Sebenarnya, aku ini punya penyakit keras kronis: nasib yang kadang tidak mujur.
Dan bila kambuh, paling sedikit aku bakal ketiban tiga kesialan dalam sehari.
Mulai dari dibuang ke alam delusi yang seharusnya sudah kukubur, pendam dalam-dalam, dan lupakan bertahun-tahun lalu.
Bertransformasi jadi cewek pendengki letoy yang orientasi hidupnya cuma untuk jadi kacung penjahat wanita.
Lalu mendapat kesempatan lebih cepat untuk jadi samsak hidup.
Apalagi setelah ini? Tiba-tiba petir menyambar atau jadi lumpuh seumur hidup?
Aku meneguk ludah tiap kali berusaha memperhatikan ini dari dekat.
Dinding-dindingnya kelabu dan seakan nampak tak kenal ampun. Dengan dua obor yang belum menyalakan menangkring di masing-masing mata angin.
Lantainya kebanyakan dipenuhi pasir, tapi ada permukaan datarnya juga, jadi aku tak perlu khawatir bila-bila nanti tidak bonyok atau benjolku kurang banyak.
“Nona berdua tidak perlu takut atau khawatir, saya akan berusaha tidak terlalu keras ketika pertarungan nanti,” ujar suara di depanku begitu lancang.
Hah!
“Te-terima kasih, Tuan Panger—”
“Jangan berterimakasih, Dimitri!” Aku berdecak tak sabar.
Mentang-mentang dia pangeran atau apalah itu, beraninya dia mengejekku terang-terangan begitu, pakai pasang muka datar pula.
Siapa tadi namanya? Ah, benar. Devon. Devon Donovan. Adik si putra mahkota.
Dulu aku memberinya julukan sang Serigala Pelindung.
Dengan surai kelabu melebihi bahu, tatapan tajam yang berkesan menelanjangi, ekspresi datar yang sukar ditebak.
Padahal kalau diperhatikan lekat-lekat, wujudnya lebih mirip cowok kesepian yang tak bisa jaga penampilan.
Acak-acakan.
Kusut.
Menyedihkan.
Dan orang macam begini berani menganggapku tak lebih dari hamster mungil yang lebih pantas menerima rasa iba alih-alih rasa hormat?
“Kamu pikir cuma karena kamu laki-laki dan seorang pangeran, kamu berpikir kalau kamu lebih kuat dari kami?” Aku tersenyum miring, setengah sinis, setengah cemas.
Kendati bersikap angkuh demikian, sebenarnya peluang menangku juga masih belum berubah: nol besar.
Tapi, ya, aku mendengar nasihat ini dari orang paling cermat di bidangnya: bersikaplah kuat ketika kau dalam keadaan lemah, dan bersikaplah lemah ketika kau dalam keadaan kuat.
“Haha, betul itu, Donovan. Kalau semua wanita di sini lemah, gak mungkin dong Pak Tua itu menggelar latih tanding gabungan, benar?” Rekan dari Devon menyahut.
Ah, siapa namanya tadi? Arsenault?
Lagi-lagi nama yang tak kukenal.
Tapi, ini orang sepertinya lebih harus diwaspadai. Karena meski penampilannya sama tak meyakinkannya dengan Devon, lengkungan di bibirnya sepertinya mengindikasikan lebih dari seringai bodoh penuh tantangan.
“Kalau begitu, saya memohon maaf atas ketidaksopanan dan ketidakpekaan saya. Saya tidak bermaksud untuk menyinggung hati Nona berdua atau mempertanyakana kemampuan Nona berdua.”
“Intinya kita buktikan saja ketika dimulai nanti.” Aku meneguk ludah, berusaha untuk tak terbata-bata.
Dylan meneriakkan perintah, menyuruh kami mengambil jarak yang telah ditentukan—dua-puluh-lima meter berhadapan—dan segera bersiap-siap.
Cih, dasar sok berkuasa!
Padahal kalau tak salah pangkatnya tak lebih dari sekadar Komandan Tertinggi istana.
“Em …, Ra-Rachel.”
“Hm?”
“Ka-kayaknya kita harus tahu kemampuan masing-masing sebelum mulai. S-supaya kerja sama kita bisa lebih bagus.”
Nah, benar juga.
Tapi, gini nih, Dimitri Sayang, aku bahkan belum tahu apa-apa tentang kekuatanku. “Itu bener. Kalau gitu, gimana kalau kamu yang jelasin kemampuanmu dulu.”
“O-oke.” Dimitri menatap ke arah Devon dan Arsenault waswas, lalu berkata sepelan bisikan, jadi butuh perhatian ekstra untuk benar-benar menyimaknya. “Aku bisa memindahkan massa otot dari satu organ tubuh ke organ lain dalam sekejap.”
Dimitri sepertinya sadar kalau aku masih kurang mengerti, jadi dia menunjukkan jari kelingkingnya ke muka. “Se-seperti ini.” Tiba-tiba saja kelingking itu jadi sebesar jempol, berurat-urat, dan tangguh.
