Banyak yang bilang aku pesimis, padahal aku cuma realistis.
Jadi tiap kali bertemu orang atau hal baru, aku cenderung memikirkan skenario terburuk yang akan terjadi.
Semisal, tiba-tiba dalam antrean ada seorang yang mengalah dan menyuruhku duluan, ada kemungkinan kalau orang itu adalah penguntit menjijikkan yang berusaha menarik simpatiku dan menculikku begitu aku terpedaya—hah! Seperti bakal kejadian saja! Dikiranya aku ini bocah empat belas tahun lugu yang bisa dibodoh-bodohi?
Baiknya, sih, kau terapkan juga.
Itu bakal bermanfaat banyak dan membuat batin menjadi lebih tentram—setidaknya itu berhasil untukku.
Karena itulah, ketika mendapati Alfie adalah bajingan tak bertanggung jawab lain, aku tak terlalu kaget.
Setidaknya, meskipun cuma pecundang yang penuh gengsi, ayahku dulu masih punya otak.
Tapi, si Alfie ini sudah angku
Hidupku hancur.Runtuh.Jadi sebuyar abu.Jadi, kesimpulan dan pesan moral dari metafora nirguna di atas adalah: jangan sekolah kalau mood-mu lagi jelek.Jujur, aku ini orang baik. Dan sangat normal.Lagian, banyak skenario buruk yang mungkin akan terjadi ketika orang kelepasan marah, ‘kan?Malah, ada yang lebih buruk.Seenggaknya, tingkahku enggak melibatkan senjata api.Boro-boro AK-47.T-tapi, katanya, sih, orang terpandang itu punya hati sensitif.Dan kalau berani macam-macam dengan mereka, bakal ada konsekuensi yang mengerikan menanti.Semoga saja orang-orang kaya ini tidak sama brengseknya dengan yang ada di dunia nyata.
“Lebih tegak lagi. Lebih tegak. Kan udah kubilang, tepat sembilan puluh derajat. Kamu ini dengar gak, sih, dari tadi?”Maka, aku pun menurut.Coba mencondongkan tubuh secara vertikal. Setegang pasak. Setenang tombak.Sempat kukira kali ini bakal berhasil, tapi tiba-tiba satu buku yang tertumpuk di atas kepala jatuh.Satu lagi jatuh. Lalu lagi. Lalu yang lain hingga berhamburan.CTAS!Punggungku kembali disabet rotan.Rasanya sakit banget, setan.Panas melepuh dan lama-lama jadi pedas. Seperti ditempeli puluhan koyo cabe sekaligus—serangan perih berdenyut-denyut yang dipadukan sensasi terbakarPadahal yang sebelumnya masih belum pulih dan berdenyut-denyut, tambah lagi ini.Aku yakin punggungku kini sudah jadi merah, atau biru, atau malah timbul bekas lebam melintang yang jelek—awas saja kalau itu yang kejadian, enggak bakal kubiarkan wanita tua ini hidup dengan anggota tubuh utuh.“Etika di meja makan nol besar, gak tahu cara menulis dan mengeja yang benar, dan ini … bahkan duduk aja m
Maut itu lelucon tolol.Apa? Enggak senang? Terlalu edgy?Padahal begitu kenyatannya.Kau pikir sudah berapa kali aku berdoa supaya mati muda?Ratusan. Ribuan Puluhan ribu. Ratusan ri …Zzz …………Hoam!Ya ampun, kebanyakan menghitung, mataku jadi berat—nah, satu nasihat lagi, kalau otakmu kebanyakan diisi angka, matamu bakal cepat rabun.Kesimpulannya: doa itu sia-sia dan cuma buang-buang waktu.Jadilah, aku mengambil aksi nyata dan mulai mencari cara bunuh diri tanpa rasa sakit.Tapi, dari sana, halangannya malah makin berengsek.Mulai dari harga senjata api itu rupanya mahal—belum lagi kepengerusannya secara legal.Racun? Aku trauma setelah menonton efeknya di sinetron.Ada godaan untuk gantung diri saja, tapi prosesnya diasumsikan sebagai yang paling menyiksa.Kemudian, secara ironis, aku malah terperangkap dalam realitas konyol; disusahkan masalah yang sebenernya bukan urusanku; dan kini berhadapan dengan dua malaikat maut berwujud dua pangeran ingusan.Entah kenapa, kematian ja
