Kutatap Dimitri dengan pandangan menyidik yang saksama.
Begini. Aku ini punya ingatan terlampau bagus.
Bahasa ilmiahnya ingatan fotografi. 'Teman'-ku menyebutnya ciri-ciri pendendam. Sedangkan aku mencatatnya dalam daftar 'hal-hal yang kukira berharga tapi tak bisa diuangkan'.
Jadi, ketika kubilang si Dimitri ini tak pernah ada, maka begitulah kenyataannya.
Belum lagi tentang sikap Irene yang tak pernah kuduga. Atau tubuh sialan ini yang staminanya terlampau lemah.
Bruk!
"Akh!" Ck! Siapa, sih, yang menabrakku barusan? Sengaja ya?
Aku meringis, menoleh, dan siap meledak.
Waduh! Sial!
Ingat ketika kubilang kalau di dunia ini kekuasaan dan garis keturunan adalah segalanya?
Well, sebenarnya ada satu faktor lain yang bisa memantati dua hal di atas dan membuatmu naik ke puncak bila menjadi yang paling unggul.
Sihir.
Media praktis untuk mempermudah manusia.
Merasa familier dengan kegunaannya?
Iya. Betul.
Pada kenyataannya, 'sihir' adalah konsep yang dibuat penulis yang malas riset tentang teknologi zaman uap.
Intinya, sih, di dunia ini, asal kau punya energi sihir cukup banyak, kau bakal jadi orang terpandang.
Tak peduli bangsawan atau rakyat jelata.
Tak peduli lelaki atau perempuan.
Dan di antara semua itu, terdapat sosok paling spesial yang namanya dinubuatkan dalam legenda dan ramalan. Sosok dengan sihir terkuat. Sosok yang dikatakan akan melibas semua kejahatan di muka bumi.
Dialah Yang Terpilih.
Dia yang hanya muncul seribu tahun sekali.
Dia yang kini tengah bertatapan denganku sekarang.
"Kamu gak apa-apa, Rachel?" Irene mengulurkan tangan dan memberi pandangan khawatir.
Aku mengernyit, masih bingung, tapi akhirnya menyambutnya juga sambil terus memperhatikan si pelaku kezaliman barusan.
Jeanette Folkstein mengibaskan debu yang menempel di tunik kulit kecoklatan lusuhnya dengan gaya acuh tak acuh.
Gayanya sama seperti yang kubayangkan di buku.
Mata sinis. Tulang pipi kaku. Rambut ikal tak tertata. Bahkan tanpa melakukan gerak berarti, aura protagonis rebel berhati mulianya seakan berkilau dalam cara yang bikin jengkel.
"Ck! Memang ya, seharusnya sekolah itu enggak diperuntukan untuk rakyat jelata. Tata krama umum saja enggak ngerti, apalagi mau nyimak pelajaran." Sara mendengkus angkuh, maksudnya menyindir Jeanette.
Orang arogan memang susah mengerti situasi, ya.
"Ayo." Kali ini aku yang ulurkan tangan ke Jeanette sambil pasang senyum murah hati.
Jeanette mengamati tanganku dan mukaku bergantian, ragu, lalu menepisnya kasar. "Terima kasih. Gak perlu."
"Hei! Gak sopan itu ada batasnya, ya? Dasar tak tau diuntug!" ucap Sara sewot.
Irene juga memandang Jeanette penuh permusuhan. Tapi, Jeanette terus melangkah dan menganggap protes-protes barusan cuma sekadar angin lalu.
Ck!
Persis gambaranku sembilan tahun lalu. Tak peduli apa pun. Tak menghargai apa pun. Perwujudan fantasi gadis yang berkeinginan merubah dunia dengan berharap berkah jatuh dari langit.
Bagus.
"Ra-Rachel. Ada apa? Nanti tertinggal, lho."
Aku tersadar dari lamunan dan menyengir. "Eh, iya, iya. Ayo."
