Enggak jarang aku berpikir kalau hidup itu bagaikan permainan Russian Roultte.
Kau cuma diberi dua pilihan.
Mati. Atau menderita lebih lama.
Sebagai orang terdidik dengan otak mumpuni yang telah teruji, tentu aku pilih yang pertama.
Konsep brilian itulah yang coba kuterapkan di kehidupan asing nan ajaib ini, tapi—bahkan dalam dunia yang secara harfiah ciptaanku sendri—nasibku memang tak pernah mulus.
Aku melayangkan pandangan penuh kebencian ke Jeantte dan Irene yang ada di barisan tengah.
Apa inisiatifku terlalu jelas ya sampai Irene tahu niat asliku?
"Mo-mohon bantuannya, ya, Rachel."
Ini salah satu alasan kenapa aku benci Tuhan.
Aku bermaksud berpartner dengan orang terkuat, tapi yang kudapat adalah yang—kemungkinan—terlemah di sini.
Aku berdeham seadanya.
"Salam. Tuan-tuan dan nona-nona. Calon pemimpin masa depan. Saya merasa terhormat diberi kesempatan berada di sini untuk memberi bimbingan kepada anda-anda semua di hari yang baik ini ..."
Dan blablabla. Semua omong kosong yang disebut tata krama umum dalam berbicara itu keluar dalam rentang waktu yang lama.
Satu-satunya hal yang bikin aku tidak mati bosan adalah hal yang Tuan Dylan lakukan kepada kumisnya yang menawan. Pria setengah baya itu kerap mengelus-elus si benda hitam-panjang-melintang seakan-akan bisa terbang kalau sedetik saja dilepaskan.
".... Baik. Sebagai calon pemimpin, kita mesti tahu apa yang membuat orang mau mengikuti kita. Kecerdasan? Kebijaksanaan? Kejujuran? Simpati?"
"Gimana dengan kemampuan untuk tidak membuat orang bosan setengah mati," sahutku cuek. Sumpah. Dia mau pidato sampai kapan?
Dimitri memeringatiku dengan panik. Sara memelototiku. Sementara Irene cuma menoleh heran.
Tuan Dylan memperhatikanku seksama dan mengelus kumisnya lebih intens. "Jawaban bagus, Nona. Tapi, itu masih keliru. Semua yang tadi itu keliru. Apa yang membuat seorang jadi pemimpin hebat hanya satu: kekuatan."
Pria itu mendengkus bangga. "Kita, manusia, tidak terlalu beda dengan hewan lain. Kita makhluk yang mengagungkan kekuatan. Itulah awal dari munculnya patriotisme. Kepahlawanan. Jiwa kesatria. Mereka yang terkuat akan mendapatkan semua kejayaan dan kehormatan. Jadi, tuan-tuan dan nona-nona, saya ingin melihat seluruh kemampuan kalian di sini. Tak peduli bila kalian harus berdarah-darah, babak belur, atau bahkan hampir mati."
Lord Dylan berhenti mengelus kumis, melihat kami satu-satu, lalu memaang senyum penuh arti. "Untuk kebanggaan, keagungan, dan kemuliaan abadi."
"Untuk kebanggaan, keagungan, dan kemuliaan abadi."
*#*
Huft!
Itu akhirnya berakhir.
Lagian, apa-apaan itu tadi?
Ceramah dadakan? Proses doktrinisasi?
Mengerikan!
Apa otakku memang dulu agak kurang beres atau orang-orang zaman dulu itu punya kebiasaan mendidik yang tak sehat?
Setelah menerima pidato panjang lebar nyaris tak berarti, akhirnya kami digiring ke panggung utama.
Itu ... jauh lebih mengangumkan daripada yang kudeskripsikan.
Alih-alih arena serupa colloseum versi kecil yang mononton, tempat ini lebih mirip stadion bola.
Itu kondominium yang dipenuhi aksen hijau olive. Dindingnya penuh tapestri, ornamen keemasan, dan hieroglif yang menceritakan karikatur para kesatria dari zaman lampau. Atapnya adalah bundaran kaca dari mika yang dapat memantulkan tiap cahaya.
