Anda siapa?” tanya Jenia dengan bibir manyun.
“Saya diperintahkan tuan muda untuk mengantarkan makanan ini kepada Nona. Nona harus makan, jika nona tidak makan, maka seluruh orang yang berada di vila saat ini juga tidak boleh makan!” tutur wanita tua itu dengan bahasa yang lugas dan santun.
Jenia menganga, peraturan aneh itu benar-benar tidak biasa terdengar di telinganya. Biasanya, Maheza selalu menghukum Jenia dan melarang Jenia untuk makan, tetapi karena kebaikan kakak tirinya, Jenia masih bisa mengisi perutnya yang kosong.
Namun, peraturan di vila itu sungguh berbeda, membuat Jenia yang berhati lembut merasa tidak tega jadinya. Jenia tidak ingin orang lain menderita karena dirinya.
“Makanlah walau sedikit, sejak pagi Nona tidak menyantap apapun!” ucapnya lagi dengan nada khawatir.
“Baiklah, akan aku lakukan, aku akan menyantap semua makanan ini karena aku tidak ingin kalian menjadi kelaparan, tapi …” Jenia terdiam sejenak, sedangkan wanita tua itu tampak menantikan apa yang akan Jenia ucapkan.
“Tapi, aku ingin kalian membiarkan aku keluar dari tempat ini, aku harus pulang!” rengek Jenia.
Wanita itu berbalik badan dan meninggalkan Jenia tanpa berkata sepatah katapun. Membuat Jenia merasa jengkel lalu menyantap makanannya dengan rasa kesal.
Penjagaan di depan kamar Jenia begitu ketat, ada tiga orang yang berdiri di depan pintu. Di anak tangga juga terdapat dua orang yang berdiri di sana. Di depan setiap pintu yang mengarah keluar dari vila itupun dijaga ketat oleh pria yang berseragam hitam dengan otot yang menyembul dari balik baju yang mereka kenakan.
“Kenapa mereka mengurungku di sini? Kesalahan apa yang telah aku lakukan? Apa Papa memiliki hutang sehingga mereka menyandera aku sampai papa melunasi hutangnya dengan menjualku?” Jenia tidak berhentinya bertanya-tanya.
Ia kembali ingat pada Cherry. Entah bagaimana nasib Cherry saat ini, apakah Cherry juga mengalami hal yang sama dengannya? Atau Cherry diperlakukan lebih parah dibandingkan dengannya?
Huh, Jenia mengembus napas kasar, ia tidak bisa membayangkan jika kemalangan dan penyekapan ini juga terjadi pada sahabatnya.
“Cherry pasti akan menderita, bahkan orang tua Cherry di kampung pasti akan sangat sedih apalagi orang tua Cherry tidak akan mampu menebusnya jika pencuri ini meminta uang tebusan,” pikir Jenia.
“Papa!” seketika Jenia teringat pada Maheza, sang papa yang telah berusia renta itu pasti akan terkena serangan jantung jika mengetahui keberadaan putrinya yang terkurung di sebuah tempat dengan pengawasan ketat seperti ini.
Jenia beranjak mendekati pintu. Ia tidak bisa berlama-lama berada di tempat itu. Ia harus keluar dari sana dan kembali pulang untuk menemui Maheza yang pasti marah karena menunggu kepulangannya.
“Tolong … lepaskan aku, biarkan aku pulang!” rengek Jenia menggedor-gedor pintunya meminta untuk dilepaskan dari kurungannya saat ini.
Tidak ada jawaban dari luar, tetapi tak lantas membuat Jenia menyerah karena keadaan itu, Jenia kembali terus menggedor pintu sembari merengek meminta untuk dibukakan.
Pintu itu terbuka, Jenia mundur sedikit ke belakang. Seorang pria berpostur tinggi tegap dengan mengenakan topeng di wajahnya datang menghampiri Jenia.
Kharismatik pria itu membuat Jenia terdiam kaget, terlihat jelas dari postur tubuhnya yang tinggi tegap. Jenia sama sekali tidak tahu siapa orang yang berada di balik topeng itu.
“Kamu pasti bos mereka, kamu pasti salah orang, aku bukan anak orang yang paling kaya, aku juga bukan anak yang dimanjakan orang tua, sehingga jika kamu meminta tebusan pada mereka, mereka pasti tidak akan memberikannya,” tutur Jenia menepiskan rasa takutnya.
