Pagi ini suasana rumah Indah sangat ramai. Semua orang sudah berkumpul di ruang keluarga. Maya, Alif, Indah, Nadira, Rashi dan ketiga orang yang bekerja dengan Indah. Rumah yang tadinya sepi, kini terasa ramai setelah kedatangan Alif dan Maya beberapa hari ini. "Gimana, anak-anak Mama sudah siap?" tanya Indah pada kedua anaknya. Rashi dan Nadira menjawab sudah siap secara bersamaan. "Mama sebentar ada yang ketinggalan," ucap Nadira."Apa"? tanya Indah. "Om tampan, Ma. Om tampan mau datang memberi dukungan untuk kami. Kemaren Om tampan bilang, jangan lupa telpon Om tampan takut kesiangan. Gitu, Ma," ujar Nadira. Indah mendadak gugup. Entah apa setiap kali anaknya menyebut nama Om Tampan wanita itu seolah merasakan hawa panas di dalam tubuhnya. Sedikit salah tingkah. "Emang, Om Tampan itu mau datang?" Lagi Indah bertanya untuk memastikan. "Iya, Ma. Kan udah Dira bilang, Om tampan mau datang. Makanya Dira mau telpon Om Tampan, Ma," jawab Nadira sembari membuang nafas. "Oh iya sayang,
Rashi berlari menghampiri Nadira. Sementara lelaki itu terus berjalan ke arah Indah. Maya, Alif dan yang lainnya tampak bengong melihat kejadian itu. Termasuk Nadira dan Rashi. "Aku kira kita sampai duluan ke sekolah. Ternyata Om Tampan, Rashi," ucap Nadira cekikikan. "Iya, aku kira juga gitu. Tapi ngomong-ngomong kenapa om tampan kayak jalan menghampiri Mama gitu ya?" Nadira yang bingung pun melontarkan tanya pada kakaknya. "Aku gak tahu, kamu kok tanya aku? Coba yuk tanya tante Maya," ujar Rashi. "Nanti sajalah kita lebih seru tanya ke om tampan langsung," ujar Nadira. "Jangan-jangan Om tampan itu ayah kita?" celoteh Rashi. "Bisa jadi," balas Nadira. "Aku senang kalau beneran," lanjutnya lagi. "Aku juga sama." Rashi masih membalas. Setelah selesai berbicara, mereka pun kembali fokus pada Om tampan dan Mamanya. "Indah," sapa Edwan sambil mengusap bulir bening yang hampir jatuh dari sudut matanya. "Edwan, apa kabar?" balas Indah yang juga melakukan hal sama. Keduanya saling berjab
Indah hendak berlari ke atas panggung menghampiri Nadira. Nalurinya sebagai seorang ibu ingin sekali menenangkan sang anak dan memeluknya. Lalu, berucap bahwa semua akan baik-baik saja. "Ya allah, rasanya sakit sekali. Perih hati ini melihat kesedihan anakku di sana," lirih Indah sesenggukan."Ayahku adalah Ibuku." Indah menghapus air matanya dan fokus pada Nadira saat terdengar suara Nadira. Gadis kecil itu sudah nampak lebih tenang dari sebelumnya. "Maaf, aku tidak bisa melanjutkan ceritaku. Karena aku tidak pernah merasakan seperti apa kasih sayang dari sosok seorang Ayah. Sebab, Ayahku sudah tiada pada saat aku masih berada di dalam kandungan Ibukku. Aku hanya berpartisipasi saja dalam acara ini. Sekalian aku ingin semua orang tahu, kalau aku memiliki seorang ibu yang hebat. Seorang ibu yang berperan sebagai ayah. Seorang ibu yang selalu berjuang untuk kebahagiaanku dan Kakakku layaknya seorang Ayah. Meskipun aku tidak memiliki sosok Ayah, tapi aku tidak pernah kekurangan kasih sa
Menjalankan rencana 1"Luna, hari ini mereka akan melakukan aksinya," bisik Ana di telinga Luna. "Bagus, Ma. Memang sudah sepantasnya hama menjijikan itu segera lenyap dari muka bumi ini," jawab Luna berbisik. Takut sampai terdengar kedua mertuanya. "Semua akan berjalan mulus tanpa jejak apapun," balas Ana lagi membuat Luna ingin tahu maksud dari ucapan Mamanya itu. "Hilang tanpa jejak? Aku yakin mama mempersiapkan dengan penuh kematangan. Lenyaplah kau sialan!" umpat Luna. Kembali wanita itu dan Mamanya duduk dengan tenang. Menunggu pengumuman siapa yang akan menjadi pemenang dalam perlombaan itu. ***"Oke, sekarang tiba waktunya untuk mengumumkan siapa juara pertama dari lomba yang bertema seorang Ayah ini," ucap Pembawa acara. Gebby tersenyum puas karena dia sangat yakin dirinyalah yang memenangkan juara pertama perlombaan ini. Sifat arogan yang dimilikinya memang menurun dari Ibunya. "Nenek yakin gak kalau Gebby itu juara pertamanya?" Dengan PD, Gebby bertanya pada Lendia. "P
