Aku tahu, kamu akan mengatakan jawaban yang aku harapkan. Bagaimana pun ini adalah hidangan yang akan aku masak setiap Hari Jadi kita.Saat memilih bahan-bahan lain, Elena terus menatapku, membuat aku terus merasa gugup.“Bagaimana kalau kita masak udang goreng bawang putih juga?” tawarku.“Boleh..” sahutnya sambil tersenyum, namun matanya terus menatapku dengan tatapan yang tak biasa, entah apa yang saat ini dia pikirkan.Ya, bertindak lebih dulu. Aku memang harus bergerak cepat. Saat ini, seharusnya Jessica sudah beraksi, masuk ke rumah dan mencampurkan racun itu ke dalam tempat garam. Garam itu khusus milikku, selalu aku pakai untuk memasak semua masakanku. Di dalam garam itu, ada bumbu khusus untuk membuat setiap masakanku menjadi lebih enak. Semuanya akan selesai kalau aku menaruhnya ke dalam sup ikan buatanku nanti.Bagus, aku hanya perlu menaruh garam itu seperti biasa ke dalam masakanku, pasti tidak akan ketahuan. Seketika aku berhayal, Elena memakan sup ikan buatanku. Lalu un
POV Elena.“Oh, apa kalian belum makan? Bagaimana kalau kita makan bersama?” ajakku menawarkan.Kedua detektif itu terdiam dan saling pandang.“Sup ikan buatan chef Bastian sangat enak, lho. Benar kan, sayang?” ujarku sambil menoleh pada Bastian.“Gak perlu! Kami sudah makan, kalian gak usah pedulikan kami..” jawab Pak Toni.“Lalu, apakah ada masalah?” tanya Bastian dengan suara tegas.Lalu kami duduk di sofa ruang tamu, meninggalkan sejenak kegiatan memasak tadi. Detektif Rian memperlihatkan rekaman CCTV di laptop.“Saat kami memeriksa kematian Denis, orang yang melarikan diri di TKP tampak seperti wanita, bukan?” pria muda bernama Rian itu mulai menjelaskan.“Ya, memang tampak seperti seorang wanita,” jawabku tenang.“Apakah kalian tidak merasa wanita dalam video itu terlihat familier?” imbuh Pak Toni.“Tidak! Aku tidak kenal sama sekali!” tegasku.Lalu pak Toni menggeser foto selanjutnya. Menampilkan foto sebuah sepatu bermerek ternama edisi terbatas.“Sepatu ini termasuk barang ya
POV Bastian.Setelah nyerocos panjang lebar dan sengaja tidak memakan sup ikan itu, Elena tiba-tiba menangis sesenggukan. Aku berpikir dia memang sedang akting saat ini.“Kamu kenapa? Ada apa? Kamu baik-baik saja?” aku pura-pura khawatir.Beberapa detik kami terdiam dan saling menatap.“Apakah kamu tahu apa alasanku mau menikah denganmu?” lirih suara Elena terdengar menyayat hati.Mulai ada yang tidak beres darinya, namun aku masih tetap menunggunya berbicara. Ya, aku memutuskan untuk mengikuti sandiwaranya, asalkan tidak memakan masakannya, itu sudah aman bagiku.“Kebahagiaan yang sederhana, hanya itu.. tapi akhirnya gagal,” ucap Elena.‘Apakah sudah ketahuan?’ batinku. Keningku terus mengerut menatapnya heran.“Melihat masa lalu kita, aku tidak memiliki berkah untuk mendapat kebahagiaan ini. Tapi, aku tidak tau mengapa bisa sampai seperti sekarang ini. Sebenarnya aku…. Aku berpikir untuk meracunimu, Mas.Ada racun ADTX dalam iga kari ini, aku sangat marah dan benci padamu, lalu memu
