PoV XavierMalam terasa panjang. Kamar dengan cahaya remang menjadi saksi bisu bagaimana aku ketika kembali berlayar ke masa lalu. Air mata mengering, merasa tidak pantas menetes lagi.Gadis itu bernama Nura. Anggun, cantik, pendiam, murah senyum bahkan selalu berhasil menenangkan hati yang gundah atau marah. Setiap kami bertemu, dia pasti membawa seorang teman dengan alasan malu keluar rumah sendirian.Dia menjaga jarak. Kami mengobrol dengan jarak satu hingga dua meter. Tentu. Dia memakai jilbab. Kami sebenarnya tidak pacaran, hanya sebatas ingin menikah ketika tahu perasaan terbalaskan. Mengingat tentang dia membuat hati berbunga-bunga. Itu dulu, sekarang justru bagai disayat sembilu.Nura yang aku cintai telah berada di pelukan lelaki lain karena saat itu aku belum memiliki pekerjaan yang mungkin bisa menjadi jaminan kita akan hidup bahagia setelah pernikahan. Aku bisa saja mengangguk setuju, tetapi tidak ingin dia hidup menderita karena menikah dengan lelaki sepertiku. Tidak mung
“Menangis tidak menandakan bahwa kamu lemah. Sejak lahir, itu selalu menjadi tanda bahwa kamu masih hidup.”—Charlotte Bronte, Jane Eyre._______________________________Hari itu, dia tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi aku justru cuek padanya. Dia hanya memberi kabar bahwa dirinya baik-baik saja diperlakukan demikian dengan alasan memahami aku yang banyak menyimpan luka.Dia bisa memahami, sabar di setiap keadaan membuat aku tidak sungkan jika harus marah karena tahu bahwa dia akan berusaha bertahan sebisa mungkin agar aku tidak pergi. Suatu hari, aku kembali mengirim stiker jempol, padahal tahu hal tersebut bisa menyinggung perasaannya.Mungkin dia marah, sampai sepekan tidak pernah memberi kabar atau sekadar menyapa seperti yang dia lakukan dulu. Aku dibuat merindu. Rindu dengan obrolan random yang selalu berhasil membuat aku tertawa kecil. Rindu perhatiannya yang meminta aku mengurangi begadang, kopi dan juga rokok. Ke mana dia?Aku tidak tahu harus mencari ke mana. Kami masih
Selesai acara ulang tahun dadakan, aku dan Jenni diminta foto berdua karena gadis itu akan kembali ke Makassar besok lusa. Ada perasaan bahagia membara di dalam hati. Namun, entah bagaimana dengannya.Aku khawatir setelah ini dia ingin memberi kejelasan tentang hubungan kami yang harus diakhiri. Aku tidak mau, tetapi juga tidak bisa memaksanya bertahan, sadar bahwa selama kami menjalin hubungan, dia yang terlihat paling cinta, paling takut kehilangan, paling segalanya.Ketika aku sedih, dia selalu ada, mendengar setiap kisah yang diceritakan. Jenni terlalu baik dan pengertian dan entah mengapa aku malah mengukir luka di hatinya. Kejam? Mungkin. Namun, sungguh aku tidak bisa menerima.Berkaca ke masa lalu, aku adalah orang paling tulus yang kemudian disia-siakan. Sayangnya aku lupa bahwa antara Nura dan Jenni memiliki banyak perbedaan. Satu orang melukai, bukan berarti mereka semua adalah sama.Aku pernah mengirim foto jelek pada Jenni dan berkata, "Udahlah bodoh amat kalau kamu nggak
"Kamu mencintainya?" Rosaline melempar pertanyaan, menatap lekat padaku seolah-olah sedang mencari jawaban."Katakan!" desak Rena ikut geram, mungkin saja penasaran.Bagaimana aku bisa mengangguk atau mengiyakan? Setelah gadis itu pergi, aku semakin sadar bahwa kami memang tidak pantas bersama. Untuk cinta sebaiknya dipendam saja, terdapat banyak penghalang untuk kami melangkah pada jenjang pernikahan.Meskipun Jenni adalah anak dari istri kedua Om Ricky, tetapi dia bisa diterima oleh istri pertama papanya. Berbeda dengan aku, andai saja ada yang membahas soal nasab dan menanyakan tentangku dan Rosaline, kita berdua harus menjawab apa?Kalau saja jujur dan mengatakan bahwa aku da Rosaline bernasab pada ibu karena kami terlahir dari rahim seorang wanita tanpa ikatan pernikahan dengan ayah biologis, maka ada kemungkinan diri ini dicap sebagai anak haram, padahal semua anak yang terlahir ke dunia itu suci.Baik aku, Rosaline atau yang lain, semuanya sama saja. Jika bisa memilih, aku pun
