Salsa 28."Siapa mereka?" tanya Ken.Sekarang waktunya aku istirahat, tapi malah menghabiskan waktu bersama Ken di sebuah meja di luar. Katanya di dalam terlalu ramai dan bikin pandangan sesak.Aku diam. Seperti biasa, malas menjelaskan halku pada orang asing. Ya, Ken masih orang asing bagiku, meskipun kami kerap kali bertemu dan lumayan dekat beberapa hari ini sebagai teman."Kalau bukan ingat lagi rame, bakalan gue ha jar dia, ya minimal patah hitung lelaki itu! Tapi gue udah sering bikin onar sih, takutnya malah imbas ke lo!" Ken menikmati makan siangnya sambil nyerocos. "Misal Lo dipecat gitu, gue jadi ngerasa bersalah. Nyari kerjaan gak gampang, kan!"Aku menatapnya, cara ia makan, cara ia bicara dan perlahan aku tertawa mengamatinya."Lo kenapa? Kesambet?" sinisnya yang melihat aku tertawa karenanya."Ken … Ken …,""Kamu itu sebenarnya gak irit ngomong kan, cuma ya kek ada sesuatu yang kamu tahan dan biar terlihat dingin." Aku tertawa lagi.Ken diam. Bahkan ia juga menghentika
Salsa 29.Sejak Andre tahu di mana aku bekerja, ia kerap kali datang ke cafe entah untuk apa, yang pastinya itu sangat menggangguku. Apalagi setiap melihatnya selalu ada rasa takut masih trauma. Masih terbayang wajahnya yang menjijikkan hampir merusak harga diriku.Lalu, tanganku masih kerap terkepal saat mengingat bagaimana ia menggunting baju dan menciptakan cerita. Aku memang sedikit sembuh, karena pada akhirnya Ayah percaya padaku. Namun, tetap saja aku membenci dirinya dan semua perlakuannya."Kamu ada temannya di sana?" tanya Ayah saat kukatakan bahwa Andre dan Tiara kini sudah tahu tempatku bekerja.Kudengar helaan napas berat Ayah saat kuceritakan bagaimana Andre menyandung kakiku, membuatku malu dengan tatapan para pengunjung yang sedang ramai."Ada, Yah.""Tapi, Salsa takut, Yah. Sekarang hampir tiap hari dia datang ke cafe, tapi hanya mengamati, tak lagi macam-macam. Risih jadinya, benci aku sama Andre."Aku mengadu apa saja yang kualami, tanpa menutupi. Rasa takut, kesal,
Salsa 30.Pagi ini aku datang lebih awal, dengan membawa sekotak nasi goreng buatanku untuk Ken. Bukan apa, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih padanya.Dalam banyak waktu ia sering membantuku menghadapi Andre. Entah di cafe atau semalam saat aku hampir dipaksa olehnya untuk ikut bersama.Tak lupa aku mengadukan hal itu pada Ayah. Ayah marah besar, tapi ia pun bingung harus bagaimana lagi. Ia bilang, akan menemui Andre hari ini. Aku juga menanti apa reaksi Andre yang akan dikabarkan Ayah secepatnya.Dari jarak kejauhan aku bisa melihat Ken sedang menggelar lapaknya. Bukan lapak seperti tukang bakso, tapi ia menyiapkan kursi untuk duduk, canvas dan mencampurkan warna-warna cat."Hai, cerah sekali pagi pagi dengan warna itu." Aku menyapa seraya melihat warna di canvasnya.Hari ini ia terlihat sendiri, biasanya ada satu atau dua teman dengan profesi yang sama menemani.Ken hanya tersenyum datar.Aku mengamati canvas yang sudah dicampurkan warna biru dan hitam, entah apa yang akan di
Salsa 31.Setelah melihat Ken makan masakanku dengan lahap, setiap hari saat berangkat kerja aku selalu membawakannya sarapan pagi. Dia mengeluh, katanya tidak perlu membawa setiap hari karena ia bisa beli.Ken juga tidak mau merepotkanku. Padahal aku hanya memasak sekalian untuk diri sendiri, sisanya kubawakan untuknya."Gak repot, Ken! Masak pagi selalu nyisa, dan aku pulangnya selalu malam, udah gak enak lagi.""Terserah deh!" pasrahnya.Hari ini aku juga melakukan hal yang sama, tapi saat sampai di tempat Ken biasanya ngelapak, dia tak ada. Bahkan tak ada seorang pun di sana yang bisa ditanyai.Aku duduk di halte yang kosong itu, menunggu beberapa menit mungkin ia telat.Namun, sampai sepuluh menit, tak juga kelihatan batang hidungnya. Hanya lalu lalang pengendara dan orang lewat yang ada.Aku mencoba menghubunginya, siapa tahu dia belum bangun tidur atau ke mana. Panggilan pertama tak dijawab, aku mencoba memanggil ulang dan panggilan tersambung."Halo, Ken!" "Hmmm …," suaranya