“Mas.. ada darah..” Elena berteriak panik.Aku berlari menghampiri Jessica yang sudah tergeletak tak berdaya. Darah yang dimuntahkannya cukup banyak. Racun ADTX yang terkandung dalam makanan ini sudah dirancang Jessica dengan dosis yang lebih tinggi agar tingkat mematikannya lebih cepat.“Jessica.. bangun Jess..” Aku menggoyangkan tubuhnya.Namun aku begitu takut melihat Jessica yang kemungkinan benar-benar sudah mati. Aku terduduk lemas, memegang udang goreng yang bekas digigit oleh Jessica dan seketika melemparnya.“Mas.. bagaimana ini..” Elena terus menangis panik.Istriku itu mengambil potongan udang goreng yang tadi kulempar dekat dengannya.“Tunggu sebentar, kenapa Jessica seperti ini, dia memakan udang goreng bawang putih, apakah makanan itu beracun?” Elena menatapku sinis.“Apakah kamu ingin membunuhku juga?” Elena melempar dengan kasar bekas udang goreng yang dia pegang.“Ti-tidak.. aku sebenarnya hanya ingin menabur garam pada sup ikan buatanku, tapi kamu menaburkannya pada
“Apa aku harus katakan yang sebenarnya?” lirihku sambil menatapnya nanar.Bang Rozi mendekat, melihatku dengan ekspresi tak sabar.“Sebenarnya sebelum aku berpikir untuk bercerai, kami ingin makan bersama dan mengobrol…” aku menarik napas sejenak menjeda kalimatku.“Ya.. terus…?” Bang Rozi makin tidak sabar.“Tapi yang ada kami malah bertengkar hebat,” aku memelas lalu menundukkan kepala. Seolah menyesali pertengkaran yang terjadi antara aku dan Elena.“Oh.. jadi karena kalian bertengkar hebat…” suara dan ekspresinya terdengar tidak percaya dengan ucapanku.“Tapi kenapa Elena tidak mengusirmu, kok malah dia yang pergi sendiri?” sambungnya, masih dengan raut wajah tak percaya, sudut bibirnya terangkat samar.“Ya, begitulah. Kurasa dia tidak akan kembali hari ini..” lirihku.“Oke, kalau gitu gue akan datang lagi lain kali,” ucapnya lalu berdiri.“Hati-hati, Bang!”“Oke,” sahutnya sambil membuka pintu keluar.Dan kubiarkan dia keluar sendirian, setidaknya sekarang aku merasa lega telah b
POV Author.Malam itu, sepulang bekerja, Andre pulang membawakan cake kesukaan Melisa. Istrinya palsunya itu tengah duduk termenung di ruang tamu. Wajahnya muram seperti sedang memikirkan sesuatu. Sampai akhirnya Andre menyalakan lampu barulah Melisa sadar, bahwa Andre sudah berdiri di sampingnya.“Ini aku bawakan cake kesukaanmu..” Andre meletakkan kotak kue di meja. Melisa masih tetap menatap depan, pada TV yang menyala. Matanya tertuju ke benda pipih itu namun pikirannya melayang entah kemana.“Aku akan berhenti bekerja. Mungkin akan agak kesulitan sekarang, segera..” lirih Andre.“Baiklah aku akan makan cake yang kamu bawa..” ucap Melisa mengalihkan.“Oke, aku akan membuatkan teh,” uajrnya lalu bergerak menuju dapur.Keduanya menikmati cake itu sambil meminum teh, namun keadaan masih hening. Keduanya saling canggung, ingin mengungkapkan perasaan satu sama lain namun bimbang. Melisa ingin memperjelas bagaimana hubungan mereka, karena kontrak pernikahan mereka belum habis.“Emm… anu
****Mengetahui penghuni rumah sebelah sedang tidak ada, Andre menjalankan aksinya. Dia menyelinap masuk ke dalam rumah Elena dengan cara melompati pagar lalu membobol kunci pintu masuk.Pria berpakaian serba hitam yang mirip seperti pencuri itu, memasang alat penyadap ke dalam sebuah stop kontak yang berada di tiang antara ruang tengah dengan dapur.Malam harinya, ketika pasangan suami istri yang akan bercerai itu pulang, Andre mendengarkan mereka dari dekat. Dia menyelinap di belakang taman rumah itu.Dengan seksama Andre mendengarkan setiap gerak gerik serta percakapan Elena dan Bastian.Dia mendengar pasangan itu sedang memasak bersama, sampai kedua detektif itu datang untuk memastikan apakah Elena mempunyai sepatu hitam bermerek seperti yang dipakai oleh wanita yang kabur di TKP