"Sebenarnya Indah itu gak positif HIV, Mas. Itu hanya karanganku saja. Aku yang menularkan virus itu. Aku pernah berhubungan dengan Alif, saat aku sakit hati sama kamu. Sekedar untuk mencari pelampiasan. Aku minta maaf, Mas. Ternyata Alif itu positif HIV. Jujur aku juga kaget dan aku baru tahu. Aku sudah cek tinggal menunggu hasil. Aku yakin hasilnya positif karena kamu pun sama." Pengakuan Luna membuat Reyhan terpukul. Laki-laki itu pun hanya diam sambil menahan emosinya. Mobil yang semula dijalankan menuju rumah sakit, berbelok arah ke rumah orang tuanya."Kok puter balik, Mas? Katanya kita mau ke rumah sakit?" tanya Luna takut-takut. "Mas gak marah kan? Tadi udah janji. Kalau aku jujur mas gak akan marah. Mas itu hanya masa lalu. Kamu harus bisa terima aku apa adanya, Mas," ucap Luna. Namun, Reyhan hanya terdiam. Laki-laki itu sama sekali tak menanggapi ucapan Luna dan memilih mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Lima belas menit kemudian, tibalah mobil Reyhan di depan ked
Trakt!Indah membuka pintu. Langkah kakinya sedikit mundur. "Mau apa kamu?" ucapnya saat seorang lelaki dengan tubuh besar tinggi seperti badan tukang pukul mendekatinya. Lelaki yang tak dikenal itu terus berjalan dengan tatapan menohok. Seperti singa yang tak sabar menerkam mangsanya. Dertttt ….Ponsel lelaki itu berdering. Kemudian sambil terus berjalan menghampiri Indah, ia mengangkat panggilan itu. "Baik!" jawab lelaki itu kemudian memutus sambungan ponselnya."Siapa kamu? Dan mau apa?" tanya Indah. Ia juga heran kenapa lelaki itu bisa masuk dengan mudah. Bagaimana mungkin satpam yang menjaga rumahnya bisa membukakan gerbang tanpa bertanya. "Tenang cantik aku hanya mau bersenang-senang denganmu," ucap lelaki itu terus mendekat. Dekat dan dekat. Tak lama kemudian dua lelaki menyusul masuk dengan beringasnya. Membuat Indah semakin beringsut dan takut. "Jangan mendekat! Seseorang tolong aku! Tolong!" Indah berteriak membuat ketiga laki-laki itu tertawa keras hingga suaranya mampu m
"Kami,,,," Ucapan Bos berhenti saat Black memotongnya. "Kita ambil saja uang ini dan biarkan mereka hidup, Bos." Black memberi saran pada bosnya. "Ada benarnya juga Black, Bos." Denim menimpali. "Jadi, kita lepaskan saja mereka dan ambil uang dari perempuan ini?" tanya Bos pada kedua anak buahnya. "Tepat, Bos!" jawab Denim dan Black bersamaan. "Mereka membayar kami 250 juta. Saya minta bayaran sepuluh kali lipat untuk nyawa kalian," Bos mendekat pada Indah."Tidak masalah uang segitu untuk saya," ucap Indah berdiri, kedua anaknya erat memeluk wanita itu di kanan kirinya. "Berikan dulu uang itu," pinta Bos. "Indah!" Reyhan yang datang tiba-tiba langsung masuk. Membuat Indah kaget. Reyhan langsung berjalan ke arah Indah dan kedua anaknya. "Jangan sakiti mereka!" ucap Reyhan. Indah masih terdiam. Masih tak menduga Reyhan datang, ia juga mendadak teringat saat pertama kali Reyhan membantunya ketika tengah malam saat hari hujan diusir oleh Danang dan Maya tanpa perasaan. Juga saat Da
Indah mengusap air matanya. Matanya sembab dan dirinya juga masih terisak. Sakit yang dia rasakan. Bayangan kesakitan terus berputar. "Mama!" teriak Nadira dan Rashi secara bersamaan. Tangis Indah kembali pecah saat kedua putrinya berlari cepat dan memeluknya dengan erat. Indah langsung bersimpuh dan menciumi kedua putrinya. "Kalian baik-baik saja? Jangan pernah takut ada Mama di sini," ucapnya masih terus menciumi wajah kedua putrinya secara bergantian. Reyhan dan Edwan yang melihat itu ikut merasakan kesedihan luar biasa.Reyhan ikut bersimpuh di samping Indah kemudian meraih Nadira ke pelukannya. Lelaki itu terus menciumi Nadira sambil mengucapkan kata Maaf. Indah yang memang memiliki hati lembut serta pemaaf itu seolah luluh. Baru kali ini Indah melihat air mata Reyhan tumpah. Edwan sendiri hanya mampu terdiam melihat pemandangan itu. Ada rasa cemburu dan tidak suka tapi lelaki itu hanya bisa terdiam memendamnya. "Nadira, Nadira kangen sama Papa?" tanya Reyhan. Nadira mengangguk