Berprasangka buruk itu menyehatkan.Sejak dulu, manusia itu makhluk yang rumit.Karena begini, sebagai satu-satunya organisme yang cukup cerdas untuk mengolah hal teribet di alam semesta yang dinamakan bahasa, kita malah suka nyusahin diri sendiri.Satu kata bisa punya jutaan arti.Satu nada bisa merubah keseluruhan kalimat.Jadilah, yang gak diucapin itu jauh lebih penting daripada yang diucapin.Intinya sih, manusia itu sejak dini sudah dididik jadi munafik dan pembohong. Dan, makin tinggi status sosialmu di masyarakat, makin lihai dan mulus pula kepalsuan yang bakal kau temui.Semua jadi terselubung.Cemoohan. Sindirian. Pujian. Ekspresi hasrat.Bahkan, ancaman.&
Rasanya seperti masuk ke ruangan campuran antara perpustakaan, geladak kapal karam, dan kandang babi.Banyak barang yang berserakan di lantai.Perkamen bertulisan gak jelas, tabung kaca dengan permukaan keroak, bahkan kepingan tanah liat yang sepertinya dulunya tembikar atau hiasan.Aku mengambil satu pecahan tembikar.Mengilap. Dipoles dengan hati-hati. Aku yakin, dulunya ini adalah barang mahal yang estetik.Tapi, yang lebih mencolok di sini adalah baunya.Masam keringat. Busuk menyengat. Dan yang paling tercium di antara semuanya: keputusasaan.Di antara gunungan perabot rongsok yang menyerupai reruntuhan purba itu, Lucian masih asyik berkutat dengan perkamen lain—dengan warna lebih cerah, kuduga yang ini baru—dan tabung kaca baru pula.
Ibu tumbang, beberapa kali batuk darah.Dilihat bagaimanapun, dia akan tewas.Enggak. Enggak mungkin.Kenapa?Siapa?Air mata turun dari mataku dengan begitu deras. Aduh … aku kenapa, sih?Saat begini, aku gak boleh nangis. Aku mesti kuat. “Ibu ... Ibu … Ibu …” Aku berusaha berhenti, tapi makin ditahan, raunganku makin nyaring.Ibu mengulurkan tangan.Itu … entah kenapa terasa jauh.Aku berusaha menggapainya, dan saat itulah aku melihatnya.Tangan berlumuran darah. Sehitam ter dan lebih pekat dari kegelapan.Tangaku.Aku tak tahu kapan aku mulai berteriak dan bergetar tanpa ke
Rose berengsek.Lucian berengsek.Semua orang itu berengsek.Jalan keluar? Aku malah cuma nemu jalan buntu.Tahu apa yang terjadi malam itu? Aku dikibuli habis-habisan. Entah oleh dua orang tolol itu. Atau oleh asumsiku sendiri.Suhu tubuhku meninggi drastis, tapi aku malah menggigil.Sendi-sendiku pegal semua.Dan ada satu momen di mana sepertinya aku sudah melihat surga—kalau itu ada, atau kalau aku bisa masuk ke sana.Kayaknya bener kalau si Lucian membubuhkan racun. Pantas dia panik begitu.Dasar orang sinting!Meracuni saudara sendiri untuk cari perhatian bapaknya? Oke.Tapi, kenapa mesti ketika aku mendiami tubuh celaka ini, sih?“Jadi … em ..., siapa namau tadi, Nona?”Ya … seenggaknya, setelah bertapa sesaat dan merenungi kehidupanku yang kian nista, akhirnya aku menemukan fakta mengejutkan: cerita ini gak bakal berakhir secepat itu.Dan, untuk menjamin keberlangsungan riwayatku di sini—yang sebenarnya sudah morat-marit, aku butuh satu komponen penting.Faktor yang paling dibu
Tahu, tidak?Aku menyerah!Well.Kamu ngira, sebagai sosok tokoh utama rupawan-cerdik nan baik hati, semua kelumitan kisah ini bakal berakhir dalam naungan bahagia yang anggun; wangi; dan nyaman?Biar kuberitahu sesuatu:Itu enggak bakal kejadian.Malah.Kini, aku malah terjerumus dalam lahan kotor penuh lendir dan lumpur.Bener.Sebuah kandang babi.“Ya. Jangan lewatkan semuanya! Lemari-lemari, laci, perkamen. Lihat dokumen yang kira-kira penting juga.”Ah!Aku keceplosan bilang ini kandang babi, ya?Tolong, lupain aja.Kadang, orang emosi itu punya persepsi yang keliru.Pemandangan kamar Lucian yang diobrak-abrik oleh cecunguk-cecunguk suruhanku ini merupakan lansekap mahakarya enggak bernilai.Mona Lisa?Kalah jauh. “Kumpulkan semuanya ke tempat yang sudah kubilang.”Well, iya, kami masih—dan sepertinya akan selalu—bangkrut.Jadi, satu-satunya upaya supaya orang-orang ini mau patuh dan tetap tutup mulut adalah merogoh kocek lebih dalam—dan itu bukan sekadar kiasan belaka, aku benar