meninggalnya Denis.Mendengar hal itu, Andre segera pulang karena dia menyadari bahwa istri palsunya juga memiliki sepatu bermerek yang disebutkan itu.Andre pun kembali ke rumah, dia mendapati Melisa yan
Akhirnya Toni sampai di rumah karena Rian memaksa untuk mengantarnya pulang lebih awal.Terdengar dari dalam kamar mandi, Mita sedang riweh memandikan si kembar karena berkeringat sehabis main di dalam rumah. Pria berjaket coklat itu langsung memeriksa lemari sepatu mereka. Dan benar saja, diaa menemukan sepatu hitam yang dicarinya, tapi hanya sebelah saja.“Ngapain kamu jam segini di rumah?” tanya Mita yang tiba-tiba keluar dari kamar mandi, membuat Toni terkesiap.“Ayah…” teriak si kembar kompak, karena selama ini, biasanya Toni pulang ke rumah setelah anak-anaknya sudah tidur, makanya si kembar sangat senang saat Ayahnya pulang lebih awal.“Waahh.. apakah ayah membelikan Ibu sepatu?”“Kenapa hanya sebelah? Apa itu sepatu cinderella?”“Ibu cepat coba!”Keduanya terus berbicara, sementara kedua orang tuanya masih terdiam dan saling bertatap.“Lupakan saja!” ujar Mita sembari pergi.“Hei.. kalian cepat masuk kamar ganti baju lalu tidur ya!” Toni menggiring anaknya untuk masuk ke kamar
POV Bastian.“Aku pulang..” Elena masuk ke dalam toko ayam goreng sekaligus rumah yang selama ini Ibuku dan Kak Vira tinggali. Setelah kejadian itu, dan rumah kami terbakar, aku dan Elena pun menumpang tinggal disini.Hari ini jadwal terapi Elena, syaraf kirinya yang tertusuk mengakibat kaki kirinya lumpuh dan harus menjalani terapi agar bisa berjalan normal kembali. Dia selalu pergi ke rumah sakit sendiri, karena aku sibuk membantu Ibu dan Kak Vira mengurus toko. Istriku itu memang keras kepala, tidak mau merepotkan siapa pun dan merasa bisa menanganinya sendiri.“Kamu sudah berusaha keras, Elena. Bagaimana hasilnya hari ini?” tanya Kak Vira.“Kata dokter sudah mulai bisa berjalan tanpa kruk, apalagi jika aku rajin melakukan pengobatan beberapa hari lagi.” Elena menjawab sambil berjalan susah payah menggunakan kruk. Ibu dan Kak Vira yang sedang meracik bumbu untuk ayam goreng tersenyum senang.“Aku akan ikut membantu,” ujar Elena menghampiri.“Jangan!”“Tidak usah!”Bruk!Elena menab
Toni menyadari bahwa istrinya tengah melamun. Sejak tadi dia menatap bola baseball itu sambil memutar-mutarnya di tangan.“Novelmu itu…” Toni menggantung kalimatnya, membuat Mita mendongak. Pandangannya beralih dari bola kepada suaminya yang sedang berdiri memperhatikannya sambil bersandar di pilar dekat pintu masuk. “Cukup bagus..” sambung Toni sambil menyunggingkan senyum.Senyum yang selama ini tak pernah dilihat oleh Mita. Dia merindukannya sejak lama, dan hari ini suaminya berhasil membuatnya tersenyum juga atas pujiannya itu.Toni masih mempertahankan senyumnya, apalagi melihat Mita tersipu malu. Dia tulus, dia sadar selama ini dia terlalu keras pada Mita. Terlalu pelit dengan perhatian dan setitik senyum dari bibirnya.“Tapi.. bisakah kau mengubah nama penanya? Bukan ibu rumah tangga yang ingin menjadi penulis, tapi ibu rumah tangga yang telah menjadi penulis.”Mendengar itu, bibir Mita yang tadinya melengkung keatas membentuk senyum, mendadak melengkung ke bawah. Dia terharu
