Hamba terbangun dengan kuping berdenging dan kepala berputar-putar.Banyak hal mengerikan yang terjadi.Kebakaran. Kerusuhan. Kekejian.Bukan.Ini masalah yang berada di luar kehendak Hamba.Ini konflik di mana Hamba seharusnya tidak mengomentariHamba tidak berhak.Hamba tidak berhakApalagi, dalam mimpi aneh itu, Tuan Yang Mulia tumbang.Apa yang sebenarnya Hamba pikirkan?Itu asumsi bahaya. Bener-bener bahaya.Apa pikiran Hamba perlahan-lahan dilahap oleh setan-setan? Apa kini Hamba termasuk sebagai yang terkontaminasi?Ini tidak bisa dibiarkanHamba akan meracuni yang lain.Hamba mesti melaporkannya.Hamba mesti dieliminasi.“...ngun! … angun! Bangun! Hei, bangun!”Hamba mendengar suara-suara lagi.Apa itu khayalan lain?Itu pasti mereka.Para setan-setan.Hamba merasa takut, enggak.Hamba tak boleh merasa takut.Para hamba hanya boleh mengabdi dan patuh. Itu tujuan hidup mutlak.Bukan. Itu bukan keharusan yang membuat Hamba terpaksa, melainkan bentuk belas kasih.Kemuliaan. Karen
Ini situasi yang sulit, sumpah.Dengar, begini-begini aku punya perasaan sensitif.Meski kami cuma bersama beberapa kali, Noah ninggalin bekas kenangan yang lumayan sukar dilupain.Dan sampai sekarang Devon belum nyentuh aku.Dia itu impoten, ya? Atau emang enggak suka cewek?“Saya sibuk, Nona Dawver”“Donovan.” Sampai berapa kali mesti kuingatin, sih? “Aku bukan Dawver lagi, ingat?” Ini emang ketentuan yang rada asing di Indonesia, tapi kayaknya dunia ini punya budaya yang berkiblat ke Barat—di mana nama keluarga seorang gadis bakal ‘dibuang’ kalau udah menikah.“Benar. Rachel. Saya minta maaf.”Untuk menutupi kesuraman itu, aku terpaksa mendatangi kamar George.Bukannya doyan sama yang tua-tua—singkirin pemikiran menjijikkan bin ngawur itu, deh (dapet ilham dari mana, sih, kalian ini?).Ini seperti kau diberi pilihan antara sayur basi dan pengharum ruangan.Yang satu punya tampilan dan harum enak, tapi gak bakal bikin kenyang. Sedangkan yang satu mematikan, tapi seenggaknya berhasil
Apa?Kubilag tragedi Willvile itu begitu berpengaruh hingga mengubahku jadi pecandu?Lupain.Oke.Udah dibilag, pikiranku akhir-akhir ini gak jernih dan yang terlintas ya … antara celetukan asal atau kesimpulan ngawur.Emang ada suatu perubahan.Tapi, gak sesignfikan itu.Hah?Terus apa yang kulakuin di penjara baawah tanah, katamu?Bisa dibilang, untuk mengenang nostalgia.Itu seakan terjadi bertahun-tahun lalu. Ketika semuanya masih terasa sederhana.Atau enggak.Enggak pernah ada hal yang bener-bener sederhana dalam hidupku, sih.Kalau gak kepalang susah, ya sukar setengah mampus.Alasan lain? Untuk menagih hutang.Kerajaan menjanjikan keadilan. Tapi, udah tiga raja yang bergantian, tapi sampai sekarang keadilan itu belum terwujud.Sebagi sosok ratu teladan yang penuh kemurahan hati, jelita, dan berpihak sepenuhnya pada kepentingan bersama, aku bakal mewujudkan keadilan itu sendiri.Enggak seperti sebelum-sebelumnya, para pengawal bahkan enggak repot-repot mempertanyakan maksud ke
Lari.Lari.Ke mana?Tidak boleh.Tidak berhak.Aku sepantasnya matiTidak. Bukan aku.Tapi, Hamba.Tak pernh ada aku. Hanya ada Kotoran Cokelat. Hanya ada seorang Hamba.Jatuh.Terguling.Sakit. Sakit. Sakit.Bukan. Ini bagian dari pendisiplinan.Pendisisiplinan apa?Dari Tuan Yang Mulia.Tuan Yang Mulia siapa?Terguliing. Terguling. Menabrak pohon. TerantukBerkunang-kunang.Tak sadarkan diri.Dongeng itu kembali mewujud dan menghantui pikiran.Itu kisah Folwin kecil.Bukan. Sejak awal, dia belum besar. Dia seorang bocah yang tak tahu apa-apa.Dan setan-setan itu … itu cuma Makhluk Agung.Itu manusia.Itu Tuan Yang Mulia. Itu Tuan Sterling.Folwin kecil yang diculik kemudian dibelenggu. Dirantai. Diperjualbelikan.Aku diperjualbelikan.Folwin dihancurkan. Dibuang. Tak pernah ada. Berganti menjadi individu anyar bernama Orang Baru.Hamba yang siap ditempat. Seperti yang lain.Apa ini kehidupan selanjutnya?Apa seorang Hamba pernah menjadi aku? Bukan.Ini kenangan enggak penting!Ini