Huft! Setidaknya, kalau nanti ini semua benar-benar jadi realita baruku, aku telah meninggalkan kesan pertama yang tak terlalu buruk untuk Jeanette.
Meskipun itu mustahil.
Haha.
...
Iya, kan?
*#*
Setelah tetek-bengek membosankan tentang etika dasar, tata upacara minum teh, dan gerak umum dalam berdansa selama hampir dua jam; akhirnya penderitaan itu berakhir juga.
"Ka-kamu kayaknya pucat banget, Rachel. Ka-kamu beneran gak sakit, 'kan?"
Kutatap Dimitri sekilas dengan pandangan malas.
Sara sialan itu bilang kalau aku tak sopan ketika tak mengingat nama tokoh yang asalnya antah-berantah ini, tapi apa dia tidak tahu kalau keluarga Dawver sejak lahir punya kulit seperti vampir?
"Iya. Gak apa-apa, kok. Abis ini jeda istirahat, 'kan?" kataku sesabar mungkin.
"Bicara apa kamu? Ini baru pelajaran pertama, tapi sudah mengeluh." Sara yang menyahut dari belakang. Masih dan terus menempel ke Irene bak kembar siam. "Lagian, sehabis ini kan pelajaran paling penting. Pelajaran favorit calon raja dan ratu masa depan kita." Dia melirik Irene yang kali ini benar-benar tersipu.
"Pelajaran apa memangnya?"
Perhatian Sara kini benar-benar terfokus kepadaku dengan tatapan seolah mengatakan, 'Kamu serius?'
"Nona Livingsworth?" Sebentuk suara yang lebih asing menginterupsi perbincangan urgen kami.
Aku menoleh, sama terkejutnya dengan ketiga gadis lain.
Zachary Donovan—sang putra mahkota—memberi senyum sapaan yang sopan kepada kami semua tanpa terkecuali. "Selamat pagi, nona-nona semua. Maaf menggangu waktu kalian."
Sara yang pertam kali sadar diri. Dia langsung berdiri, dan memberi penghormatan pantas. "Selamat pagi, Pangeran Zack. Sebuah kehormatan bisa bertegur sapa dengan anda."
Aku dan Dimitri mengikuti dengan suara sekaku robot korslet.
"Haha. Gak perlu seformal itu. Kalian bebas menyapa dan ngobrol sama aku kapan saja. Lagian, kita semua berada di beberapa kelas yang sama, 'kan?" Zack mengalihkan pandangan kepada Irene yang masih membeku—terlalu berbunga-bunga sepertinya. "Aku ada urusan sebentar dengan Nona Livingsworth, bisa tolong tinggalkan kami?"
Sara menjawab mewakili kami. "Kalau begitu, sampai jumpa lagi. Pangeran Zack. Nona Irene."
Kuikuti saja langkahnya hingga keluar sambil memperhatikan Irene dan Zack yang sepertinya membicarakan sesuatu yang lumayan seru.
Mimik Irene nampak berubah-ubah.
Awalnya, gadis itu semringah. Penuh senyum. Ramah. Anggun.
Tapi, ketika Zack mengatakan sesuatu—entah apa, senyum itu hilang.
Rahang Irene perlahan jadi kaku, nadanya jadi tinggi, dan dahinya berkerut-kerut. Murka sepertinya.
Beberapa menit kemudian, dia berlari kemari dengan pandangan gelap dan langkah gontai.
Sempat kukira, dia bakal menghampiri sambil menghardik, tapi begitu dekat, Irene justru menangis tanpa suara.
Sara mendekapnya penuh kasih sayang yang—sepertinya—kali ini terasa tulus.
"Kenapa?" Aku sendiri kaget ketika aku yang mulai bertanya.
"Dia ... Yang Mulia. Kenapa, sih? Apa yang kurang dariku?"
Kau itu yang kenapa? Ngomong yang jelas sedikit, dong.
Ketika aku meminta penjelasan lebih lanjut, Sara mencegah dengan protektif.
