"Oh iya, Rashi kita belum cerita sama Mama," ucap Nadira sambil berjalan ke sofa melewatiku. Gadis kecil itu pun langsung duduk sambil menepuk wajahnya. "Iya, ya. Kita belum cerita sama Mama." Rashi menimpali dan menyusul Nadira duduk. Sedangkan aku ditinggalkan sembari menuntut jawaban. Dua anak ini semakin tumbuh dewasa semakin menggemaskan. "Ih kalian ini, Mama tanya. Om Tampan siapa?" tanyaku lagi kembali menghampiri mereka dan duduk di samping keduanya. "Kalian jangan asal dekat sama orang yang tak dikenal yah. Apalagi laki-laki dewasa seperti itu. Gak boleh. Kalau kalian di culik gimana? Mama gimana? Jangan asal kalian. Kalau kalian sembarangan kenal-kenal orang begitu, kalian gak bakal Mama izinin keluar rumah lagi tanpa pengawasan dari Mama! Paham!" tekanku karena takut terjadi sesuatu pada mereka. Sebab modus penculikan anak kadang ada saja. Belum lagi anak kecil pasti kalau dibaikin langsung luluh. "Ih Mama, kita gak boleh berburuk sangka sama orang. Om Tampan itu baik, b
Aku betul-betul terus kepikiran ucapan Luna tadi. Rasanya malu sekali dibilang seperti itu. Hampir tak mampu menjawab cibirannya. Ya allah, padahal bukan karena tidak ada yang mau denganku. Hanya saja aku yang menikmati kesendirianku bersama anak-anak. Aku merasa tak butuh laki-laki untuk menemani. Apa yang aku inginkan sudah terpenuhi. Aku juga sudah pernah menikah. Hidupku bahagia. Tidak pula harus merasakan sakit hati, apalagi bertengkar dengan suami seperti dulu. Intinya, dalam kesendirian ini aku benar-benar menikmati hidupku. Aku bisa pergi kemana aku mau, belanja bebas, intinya fokus pada kebahagiaan diri dan anak-anak. Tidak ada yang mengengkang aku ingin seperti apa. Daripada memiliki suami justru membuat hidupku menjadi rumit. Aku tidak siap itu. Dengan kemewahan dan kecukupuan yang aku punya sekarang ini, benar-benar aku tidak menginginkan sebuah pernikahan lagi. Sebuah pernikahan yang pasti akan membuatku menjadi terikat oleh aturan seperti dulu. Iya kalau aku bisa dapat s
Tok… tok ….! Aku coba membuka mata secara perlahan saat beberapa kali mendengar suara ketukan pintu. Dengan rasa malas aku coba bangun dan berjalan untuk membuka pintu. Ternyata aku ketiduran. Kulirik jam tangan sudah pukul 19.00. Mungkin mereka sudah menunggu makan malam. Terlebih sedang ada tamu di rumahku. "Mbak Indah!" Terdengar suara ART-ku terus memanggil. "Iya, Wit ," jawabku menyahut. Trakt!Pintu terbuka. Wiwit langsung tersenyum menyapaku. "Makan malam sudah siap, Mbak. Semua menunggu di meja makan," ucapnya. Aku hanya mengangguk. Kuperhatikan pembantuku yang ini sedikit berbeda. Mungkin karena masih muda. Tapi tidak jugalah. Usianya sudah hampir menginjak 30 tahun, tapi dia belum menikah. Katanya masih ingin menyendiri menikmati masa muda. "Kamu panggil suster Dewi dan Susan ya. Kalian ikut makan malam bersama juga," titahku. Aku pun berjalan meninggalkan Wiwit dan langsung menuju meja makan. Sampai di meja makan, aku melihat Rashi nampak begitu dekat dengan Maya. Sek
POV LUNA"Iyalah. Itu harus, Mas. Apalagi kita kan terkenal orang berduit. Masa sih mau rayain ulang tahun Gebby seadanya malulah," balasku. Mas Reyhan mengangguk kemudian memejamkan matanya. Masih 2 bulan lagi sebenarnya ulang tahun Gebby yang ke 6 tahun. Tapi aku membicarakannya sekarang. Padahal, itu hanya alasan untuk berkilah saja. Sialan! Wajah janda sialan itu memenuhi isi kepalaku. Tak ada ketenangan sedikitpun. Terlebih kata-katanya. "Aku bahkan bisa membuatmu menjadi janda kalau aku mau! Ingat yah, kalian bisa menikmati apapun yang kalian inginkan saat ini, itu karena kebaikan hati kami. Saat usia Nadira 25 tahun, hati-hati kalian hidup susah lagi!" Kata-kata Indah itu benar-benar mampu membuat pikiranku tidak tenang. "Kenapa gak mati aja sih mereka itu!" lirihku mengumpat. "Siapa, Ma?" tanya Mas Reyhan. Aku menoleh ke arahnya sambil menahan kekesalan. "Kok Mas belum tidur?" balasku balik bertanya. "Ya Mama kaya gelisah gitu! Bikin Papa gak nyaman. Ada apa sih?" Wajah Mas