"Bukankah kamu pernah bilang, pacarmu membutuhkan uang untuk operasi?"Elena masih memaksa dan bersikeras atas kehendaknya. Sedangkan Raffi terhenyak, dia maaih bingung."Aku ingin membantumu," sambung Elena, dengan tatapan mata yang lebih serius. Dia tidak bercanda. Dia ingin dirinya diculik dan Raffi harus membantunya.Atas tawaran yang diberikan Elena, Raffi pun tergiur. Dia mengambil kesempatan ini untuk membantu membiayai pengobatan sang pacar.Aksi pun dimulai. Dengan ragu, Raffi menuruti Elena membawakan kain berwarna putih. Tangannya gemetar, dia tidak bisa melakukannya."Berikan padaku! Biar aku yang melakukannya sendiri!" Elena merebut kain itu lalu menutupkan matanya. Tangannya beralih ke belakang, lalu mengisyaratkan pasa Raffi untuk segera mengikatnya. Sebuah senyuman terbentuk dari bibir Elena remaja. Dia puas, merasa sandiwara ini nantinya akan berhasil mewujudkan keinginannya untuk pergi jauh dari hubungan rumit kedua orang tuanya.'Aku akan mengingatnya, hari ini seb
Elena Valencia Adiyatma..!" Detektif Toni memanggi nama lengkap wanita yang tengah susah payah berjalan menggunakan alat bantu. Elena, semenjak kejadian penculikan dan kebakaran rumah tiga bulan lalu, dia mengalami trauma dan cacat sementara pada kaki kirinya yang menyebabkan dirinya tak mampu berjalan sempurna.Detektif Toni berjalan mendekat, Elena tersenyum menyambut kedatangan pria yang terus berhubungan dengannya, mengamatinya sejak awal pertama kasus sandiwara penculikan dirinya."Detektif Toni..." Elena menyapa.Lalu merea duduk di taman rumah sakit. Elana tak banyak bicara, dia hanya akan menjawab jika ditanya. Beberapa menit suasana hening tanpa adanya pembicaraan."Ada satu pikiran yang selalu ada di otakku," ucap Pak Toni membuka pembicaraan.Elena mengalihkan pandangan pada pria yang berbicara di sebelahnya. "Kamu yang membantu Melisa dan Andre melarikan diri, kan?" Terus terang Toni. Dia memang bukan tipe orang yang suka basa basi.Elena tertawa. "Masalah ini lagi?" Ele
"Aku ingin membakar rumah ini.." Elena membakar kain gorden rumahnya untuk mengalihkan perhatian sang Ibu pada waktu itu, namun Kak Raffi, guru les privatnya, mencegah dan segera mematikan api sebelum menyebar terlalu besar.Mulai saat itu, Elena merencanakan sandiwara penculikan bersama Raffi dengan imbalan uang untuk berobat pacarnya yang sedang menderita kanker."Apakah kamu bisa melihat kupu-kupu berusaha keras demi bisa terbang?" Elena bertanya sambil melihag kupu-kupu yang hinggap di jendela bus yang mereka tumpangi.Mereka berdua pergi tanpa tujuan, asalkan pergi saja dari rumah dan menghilang."Tapi menurutku, dia berusaha untuk tidak terbang dan kembali pulang.." Elena melihat hewan itu mirip dengannya.Kebebasan tak pernah dia rasakan. Semua tentang hidupnya diatur oleh orang tuanya. Cita-cita, cinta, dan apapun itu. Sehingga saat itu Elena menberontak, terutama dia melihat Ibunya berselingkuh. Hidupnya ibarat terombang ambing diatas ombak lautan."Tidak ada yang tau sebera
"Suamiku... akhirnya kamu datang.." Elena tersenyum dengan sisa tenaganya."Aku... aku datang dengan otak bodohku ini.." Bastian menunjuk dirinya sendiri sambil memberikan sebuah kode melalui tangannya.Bastian menunjukkan jari manisnya kemudian mengacungkan ibu jarinya. Memberitahu Elena bahwa dia tersadar keberadaan istrinya ketika melihat cincin pernikahan yang dikenakan Elena.Elena tersenyum puas. Wajahnya semakin pucat tak berdaya."Akhirnya aku yang memenangkan taruhan ini, kan?" Elena menatap Melisa dengan senyuman mengejek.Wanuta berambut sebahu itu masih bertahan dengan korek yang menyala di tangannya."Aku rasa.. kalian berdua sangat ingin saling membunuh. Tidak bisakag menjadi lebib jujur? Kalian hanya takut melukai harga diri kalian, kan?" Melisa menyeringai."Maka tidak berani mengakui jika salah pilih. Makanya kalian seperti ini.." sambungnya sambil terus bergantian menatap Elena dan Bastian."Tapi... memangnya kenapa?" Bastian menyela. "Bukankah semua orang seperti