Tuan Dylan menggiring kami menuju tribun penonton—deretan bangku kayu bersambung yang diposisikan melingkari sebuah ceruk.
Gelanggang utama ada di bawah sana.
Kosong, muram, gelap—mungkin kalau tidak ada bantuan matahari, di bawah sana bakal sangat gulita.
Sumpah! Ini area untuk mengedukasi generasi muda atau bekas tempat eksekusi mati?
"Seperti yang saya instruksikan, kita akan latih tanding berpasangan kali ini. Saya harap anda-anda semua memilih pasangan yang tepat. Karena di tangan merekalah, nyawa anda akan bergantung. Dan di tangan anda juga, nyawa mereka bergantung." Tuan Dylan tersenyum, lalu menyuruh perwakilan dari pasangan kami untuk mengambil nomor.
Aku menghela napas, berdecak putusasa, lalu menunjukkan kertas bertuliskan angka giliran tampil kami.
Ketiga.
Dimitri memasang wajah luar binasa—setengah kecewa, setengah pupus harapan.
Yamaap kalau sejak dulu nasibku selalu kurang mujur.
"Ki-kita lakukan apa yang kita bisa ya, Rachel. Te-tetep semangat."
Hebat juga dia bisa mengatakan itu dengan ekspresi pesimis yang kental.
Oke.
Sepertinya, sepulang dari sini, aku bakal menghitung berapa banyak lebam dan luka yang bakal kuperoleh.
Seperti dulu.
Tunggu. Kalau aku sampai pingsan di sini, bukannya aku bakal balik ke kehidupanku sebelumnya?
Jadi, bukankah ini skenario yang lumayan bagus?
"Baik. Dua pasangan pertama, bisa turun ke arena."
Empat orang itu tidak pernah kukenal.
Pasangan pertama adalah seorang laki-laki pirang yang mengenakan kaus latihan hijau dan seorang gadis berambut coklat dengan muka agak kemerahan yang mengenakan kaus hitam. Melawan pasangan kembar perempuan yang sama-sama mengenakan kaus merah muda.
Mereka sepertinya tokoh figuran tanpa nama di bukuku dulu, atau bangsawan tanpa status tinggi di sini—toh, bahkan setelah menampilkan pertarungan yang cukup sengit, jarang yang bersorak-sorai.
Pertandingan dimenangkan oleh pasangan kembar.
Mereka seperti monster.
Dengan peguasaan sihir mumpuni dan kombinasi dinamis yang kompak. Satunya punya sentuhan yang bisa menambah beban semua objek, sedangkan yang satunya adalah seorang summoner—tipe sihir yang bisa berkomunikasi dan memanggil sekumpulan hewan-hewan kuno.
Keduanya menghabisi pasangan lawan tanpa ampun hingga tak sadarkan diri.
Itu pertandingan yang sebentar.
Rasanya kurang dari dua puluh menit.
Ini sudah pertandingan kedua.
Giliran kami hampir di depan mata.
Dan aku masih tak tahu apa jenis sihirku!
Karena begini, si Rachel ini bahkan cuma muncul sesekali, sebagai tokoh yang tugasnya hanya mengompor-ngompori.
Selain kembaran lelaki mencurigakan dan fakta kalau aku adalah dedengkot Irene, aku tak punya informasi lebih tentang tokoh ini.
"Sebuah pertarungan yang impresif. Mari beri selamat dan apresiasi sebesar-besarnya Nona Myr dan Nona Dyr dari Dankhill."
Tepuk tangan mengudara meriah.
Aku sibuk meneguk ludah dan berusaha mengingat-ingat.
Oke.
Mari mulai dengan sistematika sihir di dunia ini.
Ya ... meskipun dibilang sihir, sebenarnya alih-alih penyihir atau ahli magis, orang-orang di sini lebih pantas disebut manusia super.
Basis kekuatannya selalu dari dalam tubuh. Panca indera, otot, sensor motorik, sistem verbal.
Argghh!
