POV LUNAGak, gak mungkin kalau aku juga tertular virus itu. Ih gak mungkin. Mendadak aku merasa ngeri dan ketakutan. Ia siapa sih yang gak takut tertular penyakit seperti itu. Bukan hanya sakitnya saja. Tapi juga dipandang rendah oleh sebagian orang. Pasti mereka merasa jijik dengan tubuh ini. Tidak! Aku tidak mau terkena penyakit ini. Membayangkannya saja aku tak mampu apalagi kalau sampai terjadi pada diriku. Alif, sejak kapan kamu terkena penyakit itu? Apa ketika masih berhubungan denganku apa baru-baru ini? Jujur aku mulai penasaran dan timbul pertanyaan dalam benakku. Pertanyaan sejak kapan Alif mnegidap penyakit mengerikan itu. Menjijikan tepatnya untukku. Ah sial! Apa dia ini suka berganti-ganti pasangan? Setelah sekian lama aku baru sadar kalau Alif suami Maya itu Alif yang sama. Alif yang pernah berhubungan denganku. Bagaimana kalau aku sampai tertular? Apa yang harus aku katakan pada Mas Reyhan? Pada keluarganya nanti? Aku benar-benar tidak sanggup. Semua ini membuatku gil
POV MAYA"Jangan kamu pikirkan ucapan Luna, May," ucap Indah. Dari pulang mengantar Rashi dan Nadira sampai tiba di salah satu butik milik Indah, aku hanya terdiam. Kepikiran ucapan Luna. "Kamu bisa cerita saat kita sampai di ruanganku," ujarnya. Aku hanya mengangguk. Butiknya begitu besar. Bran branded terpampang di manapun. Ini bukan hanya menjual pakaian mahal, tapi juga tas dan sepatu. Rame juga pengunjung. Aku yakin, omsetnya pasti jutaan. Gila, satu butiknya pun sudah memperlihatkan kesuksesannya. Sedangkan dia memiliki kurang lebih hampir 30 butik yang juga tersebar di beberapa kota. Luar biasa. Ini sih bisa hidup tanpa laki-laki. Bahkan kalau ada laki-laki yang mendekatinya pun, dia harus seorang pengusaha dengan bisnis sampingan yang pastinya luar biasa. Kalau cuma laki-laki biasa, kurasa akan merasa minder untuk mendekatinya. Padahal dulu aku dan Mas Danang mengira dia itu bakal jadi gembel. Tapi malah sebaliknya. Kamilah yang jadi gembel."Maya, duduk. Kamu melamun saja dar
POV LUNAMataku membulat sempurna saat pandangan mataku bertemu dengan pandangan mata seseorang laki-laki yang membuatku keluar dari ruangan ini. Ruangan untuk melakukan tes HIV yang memuakan. Sialnya aku bertemu mereka pada saat aku baru saja keluar dari ruangan ini. "Luna," sapa Maya. Aku langsung bersikap seolah tidak terjadi apapun. "Ngapain kalian di sini? Mau periksa virus?" tanyaku. "Luna, bisa gak kamu sopan sedikit?" timpal Indah. "Lagian kamu juga ngapain di sini? Kamu sakit?" balas Indah bertanya. "Sakit apa kamu, Luna?" tanya Alif. "Ih aku sakit, gak dong ya! Aku sehat. Ini lagi tanya hasil lab Mama udah keluar belum! Aku mah bukan orang penyakitan kayak kalian apalagi seperti kamu sama,-" Aku tak melanjutkan ucapanku. Hanya saja ucapanku terhenti saat melihat Alif. Kebetulan Mama segera muncul, hingga aku pun langsung mengajak Mama pergi melewati mereka. Saat sudah menjauh dari mereka, aku pun langsung mengajak Mama untuk duduk dulu menenangkan pikiran yang masih berkec
POV LUNABenar kata Mama. Kenapa aku tidak kepikiran sampai situ. Hilang juga Indah dan kedua anaknya dari muka bumi ini, tidak akan ada yang peduli dan mencari keberadaan mereka. Bukankah kalau dia kenapa-kenapa juga supaya dapat diketahui harus ada orang yang melapor kehilangan dia. Menariknya lagi, tidak ada laki-laki sebagai pelindung. Aku tidak rela jika kebahagiaanku terusik Indah. Aku juga tidak rela anakmu mengambil alih yang jug hak anakku!"Ma, lenyapkan Indah. Tidak usah pikirkan uang. Cari pemb***h bayaran yang ahli. Yang bisa menghilangkan jejak. Aku percayakan ini pada Mama. Karena Mama yang lebih paham untuk hal ini," tuturku. Ma langsung mengangkat jempolnya sigap. "Siap," ucap Mama. "Kamu memang seharusnya lenyap dari muka bumi ini, Indah," lirihku. "Betul, supaya tidak ada lagi penghambat kebahagiaan kita," timpal Mama. ..Tin….!Aku menekan klakson mobil saat tiba di depan gerbang rumah. Satpam penjaga gerbang dengan cepat berlari membukakan gerbangnya. Sebab dia