Itu … gimana dia bisa melakukannya? “Keren!” Aku berkata tanpa sadar.
Tapi, kelingkingnya langsung kembali seperti semula. Saat berkata lagi, wajah Dimitri tersipu, “Ta-tapi, supaya efeknya maksimal, aku cuma bisa memindahkan ke satu anggota tubuh saja. Da-dan makin besar otot yang kufokuskan ke satu anggota tubuh, anggota tubuh lain bakal jadi lebih lemah dan lebih rentan. Ja-jadi kemampuan ini gak sekeren itu.”
Wah, wah.
Ini mah lebih mirip hadiah rahasia dalam undian.
Sudah kuputuskan, kau bakal jadi perisai daging.
Sekarang aku tak perlu khawatir kalau-kalau kesakitan.
“Ka-kalau kamu, Rachel? Bagaimana?”
Aku meneguk ludah. “Nah, soal itu—”
“—Tuan-tuan dan nona-nona, peraturannya sederhana seperti yang telah saya bilang beberapa saat lalu: tidak ada senjata tajam; beracun; atau peralatan mematikan. Pertandingan akan dihentikan kalau salah satu dari kalian menyerah atau tidak bisa melanjutkan. Apakah bisa dipahami?”
Huh! Tak kusangka bakal selega ini dengar suara berat si Dylan.
Tapi, itu artinya kondisi hidup-mati ini makin dekat.
“Kalau begitu, pertandingan dimulai dari sekarang.”
Ini dia.
Tak kusangka, awalnya tak sebrutal yang kukira.
Kami berempat cuma saling berputar-putar di tempat, menjaga jarak paling aman, berpandang-pandangan mengawasi.
Sepertinya ini latih tanding pertama. Jadi semua orang tak tahu dengan kemampuan yang lain.
Devon berjongkok, menggenggam pasir secara mencurigakan.
Aku lakukan kuda-kuda bela diri yang kuketahui.
Apa ini? Apa dia berusaha mengacaukan persepsi penglihatan kami dengan menaburkan pasir ke udara?
Hah! Kejauhan, tolol. Mana bisa kau melemparnya!
Bukan. Ternyata bukan!
Devon menyatukan kedua genggam pasir ketika menyentuhkan dua telapak tangan. Lalu, ketika gandengan itu tersikap ke atas, muncul sebilah pedang langsing sepanjang siku dengan ujung tumpul.
Devon genggam pedang itu dengan satu tangan, mengambil ancang-ancang untuk menyerang.
Posisi Dimitri juga mulai defensif.
Ini dia.
Serangan pertama.
Huh! Tapi, pedang semungil itu di hadapan tangan raksasa Dimitri memangnya bisa apa?
Saat itulah aku baru sadar kalau Arsenault telah hilang dari pandangan.
Sial!
Aku menoleh ke sana-kemari. Mencari dengan panik.
Orang itu pergi ke mana? Apa ini sihirnya? Dia bisa memanipulasi ukuran tubuh? Atau tengah menimbulkan ilusi lewat media suara?
Bugh!
Itu tendangan yang kuat.
Telak ke perut.
Aku terpental dan terguling-guling sampai nyaris menabrak dinding.
Berengsek!
Sakitnya bukan main! Aku bahkan sampai hampir muntah. Pandanganku jadi kabur.
Tapi, aku masih bsia melihatnya samar-samar.
Arsenault berada di jarak kira-kira lima meter. Utuh. Tanpa manipulasi apa-apa. Dia mengangkat kaki, bersiap maju dan melayangkan terjangan kedua.
Huh! Kau kira bisa semudah itu?
Biar pun aku tak tahu sihirku apa, tapi aku sudah mengalami yang lebih buruk sejak dulu.
Jadi refleksku bagus.
Arsenault melangkah menghampiri.
Aku bersiap menghindar.
Terlambat! Tidak, tidak. Bukan terlambat, tapi dia … terlalu cepat.
Cepat di sini bukan seperti lari seorang atlet atau prajurit terdidik.
Nah, kau pernah merasakan angin? Kau baru sadar keberadaannya ketika itu telah menyentuhmu. Arsenault sialan itu begerak secepat itu.
Wujudnya seakan melebur menjadi kilasan-kilasan sesaat yang bergerak zigzag. Dan sekonyong-konyong dia sudah ada di sana. Kakinya di depan wajahku. Kepalaku langsung dia sepak.
Aku tak sempat berkilah.
Pipiku kali ini yang jadi sasaran.
Rasanya perih, nyeri, dan bergemerutuk.
Tunggu! Apa itu tadi gigiku yang patah?
Meskipun kondisiku sudah sangat mengenaskan, Arsenault berengsek itu sepertinya memang tidak punya nurani.
Dia kembali menyerbu dengan langkah yang berdentam-dentam. Kali ini tak repot-repot berkelebat.
