"Om Ricky memang butuh waktu sendiri. Pasti banyak penyesalan yang datang padanya. Kalian jangan sampai menambah beban. Aku kasihan, lho."Aku menoleh ke sumber suara. Rena berdiri di sana bersama Rosaline. Sejak kapan mereka terlihat dekat begitu sampai warna baju pun senada? Oh tidak, sepatu bahkan sangat mirip seperti saudara kembar saja.Sementara itu, Lucky hanya menundukkan kepalanya. Aku tidak bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan, mungkin kasihan juga melihat orang tuanya kini benar-benar sendirian. Tentu saja, ditinggal oleh kedua istri dalam waktu dekat, apalagi ada kenyataan yang terungkap di belakang.Jika aku adalah Om Ricky, mungkin menghabiskan waktu di depan samsat tinju demi meluapkan emosi adalah pilihan terbaik meskipun tahu bahwa healing paling indah adalah kembali kepada Tuhan. Bunda bukan orang salih yang hidup tanpa dosa, tetapi pernah mengingatkan bahwa 'alladziina aamanu watathmainnu quluubuhum bidzikrillah. Alaa bidzikrillahi tathmainnul qulub' di mana ay
"Kita perlu bicara!" Aku yang sedang menonton YouTu-be di ruang tamu terkejut ketika seseorang mencekal pergelangan tangan ini dan menyeretnya ke depan rumah. Sudah kuduga, dia adalah Rosaline."Ada apa?""Ada hal yang harus kita bahas.""Aku tidak mau!""Kenapa?""Ya, Rena sama Lucky bisa salah paham kalau ngeliat kita bicara empat mata begini. Lagi pula mau bahas apa? Kita sudah selesai, Ros!"Rosa mendengkus. Aku tahu dia akan sangat kesal mendapati penolakan dariku. Namun, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin masalah menjadi semakin rumit dengan bicara empat mata, terutama tentang sesuatu yang sudah seharusnya kita lupakan."Kamu berubah!" kata Rosaline dengan suara sedikit pelan dari biasanya."Kamu juga berubah.""Berubah gimana? Aku cinta sama kamu, Al, tetapi aku nggak bisa berbuat banyak mengingat status kita yang sudah tidak bisa bersama. Tembok di antara kita yang kamu bangun terlalu tinggi na
PoV Rosaline"Al, kita harus menyusul Om Akmal!" Aku mendengar Lucky mengatakan itu ketika kaki hampir saja melewati pintu utama. Entah apa yang sedang terjadi. Sejak tadi aku mematung di tempat bahkan mengabaikan sapaan orang tua dan oma Alvino karena rasa sakit yang mendera.Alvino menggeleng lesu. "Tidak perlu. Ayah tahu harus melakukan apa. Dia sudah berumur, tentu paham bahwa bertindak tanpa berpikir matang itu bukan sesuatu yang bisa dibenarkan."Semua menjadi hening. Tanpa rasa malu, aku kembali duduk agar mereka berdua tidak menjadi curiga. Menggenggam perih, membalut luka dengan sebuah harap bahwa setelah kesedihan ada kebahagiaan meskipun tidak tahu kapan waktunya.Entah sudah berapa kali rinai hujan membasahi bumiku. Menciptakan anak sungai yang indah pada kedua pipi. Di antara embusan napas ada rangkaian kata rindu yang terucap tanpa suara.Aku menyadari bahwa peluang untuk kami kembali sangat tipis karena jarak telah melampaui garis katulistiwa yang menjadi pemisah antara
"Ricky!"Akmal segera menarik tubuh adiknya yang berdiri di pinggir kolam dalam keadaan lesu, tampak sepertu putus asa. Lumayan berat, tetapi tetap dibawa ke gazebo di dekat sana. Mereka kini duduk saling berhadapan.Amarah yang membuncah mulai meredup ketika melihat keadaan si Pengirim Pesan tadi. Lelaki paruh baya itu menduga bahwa adiknya mencoba menemukan jawaban atau anggap saja sedang berusaha meyakinkan diri bahwa dia sama sekali tidak bersalah atas kematian kedua istri serta kebencian anak-anaknya.Dulu, di masa sehat dan kuat, Ricky selalu menduga bahwa dia bisa melakukan semuanya dengan uang, termasuk menaklukkan hati para wanita dan membuat anak-anaknya patuh. Kini, dia baru menyadari kesalahan-kesalahan yang memaksa dirinya tenggelam dalam kubang penyesalan."Kenapa? Kenapa datang ke sini dan bukan membiarkan aku tenggelam di kolam sendirian?""Bodoh! Makin tua makin bodoh!" Akmal mendorong tubuh lelaki malang itu sampai terjatuh ke belakang. Kini, matanya terpejam, tetapi