Pria itu dapat memandang dan melihat Jenia dengan jelas dari balik topengnya. Gadis itu berwajah lugu, tetapi ia juga cukup pandai dalam berkata-kata. Pria bertopeng itu mengamati Jenia dari puncak kepala hingga ke ujung kaki.
Pria di hadapan Jenia saat ini adalah Marvin Hadijaya Sasena, seorang duda kaya raya pemilik usaha furniture terkenal di Indonesia. Dari matanya ia menunjukkan kemarahan pada Jenia yang selalu berisik meminta untuk dilepaskan.
“Aku mohon, Tuan. Lepaskan aku dari sini, aku harus kembali pulang dan bekerja! Lagi pula, keluargaku tidak memiliki uang untuk memberikan tebusan kepadamu,” rengek Jenia lagi dengan nada memelas dan memohon, menyatukan kedua telapak tangannya.
“Diam! hentikan rengekanmu itu!” suara itu terdengar tegas dan penuh kemarahan. Seketika, Jenia menutup mulutnya, merasa kaget dengan apa yang ia dengar barusan.
Setelah seharian menunggu untuk dibebaskan, kali ini Jenia hanya mendapatkan hardikan dari pria bertopeng itu.
Marvin berjalan selangkah demi selangkah mendekati Jenia, sedangkan Jenia melangkah mundur hingga tubuhnya terhenti di sebuah tembok yang beradu dengan punggungnya.
“Apakah mulutmu ini tidak bisa diam, hah?” tanyanya lagi dengan penuh emosi.
Jenia masih bungkam, ia terlalu takut untuk menjawab pertanyaan pria bertopeng itu. Orang yang sedang berada di dalam kemarahan bisa melakukan apapun kepadanya, Jenia masih belum siap jika ia harus meninggalkan Papanya dengan cara mati mengenaskan di tangan pria itu.
“Apa kamu tahu siapa dirimu itu?” tanyanya lagi dengan nada tegas, membuat jantung Jenia terasa ingin copot mendengarkannya.
“Aku Jenia!” celetuk Jenia.
“Kamu adalah milikku, aku sudah membelimu dengan harga yang cukup mahal, aku harap kamu tidak akan mengecewakanku! Maka, lakukan tugasmu dengan baik dan tutup mulutmu itu!” tegasnya lagi.
Bibir Jenia ternganga mendengarkan pengakuan pria yang sama sekali tidak pernah ia kenali itu.
*** Bersambung***
Jika kalian suka cerita ini, jangan lupa tambahkan ke rak kalian ya!
“Kamu adalah milikku!” suara itu kembali menggema di telinga Jenia. Jenia membulalangkan matanya, ia tidak mengerti apa maksud perkataannya. Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa dia membeli Jenia, sedangkan Jenia sendiri tidak pernah memberikan diri dan hidupnya kepada orang lain. “Kamu bohong, kamu mau uang ‘kan? Aku akan memberikan uang yang kamu mau, aku pasti akan memberikannya, tetapi izinkan aku untuk pulang. Aku harus pulang!” pinta Jenia. Pria itu menarik Jenia dan memelintir tangan Jenia kebelakang. Jenia merintih kesakitan. Ia mendekatkan wajahnya dekat dengan wajah gadis itu. “Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dari tempat ini sampai kamu memberikan anak untukku!” bisiknya dengan nada yang tegas. Jenia merintih kesakitan, tetapi ia masih dapat mendengarkan suara bisikan pria bertopeng itu. Jenia membuka matanya dengan lebar. Bagaimana bisa Jenia memberikan dia seorang anak sedangkan ia sama sekali tidak kenal dengan pria di hadapan