Sial! Itu mah terlalu banyak.
"Tanpa berlama-lama dan membuang waktu kita semua yang tentunya berharga, kita akan langsung menuju pertandingan babak dua—"
Pintu ruang itu digebrak terbuka dan Tuan Dylan menghentikan ocehannya.
Seorang pelayan pria berambut keperakan yang tadi kulihat, masuk dengan tergopoh-gopoh, membisikkan hal-hal mencurigakan yang sepertinya sekeji bisikan setan.
Karena buktinya, pria berkumis menawan itu melirik-lirikku dengan pandangan penuh arti, lantas mengangguk-angguk.
Aku meneguk ludah.
Ck! Apaan lagi ini?
Dylan menuju tribun paling kiri, tempat seorang gadis bertubuh mungil dengan rambut sehijau alpukat masak tengah bertukar tawa bersama gadis jangkung yang mengenakan pakaian hitam penuh pernak-pernik tajam—persis cewek emo campur rock di dunia nyata, kalau kau ganti gaun dan rendanya jadi kaus dan jeans ketat robek-robek.
Dylan membisikkan sesuatu.
Si gadis berambut hijau menutup mulut, lalu keluar air mata.
Dylan memberinya pelukan hangat.
Huh! Dasar tua bangka itu!
Pintar juga cari kesempatan.
Lagian, apa, sih, yang mereka perbincangkan?
Setelah chitchat tak jelas selama beberapa saat sebentar—yang dalam periode waktuku terasa seperti hampir seumur hidup—gadis itu keluar ruangan ditemani teman ngobrolnya.
Dylan kembali lagi ke tempatnya—sisi tribun paling tengah, paling sentral, di mana semua orang bisa melihat. Wajah pria itu sendu—atau setidaknya berusaha terlihat begitu.
"Semua yang berawal akan berakhir. Semua yang hidup kelak akan menemui maut. Sangat berat sebenarnya ketika saya menyampaikan ini. Baru pagi tadi, Count Brightheart, ayahanda dari Nona Sonia Bright baru saja berpulang ke sisi Dia Yang Maha Perkasa."
Suasana berubah jadi makin suram.
Semua orang menunjukkan wajah melas, menyesal, dan bahkan ada yang manis. Bahkan Sara yang awalnya kukira hatinya sebeku permukaan Antartika.
Aku meneguk ludah.
Rasanya agak tak beres.
Oke.
Ayo, katakan maksudmu sebenarnya, Pak Tua!
Enggak mungkin kan menghentikan acara begini cuma untuk pengumuman figuran tak dikenal yang mati di sudut antah-berantah negeri?
"Karena itulah pertandingan selanjutnya akan ditunda hingga akhir, bila Nona Brightheart masih berkenan untuk datang—atau pekan depan, oh semoga Dia Yang Maha Perkasa menguatkan gadis malang itu."
Eh?
"Maka dari itu, kita akan berangkat ke pertandingan selanjutnya."
Ini pasti enggak mungkin.
"Hm ... siapa ini? Ah. Ya. Antara pasangan Lord—maksud saya—Pangeran Devon dan Lord Arsenault, melawan Lady Dawver dan Lady Eastborne."
Mampus, dah!
"Silakan, pasangan yang dipanggil segera menuju arena."
