"Kamu mencintainya?" Rosaline melempar pertanyaan, menatap lekat padaku seolah-olah sedang mencari jawaban."Katakan!" desak Rena ikut geram, mungkin saja penasaran.Bagaimana aku bisa mengangguk atau mengiyakan? Setelah gadis itu pergi, aku semakin sadar bahwa kami memang tidak pantas bersama. Untuk cinta sebaiknya dipendam saja, terdapat banyak penghalang untuk kami melangkah pada jenjang pernikahan.Meskipun Jenni adalah anak dari istri kedua Om Ricky, tetapi dia bisa diterima oleh istri pertama papanya. Berbeda dengan aku, andai saja ada yang membahas soal nasab dan menanyakan tentangku dan Rosaline, kita berdua harus menjawab apa?Kalau saja jujur dan mengatakan bahwa aku da Rosaline bernasab pada ibu karena kami terlahir dari rahim seorang wanita tanpa ikatan pernikahan dengan ayah biologis, maka ada kemungkinan diri ini dicap sebagai anak haram, padahal semua anak yang terlahir ke dunia itu suci.Baik aku, Rosaline atau yang lain, semuanya sama saja. Jika bisa memilih, aku pun
"Dunia terlalu singkat untuk cintaku yang abadi."—Qais Al Majnun.___________________________Tidak berselang lama, daun pintu bernuansa putih itu terbuka lebar dan Jenni muncul dari baliknya. Dia melangkah panjang mendekat sang kekasih hati yang sampai kini masih sangat dia cintai. Setelah lama mendam rindu, apakah mungkin untuk berpaling ketika ada asa bersama?Gadis cantik itu mengukir senyum paling manis, merekah indah laksana bunga di musim semi. Pandangannya hangat mengalahkan bias mentari di ufuk timur kala pagi menyapa. Wajah merona seperti senja sore, memukau setiap mata yang memandang.Xavier terpaku menatap cintanya dalam. Sesekali berandai bahwa mereka tidak akan pernah berpisah. Keraguan terus tumbuh kemarin, tetapi hari ini justru dipatahkan. Xavier khawatir tidak bisa menemui Jenni di pulau seberang, ternyata dia dekat, hanya saja sedang menuntut ilmu di sana.Sementara Jenni, dia teringat akan pesan aksara yang dikirimnya pada Xavier dulu bahwa ketika mereka bertemu da
"Bagaimana menurut Bunda?"Pertanyaan itu keluar dari mulut Alvino ketika selesai makan malam dan berkumpul di ruang keluarga menikmati acara televisi. Sejak tadi dia menceritakan kejadian saat berada di rumah Rosaline, termasuk pertemuan Jenni dengan Xavier juga hubungan keduanya yang terjalin melalui perkenalan di sosial media."Bunda pernah muda juga, tentu tahu bagaimana perasaan mereka. Sebagai pemuda, kamu sendiri pasti paham, Al." Jawaban sang bunda kurang memuaskan.Alvino belum pernah menjalin hubungan demikian apalagi berpikir untuk saling memiliki selamanya. Dia adalah duda hasil pernikahan tanpa cinta karena balas dendam. Ah, pembahasan itu lagi, terdengar membosankan.Ketika Alvino kecil sudah mulai mengerti, dia mendengarkan cerita dari sang bunda yang semula dia anggap sebagai dongeng pengantar tidur. Lelaki bertelinga satu itu sama sekali tidak menduga bahwa dirinya akan ikut mengambil peran. Dendam selama berpuluh tahun, lukanya pun mungkin selalu sama.Merenung memik
PoV JenniMungkin memang benar bahwa kita tidak boleh memaksakan cinta karena sesuatu yang dipaksakan selalu berakhir menyakitkan. Aku Jenni, anak bungsu dari dua bersaudara. Terlahir dari keluarga ... sulit dijelaskan apalagi sampai menggambarkan dengan kata-kata indah.Tidak ada yang indah, semua hanya kesemuan, menyakiti hati kami anak-anaknya. Andai saja boleh membuka suara, sudah lama kuminta Mama Naf untuk berpisah dari papa karena melihat bagaimana lelaki bergelar suami dan ayah itu lebih condong pada istri muda.Ini bukan tentang siapa yang melahirkan karena pada hakikatnya Mama Naf mengambil banyak peran penting dalam hidup. Lupakan tentang keluarga, aku pun selalu kalah dalam masalah cinta dan semoga kali ini memenangkannya.Jatuh cinta pada sosok lelaki yang aku kenal dari grup Whats-App karena diajak kenalan, mengobrol singkat. Sebenarnya aku tidak cinta, tetapi dia mengutarakan rasa dan katanya sudah lama dipendam. Entah seberapa lama, tetapi bagi aku baru sebentar.Sebag
