Setelah berdebat dengan Mita, Toni memutuskan untuk kembali ke kantor. Tidak ada gunakanya terus berseteru, karena bagaimana pun juga, pria itu memang salah. Dia menyadari bahwa dirinya terlalu fokus bekerja sehingga kurang memperhatikan anak dan istrinya.Namun saat di kantor, Toni tidak pernah bisa fokus untuk bekerja. Selalu terngiang kata-kata istrinya. Hingga sebelum pukul sepuluh malam, dia memutuskan untuk pulang ke rumah.“Senior mau kemana?” tanya Rian, heran melihat seniornya itu pergi tergesa-gesa.Toni tidak bisa tenang, dia terus terpikirkan dengan kotak termos es besar itu. Istrinya sengaja membawanya belanja dan mengisinya dengan bahan makanan. Lalu kemana uang 10 miliar itu?“Aku mau pulang!” jawab Toni.“Waahh.. benar-benar matahari terbit dari barat!” sindir Rian, meskipun Toni sudah tak terlihat.***Sampai di rumah, Toni tidak menemukan istrinya. Si kembar di tinggal berdua saja di rumah, karena memang mereka sudah besar dan sudah sering ditinggal di rumah.“Ayah..
Mita sangat gelisah. Dia tidak bisa berpikir untuk membuat bab baru di novelnya. Berkali-kali dia mengacak rambutnya sendiri hingga berantakan. Meski pun sudah di rumah sendirian, dia mereasa tidak tenang. Suaminya sudah pergi ke kantor, sedangkan anak-anaknya sudah pergi sekolah. Kini, dia bisa menghadap laptop dengan leluasa.“Arrgghh.. ini alasan kenapa sebagai penulis novel membutuhkan kasus dan konflik.” Dia bergumam seorang diri, lalu perlahan mulai menuliskan kata demi kata pada lembar bab novelnya.Kasus itu kita temui…. Tab tab tab… ia menghapusnya kembali. Mita mendesah berat. Sepertinya alur cerita yang dia buat semakin rumit padahal dia mengikuti alur aslinya dari kasus Elena.“Aku sangat ingin menghapus kehidupanku juga..” dia membingkai kepalanya yang terasa bedenyut.Mita teringat pada hari itu. Hari dimana dia menyaksikan Elena menyeret kotak termos lalu menukar uang tebusan yang berada di tong sampah stadion baseball.Wanita itu memberanikan diri untuk mencegat Elena,
Andre hanya tersenyum, "lalu bagaimana dengan dirimu?" Pria itu bukannya menjawab, malah bertanya kembali.Sejenak Jessica bergeming, menatap Andre si pria yang tak bisa ditebak, ia pun enggan menjawab."Manager restoran, selingkuhan, atau partnerku dalam mengincar uang 10 miliar, yang mana dirimu sebenarnya?" Andre mencibir dalam pertanyaannya."Mengenai ini, aku juga sedang menelitinya," jawab Jessica dengan seringaian licik di wajah cantiknya.Andre menyodorkan gelas anggur pada Jessica, lalu mereka bersulang.Pria berjas putih itu menenggak habis anggurnya, sedangkan Jessica tidak meminumnya setetes pun. Andre menatap heran pada wanita itu. Alisnya nyaris tertaut."Aku cuma takut hilang kendali lagi," ucap Jessica saat mengetahui wajah Andre yang tampak bingung."Aku sudah mengatakan, kali ini bukan hilang kendali, tapi kerja sama tim," sahut Andre menimpali."Hey.. kamu yang seperti ini, apakah istrimu mengetahuinya?" Jessica bertanya karena melihat perbedaan sikap Andre saat ber