Di tempat lain, Cherry tengah menunggu kedatangan seseorang di dekat halte bus. Ia berdiri cukup lama sembari terus menatap pada layar ponselnya. Terik mentari yang memanas, semakin terasa membakar api semangat Cherry untuk membawa barang bawaannya pergi. Cherry sudah memesan sebuah tiket bus yang akan mengantarkan ia ke suatu tempat. “Jo!” Cherry memeluk pria bertubuh tinggi tegap yang baru saja turun dari mobil merahnya. Pria itu mengusap punggung Cherry. Seakan ia tidak merelakan Cherry untuk pergi dengan membawa beban banyak di dekatnya. “Cher, apa kamu yakin akan meninggalkan aku sendiri di sini?” pria bermata sayu nan teduh itu mempertanyakan kepergian Cherry kali ini. “Maafkan aku, Jo. Aku harus pergi, karena ayah dan ibuku saat ini sedang sakit, mereka memerlukan aku!” “Tapi, kamu pasti akan kembali, ‘kan, Cher, demi aku?” tanya Jonathan Alexandria yang merupakan kekasih Cherry. Dari mata yang teduh itu terlihat jelas, betapa i
Dahi Jenia mengerenyit, kepalanya masih terasa begitu sakit karena benturan keras yang disebabkan oleh pria bertopeng itu. Jenia menguatkan tubuhnya untuk duduk dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Menatap pada jendela, langit di luar sana sudah mulai gelap, hujanpun sudah mulai reda. Bahkan lampu kamar itu pun menyala begitu menyilaukan mata. Jenia sadar bahwa ia masih berada di tempat yang sama, di Vila di mana Jenia sendiri tidak tahu dengan jelas di mana posisi vila itu. “Ternyata aku tidak sedang bermimpi. Ini adalah kenyataan pahit yang harus aku telan, tapi, sampai kapan aku terkurung di sini?” tanya Jenia pada dirinya sendiri. Ia terus memikirkan cara untuk dapat keluar dari ruangan itu. Jenia memijat pelipisnya yang masih terasa sakit. Seakan tidak dapat menemukan cara karena begitu banyaknya pengawal di luar sana, Jenia kembali menangis, kali ini ia benar-benar merasa hidupnya akan berakhir begitu saja di tempat yang sangat asing bagi
“Tanda tangani kontrak ini, atau kamu akan menyesal!” geram pria itu mencekik Jenia penuh amarah. “Tidak! Aku tidak akan menandatanganinya!” Jenia keras kepala, menolak untuk menandatangani surat kontrak yang ada di atas ranjangnya. “Huh, ternyata kamu memanglah gadis yang amat keras kepala. Kamu terlalu egois, sehingga kamu tidak memikirkan keluargamu yang berada di Jakarta akan hidup menderita karenamu!” Jenia membulatkan matanya mendengarkan ucapan pria itu yang merembet kepada keluarganya. Mungkinkah dia mengenal keluarga Jenia? ataukah ini hanya sekadar ancama belaka? “Kamu tidak kenal siapa keluargaku!” ucap Jenia dengan bangga dengan suaranya yang ia paksakan. Cekikan itu semakin kuat membuat Jenia merasa kesulitan untuk bernapas. Jenia merasa suaranya tercekat. “Pikirkanlah baik-baik, jika kamu tidak ingin tanda tangani perjanjian ini, maka bersiaplah mengucapkan selamat tinggal kepada ayah tercintamu, aku bisa membuatnya mati
Jenia sudah memikirkan dengan matang cara untuk keluar dari vila itu. Ia tidak akan peduli dengan hasil yang akan ia capai. Namun, Jenia percaya diri, bahwa ia bisa terbebas dari genggaman pria bertopeng itu meskipun ia harus mempertaruhkan nyawanya. “Aku pasti bisa menjalankan rencanaku ini,” ucapnya yakin meskipun ada sedikit kegetiran di dalam hatinya. Jenia tersenyum memandang pada langit yang mulai kelam. Seharian ini pria bertopeng itu tidak mendatanginya, membuat ia merasa sedikit lega dan dapat memulihkan kesehatannya setelah kemarin ia harus menahan rasa sakit yang diberikan oleh pria kejam itu. Jenia menatap vas bunga berbahan kaca yang ada di atas lemari kayu dekat kamar mandi. Jenia mengelus vas bunga itu dengan senyum penuh harapan. “Vas bunga yang sangat cantik, aku harap kamu sangat berguna di dalam kehidupanku ini!” tukas Jenia tidak luput pandangannya dari memandangi vas bunga dan mengelus benda yang ada di hadapannya itu.