Sebenarnya, aku ini punya penyakit keras kronis: nasib yang kadang tidak mujur.Dan bila kambuh, paling sedikit aku bakal ketiban tiga kesialan dalam sehari.Mulai dari dibuang ke alam delusi yang seharusnya sudah kukubur, pendam dalam-dalam, dan lupakan bertahun-tahun lalu.Bertransformasi jadi cewek pendengki letoy yang orientasi hidupnya cuma untuk jadi kacung penjahat wanita.Lalu mendapat kesempatan lebih cepat untuk jadi samsak hidup.Apalagi setelah ini? Tiba-tiba petir menyambar atau jadi lumpuh seumur hidup?Aku meneguk ludah tiap kali berusaha memperhatikan ini dari dekat.Dinding-dindingnya kelabu dan seakan nampak tak kenal ampun. Dengan dua obor yang belum menyalakan menangkring di masing-masing mata angin.Lantainya kebanyakan dipenuhi pasir, tapi ada permukaan datarnya juga, jadi aku t
Saat kubilang dunia gonjang-ganjing, itu tidak berarti secara metaforis atau aku tengah berusaha mengumpamakan sesuatu dengan puitis—dengar ya, aku ini bukan orang yang suka bertele-tele.Tapi, itu benar-benar terjadi. Secara hafiah.Arena berguncang. Sekali. Dua kali.Gempa? Ada juga, ya, di dunia ini?Serangan Arsenault batal dan keseimbangannya kacau.Ketika dia roboh dan kurasa kali ini aku benar-benar merasa akan mati, muncul suatu bayangan gigantis menyerupai … kaki?Jenjang. Kikuk.Aku menengadah, menemukan pemiliknya yang tengah menatap balik dengan muka babak belur dan lelah.Aku tidak percaya yang kulihat. “Dimitri?”Cewek itu mewujud secara abnormal tak jauh di depan sana—kaki setinggi hampir dua meter sementara anggota badan lainnya nampak sekurus lidi.
Kabar baiknya? Aku ternyata masih hidup.Kabar buruknya? Aku ternyata masih hidup.Rupanya bahkan hilang kesadaran tidak membuatku ‘terbangun’ ke dunia nyata.Ini sebenarnya mimpi macam apa? Panjang banget, dah.Atau diriku kini lagi koma atau kritis, ya?Atau malah beneran sudah mati?“Eh! Aw! Aw!” Aku meringis begitu sebuah ambal kasar membasuh tempat di mana lebam dan bengkak dulunya berada. “Bisa pelan-pelan gak, sih?”Rasanya sakit banget, setan.Si pelayan buru-buru minta maaf dengan mata berkaca-kaca, padahal terakhir kuingat dia itu lelaki. “Ma-maaf, Nona. Saya—”“Ck! Udah, ah. Sana.”“Tapi—”Kuberi saja cowok cengeng itu tatapan tajam. Sepertinya berhasil buat dia
Aku tak pernah mengerti mengapa semua orang menganggap ayah sebagai sosok pahlawan. Atau seorang pemimpin. Atau kepala keluarga. Ya … maksudku, apa kau mau menganggap pecundang tanpa kuasa riil sebagai sosok teladan yang tangguh dan pantas dihormati? Sejak lahir, aku diberkati ayah yang tak terlalu berguna. Pria yang cuma bisa menyombongkan kepintaran serta wawasan anehnya pada semua orang—ya meskipun itu terbukti secara tertulis, sih—dan tidak pernah menghasilkan penemuan signifikan. Karena itulah, ketika gagal dan bangkrut, kerjanya sehari-hari cuma merenung. Mengeluh. Merutuk. Mengutuk semua orang yang mengkhianatinya. Menyumpahi orang-orang yang meninggalkannya sendirian di belakang. Pengecut menyedihkan! “Ayah .…” Lucian berdiri. Memasang senyum. Setelannya makin resmi dalam
Banyak yang bilang aku pesimis, padahal aku cuma realistis.Jadi tiap kali bertemu orang atau hal baru, aku cenderung memikirkan skenario terburuk yang akan terjadi.Semisal, tiba-tiba dalam antrean ada seorang yang mengalah dan menyuruhku duluan, ada kemungkinan kalau orang itu adalah penguntit menjijikkan yang berusaha menarik simpatiku dan menculikku begitu aku terpedaya—hah! Seperti bakal kejadian saja! Dikiranya aku ini bocah empat belas tahun lugu yang bisa dibodoh-bodohi?Baiknya, sih, kau terapkan juga.Itu bakal bermanfaat banyak dan membuat batin menjadi lebih tentram—setidaknya itu berhasil untukku.Karena itulah, ketika mendapati Alfie adalah bajingan tak bertanggung jawab lain, aku tak terlalu kaget.Setidaknya, meskipun cuma pecundang yang penuh gengsi, ayahku dulu masih punya otak.Tapi, si Alfie ini sudah angku
Hidupku hancur.Runtuh.Jadi sebuyar abu.Jadi, kesimpulan dan pesan moral dari metafora nirguna di atas adalah: jangan sekolah kalau mood-mu lagi jelek.Jujur, aku ini orang baik. Dan sangat normal.Lagian, banyak skenario buruk yang mungkin akan terjadi ketika orang kelepasan marah, ‘kan?Malah, ada yang lebih buruk.Seenggaknya, tingkahku enggak melibatkan senjata api.Boro-boro AK-47.T-tapi, katanya, sih, orang terpandang itu punya hati sensitif.Dan kalau berani macam-macam dengan mereka, bakal ada konsekuensi yang mengerikan menanti.Semoga saja orang-orang kaya ini tidak sama brengseknya dengan yang ada di dunia nyata.