Arsenault berjalan santai, mengangkat kaki, dan bersiap menginjak wajahku bak menggilas tahi.
“He-hentikan!”
Sebongkah tangan raksasa berusaha meraih dan meremukkan kaki Arsenault. Tapi, pria itu segera menghindar dengan tempo macam setan.
“Rachel!” Dimitri mendekati. Tangannya yang satu sudah normal kembali.
Hei! Jangan ke sini! Lebih baik kau habisi dulu pria tak tahu diri itu, minimal tolong pecahkan tulang kepalanya.
Tepat ketika Dimitri akan berjongkok dan mengulurkan tangan, sebilah belati mungil meluncur ke arah mukanya dan memberi luka gores panjang yang melintang di pipi Dimitri.
Aku menoleh spontan, mendapati Devon yang sudah berjongkok, mengambil pasir, hendak membentuk belati lain.
Sial!
Presisi lemparannya memang bisa setepat apa?
Mungkin, kalau Dimitri kurang beruntung, matanya sudah tercongkel keluar—dan itu pemandangan yang kurang mengenakkan di pagi indah begini.
Maka dengan jiwa sportivitas yang tinggi, aku menggaungkan protes. “Hei, bukannya gak boleh pakai senjata tajam?”
Arsenault yang sudah siap maju lagi, ikutan berhenti dan mengerjap-ngerjap, menunggu keputusan Dylan.
Karena jaraknya dengan kami lumayan dekat, aku jadi kepikiran untuk menyuruh Dimitri menghampiri dan meraih tubuhnya dengan lengan raksasa yang lengah.
Tapi, kecepatan Arsenault yang tak bisa diprediksi membuat niatku urung.
Apalagi aku juga belum tahu kemampuanku bagaimana. Tubuhku juga di ambang batas.
Satu pukulan lagi, mungkin aku bisa langsung dikirim ke neraka—kali ini beneran.
“Dari pengamatan saya, apa yang diciptakan Tuan Pangeran sama sekali tidak tajam atau mematikan seperti yang anda maksud, Nona Dawver.”
“Hah?” Apa-apaan itu?
Ini semacam nepotisme? Korupsi terselubung?
Heh! Kalau memang menang secara tidak sehat, setidaknya libatkan aku juga, dong.
Aku bisa, kok, akting pura-pura kalah dengan seimpresif aktor kawakan—kalau komisinya lumayan.
“Atau anda mau mengakhirinya sampai di sini saja?”
Aku mengernyit mendapati si Dylan mengulas seringai menjengkelkan.
“Aku juga sebenarnya kurang nyaman melukai seorang gadis. Jadi kalau kalian berdua gak keberatan ya … kami terima-terima aja .” Arsenault mengedikan bahu dan ikut tersenyum.
Sial! Mereka lagi mengejekku ya? “Enggak!”
Dimitri menoleh, mata berkaca-kaca. “Tapi, Rachel, barusan kamu—”
“Kamu enggak denger? Pertandingan ini masih berjalan.” Aku tak sadar kalau nadaku meninggi barusan.
Ah! Biarlah! Yang mesti dipikirkan sekarang adalah memberi duo lelaki berengsek ini pelajaran paling pantas.
Setelah itu, Arsenault maju lagi. Langkahnya zigzag mendekati dalam ritme super cepat.
Serangannya hampir datang. Untung aku sempat berteriak. “DIMITRI!”
Dimitri patuh tanpa suara. Diubahnya tangannya menjadi lengan raksasa penuh bongkahan otot tangguh, kemudian menaungi dan melindungiku dalam dekapan tak tertembus.
Nah, itu baru teman.
Tapi, baru merasa lega sebentar, tiba-tiba aku merasakan gemuruh kecil dan benteng daging yang kukira aman itu ternyata nampak lebih rapuh dari yang berani kuduga.
Lewat celah jari gigantis Dimitri, aku bisa melihat Arsenault tengah menendang; memukul; dan melakukan kombinasi dari keduanya dalam serbuan dahsyat yang membabibuta.
“Dimtiri, kamu masih bisa nahan, ‘kan?” Gawat juga kalau tiba-tiba benteng daging ini jadi senjata makan tuan dan roboh menimpaku.
“Ma-masih! Te-tenang saja, Rachel. Kamu fokus pikirkan strategi selanjutnya?”
Hah? Strategi, ya.
Oke. Aku, sih, baru kepikiran satu ide brilian: tunggu saja sampai Arsenault kelelahan.
Dia bakal pingsan, lalu serang si pangeran sialan itu dengan tenanga monsternya Dimitri.
Hm …. Baiklah. Sudah dipastikan.
Oke. Seranglah sepuasnya, Arsenault!
Kami enggak bakal takut!
Tapi, setelahnya, serbuan itu justru berhenti.
Arsenault cuma berdiri, tak jauh dari kami, tanpa ancang-ancang apa pun, tanpa trik apa pun, tanpa berusaha mempertahankan diri.