Jenia mengandalkan segala kepandaiannya kali ini. Ia tidak bisa terus berlari sedangkan para pengawal itu terus saja mengejarnya, lagi pula, Jenia tidak tahu jalan mana yang harus ia telusuri agar terbebas dari tempat gelap dan dipenuhi pepohonan itu. Di hadapan Jenia ada sebuah pohon yang menjulang tinggi dan begitu banyak dahan di pohon yang bisa Jenia andalkan kali ini. Jenia tersenyum senang, seakan kepintarannya memberikan keberuntungan padanya. Ia tidak peduli dengan kemungkinan-kemungkinan binatang yang ada di atas pohon itu. Jenia berusaha untuk memanjat pohon itu setingginya, hingga para pengawal yang terus saja mengejarnya tidak dapat menemukan keberadaannya. Dari atas pohon, Jenia bisa mendengarkan suara para pengawal yang masih mengejarnya dan mencari-cari keberadaannya. Ia meneguk salivanya ketika seokor ular putih berada di dekatnya. Ia berusaha untuk tetap diam dan tenang, saat ular pohon menjulur melewati tubuhnya. Rasa
“Apa maksud ucapanmu itu?” tanya Jenia dengan nada yang mulai meninggi. Jonathan meneguk salivanya, jakunnya turun naik mendengarkan suara Jenia yang bernada tinggi dan memekakan telinganya. Sepertinya kali ini ia telah salah dalam berkata sehingga memancing kemarahan gadis yang tengah terpuruk di belakangnya saat ini. “Maaf, aku hanya bercanda saja, aku tidak bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya!” Jonathan berusaha untuk meyakinkan Jenia dengan menggeleng-gelengkan kepala, menunjukkan bahwa ia adalah pria yang baik-baik. “Kenapa kalian para pria selalu saja seenaknya dalam bicara? Bukankah kamu tahu apa yang kamu katakan barusan itu adalah salah satu pelecehan terhadap wanita?” “Tolong, jangan berpikir seperti itu tentangku, aku sungguh-sungguh, sama sekali tidak bermaksud seperti itu, aku hanya bercanda saja,” gagap Jonathan. “Dalam situasi seperti ini, kamu masih bisa membuat guyonan kepadaku?” “Baiklah, aku minta maaf! Aku menga
Marvin tengah dirawat oleh seorang Dokter karena luka akibat vas bunga itu begitu dalam. Sedangkan Ferdinand mondar-mandir di luar ruangan menantikan Dokter keluar dari dalam dan memberikan kabar padanya. “Dasar bodoh! Kenapa kalian bisa melepaskan gadis itu begitu begitu saja!” berang Marvin pada salah seorang pengawal yang bertugas untuk menjaga Jenia. Tangan Ferdinand tidak hentinya menampar dan memukuli wajah pria di hadapannya itu, dengan kekesalan yang mendalam dan amarah yang memuncak. “Aku tidak mau tahu, sekarang kalian cari gadis itu sampai dapat dan pastikan kalian membawanya kembali ke hadapanku!” tegas Ferdinand. Pengawal itu pergi setelah mendapatkan perintah dari Ferdinand. Ferdinand begitu merasa kesal. Bagaimana tidak, ia merasa takut jika saja Marvin bangun dan mempertanyakan keberadaan gadis itu. Marvin pasti akan marah besar padanya dan membatalkan semua kerja sama yang sudah ada di depan mata karena gadis itu. Ferdin