Hening.Kosong.Hampa.Kadang, di antara debur ombak yang tak pasti dan pemandangan air yang kian bergelora, aku melihat mereka lagi.Natalie. Nancy.Melambai.Mengundangku untuk menghampiri mereka.Berjumpa ria.Menyatu kembali sebagai keluarga. Utuh. Bahagia. Takkan ada lagi yang memisahkan, atau bisa memisahkan.Aku ingin percaya itu semua.Kadang, rasanya mimpi terasa jauh lebih nyata dibanding realita.Maksudku, semua ini tak masuk akal.Apa semua ini pantas kudapatkan? Apa ini sebuah hukuman?“T-Tuan yang baik.” Leo muncul dari geladak. Menunjukkan senyum bodoh seperti biasa.Agak iba juga melihatnya. Tapi, setelah memikirkan apa yang dia lakukan ke yang lain, kayaknya ini hukuman yang lumayan pantas. “Em ... kira-kira kita mau ke mana, ya?”“Ibukota.” Udah jelas, ‘kan.Aku bakal memorak-morandakkan negeri bobrok itu. Menarik si iblis ke tempat yang seharusnya: neraka terbawah. Dengan api dan darah.“Jikalau berkenan menjawab, Tuan ada urusan apa di sa—”“Hei!” Dia begitu kaget
Aku kembali ke alam khayal konyol itu.Kejadiannya beruolang hingga membuatku agak bosan.Percakapan yang sama. Sajian yang sama. Pemikiran yang sama.Bedanya, kala itu, tak ada lagi Ayah yang menginterupsi.Semuanya berjalan begitu lama. Begitu mulus. Begitu indah.Hingga membuatku berpikir, apa ini justru yang nyata? Apa semua hal buruk itu hanya pemikiran mengerikan alam bawah sadar?Bukan.Ini hanya mimpi.Aku sebentar lagi terbangun. Kembali menghadapi realita menyedihkn itu.Sendirian. Kesepian.Karena itu, kumohon, buat mimpi ini lebih panjang.Atau mungkin selamanya.Kalau nyawaku adalah bayarannya, aku bakal setuju denga senang hati.Jadi.Kumohon …Kumohon …Kumohon …Ada cahaya remang-remang, atap pendek, dan bisik-bisik begitu aku membuka mata.Aku kembali ke kamarku?Apa aku jatuh ke fase mimpi yang lebih dalam? Atau ini kenyataan?Aku menengok ke kiri, dan sekumpulan wajah asing langsung nampak. Menyorotkan pandangan iba.Mereka sepertinya bilang sesuatu, tapi ada yang s
Ini terasa tidak benar.Kak Petric menyebutnya sebagai Ritual Penyucian. “Dewa menginginkan ini.”Dewa?Ya.Rasa-rasanya dia sering menyebutkan itu. Mereka semua menyebutkan itu.Sesosok Maha Agung yang konon menguasai takdir. Bertanggung jawab atas segala yang terjadi. Dia yang menetapkan apa yang boleh kami kerjakan dan apa yang tidak.“Dan Dia menyuruh kita melakukan ini?”Ini membawaku pada malam itu.Bukan.Bukan hanya itu. Tapi, malam ketika semuanya dimulai.Api meretih, menjalar, dan menggerogoti semua bangunan. Sedangkan aku cuma bisa berdiri, menyaksikan segalanya runtuh; rusak; serta sirna.Hari di mana semuanya diambil. Dirampas. Dicuri.Apa semuanya terulang? Dan kini, kami yang jadi pelakunya?“Enggak, Folwin. Enggak.” Kak Petric mengelus kepalaku. “Ini enggak pernah sama. Mereka melakukan itu semata-mata karena keegoisan dan naluri merusak mereka yang tak tertahankan, tapi kita melakukan ini untuk mengembalikan ketertiban. Pada hal yang seharusnya.”Aku ingat dikurung j
“Lagi?”Percuma saja, dari sudut pandang mereka, apa pun yang kukatakan bakal menjadi geraman yang membuat bulu kuduk merinding.Bahkan meski aku tak punya niat membunuh—dan tak pernah demikian.Itu semua bukan untuk tujuan keji seperti itu.Hari itu aku kehilangan segalanya.Kebahagiaan. Harapan. Tujuan.Dan itu membuatku bertanya-tanya, untuk apa?Apakah ini pantas?Apakah aku seberdosa itu?Namun, bak belaian paling lembut, gemulai, dan menentramkan; sebentuk suara agung menyahut dari langit.Memberi pencerahan paling absud sekaligus paling masuk akal.Dewa mengambil, dewa juga memberi.Ibu, Fio, Janine, dan semua orang adalah harga mahal yang tak sepadan dengan nyawaku—awalnya, pemikiran bodoh kayak begitu entah kenapa terlintas.Tapi, kekekalan ini merupakan berkah niscaya yang datang bukan untuk disia-siakan.Neraka kosong dan para iblis ada di sini. Aku adalah titisan yang dikirim untuk membasmi mereka.Memusnahkan kekejian. Membumihanguskan kejahatan. Meluluhlantakkan segala w