POV BastianPonselku berbunyi saat aku dan Bang Rozi berjalan menuju keluar gang dari lokasi bar milik mantan guru privatnya Elena.Aku mendesah berat saat melihat nama Jessica yang mengirim pesan. Dia bilang, ingin mengajakku bertemu."Urusan kalian masih belum selesai juga? Hadeehh..." tanya Bang Rozi setelah mengintip pesan yang kubaca, lalu meninggalkanku seorang diri. Dia pulang naik taksi, sementara aku dengan mobilku langsung menuju lokasi yang dikirim oleh Jessica.Sampai di sebuah kafe, Jessica sudah menungguku. Dia sedang meminum secangkir kopi dingin, tersenyum manis lalu melambaikan tangan kearahku.Aku sedikit gugup. Kenapa tiba-tiba dia mengajakku bertemu. Apa jangan-jangan dia tahu kalau uang itu ada padaku? Aku harus tetap bersikap biasa.Wanita berbaju coklat itu menggeser kursi disebelahnya, sedangkan aku duduk di depannya saja. Membuat wajah cantik Jessica seketika merengut.Aku duduk menyamping, tidak menatapnya."Ada urusan apa mencariku?" tanyaku langsung dengan
Malam itu, Jessica menyuruhku untuk diam-diam masuk ke dalam rumah mengambil sesuatu barang yang bisa dijadikan bukti. Sementara Elena masih berada di luar."Gak peduli barang apa pun, ambil satu barang dari rumah itu!" Jessica menyeru."Kamu.. mau aku ambil barang apa dari sana?" tanyaku bingung."Barang apa saja yang bisa dijadikan bukti perselingkuhan kita, kamu adalah pasangan yang bertanggung jawab, ini sangat merugikan dalam proses perceraian. Wanita itu, berencana memberimu 10 miliar terlebih dahulu, lalu merebutnya lagi dari tanganmu." Aku terngiang ucapannya.Saat aku sibuk mencari sesuatu barang, foto pernikahanku dengan Elena yang terletak diatas nakas tak sengaja tersenggol olehku hingga pecah.Namun saat aku hendak membereskan pecahan itu, dibalik foto pernikahan kami, ternyata ada foto Elena bersama guru privat-nya itu. Sama persis seperti yang kami temukan di bar.Tiba-tiba ada seseorang datang, aku segera bersembunyi dibalik sofa. Kupikir itu Elena, ternyata Jessica."
Saat aku keluar dari rumah hendak pergi dari sana, dua pasangan tetangga sedang berada di depan pagar rumahku. Si istri seperti ketakutan, sedangkan suami mudanya terlihat panik.Tak lama kemudian, Jessica datang sambil menyeret tongkat golf sedangkan tangan kanannya memegang lengan kirinya sambil meringis kesakitan.Dengan wajah begitu marah, tanpa ragu Jessica melayangkan tongkat golf itu kearah Melisa."Jess.. apa yang kamu lakukan!" teriakku seraya mencegahnya.Lalu dengan cepat aku merebut tongkat itu dari tangannya."Hey, kamu ini kenapa?" Aku bertanya saat Jessica terus meringis memegang lengannya."Bibi tua ini tiba-tiba menyerangku," ucap Jessica dengan tatapan tajamnya pada Melisa."Apa?" Aku melayangkan tatapan penuh tanya pada wanita yang sejak tadi dipeluk oleh suami mudanya."Wanita itu memukul lenganku dengan benda ini.." ucap Jessica, wajahnya terangkat menunjuk pada tongkat golf yang kupegang."Apa?" Aku kembali kaget, mataku melotot pada Melisa."Benar begitu?" tanya
POV Elena.Kusambut pagi dengan perasaan tenang. Tak sabar menunggu nanti malam, dimana aku dan Bastian akan melakukan makan malam bersama sebelum kami bercerai.Kuraih benda pipih nan canggih diatas nakas, lalu ku tekan nomor Bang Rozi. Aku mendapat informasi bahwa pria itu mencari tahu tentang Kak Raffi bersama suamiku ke bar miliknya.“Halo, Ada masalah apa?” ucapnya menyambut teleponku dari seberang sana. Suaranya terdengar ramah.“Begini, aku mau tanya. Abang kan yang menyelidiki kak Raffi dan memberitahukan semua informasinya kepada suamiku, Bastian?”Pria itu diam sejenak lalu tertawa, “ah, gue gak paham maksud lo apa,” ujarnya cengengesan.“Ternyata benar kamu.. hahaha,” aku bersorak senang.Tak ada jawaban dari sana, mungkin Bang Rozi sedang bingung kenapa aku malah senang.“Jadi, A31 adalah nama toko lama, kalian pasti juga sudah tau bukan?”Masih tak ada jawaban, Bang Rozi mendadak diam.“Halooo..” aku mencoba memastikan bahwa Bang Rozi masih berada dalam sambungan telepon.