Karena Irene tak kunjung bersuara—dan sepertinya takkan bersuara—, Sara akhirnya berinisiatif menjelaskan. "Sepertinya Pangeran Zack enggan jadi partner Nna Irene nanti. Sejak lusa lalu, dia selalu bilang ingin mengajak si rakyat jelata itu karena sepertinya gak akan ada yang mau jadi partnernya. Aku berusaha ngebujuk untuk mengurungkan niat gak masuk akal itu. Tapi, sepertinya percuma."
Eh? Partner? "Sehabis ini pelajaran praktek dansa?"
Sara menghela napas. Melihatku bak mendapati campuran orang tolol nan menyusahkan.
Dimitri rupanya yang berbaik hati memberitahu fakta mengejutkan itu. "Bu-bukan, Rachel. Setelah ini, kita ada pelajaran Olah Sihir."
Hah?
"Pekan lalu kan Tuan Dyland sudah berpesan kalau kita mesti mencari masing-masing satu orang untuk ikut serta dalam latih tanding berpasangan. Kamu enggak menyimak, ya?"
Hah?
Waduh!
Mampus!
Subjek pelajaran olah sihir. Bisa dibilang, sih, mata pelajaran P.E. alias penjaskes alias olahraga versi dunia ini—dengan kegiatan saling tembak laser dan men-summon makhluk mitologi legendaris alih-alih marathon keliling lapangan sebagai ujian praktik.
Namanya saja hampir sama.
Dasar tidak kreatif!
Tapi, eh, tapi. Sebentar.
Si Zack itu berinisiatif untuk menjadikan orang terkuat di sini sebagai pasangan tanding?
Dasar! Dia itu memang konspirator picik yang diam-diam mengetahui potensi Jeanette atau cuma bajingan beruntung?
"Nona Irene. Aku ada ide." Aku berusaha menyembunyikan senyum, lalu kembali berucap dengan nada murah hati dan penuh kesetiakwanan tulus. "Biar aku saja yang berpasangan dengan rakyat jelata itu."
"Kamu gila, ya?" tanya Sara sedramatis yang sudah kusangka.
Aku mengangguk yakin. "Aku udah membuat Nona Irene tersinggung tadi pagi dengan perbuatan gak sopanku. Anggap saja ini sebagai permintaan maaf."
"Enggak boleh!" Sara berdecak. "Kamu tahu si orang udik gak tahu malu itu gimana, 'kan? Kalau kamu datangin dan memperlakukan dia baik-baik setelah dia ngerendahin kamu kayak tadi, kamu bakal dianggap gak punya harga diri, Rachel. Kamu mau teman-teman kamu dianggap begitu juga? Nona Irene dianggap begitu juga?"
Duh! Ngeribetin saja. "Terus? Kamu punya pilihan lain? Atau malah mau membiarkan rakyat jelata itu berpartner sama Pangeran Zack dan makin mempermalukan Nona Irene?"
"Kamu ini enggak ngerti omonganku sama sekali, ya. Bukan begitu maksudku."
"Ka-kalau begitu biar aku saja yang berpartner dengan Jeanette."
Kami memandang Dimitri serempak. Gadis itu masih terus gemetar dan menundukkan kepala ketika kembali bicara.
"Ka-kakak laki-lakiku pernah bilang kalau aku punya hawa keberadaan yang samar. O-orang gak pernah memperhatikanku, jadi ada dan tiadanya aku itu gak akan pernah dipermasalahkan. B-buktinya, pagi tadi saja Rachel bahkan lupa denganku. Ja-jadi kalau aku yang berpartner dengan Jeanette, kalian takkan merasa malu."
Uwah!
Kakak lelaki yang jujur. Aku jadi ingin berkenalan.
Tapi ini bukan waktunya kagum, apalagi mengasihani. "Eh, enggak begitu maksudnya, aku—"
"Iya. Enggak boleh, Dimitri. Bagaimanapun, kamu itu bagian dari kita. Enggak peduli apa kata orang."