Elena memindai sekitar rumahnya. Matanya menyapu seluruh sudut, mengingat kenangan di tempat ini sebelum Melisa menjatuhkan korek apinya.'Sebenarnya kesalahannya mulai dari mana? Akhirnya, janji di depan A31 tetap tidak bisa ditepati. Aku berharap suamiku masih ingat dengan A31. Janji kita bersama A31, tidak terpenuhi.' Elena bergumam dalam hati.Hatinya hancur. Terutama ketika mengingat pertama kali menjalankan misi sandiwara penculikan, saat itu Bastian menelepon polisi setelah membaca pesan ancaman dari sang penculik A31.Bagaimana bisa dia langsung menelepon polisi dan tersenyum saat mengetahui jika hal itu dilakukan akan membuat nyawa Elena terancam. Kecewa dan marah Elena rasakan, namun tak bisa dilampiaskan pada Bastian. Dia memilih memaafkan karena dia membutuhkan seorang suami."Aku berharap suamiku tidak tersesat, dan segera melihat petunjuk yang kuberikan," ujar Elena saat bersembunyi di suatu tempat dan pura-pura diculik.A31 adalah petunjuk, namun Bastian sama sekali tid
"Pintunya tidak terkunci," gumam Toni saat masuk ke dalam restoran."Apakah ada orang di dalam?!" Toni berteriak sambil terus berjalan masuk ke dalam."Apa ini?" Rian melihat bercak darah di lantai."Cepat!" Toni berseru, berlari naik ke lantai dua."Apa yang terjadi?" Toni menemukan Jessica tergeletak bersimbah darah sambil memegang lengannya yang terluka."Apa yang terjadi?" Rian menghampiri Jessica."Sepuluh miliar sudah dirampas, penjahatnya adalah Andre, pria tetangga Bastian," jelas Jessica sambil meringis kesakitan."Andre? Cepat kejar!" perintah Toni pada juniornya."Sepuluh miliar... uang yang digunakan untuk penebusan kasus penculikan Elena?" desis Toni, matanya menyorot tajam pada Jessica.Wanita itu tak peduli, dia terus meringis sambil nenekan luka di lengannya."Aku pikir uang itu jatuh ke tangan siapa, ternyata kamu orangnya.." kembali Toni mendesis.Jessica tak berani membalas tatapan Toni. Dia terus menunduk."Aww.. sakit banget!" Pekik Jessica saat Toni memberikan sa
“Katanya mereka berkenalan saat bekerja di bar anggur merah. Istrinya itu sangat menyukai anggur merah terutama merek Cinta Abadi.” Rozi bercerita sambil menunjukkan foto Raffi bersama wanita penjaga bar, yaitu mendiang istrinya.Saat Jessica tengah memperhatikan foto tersebut, Rozi mengetuk-ngetuk koper milik Jessica.“Bukankah kamu bilang tidak tertarik?” dengan cepat Jessica menggeser kopernya itu, dan mengalihkan pandangan dari foto ke Rozi dengan tatapan tajamnya.“Toko gue gak akan mengurus barang kotor dan haram seperti ini,”ujarnya.“Tapi aku rasa kamu hanya mengurus barang kotor,” balas Jessica meremehkan.“Sudah gue bilang enggak!” tegasnya.“Kamu tau, diantara barang kotor dalam toko ini, kita lah yang paling punya aroma kotor itu.” Jessica menyeringai. “Lalu, bagaimana istrinya Raffi itu meninggal?” sambung Jessica melanjutkan ke topik pembicaraan.“Karena sudah lama sakit,” jawab Rozi sambil menyilangkan kakinya ke kaki satunya.“Jadi istrinya meninggal karena sakit?”“Ya