"Dunia terlalu singkat untuk cintaku yang abadi."—Qais Al Majnun.___________________________Tidak berselang lama, daun pintu bernuansa putih itu terbuka lebar dan Jenni muncul dari baliknya. Dia melangkah panjang mendekat sang kekasih hati yang sampai kini masih sangat dia cintai. Setelah lama mendam rindu, apakah mungkin untuk berpaling ketika ada asa bersama?Gadis cantik itu mengukir senyum paling manis, merekah indah laksana bunga di musim semi. Pandangannya hangat mengalahkan bias mentari di ufuk timur kala pagi menyapa. Wajah merona seperti senja sore, memukau setiap mata yang memandang.Xavier terpaku menatap cintanya dalam. Sesekali berandai bahwa mereka tidak akan pernah berpisah. Keraguan terus tumbuh kemarin, tetapi hari ini justru dipatahkan. Xavier khawatir tidak bisa menemui Jenni di pulau seberang, ternyata dia dekat, hanya saja sedang menuntut ilmu di sana.Sementara Jenni, dia teringat akan pesan aksara yang dikirimnya pada Xavier dulu bahwa ketika mereka bertemu da
"Bagaimana menurut Bunda?"Pertanyaan itu keluar dari mulut Alvino ketika selesai makan malam dan berkumpul di ruang keluarga menikmati acara televisi. Sejak tadi dia menceritakan kejadian saat berada di rumah Rosaline, termasuk pertemuan Jenni dengan Xavier juga hubungan keduanya yang terjalin melalui perkenalan di sosial media."Bunda pernah muda juga, tentu tahu bagaimana perasaan mereka. Sebagai pemuda, kamu sendiri pasti paham, Al." Jawaban sang bunda kurang memuaskan.Alvino belum pernah menjalin hubungan demikian apalagi berpikir untuk saling memiliki selamanya. Dia adalah duda hasil pernikahan tanpa cinta karena balas dendam. Ah, pembahasan itu lagi, terdengar membosankan.Ketika Alvino kecil sudah mulai mengerti, dia mendengarkan cerita dari sang bunda yang semula dia anggap sebagai dongeng pengantar tidur. Lelaki bertelinga satu itu sama sekali tidak menduga bahwa dirinya akan ikut mengambil peran. Dendam selama berpuluh tahun, lukanya pun mungkin selalu sama.Merenung memik
PoV JenniMungkin memang benar bahwa kita tidak boleh memaksakan cinta karena sesuatu yang dipaksakan selalu berakhir menyakitkan. Aku Jenni, anak bungsu dari dua bersaudara. Terlahir dari keluarga ... sulit dijelaskan apalagi sampai menggambarkan dengan kata-kata indah.Tidak ada yang indah, semua hanya kesemuan, menyakiti hati kami anak-anaknya. Andai saja boleh membuka suara, sudah lama kuminta Mama Naf untuk berpisah dari papa karena melihat bagaimana lelaki bergelar suami dan ayah itu lebih condong pada istri muda.Ini bukan tentang siapa yang melahirkan karena pada hakikatnya Mama Naf mengambil banyak peran penting dalam hidup. Lupakan tentang keluarga, aku pun selalu kalah dalam masalah cinta dan semoga kali ini memenangkannya.Jatuh cinta pada sosok lelaki yang aku kenal dari grup Whats-App karena diajak kenalan, mengobrol singkat. Sebenarnya aku tidak cinta, tetapi dia mengutarakan rasa dan katanya sudah lama dipendam. Entah seberapa lama, tetapi bagi aku baru sebentar.Sebag
"Cinta itu bukan sebatas siapa yang paling berkorban, tetapi juga berjuang. Jika masih bisa diusahakan bersama, mengapa harus melangkah mundur?"—Bintu Hasan.________________________________Harapan itu menjelma menjadi sepasang sayap yang mengepak indah, melambung begitu tinggi saat kata-kata romansa lahir dari mulut-mulut mereka yang mengaku cinta, baik tulus ataupun tidak.Ketika sayap dipatahkan dengan satu atau banyak akibat, maka sulit untuk terbang sebelum luka kembali pulih. Sakit? Tentu saja. Seketika dunia terasa seperti penjara di mana anak manusia tidak lagi bisa melangkah ke mana pun dia ingin.Malam-malam meskipun dipenuhi dengan jutaan bintang serta cahaya dewi malam, tetap terlihat mendung. Tidak, mata tidak patut disalahkan, hati lah yang menjadi penyebabnya. Seseorang yang sedang dirundung duka, dia pasti menganggap bumi seolah-olah berhenti berputar.Tidak ada perbedaan besar antara kaum Adam dan Hawa. Mereka sejatinya sama. Akan tetapi, sebagian lain begitu mampu m