Apa ini? Semacam jebakan?
Aku buru-buru melihat ke depan lebih jauh, di mana Devon tengah berlari menuju sini.
Apa mereka merencakan sesuatu seperti serangan kejut?
Hah! Bodoh! Dikiranya aku bakal jatuh ke lubang yang sama?
Apa aku menyuruh Dimitri untuk menyerang si Arsenault itu saja? Tidak, tidak. Kecepatannya itu beresiko.
Kalau aku menyingkap pertahanan satu-satunya dalam suatu strategi yang tak pasti, bisa-bisa aku langsung keok lagi.
Lagi pula, di sisi lain, bidikan sang pangeran juga bahaya.
Ketika asyik memikirkan cara paling aman untuk menang sekaligus menghindarkan diri dari kehilangan patah tulang lebih banyak, Arsenault tiba-tiba membungkukkan tubuh.
Diam sepenuhnya.
“Dimitri, tangkap dia!” Instingku tiba-tiba saja menguasai. Entah kenapa, rasanya kalau aku tidak melakukan sesuatu saat itu juga, peluang menang bakal lenyap.
Dan benar saja.
Arsenault kewalahan ketika menghindar. Tapi—sialnya—dia berhasil.
Bukan dengan berkilah ke belakang. Tapi melompat. Ke depan. Tinggi dan berkelebat.
Loncatan itu bahkan melewati perisai otot Dimitri. Ketika sampai ke dekat wajah, Devon mengangkat kaki.
Tidak! Itu bukan gerakan menyelamatkan diri.
Tapi, serangan!
“Dimi—”
Terlambat! Sebelum aku selesai bicara, sepakan telak bersarang ke hidung Dimitri.
Sial! Aku baru ingat perkataan Dimitri tadi. Sesuatu tentang anggota tubuhnya lainnya bakal melemah ketika kemampuannya aktif dan massa ototnya terkonsentrasi dalam satu titik.
Itu …. bukannya seharusnya kami tak tahu kekuatan satu sama lain? Gimana si Arsenault bisa tahu kelemahannya dalam sekejap?
Sementara aku memusingkan kemungkinan kecurangan lain, Dimitri nampak terpental tak terlalu jauh, tubuhnya kembali seperti semula, keadaannya antara sadar dan tak sadar, menyibak diriku di tengah arena tanpa pertahanan.
Kulihat Arsenault berkuda-kuda untuk menyerbu lagi.
Aduh! Ini sih sudah fiks kalah, mah.
Ketika bersiap menutup mata dengan pasrah, gempuran kembali datang seperti yang kuduga.
Tapi dalam bentuk sabetan benda tumpul mirip tongkat sepanjang setengah hasta. Kuat, tapi lebih lamban.
Aku terkejut yang melakukannya ternyata Devon.
Arsenault sendiri masih terdiam di tempat, mengamati, seperti tengah menunggu sesuatu.
Itu … aneh.
Tapi, Devon tak memberiku waktu untuk berpikir. Dia melakukan tebasan datar, vertikal, dan menyilang dalam kecermatan seorang prajurit. Berkali-kali. Nyaris tanpa jeda.
Tapi, sepertinya, berurusan dengan Arsenault membuat refleksku jadi lebih terlatih.
Aku berjongkok, meloncat, bahkan melangkah mundur dalam waktu yang seringnya tepat. Jadi, di antara sepuluh serangan, aku cuma kena tiga kali—itu pun tidak telak atau menyebabkanku langsung roboh seperti tadi.
Tepat setelah serangan terakhir, Devon mundur, sepertinya frustasi.
Hah! Dasar laki-laki pengecut, cuma segitu doang daya jua—
Duak!
Sial. Dia bukannya menyerah. Tongkat itu dibidiknya dan dilemparkannya tepat di hidungku.
Untung kami tidak terlalu berdekatan.
Karena dengan kekuatan seganas itu, satu-satunya aspek positif dari fisik merepotkan ini bisa-bisa patah.
Ketika mengelus-elus muka untuk meredakan perih, saat itulah aku sadar kalau maut sudah menyambangi.
Datang dalam desauan bergemuruh bak jelmaan badai tanpa suara, bayang-bayang Arsenault menjulang di depanku dalam penampakan yang lebih besar dan menakutkan daripada yang kuingat.
Sialan! Terlalu memperhatikan Devon, aku jadi hilang fokus ke lawan yang lebih berbahaya.
“Permainan selesai,” bisik pemuda itu jahil, seperti biasa.
Putusasa. Pasrah. Menggigil.
Aku seharusnya saat itu menutup mata dan menerima kematian dengan tenang.
Tapi ketakutan mewujud bak belenggu imajiner yang membekap sekujur tubuhku kuat, mencegah gerakan paling sepele sekali pun.
Saat itulah semua menjadi aneh.
Aku sering menyebutkan kalau aksi Arsenault sialan itu tak ubahnya macam setan belingsatan—bukan cuma cepat, tapi sangat amat cepat banget.