Jenia menyentak tubuh Jonathan ke dinding. Jonathan terpaku dengan sikap yang ditunjukkan Jenia kepadanya. Ia tidak menyangka gadis itu begitu kuat dan terpancar aura kemarahan darinya“Apa rahasia yang kamu ketahui tentang Cherry?” tanya Jenia lagi dengan nada memaksa.“Rahasia apa? Aku tidak tahu apa-apa,” sahut Jonathan kaget dengan sikap Jenia yang tiba-tiba bersikeras ingin mengetahui sesuatu darinya.“Ah, aku benar-benar merasa gila sekarang. Bagaimana mungkin aku berada di sini, sedangkan aku tidak tahu di mana keberadaan Cherry saat ini,” keluh Jenia.“Je, aku benar-benar bingung, sebenarnya apa hubunganmu dengan Cherry? Maksudku, saat itu kamu enggan untuk menjawab pertanyaanku yang menanyakan hubungan antara kamu dengan Cherry, tetapi sekarang kamu yang ingin membahas ini,”sahut Jonathan.Jenia membuka matanya dengan lebar. Apa yang dikatakan Jonathan memang benar. Selama ini Jenia ber
Pintu terbuka lebar, begitupun dengan netra hitam pekat yang berdiri di hadapan Jenia saat ini. Matanya tidak berkedip sedetikpun melihat keberadaan Jenia di hadapannya saat ini.“Siapa ya?” tanya Jenia lagi.“Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya pria itu segera masuk ke dalam rumah meskipun Jenia belum memberikan ia aba-aba untuk masuk.“Tunggu dulu, kamu siapa?” tanya Jenia kemudian ia menutup pintu.“Kamu pasti sudah lupa padaku, tetapi aku masih ingat dengan jelas siapa kamu,” ujarnya duduk di atas sofa dengan kaki bersilang.“Hmm ….” Jenia berusaha mengingat kembali sosok yang ada di hadapannya saat ini. Ingatan Jenia sangatlah buruk, ia tidak bisa mengingat sosok yang baru sekali ia temui.“Hai, Dave!” sapa Jonathan yang baru saja keluar dari dapur dengan apron yang masih melekat di tubuhnya.“Hai, Jo. Aku tidak sedang mengganggu kalian berdua k
Jenia berusaha untuk menghindari sosok pria yang terus melangkah mendekatinya. Semakin dekat, membuat Jenia dapat melihat dengan jelas sosok pria bertopeng di hadapannya saat ini. Dua bulan sudah berlalu. Namun, dalam tempo yang singkat itu masih belum bisa membuat Jenia lupa pada sosok pria bertopeng di hadapannya saat ini. Pria angkuh yang selalu memperlakukannya secara kasar selama dua hari berada di sebuah Vila yang Jenia sendiri tidak ingat dengan pasti di mana Vila itu berada. Pria yang selalu menyodorkan surat kontrak agar Jenia bersedia hamil dan melahirkan anak untuknya, tetapi Jenia tidak memiliki hak atas anak yang dikandungnya, dialah pria itu. “Mr.M!” risik Jenia terus berjalan mundur sedangkan pria itu semakin melangkah cepat mendekati Jenia. “Kamu masih ingat padaku gadis nakal?” suara itu menggelegar di telinga Jenia, membuat bulu remang Jenia bergidik merinding mendengarkannya. Suara itu begitu menakutkan di telinga Jen
saJenia menyeka air matanya. Penuturan sang kakak membuat dirinya terasa semakin lemah. Hati siapa yang tidak merasa sedih dengan pertanyaan yang ia sodorkan? Jenia beranjak, membelakangi Erlina yang masih duduk menantikan jawabannya. Ia berniat untuk meninggalkan Erlina tanpa memberikan jawaban, tetapi Jenia mengurungkan niatnya. Jenia kembali duduk, menghadap pada kakak yang selama ini selalu ia anggap baik, tetapi sejak saat ini, Jenia merasa ragu dengan sikap yang ia tunjukkan saat ini. “Kak, apa kakak bukan seorang wanita? Kenapa kakak mempertanyakan hal ini kepadaku?” tanya Jenia. Kali ini, gentian Erlina yang terdiam mendengarkan pertanyaan Jenia. Tidak ada kegentaran sama sekali di wajah Jenia. “Bukankah kakak sendiri tahu apa yang benar dan apa yang salah di dunia ini? Selama ini aku selalu kagum pada kakak yang rajin mengikuti kegiatan keagamaan, bahkan dari yang aku lihat, setiap malam kakak selalu membaca kitab,” tutur Jenia.