"Cinta itu bukan sebatas siapa yang paling berkorban, tetapi juga berjuang. Jika masih bisa diusahakan bersama, mengapa harus melangkah mundur?"—Bintu Hasan.________________________________Harapan itu menjelma menjadi sepasang sayap yang mengepak indah, melambung begitu tinggi saat kata-kata romansa lahir dari mulut-mulut mereka yang mengaku cinta, baik tulus ataupun tidak.Ketika sayap dipatahkan dengan satu atau banyak akibat, maka sulit untuk terbang sebelum luka kembali pulih. Sakit? Tentu saja. Seketika dunia terasa seperti penjara di mana anak manusia tidak lagi bisa melangkah ke mana pun dia ingin.Malam-malam meskipun dipenuhi dengan jutaan bintang serta cahaya dewi malam, tetap terlihat mendung. Tidak, mata tidak patut disalahkan, hati lah yang menjadi penyebabnya. Seseorang yang sedang dirundung duka, dia pasti menganggap bumi seolah-olah berhenti berputar.Tidak ada perbedaan besar antara kaum Adam dan Hawa. Mereka sejatinya sama. Akan tetapi, sebagian lain begitu mampu m
Hati atau raga, mana yang lebih penting?Kalimat itu terngiang-ngiang. Ya, tadi Xavier mengiriminya sebuah pesan, tepat ketika azan asar berkumandang merdu di semua tempat peribadatan umat muslim.Jam masih menunjuk angka lima sore dan Akmal tetap setia menunggu adiknya selesai mengurus pekerjaan yang katanya tinggal sedikit. Pembicaraan mereka tentang dua anak manusia yang saling mencintai harus terhenti karena ada panggilan dari orang penting dan Akmal bisa memahami hal demikian.Bagaimana jika ternyata Ricky menolak untuk memberi restu setelah tahu bahwa putrinya jatuh cinta pada seorang anak yang di dalam dirinya mengalir darah seorang Sandra? Siapa pun—termasuk Akmal sendiri—pasti memiliki rasa khawatir jika ternyata di kemudian hari terjadi hal-hal buruk.Sebut saja tentang pembalasan dendam. Dari wajah saja sudah tergambar dengan jelas bagaimana perangai Xavier. Garis wajah tegas menunjukkan bahwa prinsipnya tidak mudah digoyahkan, mungkin pengecualian jika dia sedang dilanda b
“Oh, Tuhan ... selamatkan aku dari kerinduan yang terus tumbuh.”—Jenni._______________________________Aku lelah. Rasanya terlalu pusing menjalani kehidupan setelah kejadian beberapa hari ini. Aku pikir, pulang ke rumah hanya untuk mengenang tentang Mama Naf dan Mama Lisa, berdamai dengan Papa dan juga Kak Lucky.Entah bagaimana akhir kisah cinta yang terjalin cukup lama ketika mereka justru berbalik menentang. Tidakkah cukup ketulusan Xavier—terlukis di kedua matanya—menjadi jawaban?Ini berat. Sepanjang perjalanan tadi, Kak Rena hanya sibuk meracau. Aku tidak tahu bagaimana akan memberi respon, selain kami belum terlalu dekat semenjak aku tinggal di Makassar, dia juga belum tentu benar-benar berpihak.Bercerita tentang dendam dari masa lalu, semoga Tuhan mengampuni dosa kami. Aku sudah sering mendengar cerita dari mereka ketika berkumpul di rumah. Tentu saja yang dibahas adalah hal menarik, tetapi terkadang Kak Alvino meminta saran pada Kak Lucky dan Kak Rena.Aku penasaran, pura-p
“Cinta dan benci adalah dua hal yang tidak bisa bersatu seperti minyak dan air dalam satu wadah. Mustahil ada cinta kalau berselimutkan benci, mustahil membenci kalau ada cinta sekalipun pujaan hati melakukan sebuah kesalahan. Jika benih cinta mulai tumbuh, maka rasa benci seketika memudar. Begitupun sebaliknya, cinta akan terkikis apabila benci sudah mulai mendominasi.”—Bintu Hasan.____________________________Waktu bergerak begitu lambat bagi Xavier karena belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang masih bersarang di otak. Pikiran terusik. Keinginannya untuk mempersunting Jenni semakin bulat agar tidak ada lagi alasan untuk berpisah. Sayang sekali, setitik keraguan tentang restu justru makin menyebar.Serupa virus yang menjangkiti sesuatu untuk merusaknya. Begitu juga prasangka buruk, merusak pola pikir. Xavier menghela napas panjang. Dia menyempatkan diri curhat pada Rosaline tadi dan juga ibu angkatnya. Mereka setuju untuk membuat jalinan cinta itu menyatu dengan kua