Salsa 32.Aku tidak tahu bagaimana Ayah mengancam Andre, tapi sejak Ayah menelepon dan mengatakan mendatangi lelaki itu, Andre tak pernah datang lagi ke cafe menggangguku. Namun, aku tetap harus hati-hati karena tak ada yang tahu apa rencana Andre selanjutnya."Ayah bilang apa soal dia? Diapain memangnya?" tanya Yuli.Saat itu aku, Ken, dan Yuli duduk bertiga di waktu istirahat. Hanya mereka berdua yang tahu tentang masa laluku dan keluargaku. Orang-orang yang telah kuanggap dekat, dan layak untuk menceritakan sekeping kisah yang kualami."Ayah nampar dia," jawabku sesuai dengan yang Ayah katakan.Ayah bilang, ia mendatangi Andre saat Tiara tidak ada di rumah. Kalau Tiara ada, pasti ia akan membenci Ayah karena ia tipe yang mati-matian membela sang suami yang dianggap baik dan suci.Ayah memperingatkan Andre agar tidak menggangguku lagi, bahkan untuk tidak menampakkan diri di hadapanku.Andre terkejut melihat reaksi Ayah, yang dikiranya masih berpihak padanya, karena yang Andre tahu
Salsa 33.Aku pulang jam delapan malam seperti biasa diantar oleh Yuli. Rasa pegal masih menjalar di setiap sendi tubuhku. Aku lekas membersihkan diri, dan menatap lukisan yang masih tergeletak di tempat yang sama sejak kubeli beberapa hari."Lo beli karena kasihan, kan?" tanya Ken saat aku bertanya berapa harga lukisan yang kupegang hari itu."Enggak. Orang nyebelin seperti kamu gak patuh dikasihani," balasku.Sejak dari kejauhan mataku memandang, aku terpana melihat sebuah lukisan yang dipajang oleh Ken di pameran waktu itu.Lukisan alam bebas penuh bunga aneka warna, dan ada dua orang perempuan di lukisan itu. Seorang gadis yang tertidur di paha perempuan paruh baya, ibunya. Entahlah, aku hanya merasa tersentuh dengan lukisan itu. Terenyuh karena keinginan dan harapan dalam dada.Hatiku memang agak sensitif jika berkenaan dengan keluarga dan orangtua, karena aku terlalu mengharapkan mereka ada dalam hidupku. Aku ingin seperti gadis dalam lukisan itu yang bisa tidur di pangkuan ibu
Salsa 34.Aku bangun agak telat lagi ini. Kemarin setelah diantar oleh Yuli, sampai di rumah, aku banyak termenung. Menggalau memikirkan jawaban untuk Ken.Bahkan saat aku menutup mata malam hari, susah sekali rasanya untuk terpejam. Pikiranku masih mengembara pada Ken, pada kalimat-kalimatnya, pada ucapannya yang mengajakku menikah.Aku uring-uringan sampai satu kasur itu guling-guling tak bisa tidur. Entah kenapa ada yang terasa tak yakin dan mengganjal, atau memang di hatiku masih tertulis nama Reza, sementara lelaki itu sudah melupakan segalanya tentangku.Mungkin ini yang dikatakan belum bisa move on dari yang lama. Mungkin ini yang namanya putus, tapi masih cinta.Tadi malam, dalam cahaya remang di dalam kamar, aku mencoba buka kembali ponsel dan melihat Reza yang ternyata masih memblokir nomorku.Aku bingung, haruskah kukatakan pada Ayah tentang Ken?Seriuskah Ken dengan ucapannya."Gue bingung kalau disuruh buktiin serius apa enggak, tapi dari dalam sini …," Ken menunjuk dada
SALSA 35.Aku baru menyadari bahwa jauh-jauh hari Ken ternyata sedang menyiapkanku. Pergi ke salon dengan rutin, dan klinik kecantikan. Ia sedang menyiapkanku untuk menghadiri sebuah acara megah nan mewah.Pagi ini aku bersama Ken berangkat dari salah satu kecamatan di Bogor bertolak ke Jakarta. Sempat bingung ke mana ia mengajakku dengan setelan kami yang rapi dan terlihat beda dari yang biasanya.Saat aku bertanya, Ken bilang bahwa ia diundang ke pesta pernikahan salah satu pelanggan lukisannya, ia mengajakku biar ada temannya. Aku ikut saja mumpung hari libur, meskipun ada rasa malu berjalan dengannya di pesta yang mewah itu. Namun, ada juga rasa penasaran karena sebelumnya aku belum pernah menghadiri pesta pernikahan semegah ini.Aku dan Ken mulai memasuki area gedung mewah yang telah disulap dengan pernak-pernik khas pesta pernikahan para konglomerat.Sejenak aku menatap Ken, meyakinkan diri untuk masuk ke sana. Bukan apa, aku hanya takut akan menjadi pusat perhatian, entah kare