POV LUNAGak, gak mungkin kalau aku juga tertular virus itu. Ih gak mungkin. Mendadak aku merasa ngeri dan ketakutan. Ia siapa sih yang gak takut tertular penyakit seperti itu. Bukan hanya sakitnya saja. Tapi juga dipandang rendah oleh sebagian orang. Pasti mereka merasa jijik dengan tubuh ini. Tidak! Aku tidak mau terkena penyakit ini. Membayangkannya saja aku tak mampu apalagi kalau sampai terjadi pada diriku. Alif, sejak kapan kamu terkena penyakit itu? Apa ketika masih berhubungan denganku apa baru-baru ini? Jujur aku mulai penasaran dan timbul pertanyaan dalam benakku. Pertanyaan sejak kapan Alif mnegidap penyakit mengerikan itu. Menjijikan tepatnya untukku. Ah sial! Apa dia ini suka berganti-ganti pasangan? Setelah sekian lama aku baru sadar kalau Alif suami Maya itu Alif yang sama. Alif yang pernah berhubungan denganku. Bagaimana kalau aku sampai tertular? Apa yang harus aku katakan pada Mas Reyhan? Pada keluarganya nanti? Aku benar-benar tidak sanggup. Semua ini membuatku gil
POV MAYA"Jangan kamu pikirkan ucapan Luna, May," ucap Indah. Dari pulang mengantar Rashi dan Nadira sampai tiba di salah satu butik milik Indah, aku hanya terdiam. Kepikiran ucapan Luna. "Kamu bisa cerita saat kita sampai di ruanganku," ujarnya. Aku hanya mengangguk. Butiknya begitu besar. Bran branded terpampang di manapun. Ini bukan hanya menjual pakaian mahal, tapi juga tas dan sepatu. Rame juga pengunjung. Aku yakin, omsetnya pasti jutaan. Gila, satu butiknya pun sudah memperlihatkan kesuksesannya. Sedangkan dia memiliki kurang lebih hampir 30 butik yang juga tersebar di beberapa kota. Luar biasa. Ini sih bisa hidup tanpa laki-laki. Bahkan kalau ada laki-laki yang mendekatinya pun, dia harus seorang pengusaha dengan bisnis sampingan yang pastinya luar biasa. Kalau cuma laki-laki biasa, kurasa akan merasa minder untuk mendekatinya. Padahal dulu aku dan Mas Danang mengira dia itu bakal jadi gembel. Tapi malah sebaliknya. Kamilah yang jadi gembel."Maya, duduk. Kamu melamun saja dar
POV LUNAMataku membulat sempurna saat pandangan mataku bertemu dengan pandangan mata seseorang laki-laki yang membuatku keluar dari ruangan ini. Ruangan untuk melakukan tes HIV yang memuakan. Sialnya aku bertemu mereka pada saat aku baru saja keluar dari ruangan ini. "Luna," sapa Maya. Aku langsung bersikap seolah tidak terjadi apapun. "Ngapain kalian di sini? Mau periksa virus?" tanyaku. "Luna, bisa gak kamu sopan sedikit?" timpal Indah. "Lagian kamu juga ngapain di sini? Kamu sakit?" balas Indah bertanya. "Sakit apa kamu, Luna?" tanya Alif. "Ih aku sakit, gak dong ya! Aku sehat. Ini lagi tanya hasil lab Mama udah keluar belum! Aku mah bukan orang penyakitan kayak kalian apalagi seperti kamu sama,-" Aku tak melanjutkan ucapanku. Hanya saja ucapanku terhenti saat melihat Alif. Kebetulan Mama segera muncul, hingga aku pun langsung mengajak Mama pergi melewati mereka. Saat sudah menjauh dari mereka, aku pun langsung mengajak Mama untuk duduk dulu menenangkan pikiran yang masih berkec
POV LUNABenar kata Mama. Kenapa aku tidak kepikiran sampai situ. Hilang juga Indah dan kedua anaknya dari muka bumi ini, tidak akan ada yang peduli dan mencari keberadaan mereka. Bukankah kalau dia kenapa-kenapa juga supaya dapat diketahui harus ada orang yang melapor kehilangan dia. Menariknya lagi, tidak ada laki-laki sebagai pelindung. Aku tidak rela jika kebahagiaanku terusik Indah. Aku juga tidak rela anakmu mengambil alih yang jug hak anakku!"Ma, lenyapkan Indah. Tidak usah pikirkan uang. Cari pemb***h bayaran yang ahli. Yang bisa menghilangkan jejak. Aku percayakan ini pada Mama. Karena Mama yang lebih paham untuk hal ini," tuturku. Ma langsung mengangkat jempolnya sigap. "Siap," ucap Mama. "Kamu memang seharusnya lenyap dari muka bumi ini, Indah," lirihku. "Betul, supaya tidak ada lagi penghambat kebahagiaan kita," timpal Mama. ..Tin….!Aku menekan klakson mobil saat tiba di depan gerbang rumah. Satpam penjaga gerbang dengan cepat berlari membukakan gerbangnya. Sebab dia