Ketika melihatnya bergerak normal, dunia rasanya jadi mirip semesta yang dibuat para kukang.
Udara menjadi gumpalan kabut jernih padat yang bergumul-gumul, debu melintas pelan di sana-sini mirip lalat sekarat, aku bahkan sampai kesulitan mengambil napas.
Apa ini?
Penglihatan sebelum mati?
Tidak hanya sampai situ. Dunia makin lambat dan makin lambat.
Bahkan gerak Arsenault jadi mirip slowmotion reka ulang pada suatu laga sepak bola—yang mana saking lambannya, aku tahu ke mana itu mengarah dan bagaimana menghindarinya.
Maka itulah yang kulakukan.
Melangkah segesit kucing, menyelamatkan diri.
Suasana kemudian jadi normal.
Arsenault mengernyit.
Aku juga sama bingugnya.
“Gimana ….”
Kau tanya aku pun, aku juga tidak tahu jawabannya, sialan.
Arsenault kembali memasang posisi siaga, melangkah, beraksi lagi.
Lagi, aku tidak punya kesempatan menutup mata.
Dunia kembali berubah jadi slowmotion.
Tunggu. Tunggu sebentar.
Ini … apa ini dia kemampuanku?
Bisa melihat suatu rangkaian gerak dalam tempo super lambat?
Hah!
Haha!
Haha!
Hahahahaha!
Kalau memang begitu cara kerjanya, maka aku sudah menemukan formula pamungkas untuk menang, bahkan bila melakukannya sendirian.
Alih-alih terus berkelit, aku memilih maju, menjauhi area serang si Arsenault, mengepalkan tangan, dan melayangkan suatu bogem persahabatan ke pipi cowok sialan itu … niatannya.
Tepat ketika lenganku baru setengah sampai, keadaan jadi seperti semula.
Eh?
Apa-apaan?
Tinjuku gagal.
Kaki Arsenault yang mengarah seperti sabitan mendatar memang agak tergelincir dari target awal, tapi sebagian besarnya kena.
Lumayan telak.
Pinggangku kini yang jadi sasaran.
Kembali aku dengar gemeretuk memilukan dan selanjutnya yang kuketahui adalah badanku berguling-guling hingga hampir ujung gelanggang.
Aku berusaha bangkit, tapi terus tertatih-tatih dan jatuh secara menyedihkan.
Apaan lagi ini?
Kenapa badanku jadi capek banget?
Ya … sebelumnya aku memang gerak agak pecicilan dan kena pukul sana-sini, tapi rasanya biasa saja—malah ringan seperti terbang.
Apa itu karena pengaruh adrenalin? Lalu pengaruh itu habis?
Arsenault sekilas memasang raut heran. Tapi, kemudian tersenyum puas.
Kakinya melangkah ke sini pelan-pelan, berhenti, lalu melebarkan seringai. “Nah, Nona Dawver. Kamu bisa sebut kata ajaibnya sekarang.”
Kemudian, tanah gonjang-ganjing.
Saat kubilang dunia gonjang-ganjing, itu tidak berarti secara metaforis atau aku tengah berusaha mengumpamakan sesuatu dengan puitis—dengar ya, aku ini bukan orang yang suka bertele-tele.Tapi, itu benar-benar terjadi. Secara hafiah.Arena berguncang. Sekali. Dua kali.Gempa? Ada juga, ya, di dunia ini?Serangan Arsenault batal dan keseimbangannya kacau.Ketika dia roboh dan kurasa kali ini aku benar-benar merasa akan mati, muncul suatu bayangan gigantis menyerupai … kaki?Jenjang. Kikuk.Aku menengadah, menemukan pemiliknya yang tengah menatap balik dengan muka babak belur dan lelah.Aku tidak percaya yang kulihat. “Dimitri?”Cewek itu mewujud secara abnormal tak jauh di depan sana—kaki setinggi hampir dua meter sementara anggota badan lainnya nampak sekurus lidi.