Percaya atau enggak, semua ini bener-bener di luar kendali.Aku juga ngira aku bakal mati kala itu.Emang pastinya bakal ada serangan.Di antara daerah lain, penjagaan kami hampir serapuh tahu. Bahkan cuma dengan dua puluh orang terlatih, kastil ini akan langsung jatuh.Tapi, ya … enggak secepat itu, setan.Mana, ketika mereka datang, mereka bawa satu pasukan penuh pula.Kira-kira jumlahnya ada sekitar dua belas ribu orang. Bersenjata lengkap. Armor mengilap. Bahkan ada artileri.Upaya yang sia-sia untuk menyerbu kastil enggak berharga.Padahal, kalau mereka minta aku nyerah baik-baik, bakal langsung kulakukan.api, orang-orang ini punya pemikiran aneh tentang musuhnya. Bahwa kami dianggap sebagai perwujudan setan yang mesti dibasmi, diperkosa, dibantai hingga musnah dan menjamin kemenangan.Maka, sembari menunggu mana pilihan paling pas yang bakal kudapat, aku mendapat kemuliaan untuk ngehuni penjara bawah tanah.Aku pernah ke sini sekali.Kala itu lebih ramai.Ada si Wilson tolol it
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini buka
Sejak awal ini konyol. Bilangnya udah enggak seperti dulu lagi, tapi apa yang kulakuin di sini? Terjebak dalam dunia khayal tempat seharusnya aku enggak berada. Aku lebih penasaran, seberapa lama samaran murahan ini bakal bertahan. Maksudku, cuma selembar kain hitam bertudung yang dari bagian bahu hingga lengannnya koyak-koyak, bukannya kami bakal langsung dicurigain. Lagi, si Jeanette tolol ini juga gak nyiapin aku alas kaki. Apa dia enggak mempertimbangkan semua ini? Kayaknya aku terlalu berharap banyak. Pada akhirnya, meski dijulukin pahlawan dan penjahat perang—tergantung dari mana kau dengernya—nih cewek masih remaja. Pribadi berpikiran sempit yang punya semangat sekonyol orang pengidap gangguan jiwa. Selain prajurit, aku nyaksiin demonstrasi. Kumpulan massa dari para rakyat jelata dengan proporsi tubuh abnormal yang mendengarkan ceramah orang-orang teler. Orang-orang teler yang mengatakan ‘kebenaran’. “Negeri ini udah dikutuk di hari pertama Pengkhianat itu diangkat
`“Itu gak mungkin.”Bard sepertinya yang paling mengerti. “Aku tau dia temanmu, tapi … orang-orang akan selalu berubah, hingga pada titikk yan gak bisa kau kenalin.”Banyak yang bilang itu kabar angin, tapi berdasarkan pengalmanku dari berbagai sisi, itu merupakan kebenaran yang cuma dilebih-lebihkanEntah di bagian mananya, tapi hanya ada satu simpulan: banyak orang mati di Ibukota.“Aku mau keluar cari angin dulu.”Yang lain menanggapi dalam bungkam.Mengerti apa yang kurasakan.Sejak hari itu, aku udah berjanji.Pada diri sendiri, bahwa mulai sekarang aku bakal nyiptain ‘perubahan’.Tapi, bukan seperti yang dikehendaki Brown dan kawanannya.Visi mereka terlalu liar, brutal, dan tak manusiawi.Oh, tentu aku dengar soal mereka juga.Tentang gaung revolusi yang diserukan seluruh penjuru negeri.Mereka bahkan berani bawa-bawa nama Dia Yang Menguasai Langit dan Bumi. Menyebut kampaye kekerasan itu sebagai Perang Suci.Itu keterlaluan. Itu mesti kuhentikan.Tapi, tidak secara langsung.Be
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini bukan
