“Mas.. ada darah..” Elena berteriak panik.Aku berlari menghampiri Jessica yang sudah tergeletak tak berdaya. Darah yang dimuntahkannya cukup banyak. Racun ADTX yang terkandung dalam makanan ini sudah dirancang Jessica dengan dosis yang lebih tinggi agar tingkat mematikannya lebih cepat.“Jessica.. bangun Jess..” Aku menggoyangkan tubuhnya.Namun aku begitu takut melihat Jessica yang kemungkinan benar-benar sudah mati. Aku terduduk lemas, memegang udang goreng yang bekas digigit oleh Jessica dan seketika melemparnya.“Mas.. bagaimana ini..” Elena terus menangis panik.Istriku itu mengambil potongan udang goreng yang tadi kulempar dekat dengannya.“Tunggu sebentar, kenapa Jessica seperti ini, dia memakan udang goreng bawang putih, apakah makanan itu beracun?” Elena menatapku sinis.“Apakah kamu ingin membunuhku juga?” Elena melempar dengan kasar bekas udang goreng yang dia pegang.“Ti-tidak.. aku sebenarnya hanya ingin menabur garam pada sup ikan buatanku, tapi kamu menaburkannya pada
“Apa aku harus katakan yang sebenarnya?” lirihku sambil menatapnya nanar.Bang Rozi mendekat, melihatku dengan ekspresi tak sabar.“Sebenarnya sebelum aku berpikir untuk bercerai, kami ingin makan bersama dan mengobrol…” aku menarik napas sejenak menjeda kalimatku.“Ya.. terus…?” Bang Rozi makin tidak sabar.“Tapi yang ada kami malah bertengkar hebat,” aku memelas lalu menundukkan kepala. Seolah menyesali pertengkaran yang terjadi antara aku dan Elena.“Oh.. jadi karena kalian bertengkar hebat…” suara dan ekspresinya terdengar tidak percaya dengan ucapanku.“Tapi kenapa Elena tidak mengusirmu, kok malah dia yang pergi sendiri?” sambungnya, masih dengan raut wajah tak percaya, sudut bibirnya terangkat samar.“Ya, begitulah. Kurasa dia tidak akan kembali hari ini..” lirihku.“Oke, kalau gitu gue akan datang lagi lain kali,” ucapnya lalu berdiri.“Hati-hati, Bang!”“Oke,” sahutnya sambil membuka pintu keluar.Dan kubiarkan dia keluar sendirian, setidaknya sekarang aku merasa lega telah b
POV Author.Malam itu, sepulang bekerja, Andre pulang membawakan cake kesukaan Melisa. Istrinya palsunya itu tengah duduk termenung di ruang tamu. Wajahnya muram seperti sedang memikirkan sesuatu. Sampai akhirnya Andre menyalakan lampu barulah Melisa sadar, bahwa Andre sudah berdiri di sampingnya.“Ini aku bawakan cake kesukaanmu..” Andre meletakkan kotak kue di meja. Melisa masih tetap menatap depan, pada TV yang menyala. Matanya tertuju ke benda pipih itu namun pikirannya melayang entah kemana.“Aku akan berhenti bekerja. Mungkin akan agak kesulitan sekarang, segera..” lirih Andre.“Baiklah aku akan makan cake yang kamu bawa..” ucap Melisa mengalihkan.“Oke, aku akan membuatkan teh,” uajrnya lalu bergerak menuju dapur.Keduanya menikmati cake itu sambil meminum teh, namun keadaan masih hening. Keduanya saling canggung, ingin mengungkapkan perasaan satu sama lain namun bimbang. Melisa ingin memperjelas bagaimana hubungan mereka, karena kontrak pernikahan mereka belum habis.“Emm… anu
****Mengetahui penghuni rumah sebelah sedang tidak ada, Andre menjalankan aksinya. Dia menyelinap masuk ke dalam rumah Elena dengan cara melompati pagar lalu membobol kunci pintu masuk.Pria berpakaian serba hitam yang mirip seperti pencuri itu, memasang alat penyadap ke dalam sebuah stop kontak yang berada di tiang antara ruang tengah dengan dapur.Malam harinya, ketika pasangan suami istri yang akan bercerai itu pulang, Andre mendengarkan mereka dari dekat. Dia menyelinap di belakang taman rumah itu.Dengan seksama Andre mendengarkan setiap gerak gerik serta percakapan Elena dan Bastian.Dia mendengar pasangan itu sedang memasak bersama, sampai kedua detektif itu datang untuk memastikan apakah Elena mempunyai sepatu hitam bermerek seperti yang dipakai oleh wanita yang kabur di TKP meninggalnya Denis.Mendengar hal itu, Andre segera pulang karena dia menyadari bahwa istri palsunya juga memiliki sepatu bermerek yang disebutkan itu.Andre pun kembali ke rumah, dia mendapati Melisa yan
Akhirnya Toni sampai di rumah karena Rian memaksa untuk mengantarnya pulang lebih awal.Terdengar dari dalam kamar mandi, Mita sedang riweh memandikan si kembar karena berkeringat sehabis main di dalam rumah. Pria berjaket coklat itu langsung memeriksa lemari sepatu mereka. Dan benar saja, diaa menemukan sepatu hitam yang dicarinya, tapi hanya sebelah saja.