“Lebih tegak lagi. Lebih tegak. Kan udah kubilang, tepat sembilan puluh derajat. Kamu ini dengar gak, sih, dari tadi?”Maka, aku pun menurut.Coba mencondongkan tubuh secara vertikal. Setegang pasak. Setenang tombak.Sempat kukira kali ini bakal berhasil, tapi tiba-tiba satu buku yang tertumpuk di atas kepala jatuh.Satu lagi jatuh. Lalu lagi. Lalu yang lain hingga berhamburan.CTAS!Punggungku kembali disabet rotan.Rasanya sakit banget, setan.Panas melepuh dan lama-lama jadi pedas. Seperti ditempeli puluhan koyo cabe sekaligus—serangan perih berdenyut-denyut yang dipadukan sensasi terbakarPadahal yang sebelumnya masih belum pulih dan berdenyut-denyut, tambah lagi ini.Aku yakin punggungku kini sudah jadi merah, atau biru, atau malah timbul bekas lebam melintang yang jelek—awas saja kalau itu yang kejadian, enggak bakal kubiarkan wanita tua ini hidup dengan anggota tubuh utuh.“Etika di meja makan nol besar, gak tahu cara menulis dan mengeja yang benar, dan ini … bahkan duduk aja m
Maut itu lelucon tolol.Apa? Enggak senang? Terlalu edgy?Padahal begitu kenyatannya.Kau pikir sudah berapa kali aku berdoa supaya mati muda?Ratusan. Ribuan Puluhan ribu. Ratusan ri …Zzz …………Hoam!Ya ampun, kebanyakan menghitung, mataku jadi berat—nah, satu nasihat lagi, kalau otakmu kebanyakan diisi angka, matamu bakal cepat rabun.Kesimpulannya: doa itu sia-sia dan cuma buang-buang waktu.Jadilah, aku mengambil aksi nyata dan mulai mencari cara bunuh diri tanpa rasa sakit.Tapi, dari sana, halangannya malah makin berengsek.Mulai dari harga senjata api itu rupanya mahal—belum lagi kepengerusannya secara legal.Racun? Aku trauma setelah menonton efeknya di sinetron.Ada godaan untuk gantung diri saja, tapi prosesnya diasumsikan sebagai yang paling menyiksa.Kemudian, secara ironis, aku malah terperangkap dalam realitas konyol; disusahkan masalah yang sebenernya bukan urusanku; dan kini berhadapan dengan dua malaikat maut berwujud dua pangeran ingusan.Entah kenapa, kematian ja
Percaya atau enggak, semua ini bener-bener di luar kendali.Aku juga ngira aku bakal mati kala itu.Emang pastinya bakal ada serangan.Di antara daerah lain, penjagaan kami hampir serapuh tahu. Bahkan cuma dengan dua puluh orang terlatih, kastil ini akan langsung jatuh.Tapi, ya … enggak secepat itu, setan.Mana, ketika mereka datang, mereka bawa satu pasukan penuh pula.Kira-kira jumlahnya ada sekitar dua belas ribu orang. Bersenjata lengkap. Armor mengilap. Bahkan ada artileri.Upaya yang sia-sia untuk menyerbu kastil enggak berharga.Padahal, kalau mereka minta aku nyerah baik-baik, bakal langsung kulakukan.api, orang-orang ini punya pemikiran aneh tentang musuhnya. Bahwa kami dianggap sebagai perwujudan setan yang mesti dibasmi, diperkosa, dibantai hingga musnah dan menjamin kemenangan.Maka, sembari menunggu mana pilihan paling pas yang bakal kudapat, aku mendapat kemuliaan untuk ngehuni penjara bawah tanah.Aku pernah ke sini sekali.Kala itu lebih ramai.Ada si Wilson tolol it
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini buka
