Apa?Kubilag tragedi Willvile itu begitu berpengaruh hingga mengubahku jadi pecandu?Lupain.Oke.Udah dibilag, pikiranku akhir-akhir ini gak jernih dan yang terlintas ya … antara celetukan asal atau kesimpulan ngawur.Emang ada suatu perubahan.Tapi, gak sesignfikan itu.Hah?Terus apa yang kulakuin di penjara baawah tanah, katamu?Bisa dibilang, untuk mengenang nostalgia.Itu seakan terjadi bertahun-tahun lalu. Ketika semuanya masih terasa sederhana.Atau enggak.Enggak pernah ada hal yang bener-bener sederhana dalam hidupku, sih.Kalau gak kepalang susah, ya sukar setengah mampus.Alasan lain? Untuk menagih hutang.Kerajaan menjanjikan keadilan. Tapi, udah tiga raja yang bergantian, tapi sampai sekarang keadilan itu belum terwujud.Sebagi sosok ratu teladan yang penuh kemurahan hati, jelita, dan berpihak sepenuhnya pada kepentingan bersama, aku bakal mewujudkan keadilan itu sendiri.Enggak seperti sebelum-sebelumnya, para pengawal bahkan enggak repot-repot mempertanyakan maksud ke
Lari.Lari.Ke mana?Tidak boleh.Tidak berhak.Aku sepantasnya matiTidak. Bukan aku.Tapi, Hamba.Tak pernh ada aku. Hanya ada Kotoran Cokelat. Hanya ada seorang Hamba.Jatuh.Terguling.Sakit. Sakit. Sakit.Bukan. Ini bagian dari pendisiplinan.Pendisisiplinan apa?Dari Tuan Yang Mulia.Tuan Yang Mulia siapa?Terguliing. Terguling. Menabrak pohon. TerantukBerkunang-kunang.Tak sadarkan diri.Dongeng itu kembali mewujud dan menghantui pikiran.Itu kisah Folwin kecil.Bukan. Sejak awal, dia belum besar. Dia seorang bocah yang tak tahu apa-apa.Dan setan-setan itu … itu cuma Makhluk Agung.Itu manusia.Itu Tuan Yang Mulia. Itu Tuan Sterling.Folwin kecil yang diculik kemudian dibelenggu. Dirantai. Diperjualbelikan.Aku diperjualbelikan.Folwin dihancurkan. Dibuang. Tak pernah ada. Berganti menjadi individu anyar bernama Orang Baru.Hamba yang siap ditempat. Seperti yang lain.Apa ini kehidupan selanjutnya?Apa seorang Hamba pernah menjadi aku? Bukan.Ini kenangan enggak penting!Ini
Hening.Kosong.Hampa.Kadang, di antara debur ombak yang tak pasti dan pemandangan air yang kian bergelora, aku melihat mereka lagi.Natalie. Nancy.Melambai.Mengundangku untuk menghampiri mereka.Berjumpa ria.Menyatu kembali sebagai keluarga. Utuh. Bahagia. Takkan ada lagi yang memisahkan, atau bisa memisahkan.Aku ingin percaya itu semua.Kadang, rasanya mimpi terasa jauh lebih nyata dibanding realita.Maksudku, semua ini tak masuk akal.Apa semua ini pantas kudapatkan? Apa ini sebuah hukuman?“T-Tuan yang baik.” Leo muncul dari geladak. Menunjukkan senyum bodoh seperti biasa.Agak iba juga melihatnya. Tapi, setelah memikirkan apa yang dia lakukan ke yang lain, kayaknya ini hukuman yang lumayan pantas. “Em ... kira-kira kita mau ke mana, ya?”“Ibukota.” Udah jelas, ‘kan.Aku bakal memorak-morandakkan negeri bobrok itu. Menarik si iblis ke tempat yang seharusnya: neraka terbawah. Dengan api dan darah.“Jikalau berkenan menjawab, Tuan ada urusan apa di sa—”“Hei!” Dia begitu kaget
Aku kembali ke alam khayal konyol itu.Kejadiannya beruolang hingga membuatku agak bosan.Percakapan yang sama. Sajian yang sama. Pemikiran yang sama.Bedanya, kala itu, tak ada lagi Ayah yang menginterupsi.Semuanya berjalan begitu lama. Begitu mulus. Begitu indah.Hingga membuatku berpikir, apa ini justru yang nyata? Apa semua hal buruk itu hanya pemikiran mengerikan alam bawah sadar?Bukan.Ini hanya mimpi.Aku sebentar lagi terbangun. Kembali menghadapi realita menyedihkn itu.Sendirian. Kesepian.Karena itu, kumohon, buat mimpi ini lebih panjang.Atau mungkin selamanya.Kalau nyawaku adalah bayarannya, aku bakal setuju denga senang hati.Jadi.Kumohon …Kumohon …Kumohon …Ada cahaya remang-remang, atap pendek, dan bisik-bisik begitu aku membuka mata.Aku kembali ke kamarku?Apa aku jatuh ke fase mimpi yang lebih dalam? Atau ini kenyataan?Aku menengok ke kiri, dan sekumpulan wajah asing langsung nampak. Menyorotkan pandangan iba.Mereka sepertinya bilang sesuatu, tapi ada yang s