POV INDAH"Kan kita ada Mama, Dira. Mama kita berperan sebagai seorang Ayah juga. Jadi kita bisa ikut lomba dan ceritakan pada semua orang bahwa Ibu kita adalah Ayah kita. Justru Ayah kita itu luar biasa," ucap Rashi. Aku terenyuh. "Siapa yang ngajarin kamu ngomong seperti ini?" tanyaku pada Rashi. "Om Tampan, Mama," jawab Rashi. Aku semakin penasaran dengan lelaki itu. Aku yang mulai penasaran dengannya pun memberanikan diri untuk bertanya perihal kedatangan lelaki itu."Rashi, Om Tampan kalian itu jadi main ke rumah?" tanyaku sedikit gugup. Malu juga kalau harus mempertanyakan dia di depan anak-anak. Entah kenapa aku merasa seolah dekat dengannya meski tidak pernah bertemu. "Datang, Ma. Minggu besok katanya. Aku juga sudah kasih tahu alamat rumah kita pada Om Tampan," jawab Rashi. Nadira terdiam. "Dira sayang, kamu kenapa?" tanyaku. "Gak apa-apa, Ma," jawabnya. Aku tahu dia berbohong karena sebenarnya dia itu sedang memikirkan soal lomba itu. "Nadira, kamu jangan sedih sayang. N
Harta membuat orang butaPOV MAYA"Kita, May," jawab Mas Alif. Anak-anak masih kecil. Kalau Indah mati cepat, kita yang akan urus mereka." "Jangan bilang kita memiliki rencana untuk membunuh Indah, Mas. Dia itu sudah baik banget sama kita. Kualat nanti kita," timpalku. "Ya enggak, May. Itu kan aku cuma lagi ngehayal. Emang kamu pikir membunuh itu juga mudah apa? Berurusan dengan hukum. Ini aja kita udah hidup enak. Jadi bersyukur ajalah. Indah juga gak banyak cingcong. Kok kita mau bunuh dia," ucap Mas Alif. Aku kira dia bakal bikin rencana jahat. Harta Indah mampu membuat otak kami gesrek rupanya."Iya, Mas. Lagi kita tinggal baik-baik aja sama Indah. Dia ini gak punya keluarga. Asal kita bisa ambil hatinya juga apapun pasti keturutan. Cukup kita baik sama dia, kita bisa dianggap keluarga. Dia juga butuh keluarga kan Mas," tuturku. Mas Alif mengangguk. Bersyukur Indah itu orang baik. Mudah memaafkan dan tidak tegaan. Kalau bukan Indah mungkin kami malah sudah ditertawakan menjadi g
"Tamat riwayatmu bagaimana si maksudnya, Luna?!" Ana bertanya dengan raut wajah kesal dan nada suara yang ketus. Membuat Luna semakin takut. Sebab, Mamanya itu hanya mau mendengar kabar menyenangkan saja. Jika kabar yang buruk pasti langsung marah dan kesal. "Mas Reyhan, Ma. Mas Reyhan," jawab Luna sedikit gemetar. "Iya Reyhan kenapa? Ada apa sama Reyhan? Ngomong yang jelas jangan bikin Mama kesal!" semburnya. "Pembantu sialan itu mengalami pendarahan hebat, Ma. Karena golongan darah Mas Reyhan dan dia sama, Mas Reyhan mendonorkan darahnya. Ini gimana, Ma. Bisa ketahuan. Aku gak bisa bayangin gimana marahnya Mas Reyhan, Ma," ucap Luna sedikit frustasi. Sementara Ana tetap terlihat tenang sambil mencari ide untuk menyelamatkan anaknya. "Sudahlah, Lun. Pandai-pandai kamu berkilah lah. Gak mungkin kok ditinggalin sama Reyhan," ucap Ana meyakinkan Luna. Luna pun mulai berpikir keras. Mencari jawaban yang akan disampaikan kepada Reyhan untuk meyakinkannya. "Mama yakin banget. Kamu past
Pagi ini suasana rumah Indah sangat ramai. Semua orang sudah berkumpul di ruang keluarga. Maya, Alif, Indah, Nadira, Rashi dan ketiga orang yang bekerja dengan Indah. Rumah yang tadinya sepi, kini terasa ramai setelah kedatangan Alif dan Maya beberapa hari ini. "Gimana, anak-anak Mama sudah siap?" tanya Indah pada kedua anaknya. Rashi dan Nadira menjawab sudah siap secara bersamaan. "Mama sebentar ada yang ketinggalan," ucap Nadira."Apa"? tanya Indah. "Om tampan, Ma. Om tampan mau datang memberi dukungan untuk kami. Kemaren Om tampan bilang, jangan lupa telpon Om tampan takut kesiangan. Gitu, Ma," ujar Nadira. Indah mendadak gugup. Entah apa setiap kali anaknya menyebut nama Om Tampan wanita itu seolah merasakan hawa panas di dalam tubuhnya. Sedikit salah tingkah. "Emang, Om Tampan itu mau datang?" Lagi Indah bertanya untuk memastikan. "Iya, Ma. Kan udah Dira bilang, Om tampan mau datang. Makanya Dira mau telpon Om Tampan, Ma," jawab Nadira sembari membuang nafas. "Oh iya sayang,