Sejak awal ini konyol. Bilangnya udah enggak seperti dulu lagi, tapi apa yang kulakuin di sini? Terjebak dalam dunia khayal tempat seharusnya aku enggak berada. Aku lebih penasaran, seberapa lama samaran murahan ini bakal bertahan. Maksudku, cuma selembar kain hitam bertudung yang dari bagian bahu hingga lengannnya koyak-koyak, bukannya kami bakal langsung dicurigain. Lagi, si Jeanette tolol ini juga gak nyiapin aku alas kaki. Apa dia enggak mempertimbangkan semua ini? Kayaknya aku terlalu berharap banyak. Pada akhirnya, meski dijulukin pahlawan dan penjahat perang—tergantung dari mana kau dengernya—nih cewek masih remaja. Pribadi berpikiran sempit yang punya semangat sekonyol orang pengidap gangguan jiwa. Selain prajurit, aku nyaksiin demonstrasi. Kumpulan massa dari para rakyat jelata dengan proporsi tubuh abnormal yang mendengarkan ceramah orang-orang teler. Orang-orang teler yang mengatakan ‘kebenaran’. “Negeri ini udah dikutuk di hari pertama Pengkhianat itu diangkat
`“Itu gak mungkin.”Bard sepertinya yang paling mengerti. “Aku tau dia temanmu, tapi … orang-orang akan selalu berubah, hingga pada titikk yan gak bisa kau kenalin.”Banyak yang bilang itu kabar angin, tapi berdasarkan pengalmanku dari berbagai sisi, itu merupakan kebenaran yang cuma dilebih-lebihkanEntah di bagian mananya, tapi hanya ada satu simpulan: banyak orang mati di Ibukota.“Aku mau keluar cari angin dulu.”Yang lain menanggapi dalam bungkam.Mengerti apa yang kurasakan.Sejak hari itu, aku udah berjanji.Pada diri sendiri, bahwa mulai sekarang aku bakal nyiptain ‘perubahan’.Tapi, bukan seperti yang dikehendaki Brown dan kawanannya.Visi mereka terlalu liar, brutal, dan tak manusiawi.Oh, tentu aku dengar soal mereka juga.Tentang gaung revolusi yang diserukan seluruh penjuru negeri.Mereka bahkan berani bawa-bawa nama Dia Yang Menguasai Langit dan Bumi. Menyebut kampaye kekerasan itu sebagai Perang Suci.Itu keterlaluan. Itu mesti kuhentikan.Tapi, tidak secara langsung.Be
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini bukan
“Nyamankan dirimu sendiri, Rachel. Enggak usah terlalu tegang begitu. Aku enggak bakal nyakitin kamu atau gimana, kok. Gimana pun, kita ini temen lama, bukan?”Ya? Kalau begitu, biarkan kudaratkan satu pukulan paling kuat yang kubisa ke wajah bodohmu itu.Mungkin, setelahnya, aku jadi enggak terlalu gugup lagi.Karena gimana ya …Belum ada tiga hari sejak kedatangan bajingan-bajingan asing ini, dan mereka udah memperlakukan istana bak rumah sendiri.Kamar-kamar tamu ditempati sembarangan.Barak dan persenjataan dikuasai.Tentara-tentara yang tersisa dilucuti—alasannya sih untuk ngehindari kekerasan yang enggak perlu.Itu dalih tolol—atau mungkin enggak?Entahlah.Karena, terlepas dari info ini valid atau enggak, jumlah pasukannya enggak kurang dari 15 ribu.Membanjiri kota dengan intimdasi dan todongan yang dibalut dengan begitu manis hingga nampak seperti persembahan yang menarik.Apa salah satu di antara mereka ada yang punya kemampuan memgendalikan pikiran, ya?Makudku, mengubah per