POV BastianJessica kembali ke kosan saat sore hari. Dia pulang lebih cepat hanya untuk memberikanku informasi. Wanita itu kembali memperdengarkan rekaman percakapan antara dirinya dengan Elena.Tanganku gemetar dengan sendirinya, mendengar rencana Elena, bagaimana cara dia nantinya membubuhkan racun itu pada makananku. Bagaimana cara dia berbicara dengan sangat bersemangat. Dia berniat memasak kari iga kesukaanku dan menambahkan ADTX di dalamnya. Kenapa aku harus menghadapi monster ini? apa tidak sebaiknya aku kabur saja?“Ah.. aku benar-benar hampir gila…” gumamku saat rekaman percakapan itu berakhir.“Wanita itu mengira aku sekomplotan dengannya. Aku rasa, dia yang kurang waspada, sekarang adalah waktu yang paling tepat dan bermanfaat bagi kita..” desis Jessica dengan seringaian licik di wajahnya.Wanita yang duduk menyilangkan kaki di depanku itu menyerahkan racun ADTX dalam botol kecil berukuran sebesar jari kelingkingku.“Lalu, bagaimana caraku agar membuatnya memakan ini? dia p
POV Bastian.“Aku pulang..” Elena masuk ke dalam toko ayam goreng sekaligus rumah yang selama ini Ibuku dan Kak Vira tinggali. Setelah kejadian itu, dan rumah kami terbakar, aku dan Elena pun menumpang tinggal disini.Hari ini jadwal terapi Elena, syaraf kirinya yang tertusuk mengakibat kaki kirinya lumpuh dan harus menjalani terapi agar bisa berjalan normal kembali. Dia selalu pergi ke rumah sakit sendiri, karena aku sibuk membantu Ibu dan Kak Vira mengurus toko. Istriku itu memang keras kepala, tidak mau merepotkan siapa pun dan merasa bisa menanganinya sendiri.“Kamu sudah berusaha keras, Elena. Bagaimana hasilnya hari ini?” tanya Kak Vira.“Kata dokter sudah mulai bisa berjalan tanpa kruk, apalagi jika aku rajin melakukan pengobatan beberapa hari lagi.” Elena menjawab sambil berjalan susah payah menggunakan kruk. Ibu dan Kak Vira yang sedang meracik bumbu untuk ayam goreng tersenyum senang.“Aku akan ikut membantu,” ujar Elena menghampiri.“Jangan!”“Tidak usah!”Bruk!Elena menab
Toni menyadari bahwa istrinya tengah melamun. Sejak tadi dia menatap bola baseball itu sambil memutar-mutarnya di tangan.“Novelmu itu…” Toni menggantung kalimatnya, membuat Mita mendongak. Pandangannya beralih dari bola kepada suaminya yang sedang berdiri memperhatikannya sambil bersandar di pilar dekat pintu masuk. “Cukup bagus..” sambung Toni sambil menyunggingkan senyum.Senyum yang selama ini tak pernah dilihat oleh Mita. Dia merindukannya sejak lama, dan hari ini suaminya berhasil membuatnya tersenyum juga atas pujiannya itu.Toni masih mempertahankan senyumnya, apalagi melihat Mita tersipu malu. Dia tulus, dia sadar selama ini dia terlalu keras pada Mita. Terlalu pelit dengan perhatian dan setitik senyum dari bibirnya.“Tapi.. bisakah kau mengubah nama penanya? Bukan ibu rumah tangga yang ingin menjadi penulis, tapi ibu rumah tangga yang telah menjadi penulis.”Mendengar itu, bibir Mita yang tadinya melengkung keatas membentuk senyum, mendadak melengkung ke bawah. Dia terharu