Jenia kembali mengemasi barang-barangnya dan bersiap-siap untuk pergi meninggalkan tempatnya saat ini. Jonathan hanya bisa memandang tanpa bisa berkata apa-apa lagi.Bukan karena Jonathan tidak berusaha untuk menahan Jenia untuk tetap berada di tempatnya sementara waktu, tetapi Jenia terus bersikeras untuk mencari tempat tinggal lain.“Je, jika kamu bersedia, kamu bisa tinggal di sini,” ucap Jonathan mengulang ucapan yang sudah pernah ia katakan sebelumnya.“Jonathan, bagaimana bisa seorang wanita dan pria yang belum menikah tinggal bersama? Kita ini berada di sebuah Negara yang taat akan hokum,” Jenia beralasan.“Ya, aku tahu, tetapi jika kamu mau untuk tinggal di sini, aku bisa tinggal di tempat yang lain,” ucap Jonathan berusaha untuk membuat Jenia mengerti.“Bagaimana bisa aku tinggal di rumah ini, sedangkan pemiliknya harus terusir karena aku?” tutur Jenia lagi.Bagaimanapun Jonathan sudah
“Apa kita harus ke rumah sakit?” tanya Jonathan bersiap untuk melajukan kendaraannya.“Seharusnya aku yang mengatakan hal itu kepadamu, kamu terluka dan wajahmu juga memar!” ucap Jenia menunduk merasa bersalah karena telah menjadi penyebab luka di wajah Jonathan.“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku, karena aku begitu khawatir melihat kamu jatuh tersungkur karena pria banci itu,” geram Jonathan mengingat kejadian beberapa menit lalu.“Aku tidak apa-apa, hanya merasa sakit sedikit saja! Sebaiknya kita ke rumah sakit untuk mengobati lukamu ini,” ucap Jenia.“Tidak, aku tidak akan ke rumah sakit hanya karena luka kecil ini.” Jonathan bersikeras untuk tidak ke rumah sakit, “lama sekali temanmu datang membawakan barang-barangmu,”sambung Jonathan.Jenia hanya diam tidak menjawab, karena Jenia sendiri tidak tahu kenapa Dion begitu lama membawakan koper miliknya. Tidak lama mereka men
Seperti biasanya, di dapur toko kue itu, Jenia selalu disandingkan dengan Dion dalam bekerja karena mereka sama-sama juru masak di sana.Dion selalu memberikan cerita-cerita kocak di sela kerjanya karena ia menganggap hal lucu akan membuat pekerjaan terasa ringan dan lebih santai, karena setiap harinya mereka selalu berkelibut dengan tepung dan adonan kue, sehingga akan sangat jarang berjumpa dengan orang lain selama mereka berada di dapur.“Je, kamu tahu, ternyata aku salah, aku pikir dia adalah seorang wanita karena memiliki rambut yang panjang dan indah, tetapi ternyata dia adalah seorang pria,” kekeh Dion sejadinya mengingat ceritanya yang sempat terjeda.Selama Dion menceritakan kisah-kisah kocaknya, Jenia hanya tersenyum simpul dan tidak ikut tertawa. Jenia tidak ingin Lila kembali salah paham jika melihatnya tertawa bersama dengan Dion, pria yang disukai Lila.“Dion, sudahlah jangan bercerita lagi, aku takut jika Bos Justin datang
Mata Jenia seakan sulit untuk berkedip, ia merasa lebih nyaman memandang sesuatu dengan focus, meskipun Dion, rekan satu kerja dengannya tahu bahwa saat ini Jenia tidak hanya sekadar memandang ke arah langit yang indah akan bintang-bintang berkilauan di angkasa, tetapi Jenia sedang melamun.“Je, ada apa denganmu? Sedari tadi kamu hanya melamun saja, bahkan kamu tidak menyantap makan malammu ini.” Kehadiran Dion mengejutkan Jenia yang melamun.“Eh, Dion, kamu bilang apa tadi? Aku tidak mendengarkannya, maafkan aku!” pinta Jenia.“Je, ada apa? Sejak kamu datang, aku perhatikan kamu seperti bukan dirimu saja. Ragamu memang berada di sini, tetapi pikiran dan hatimu seperti berada di tempat lain. Apa kamu sedang patah hati?” terka Dion.“Tidak, Dion, Aku tidak apa-apa. Aku juga sedang tidak patah hati, toh selama ini juga aku tidak pernah jatuh cinta,” sahut Jenia berusaha untuk menunjukkan senyuman terbaiknya.
Marvin masih sibuk memutar-mutar pena yang ada di tangannya. Ia masih menunggu kabar dari anak buah yang ia kerahkan untuk mencari keberadaan Jenia. Sudah dua bulan, Marvin tidak lagi mendengarkan kabar tentang Jenia, bahkan ia juga sudah meminta Ferdinand menghubungi Cherry.“Mereka berdua pasti sudah bersekongkol untuk mengelabui kita,” ucap Marvin kepada Ferdinand yang masih duduk kaku di atas sofa di dalam ruangan kerja itu.“Aku tidak yakin jika mereka berdua bersekongkol untuk mengelabui kita, karena Cherry sangat membenci gadis itu,”“Apa kamu yakin? Para wanita itu sangat mudah untuk membohongi orang lain dengan mimic wajah mereka,” ucap Marvin.“Ya, aku sangat yakin. Aku rasa, gadis itu masih berada di Bandung, Vin!”“Aku merasa yakin bahwa dia kembali ke Jakarta dan kembali pulang ke keluarganya,” ucap Marvin merasa yakin dengan apa yang terpikir di otaknya.“Itu dia