Itu konsep yang asing: ketakutan.Apa aku pernah takut sebelumnya?Ah, ya.Nostalgia lain.Masa lalu lain.Emangnya aku semacam pecundang yang nganggur ya?Aku gak punya waktu untuk melanglangbuana ke perkara yang bahkan enggak penting.Lagian, ketakutan itu respons yang sealami rasa lapar.Bahkan orang paling berani pun bisa gentar ketika di ambang kematian.Tapi, apa yang bikini ini jadi berbeda?TOK! TOK! TOK!Aku menyahut, hamper sepelan lirihan. “Masuk.”Meski tanpa berbalik ke belakang, aku bisa menyadari tatapan iba George yang mencolok. “Ini kekejian yang enggak bisa dimaafkan. Bisa-bisanya mereka … oh, demi Yang Maha Penyaya—““Kamu dapetin anak itu?” Aku lagi enggak ingin dengar nama-Nya di saat kayak begini.Entah itu yang mereka sembah atau apa pun yang pernah menemuiku di masa lalu.Namun, George justru bungkam.Apa dia pergi diam-diiam, ya?Cih, orang-orang ini.Emang, ya. Kau diamkan sekali dan mereka pikir kau itu figur lemah yang bisa dikuasai.Ketika berbalik, aku me
Orang-orang Willvile bakal digantung, dan aku enggak ngerasain apa-apa.Dengar.Gini-gini, aku masih punya empatI. Kesenstifian hati. Dan rasa manusiawi.Tapi, apa pula yang bisa dikasihani dari para bajingan barbar itu?Enggak dulu maupun sekarang, kerjanya selalu menyusahkan.Lebih-lebih si Evelyn sialan itu yang masih bisa memasang senyum meski udah di atas dudukan. Bahkan ketika lehernyadipasang jerat dan algojo ambil ancang-ancang.Cuma bangsawan yang diberi hak untuk ngasih tahu pesan terakhirnya—seperti yang kubilang sebelum-sebelum ini: persetan sama rakyat jelataDan binatang-binatang itu punya hak yang lebih rendah lagiDigantung adalah hukuman yang terlalu ringan.Ya … meskipun ngelihat mereka menggelayut sambil menggelepar-gelepar di udara mata, melotot, dan mulut mengap-mengap karena kehilangan napas secara pelan-pelan itu lumayan muasin; tapi kebiadaban mereka belum diganjar sepenuhnya.Andai aja regulasi negeri fiktif sialan ini lebih simpel, udah kuberi mereka hukuman
“Lagi?”Percuma saja, dari sudut pandang mereka, apa pun yang kukatakan bakal menjadi geraman yang membuat bulu kuduk merinding.Bahkan meski aku tak punya niat membunuh—dan tak pernah demikian.Itu semua bukan untuk tujuan keji seperti itu.Hari itu aku kehilangan segalanya.Kebahagiaan. Harapan. Tujuan.Dan itu membuatku bertanya-tanya, untuk apa?Apakah ini pantas?Apakah aku seberdosa itu?Namun, bak belaian paling lembut, gemulai, dan menentramkan; sebentuk suara agung menyahut dari langit.Memberi pencerahan paling absud sekaligus paling masuk akal.Dewa mengambil, dewa juga memberi.Ibu, Fio, Janine, dan semua orang adalah harga mahal yang tak sepadan dengan nyawaku—awalnya, pemikiran bodoh kayak begitu entah kenapa terlintas.Tapi, kekekalan ini merupakan berkah niscaya yang datang bukan untuk disia-siakan.Neraka kosong dan para iblis ada di sini. Aku adalah titisan yang dikirim untuk membasmi mereka.Memusnahkan kekejian. Membumihanguskan kejahatan. Meluluhlantakkan segala w