"Bukankah kamu pernah bilang, pacarmu membutuhkan uang untuk operasi?"Elena masih memaksa dan bersikeras atas kehendaknya. Sedangkan Raffi terhenyak, dia maaih bingung."Aku ingin membantumu," sambung Elena, dengan tatapan mata yang lebih serius. Dia tidak bercanda. Dia ingin dirinya diculik dan Raffi harus membantunya.Atas tawaran yang diberikan Elena, Raffi pun tergiur. Dia mengambil kesempatan ini untuk membantu membiayai pengobatan sang pacar.Aksi pun dimulai. Dengan ragu, Raffi menuruti Elena membawakan kain berwarna putih. Tangannya gemetar, dia tidak bisa melakukannya."Berikan padaku! Biar aku yang melakukannya sendiri!" Elena merebut kain itu lalu menutupkan matanya. Tangannya beralih ke belakang, lalu mengisyaratkan pasa Raffi untuk segera mengikatnya. Sebuah senyuman terbentuk dari bibir Elena remaja. Dia puas, merasa sandiwara ini nantinya akan berhasil mewujudkan keinginannya untuk pergi jauh dari hubungan rumit kedua orang tuanya.'Aku akan mengingatnya, hari ini seb
Elena Valencia Adiyatma..!" Detektif Toni memanggi nama lengkap wanita yang tengah susah payah berjalan menggunakan alat bantu. Elena, semenjak kejadian penculikan dan kebakaran rumah tiga bulan lalu, dia mengalami trauma dan cacat sementara pada kaki kirinya yang menyebabkan dirinya tak mampu berjalan sempurna.Detektif Toni berjalan mendekat, Elena tersenyum menyambut kedatangan pria yang terus berhubungan dengannya, mengamatinya sejak awal pertama kasus sandiwara penculikan dirinya."Detektif Toni..." Elena menyapa.Lalu merea duduk di taman rumah sakit. Elana tak banyak bicara, dia hanya akan menjawab jika ditanya. Beberapa menit suasana hening tanpa adanya pembicaraan."Ada satu pikiran yang selalu ada di otakku," ucap Pak Toni membuka pembicaraan.Elena mengalihkan pandangan pada pria yang berbicara di sebelahnya. "Kamu yang membantu Melisa dan Andre melarikan diri, kan?" Terus terang Toni. Dia memang bukan tipe orang yang suka basa basi.Elena tertawa. "Masalah ini lagi?" Ele
"Aku ingin membakar rumah ini.." Elena membakar kain gorden rumahnya untuk mengalihkan perhatian sang Ibu pada waktu itu, namun Kak Raffi, guru les privatnya, mencegah dan segera mematikan api sebelum menyebar terlalu besar.Mulai saat itu, Elena merencanakan sandiwara penculikan bersama Raffi dengan imbalan uang untuk berobat pacarnya yang sedang menderita kanker."Apakah kamu bisa melihat kupu-kupu berusaha keras demi bisa terbang?" Elena bertanya sambil melihag kupu-kupu yang hinggap di jendela bus yang mereka tumpangi.Mereka berdua pergi tanpa tujuan, asalkan pergi saja dari rumah dan menghilang."Tapi menurutku, dia berusaha untuk tidak terbang dan kembali pulang.." Elena melihat hewan itu mirip dengannya.Kebebasan tak pernah dia rasakan. Semua tentang hidupnya diatur oleh orang tuanya. Cita-cita, cinta, dan apapun itu. Sehingga saat itu Elena menberontak, terutama dia melihat Ibunya berselingkuh. Hidupnya ibarat terombang ambing diatas ombak lautan."Tidak ada yang tau sebera
"Suamiku... akhirnya kamu datang.." Elena tersenyum dengan sisa tenaganya."Aku... aku datang dengan otak bodohku ini.." Bastian menunjuk dirinya sendiri sambil memberikan sebuah kode melalui tangannya.Bastian menunjukkan jari manisnya kemudian mengacungkan ibu jarinya. Memberitahu Elena bahwa dia tersadar keberadaan istrinya ketika melihat cincin pernikahan yang dikenakan Elena.Elena tersenyum puas. Wajahnya semakin pucat tak berdaya."Akhirnya aku yang memenangkan taruhan ini, kan?" Elena menatap Melisa dengan senyuman mengejek.Wanuta berambut sebahu itu masih bertahan dengan korek yang menyala di tangannya."Aku rasa.. kalian berdua sangat ingin saling membunuh. Tidak bisakag menjadi lebib jujur? Kalian hanya takut melukai harga diri kalian, kan?" Melisa menyeringai."Maka tidak berani mengakui jika salah pilih. Makanya kalian seperti ini.." sambungnya sambil terus bergantian menatap Elena dan Bastian."Tapi... memangnya kenapa?" Bastian menyela. "Bukankah semua orang seperti