“Ngapain kamu jam segini di rumah?” tanya Mita yang tiba-tiba keluar dari kamar mandi, membuat Toni terkesiap.“Ayah…” teriak si kembar kompak, karena selama ini, biasanya Toni pulang ke rumah setelah anak-anaknya sudah tidur, makanya si kembar sangat senang saat Ayahnya pulang lebih awal.“Waahh.. apakah ayah membelikan Ibu sepatu?”“Kenapa hanya sebelah? Apa itu sepatu cinderella?”“Ibu cepat coba!”Keduanya terus berbicara, sementara kedua orang tuanya masih terdiam dan saling bertatap.“Lupakan saja!” ujar Mita sembari pergi.“Hei.. kalian cepat masuk kamar ganti baju lalu tidur ya!” Toni menggiring anaknya untuk masuk ke kamar
Tentang hal iti, Andre juga sudah mengetahui semuanya. Pagi hari saat Melisa kembali dengan wajah panik, melepas mantel hitam dan juga sepatu hitam bermerek itu dengan asal."Lalu sekarang bagaimana dengan sepatu yang bisa menjadi barang bukti itu? Kenapa kamu biarkan saja?" Andre mulai cemas."Ini semua tidak ada hubungannya denganmu. Kenapa kamu mau melindungiku?" "Bukankah aku sudah mengatakan, aku takut mendapat masalah," ujarnya enteng."Aku akan hancur kelak, aku hanya bisa seperti ini tanpa bisa berbuat apa-apa. Agar tidak menjadi lebih buruk lagi, sebaiknya kamu bereskan barang dan pergi dari sini. Kita... sampai disini saja," ujar Melisa."Aku tidak ingin membatalkan kontrak di tengah jalan. Lagi pula kontrak akan berakhir jika kita bertahan selama empat tahun lagi." Andre tersenyum tulus. Dia tidak ingin meninggalkan Melisa begitu saja dalam masalah yang rumit ini.Melisa terisak, hatinya seperti diremas."Tapi kamu tau sendiri, aku sudah tidak punya uang lagi untuk membayar
POV Bastian.Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak, sementara Elena terlihat biasa saja. Dia bisa tidur mendengkur dengan keras. Namun karena tubuhku yang begitu lelah, akhirnya aku bisa memejamkan mata ketika sinar matahari mulai mengintip dari sela-sela jendela kamar.“Aaarrgghhh…” aku menjerit, ketika baru saja memasuki alam mimpi.Di dalam mimpiku itu, Jessica tidur disebelahku dengan mata melotot dan mulut dipenuhi darah. Saat aku menoleh ke belakang, tempat tidur Elena sudah rapi. Kuatur napas yang sedang tersengal akibat mimpi buruk.Mataku tertuju pada cincin pernikahan yang terletak di dalam kotak yang sedang terbuka. Entah apa maksud Elena, aku segera bangkit dan bersiap untuk pergi ke restoran bersama Elena.Dengan gaun berwarna fanta, Elena terlihat semakin anggun. Kami duduk berhadapan, sarapan pagi ini seperti biasa, bubur buatan Elena.Elena menyuruhku memakai cincin pernikahan kami yang sudah kulepas kemarin agar para karyawan tidak curiga. Pagi ini, kegelisan terus m
POV Elena.“Maaf ya, Bang. Soal kemarin. Sebenarnya.. ada yang ingin kutanyakan sama Abang,” ujarku tanpa basa basi saat baru saja duduk di sofa lusuh dalam kantor usang milik Bang Rozi ini.Bang Rozi menatapku penasaran, lalu kutunjukkan kertas ancaman dari A31 yang tadi pagi aku temukan di kotak surat.Bang Rozi mendekat lalu membacanya, seketika matanya melotot dan beralih kepadaku, aku balas memelototinya. Dia menunjuk dirinya dengan ibu jari. Aku mengangguk, membenarkan maksudnya. Ya, aku menuduhnya yang telah mengirimkan ancaman ini padaku.“Hahahaha.. itu bukan gue! Coba lo ingat lagi bagaimana gue menyelamatkan Sheza. Gak mungkin gue nekat ngelakuin hal itu,” ucapnya tak terima.“Benar juga, maafin aku kalau gitu.” Aku kembali menyimpan surat itu ke dalam tas.“Kayaknya terjadi sesuatu lagi sama kalian ya? Lo gak membunuh selingkuhan suamimu itu, kan?” pria berbaju lusuh itu bertanya memastikan. “Balas dendamnya cepat banget,” sambungnya.“Meskipun Bastian pikir dia yang membu