Kabar baiknya? Aku ternyata masih hidup.Kabar buruknya? Aku ternyata masih hidup.Rupanya bahkan hilang kesadaran tidak membuatku ‘terbangun’ ke dunia nyata.Ini sebenarnya mimpi macam apa? Panjang banget, dah.Atau diriku kini lagi koma atau kritis, ya?Atau malah beneran sudah mati?“Eh! Aw! Aw!” Aku meringis begitu sebuah ambal kasar membasuh tempat di mana lebam dan bengkak dulunya berada. “Bisa pelan-pelan gak, sih?”Rasanya sakit banget, setan.Si pelayan buru-buru minta maaf dengan mata berkaca-kaca, padahal terakhir kuingat dia itu lelaki. “Ma-maaf, Nona. Saya—”“Ck! Udah, ah. Sana.”“Tapi—”Kuberi saja cowok cengeng itu tatapan tajam. Sepertinya berhasil buat dia
Aku tak pernah mengerti mengapa semua orang menganggap ayah sebagai sosok pahlawan. Atau seorang pemimpin. Atau kepala keluarga. Ya … maksudku, apa kau mau menganggap pecundang tanpa kuasa riil sebagai sosok teladan yang tangguh dan pantas dihormati? Sejak lahir, aku diberkati ayah yang tak terlalu berguna. Pria yang cuma bisa menyombongkan kepintaran serta wawasan anehnya pada semua orang—ya meskipun itu terbukti secara tertulis, sih—dan tidak pernah menghasilkan penemuan signifikan. Karena itulah, ketika gagal dan bangkrut, kerjanya sehari-hari cuma merenung. Mengeluh. Merutuk. Mengutuk semua orang yang mengkhianatinya. Menyumpahi orang-orang yang meninggalkannya sendirian di belakang. Pengecut menyedihkan! “Ayah .…” Lucian berdiri. Memasang senyum. Setelannya makin resmi dalam
Banyak yang bilang aku pesimis, padahal aku cuma realistis.Jadi tiap kali bertemu orang atau hal baru, aku cenderung memikirkan skenario terburuk yang akan terjadi.Semisal, tiba-tiba dalam antrean ada seorang yang mengalah dan menyuruhku duluan, ada kemungkinan kalau orang itu adalah penguntit menjijikkan yang berusaha menarik simpatiku dan menculikku begitu aku terpedaya—hah! Seperti bakal kejadian saja! Dikiranya aku ini bocah empat belas tahun lugu yang bisa dibodoh-bodohi?Baiknya, sih, kau terapkan juga.Itu bakal bermanfaat banyak dan membuat batin menjadi lebih tentram—setidaknya itu berhasil untukku.Karena itulah, ketika mendapati Alfie adalah bajingan tak bertanggung jawab lain, aku tak terlalu kaget.Setidaknya, meskipun cuma pecundang yang penuh gengsi, ayahku dulu masih punya otak.Tapi, si Alfie ini sudah angku
Hidupku hancur.Runtuh.Jadi sebuyar abu.Jadi, kesimpulan dan pesan moral dari metafora nirguna di atas adalah: jangan sekolah kalau mood-mu lagi jelek.Jujur, aku ini orang baik. Dan sangat normal.Lagian, banyak skenario buruk yang mungkin akan terjadi ketika orang kelepasan marah, ‘kan?Malah, ada yang lebih buruk.Seenggaknya, tingkahku enggak melibatkan senjata api.Boro-boro AK-47.T-tapi, katanya, sih, orang terpandang itu punya hati sensitif.Dan kalau berani macam-macam dengan mereka, bakal ada konsekuensi yang mengerikan menanti.Semoga saja orang-orang kaya ini tidak sama brengseknya dengan yang ada di dunia nyata.
“Lebih tegak lagi. Lebih tegak. Kan udah kubilang, tepat sembilan puluh derajat. Kamu ini dengar gak, sih, dari tadi?”Maka, aku pun menurut.Coba mencondongkan tubuh secara vertikal. Setegang pasak. Setenang tombak.Sempat kukira kali ini bakal berhasil, tapi tiba-tiba satu buku yang tertumpuk di atas kepala jatuh.Satu lagi jatuh. Lalu lagi. Lalu yang lain hingga berhamburan.CTAS!Punggungku kembali disabet rotan.Rasanya sakit banget, setan.Panas melepuh dan lama-lama jadi pedas. Seperti ditempeli puluhan koyo cabe sekaligus—serangan perih berdenyut-denyut yang dipadukan sensasi terbakarPadahal yang sebelumnya masih belum pulih dan berdenyut-denyut, tambah lagi ini.Aku yakin punggungku kini sudah jadi merah, atau biru, atau malah timbul bekas lebam melintang yang jelek—awas saja kalau itu yang kejadian, enggak bakal kubiarkan wanita tua ini hidup dengan anggota tubuh utuh.“Etika di meja makan nol besar, gak tahu cara menulis dan mengeja yang benar, dan ini … bahkan duduk aja m