Elena memindai sekitar rumahnya. Matanya menyapu seluruh sudut, mengingat kenangan di tempat ini sebelum Melisa menjatuhkan korek apinya.'Sebenarnya kesalahannya mulai dari mana? Akhirnya, janji di depan A31 tetap tidak bisa ditepati. Aku berharap suamiku masih ingat dengan A31. Janji kita bersama A31, tidak terpenuhi.' Elena bergumam dalam hati.Hatinya hancur. Terutama ketika mengingat pertama kali menjalankan misi sandiwara penculikan, saat itu Bastian menelepon polisi setelah membaca pesan ancaman dari sang penculik A31.Bagaimana bisa dia langsung menelepon polisi dan tersenyum saat mengetahui jika hal itu dilakukan akan membuat nyawa Elena terancam. Kecewa dan marah Elena rasakan, namun tak bisa dilampiaskan pada Bastian. Dia memilih memaafkan karena dia membutuhkan seorang suami."Aku berharap suamiku tidak tersesat, dan segera melihat petunjuk yang kuberikan," ujar Elena saat bersembunyi di suatu tempat dan pura-pura diculik.A31 adalah petunjuk, namun Bastian sama sekali tid
"Pintunya tidak terkunci," gumam Toni saat masuk ke dalam restoran."Apakah ada orang di dalam?!" Toni berteriak sambil terus berjalan masuk ke dalam."Apa ini?" Rian melihat bercak darah di lantai."Cepat!" Toni berseru, berlari naik ke lantai dua."Apa yang terjadi?" Toni menemukan Jessica tergeletak bersimbah darah sambil memegang lengannya yang terluka."Apa yang terjadi?" Rian menghampiri Jessica."Sepuluh miliar sudah dirampas, penjahatnya adalah Andre, pria tetangga Bastian," jelas Jessica sambil meringis kesakitan."Andre? Cepat kejar!" perintah Toni pada juniornya."Sepuluh miliar... uang yang digunakan untuk penebusan kasus penculikan Elena?" desis Toni, matanya menyorot tajam pada Jessica.Wanita itu tak peduli, dia terus meringis sambil nenekan luka di lengannya."Aku pikir uang itu jatuh ke tangan siapa, ternyata kamu orangnya.." kembali Toni mendesis.Jessica tak berani membalas tatapan Toni. Dia terus menunduk."Aww.. sakit banget!" Pekik Jessica saat Toni memberikan sa
“Katanya mereka berkenalan saat bekerja di bar anggur merah. Istrinya itu sangat menyukai anggur merah terutama merek Cinta Abadi.” Rozi bercerita sambil menunjukkan foto Raffi bersama wanita penjaga bar, yaitu mendiang istrinya.Saat Jessica tengah memperhatikan foto tersebut, Rozi mengetuk-ngetuk koper milik Jessica.“Bukankah kamu bilang tidak tertarik?” dengan cepat Jessica menggeser kopernya itu, dan mengalihkan pandangan dari foto ke Rozi dengan tatapan tajamnya.“Toko gue gak akan mengurus barang kotor dan haram seperti ini,”ujarnya.“Tapi aku rasa kamu hanya mengurus barang kotor,” balas Jessica meremehkan.“Sudah gue bilang enggak!” tegasnya.“Kamu tau, diantara barang kotor dalam toko ini, kita lah yang paling punya aroma kotor itu.” Jessica menyeringai. “Lalu, bagaimana istrinya Raffi itu meninggal?” sambung Jessica melanjutkan ke topik pembicaraan.“Karena sudah lama sakit,” jawab Rozi sambil menyilangkan kakinya ke kaki satunya.“Jadi istrinya meninggal karena sakit?”“Ya