Ini terasa tidak benar.Kak Petric menyebutnya sebagai Ritual Penyucian. “Dewa menginginkan ini.”Dewa?Ya.Rasa-rasanya dia sering menyebutkan itu. Mereka semua menyebutkan itu.Sesosok Maha Agung yang konon menguasai takdir. Bertanggung jawab atas segala yang terjadi. Dia yang menetapkan apa yang boleh kami kerjakan dan apa yang tidak.“Dan Dia menyuruh kita melakukan ini?”Ini membawaku pada malam itu.Bukan.Bukan hanya itu. Tapi, malam ketika semuanya dimulai.Api meretih, menjalar, dan menggerogoti semua bangunan. Sedangkan aku cuma bisa berdiri, menyaksikan segalanya runtuh; rusak; serta sirna.Hari di mana semuanya diambil. Dirampas. Dicuri.Apa semuanya terulang? Dan kini, kami yang jadi pelakunya?“Enggak, Folwin. Enggak.” Kak Petric mengelus kepalaku. “Ini enggak pernah sama. Mereka melakukan itu semata-mata karena keegoisan dan naluri merusak mereka yang tak tertahankan, tapi kita melakukan ini untuk mengembalikan ketertiban. Pada hal yang seharusnya.”Aku ingat dikurung j
“Lagi?”Percuma saja, dari sudut pandang mereka, apa pun yang kukatakan bakal menjadi geraman yang membuat bulu kuduk merinding.Bahkan meski aku tak punya niat membunuh—dan tak pernah demikian.Itu semua bukan untuk tujuan keji seperti itu.Hari itu aku kehilangan segalanya.Kebahagiaan. Harapan. Tujuan.Dan itu membuatku bertanya-tanya, untuk apa?Apakah ini pantas?Apakah aku seberdosa itu?Namun, bak belaian paling lembut, gemulai, dan menentramkan; sebentuk suara agung menyahut dari langit.Memberi pencerahan paling absud sekaligus paling masuk akal.Dewa mengambil, dewa juga memberi.Ibu, Fio, Janine, dan semua orang adalah harga mahal yang tak sepadan dengan nyawaku—awalnya, pemikiran bodoh kayak begitu entah kenapa terlintas.Tapi, kekekalan ini merupakan berkah niscaya yang datang bukan untuk disia-siakan.Neraka kosong dan para iblis ada di sini. Aku adalah titisan yang dikirim untuk membasmi mereka.Memusnahkan kekejian. Membumihanguskan kejahatan. Meluluhlantakkan segala w
Orang-orang Willvile bakal digantung, dan aku enggak ngerasain apa-apa.Dengar.Gini-gini, aku masih punya empatI. Kesenstifian hati. Dan rasa manusiawi.Tapi, apa pula yang bisa dikasihani dari para bajingan barbar itu?Enggak dulu maupun sekarang, kerjanya selalu menyusahkan.Lebih-lebih si Evelyn sialan itu yang masih bisa memasang senyum meski udah di atas dudukan. Bahkan ketika lehernyadipasang jerat dan algojo ambil ancang-ancang.Cuma bangsawan yang diberi hak untuk ngasih tahu pesan terakhirnya—seperti yang kubilang sebelum-sebelum ini: persetan sama rakyat jelataDan binatang-binatang itu punya hak yang lebih rendah lagiDigantung adalah hukuman yang terlalu ringan.Ya … meskipun ngelihat mereka menggelayut sambil menggelepar-gelepar di udara mata, melotot, dan mulut mengap-mengap karena kehilangan napas secara pelan-pelan itu lumayan muasin; tapi kebiadaban mereka belum diganjar sepenuhnya.Andai aja regulasi negeri fiktif sialan ini lebih simpel, udah kuberi mereka hukuman
Itu konsep yang asing: ketakutan.Apa aku pernah takut sebelumnya?Ah, ya.Nostalgia lain.Masa lalu lain.Emangnya aku semacam pecundang yang nganggur ya?Aku gak punya waktu untuk melanglangbuana ke perkara yang bahkan enggak penting.Lagian, ketakutan itu respons yang sealami rasa lapar.Bahkan orang paling berani pun bisa gentar ketika di ambang kematian.Tapi, apa yang bikini ini jadi berbeda?TOK! TOK! TOK!Aku menyahut, hamper sepelan lirihan. “Masuk.”Meski tanpa berbalik ke belakang, aku bisa menyadari tatapan iba George yang mencolok. “Ini kekejian yang enggak bisa dimaafkan. Bisa-bisanya mereka … oh, demi Yang Maha Penyaya—““Kamu dapetin anak itu?” Aku lagi enggak ingin dengar nama-Nya di saat kayak begini.Entah itu yang mereka sembah atau apa pun yang pernah menemuiku di masa lalu.Namun, George justru bungkam.Apa dia pergi diam-diiam, ya?Cih, orang-orang ini.Emang, ya. Kau diamkan sekali dan mereka pikir kau itu figur lemah yang bisa dikuasai.Ketika berbalik, aku me