Maut itu lelucon tolol.Apa? Enggak senang? Terlalu edgy?Padahal begitu kenyatannya.Kau pikir sudah berapa kali aku berdoa supaya mati muda?Ratusan. Ribuan Puluhan ribu. Ratusan ri …Zzz …………Hoam!Ya ampun, kebanyakan menghitung, mataku jadi berat—nah, satu nasihat lagi, kalau otakmu kebanyakan diisi angka, matamu bakal cepat rabun.Kesimpulannya: doa itu sia-sia dan cuma buang-buang waktu.Jadilah, aku mengambil aksi nyata dan mulai mencari cara bunuh diri tanpa rasa sakit.Tapi, dari sana, halangannya malah makin berengsek.Mulai dari harga senjata api itu rupanya mahal—belum lagi kepengerusannya secara legal.Racun? Aku trauma setelah menonton efeknya di sinetron.Ada godaan untuk gantung diri saja, tapi prosesnya diasumsikan sebagai yang paling menyiksa.Kemudian, secara ironis, aku malah terperangkap dalam realitas konyol; disusahkan masalah yang sebenernya bukan urusanku; dan kini berhadapan dengan dua malaikat maut berwujud dua pangeran ingusan.Entah kenapa, kematian ja
Berprasangka buruk itu menyehatkan.Sejak dulu, manusia itu makhluk yang rumit.Karena begini, sebagai satu-satunya organisme yang cukup cerdas untuk mengolah hal teribet di alam semesta yang dinamakan bahasa, kita malah suka nyusahin diri sendiri.Satu kata bisa punya jutaan arti.Satu nada bisa merubah keseluruhan kalimat.Jadilah, yang gak diucapin itu jauh lebih penting daripada yang diucapin.Intinya sih, manusia itu sejak dini sudah dididik jadi munafik dan pembohong. Dan, makin tinggi status sosialmu di masyarakat, makin lihai dan mulus pula kepalsuan yang bakal kau temui.Semua jadi terselubung.Cemoohan. Sindirian. Pujian. Ekspresi hasrat.Bahkan, ancaman.&
Percaya atau enggak, semua ini bener-bener di luar kendali.Aku juga ngira aku bakal mati kala itu.Emang pastinya bakal ada serangan.Di antara daerah lain, penjagaan kami hampir serapuh tahu. Bahkan cuma dengan dua puluh orang terlatih, kastil ini akan langsung jatuh.Tapi, ya … enggak secepat itu, setan.Mana, ketika mereka datang, mereka bawa satu pasukan penuh pula.Kira-kira jumlahnya ada sekitar dua belas ribu orang. Bersenjata lengkap. Armor mengilap. Bahkan ada artileri.Upaya yang sia-sia untuk menyerbu kastil enggak berharga.Padahal, kalau mereka minta aku nyerah baik-baik, bakal langsung kulakukan.api, orang-orang ini punya pemikiran aneh tentang musuhnya. Bahwa kami dianggap sebagai perwujudan setan yang mesti dibasmi, diperkosa, dibantai hingga musnah dan menjamin kemenangan.Maka, sembari menunggu mana pilihan paling pas yang bakal kudapat, aku mendapat kemuliaan untuk ngehuni penjara bawah tanah.Aku pernah ke sini sekali.Kala itu lebih ramai.Ada si Wilson tolol it
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini buka
Sejak awal ini konyol. Bilangnya udah enggak seperti dulu lagi, tapi apa yang kulakuin di sini? Terjebak dalam dunia khayal tempat seharusnya aku enggak berada. Aku lebih penasaran, seberapa lama samaran murahan ini bakal bertahan. Maksudku, cuma selembar kain hitam bertudung yang dari bagian bahu hingga lengannnya koyak-koyak, bukannya kami bakal langsung dicurigain. Lagi, si Jeanette tolol ini juga gak nyiapin aku alas kaki. Apa dia enggak mempertimbangkan semua ini? Kayaknya aku terlalu berharap banyak. Pada akhirnya, meski dijulukin pahlawan dan penjahat perang—tergantung dari mana kau dengernya—nih cewek masih remaja. Pribadi berpikiran sempit yang punya semangat sekonyol orang pengidap gangguan jiwa. Selain prajurit, aku nyaksiin demonstrasi. Kumpulan massa dari para rakyat jelata dengan proporsi tubuh abnormal yang mendengarkan ceramah orang-orang teler. Orang-orang teler yang mengatakan ‘kebenaran’. “Negeri ini udah dikutuk di hari pertama Pengkhianat itu diangkat
`“Itu gak mungkin.”Bard sepertinya yang paling mengerti. “Aku tau dia temanmu, tapi … orang-orang akan selalu berubah, hingga pada titikk yan gak bisa kau kenalin.”Banyak yang bilang itu kabar angin, tapi berdasarkan pengalmanku dari berbagai sisi, itu merupakan kebenaran yang cuma dilebih-lebihkanEntah di bagian mananya, tapi hanya ada satu simpulan: banyak orang mati di Ibukota.“Aku mau keluar cari angin dulu.”Yang lain menanggapi dalam bungkam.Mengerti apa yang kurasakan.Sejak hari itu, aku udah berjanji.Pada diri sendiri, bahwa mulai sekarang aku bakal nyiptain ‘perubahan’.Tapi, bukan seperti yang dikehendaki Brown dan kawanannya.Visi mereka terlalu liar, brutal, dan tak manusiawi.Oh, tentu aku dengar soal mereka juga.Tentang gaung revolusi yang diserukan seluruh penjuru negeri.Mereka bahkan berani bawa-bawa nama Dia Yang Menguasai Langit dan Bumi. Menyebut kampaye kekerasan itu sebagai Perang Suci.Itu keterlaluan. Itu mesti kuhentikan.Tapi, tidak secara langsung.Be