Sesampainya di ruang tamu, Ricky tertegun karena ada Zanna juga di sana. Dia baru saja tiba karena harus mengantar Rosaline pulang terlebih dahulu sambil berbincang hangat untuk mencairkan suasana karena tahu bahwa gadis berstatus janda itu terluka oleh perasaan yang dipaksa mati.Rena duduk di samping Alvino, sedangkan Lucky di kursi tunggal dekat jendela sebelah timur. Tatapannya dingin seakan-akan tidak bahagia dengan kedatangan sang adik juga melihat kebahagiaan papanya. Lelaki itu ... dia tahu bagaimana melihat keadaan tanpa harus menguliti kepala mereka untuk mengetahui isi pikirannya."Aku tidak tahu harus bilang apa." Ricky membuka pembicaraan, dia merasa kikuk, padahal sudah saling terbiasa."Bagaimana, kamu sudah bisa menerima takdir?" Zanna sendiri melempar pertanyaan demikian dengan tatapan tajam. Dia memang baru datang, tetapi tahu betul bahwa lelaki itu pasti memiliki dendam di hatinya untuk Zanna karena salah mengira.Dalang di balik kematian Nafiza? Zanna tersenyum kec
Waktu terus berlalu, Ricky sudah mulai mengukir senyuman dan kembali beraktivitas seperti biasa walaupun masih belum terlalu gesit dan terkadang duduk merenung memikirkan masa lalu. Tidak mudah untuk lepas dari rantai penyesalan yang selalu berusaha membelenggu begitu erat.Setelah mengunjungi makam kedua istrinya, Ricky juga sudah mulai menerima takdir. Sementara itu, dia tidak menyadari senyum penuh misteri dari sang anak. Ya, Jenni yang tidak tulus menyayangi orang tua karena merasa bahwa dirinya pun kerap kali diabaikan.Gadis berambut sebahu itu memutar bola mata malas setiap kali Ricky bergerak memunggunginya. Selama tinggal di luar kota, dia memang rutin dikirimi uang dalam jumlah banyak yang sangat bisa dia manfaatkan untuk perawatan dan belanja bulanan sesuka hati. Namun, dia kesal karena tidak pernah dikunjungi seolah-olah Jenni memang bukan anak kandung dan hanya butuh uang.Gadis itu memang pernah menolak ketika orang tuanya ingin berkunjung, tetapi saat itu dia memang ing
"Bun, gimana Jenni sama papanya? Mereka udah baikan apa gimana?' Alvino yang baru saja pulang langsung melempar pertanyaan karena sepupunya sama sekali tidak membalas pesan whats-app yang dikirimnya sejak beberapa jam lalu.Zanna menoleh sekilas. Dia sedang sibuk memasak lauk untuk makan malam nanti bersama keluarga tercinta. Dia juga mengundang Ricky dan kedua anaknya untuk menjalin silaturahmi."Bun ...?""Iya, sudah baikan. Tadi waktu Jenni ke sini, dia ketahuan berbohong sesuai dugaan Bunda. Akhirnya, dia mengaku juga kalau sebenarnya butuh kasih sayang.""Semoga saja mereka tidak lagi renggang. Baik Jenni, Lucky maupun papanya, aku harap semuanya baik-baik saja. Mereka cuma perlu menjaga komunikasi, menjadikan masalah kemarin sebagai pelajaran."Zanna mengangguk sebelum kembali melanjutkan aktivitas. Sementara itu, Alvino langsung ke kamar untuk membersihkan diri. Lelaki bertelinga satu yang selalu terlihat rapi dan tampan. Dia lelah dan berencana untuk tidak keluar rumah dalam b
"Kenapa tidak? Dia bilang tidak ada kesempatan untuk kembali. Lagi pula pernikahan kalian kemarin atas dasar dendam. Kamu tidak mungkin lupa bagaimana Mama harus tersiksa, padahal semua berawal dari jebakan Tante Haura. Kamu pikir aku tidak tahu bagaimana awalnya Mama menjadi orang ketiga? Mungkin aku tidak akan menyalahkan mereka kalau di hari pernikahanmu Alvino tidak mempermalukan keluarga kita," kata Xavier lagi.Rosaline tetap menunduk, dia tidak bisa menerima kenyataan yang selalu kakaknya gambarkan bagi Rosaline, dendam antara dua orang tua sudah berakhir. Alvino sendiri adalah orang baik, tentang kemarin sebaiknya dilupakan saja, begitu pikirnya.Cinta paling tulus adalah tetap mencintai walaupun tahu bahwa orang itu tidak bisa dimiliki. Rosaline percaya dia bisa menjadi orang tulus. Namun, bukankah bagus apabila menikah dengan pujaan hati? Pun ketika dipercaya bahwa kebahagiaan bisa datang darinya.Rosaline tidak mengerti kenapa sang kakak tiba-tiba menaruh dendam. Sejak keci