“Nyamankan dirimu sendiri, Rachel. Enggak usah terlalu tegang begitu. Aku enggak bakal nyakitin kamu atau gimana, kok. Gimana pun, kita ini temen lama, bukan?”Ya? Kalau begitu, biarkan kudaratkan satu pukulan paling kuat yang kubisa ke wajah bodohmu itu.Mungkin, setelahnya, aku jadi enggak terlalu gugup lagi.Karena gimana ya …Belum ada tiga hari sejak kedatangan bajingan-bajingan asing ini, dan mereka udah memperlakukan istana bak rumah sendiri.Kamar-kamar tamu ditempati sembarangan.Barak dan persenjataan dikuasai.Tentara-tentara yang tersisa dilucuti—alasannya sih untuk ngehindari kekerasan yang enggak perlu.Itu dalih tolol—atau mungkin enggak?Entahlah.Karena, terlepas dari info ini valid atau enggak, jumlah pasukannya enggak kurang dari 15 ribu.Membanjiri kota dengan intimdasi dan todongan yang dibalut dengan begitu manis hingga nampak seperti persembahan yang menarik.Apa salah satu di antara mereka ada yang punya kemampuan memgendalikan pikiran, ya?Makudku, mengubah per
Itu konsep yang asing: ketakutan.Apa aku pernah takut sebelumnya?Ah, ya.Nostalgia lain.Masa lalu lain.Emangnya aku semacam pecundang yang nganggur ya?Aku gak punya waktu untuk melanglangbuana ke perkara yang bahkan enggak penting.Lagian, ketakutan itu respons yang sealami rasa lapar.Bahkan orang paling berani pun bisa gentar ketika di ambang kematian.Tapi, apa yang bikini ini jadi berbeda?TOK! TOK! TOK!Aku menyahut, hamper sepelan lirihan. “Masuk.”Meski tanpa berbalik ke belakang, aku bisa menyadari tatapan iba George yang mencolok. “Ini kekejian yang enggak bisa dimaafkan. Bisa-bisanya mereka … oh, demi Yang Maha Penyaya—““Kamu dapetin anak itu?” Aku lagi enggak ingin dengar nama-Nya di saat kayak begini.Entah itu yang mereka sembah atau apa pun yang pernah menemuiku di masa lalu.Namun, George justru bungkam.Apa dia pergi diam-diiam, ya?Cih, orang-orang ini.Emang, ya. Kau diamkan sekali dan mereka pikir kau itu figur lemah yang bisa dikuasai.Ketika berbalik, aku me
Orang-orang Willvile bakal digantung, dan aku enggak ngerasain apa-apa.Dengar.Gini-gini, aku masih punya empatI. Kesenstifian hati. Dan rasa manusiawi.Tapi, apa pula yang bisa dikasihani dari para bajingan barbar itu?Enggak dulu maupun sekarang, kerjanya selalu menyusahkan.Lebih-lebih si Evelyn sialan itu yang masih bisa memasang senyum meski udah di atas dudukan. Bahkan ketika lehernyadipasang jerat dan algojo ambil ancang-ancang.Cuma bangsawan yang diberi hak untuk ngasih tahu pesan terakhirnya—seperti yang kubilang sebelum-sebelum ini: persetan sama rakyat jelataDan binatang-binatang itu punya hak yang lebih rendah lagiDigantung adalah hukuman yang terlalu ringan.Ya … meskipun ngelihat mereka menggelayut sambil menggelepar-gelepar di udara mata, melotot, dan mulut mengap-mengap karena kehilangan napas secara pelan-pelan itu lumayan muasin; tapi kebiadaban mereka belum diganjar sepenuhnya.Andai aja regulasi negeri fiktif sialan ini lebih simpel, udah kuberi mereka hukuman
“Lagi?”Percuma saja, dari sudut pandang mereka, apa pun yang kukatakan bakal menjadi geraman yang membuat bulu kuduk merinding.Bahkan meski aku tak punya niat membunuh—dan tak pernah demikian.Itu semua bukan untuk tujuan keji seperti itu.Hari itu aku kehilangan segalanya.Kebahagiaan. Harapan. Tujuan.Dan itu membuatku bertanya-tanya, untuk apa?Apakah ini pantas?Apakah aku seberdosa itu?Namun, bak belaian paling lembut, gemulai, dan menentramkan; sebentuk suara agung menyahut dari langit.Memberi pencerahan paling absud sekaligus paling masuk akal.Dewa mengambil, dewa juga memberi.Ibu, Fio, Janine, dan semua orang adalah harga mahal yang tak sepadan dengan nyawaku—awalnya, pemikiran bodoh kayak begitu entah kenapa terlintas.Tapi, kekekalan ini merupakan berkah niscaya yang datang bukan untuk disia-siakan.Neraka kosong dan para iblis ada di sini. Aku adalah titisan yang dikirim untuk membasmi mereka.Memusnahkan kekejian. Membumihanguskan kejahatan. Meluluhlantakkan segala w