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini bukan
“Nyamankan dirimu sendiri, Rachel. Enggak usah terlalu tegang begitu. Aku enggak bakal nyakitin kamu atau gimana, kok. Gimana pun, kita ini temen lama, bukan?”Ya? Kalau begitu, biarkan kudaratkan satu pukulan paling kuat yang kubisa ke wajah bodohmu itu.Mungkin, setelahnya, aku jadi enggak terlalu gugup lagi.Karena gimana ya …Belum ada tiga hari sejak kedatangan bajingan-bajingan asing ini, dan mereka udah memperlakukan istana bak rumah sendiri.Kamar-kamar tamu ditempati sembarangan.Barak dan persenjataan dikuasai.Tentara-tentara yang tersisa dilucuti—alasannya sih untuk ngehindari kekerasan yang enggak perlu.Itu dalih tolol—atau mungkin enggak?Entahlah.Karena, terlepas dari info ini valid atau enggak, jumlah pasukannya enggak kurang dari 15 ribu.Membanjiri kota dengan intimdasi dan todongan yang dibalut dengan begitu manis hingga nampak seperti persembahan yang menarik.Apa salah satu di antara mereka ada yang punya kemampuan memgendalikan pikiran, ya?Makudku, mengubah per
Itu konsep yang asing: ketakutan.Apa aku pernah takut sebelumnya?Ah, ya.Nostalgia lain.Masa lalu lain.Emangnya aku semacam pecundang yang nganggur ya?Aku gak punya waktu untuk melanglangbuana ke perkara yang bahkan enggak penting.Lagian, ketakutan itu respons yang sealami rasa lapar.Bahkan orang paling berani pun bisa gentar ketika di ambang kematian.Tapi, apa yang bikini ini jadi berbeda?TOK! TOK! TOK!Aku menyahut, hamper sepelan lirihan. “Masuk.”Meski tanpa berbalik ke belakang, aku bisa menyadari tatapan iba George yang mencolok. “Ini kekejian yang enggak bisa dimaafkan. Bisa-bisanya mereka … oh, demi Yang Maha Penyaya—““Kamu dapetin anak itu?” Aku lagi enggak ingin dengar nama-Nya di saat kayak begini.Entah itu yang mereka sembah atau apa pun yang pernah menemuiku di masa lalu.Namun, George justru bungkam.Apa dia pergi diam-diiam, ya?Cih, orang-orang ini.Emang, ya. Kau diamkan sekali dan mereka pikir kau itu figur lemah yang bisa dikuasai.Ketika berbalik, aku me
Orang-orang Willvile bakal digantung, dan aku enggak ngerasain apa-apa.Dengar.Gini-gini, aku masih punya empatI. Kesenstifian hati. Dan rasa manusiawi.Tapi, apa pula yang bisa dikasihani dari para bajingan barbar itu?Enggak dulu maupun sekarang, kerjanya selalu menyusahkan.Lebih-lebih si Evelyn sialan itu yang masih bisa memasang senyum meski udah di atas dudukan. Bahkan ketika lehernyadipasang jerat dan algojo ambil ancang-ancang.Cuma bangsawan yang diberi hak untuk ngasih tahu pesan terakhirnya—seperti yang kubilang sebelum-sebelum ini: persetan sama rakyat jelataDan binatang-binatang itu punya hak yang lebih rendah lagiDigantung adalah hukuman yang terlalu ringan.Ya … meskipun ngelihat mereka menggelayut sambil menggelepar-gelepar di udara mata, melotot, dan mulut mengap-mengap karena kehilangan napas secara pelan-pelan itu lumayan muasin; tapi kebiadaban mereka belum diganjar sepenuhnya.Andai aja regulasi negeri fiktif sialan ini lebih simpel, udah kuberi mereka hukuman
“Lagi?”Percuma saja, dari sudut pandang mereka, apa pun yang kukatakan bakal menjadi geraman yang membuat bulu kuduk merinding.Bahkan meski aku tak punya niat membunuh—dan tak pernah demikian.Itu semua bukan untuk tujuan keji seperti itu.Hari itu aku kehilangan segalanya.Kebahagiaan. Harapan. Tujuan.Dan itu membuatku bertanya-tanya, untuk apa?Apakah ini pantas?Apakah aku seberdosa itu?Namun, bak belaian paling lembut, gemulai, dan menentramkan; sebentuk suara agung menyahut dari langit.Memberi pencerahan paling absud sekaligus paling masuk akal.Dewa mengambil, dewa juga memberi.Ibu, Fio, Janine, dan semua orang adalah harga mahal yang tak sepadan dengan nyawaku—awalnya, pemikiran bodoh kayak begitu entah kenapa terlintas.Tapi, kekekalan ini merupakan berkah niscaya yang datang bukan untuk disia-siakan.Neraka kosong dan para iblis ada di sini. Aku adalah titisan yang dikirim untuk membasmi mereka.Memusnahkan kekejian. Membumihanguskan kejahatan. Meluluhlantakkan segala w