Wow! Itu ucapan yang tak pernah kusangka datang dari mulut seorang Sara. "Jadi apa rencanamu? Atau justru kamu yang mau gantiin untuk berpasanagn dengan rakyat jelata itu?"
"Hah? Bahkan enggak dalam mimpi terburukku." Sara menggigit bibir. Terpojok! Nah, makanya jangan cari gara-gara. "Ck! Pokoknya jangan salah satu dari kita."
Tapi, Sara tidak menyerah. "Ah. Bagaimana dengan Yohn? Keluarganya baru jadi bangsawan satu generasi lalu dan cuma punya wilayah kecil. Sebelumnya mereka cuma prajurit biasa. Rakyat jelata juga. Kalau kita minta dia untuk berapsangan dengan sesama—"
"Sara! Kamu sudah keterlaluan!" sela Irene tiba-tiba. Tatapannya tajam dan nadanya meninggi, tapi susah juga melihatnya sebagai objek menakutkan dengan bekas air mata yang masih belum mengering.
"Earl Darnwill adalah orang terhormat, begitu juga putranya, begitu juga keluarganya. Mereka gak sama dengan orang-orang udik tanpa sopan santun seperti gadis itu," kata Irene. Dingin.
Aku mendengkus diam-diam. "Kalau begitu biar aku sa—"
"Enggak, Rachel. Perkataan Sara benar. Kamu cuma akan mempermalukan dirimu sendiri saja kalau kamu melakukan itu." Irene menatap kami satu per satu.
Sara berkeringat paling banyak.
"Kalian semua enggak perlu merendahkan diri seperti itu demi aku," ujar Irene berapi-api. "Biar aku sendiri yang tunjukkan si rakyat jelata siapa yang dia hadapi. Biar kuajari kalau kita gak sepadan dan gak akan pernah sepadan. Biar kubuat dia gak bertingkah lagi."
Eh, tunggu. Itu artinya ...
"Biar aku yang berpasangan dengan Jeanette Folkstein."
Enggak jarang aku berpikir kalau hidup itu bagaikan permainanRussian Roultte.Kau cuma diberi dua pilihan.Mati. Atau menderita lebih lama.Sebagai orang terdidik dengan otak mumpuni yang telah teruji, tentu aku pilih yang pertama.Konsep brilian itulah yang coba kuterapkan di kehidupan asing nan ajaib ini, tapi—bahkan dalam dunia yang secara harfiah ciptaanku sendri—nasibku memang tak pernah mulus.Aku melayangkan pandangan penuh kebencian ke Jeantte dan Irene yang ada di barisan tengah.Apa inisiatifku terlalu jelas ya sampai Irene tahu niat asliku?"Mo
Sebenarnya, aku ini punya penyakit keras kronis: nasib yang kadang tidak mujur.Dan bila kambuh, paling sedikit aku bakal ketiban tiga kesialan dalam sehari.Mulai dari dibuang ke alam delusi yang seharusnya sudah kukubur, pendam dalam-dalam, dan lupakan bertahun-tahun lalu.Bertransformasi jadi cewek pendengki letoy yang orientasi hidupnya cuma untuk jadi kacung penjahat wanita.Lalu mendapat kesempatan lebih cepat untuk jadi samsak hidup.Apalagi setelah ini? Tiba-tiba petir menyambar atau jadi lumpuh seumur hidup?Aku meneguk ludah tiap kali berusaha memperhatikan ini dari dekat.Dinding-dindingnya kelabu dan seakan nampak tak kenal ampun. Dengan dua obor yang belum menyalakan menangkring di masing-masing mata angin.Lantainya kebanyakan dipenuhi pasir, tapi ada permukaan datarnya juga, jadi aku t
Saat kubilang dunia gonjang-ganjing, itu tidak berarti secara metaforis atau aku tengah berusaha mengumpamakan sesuatu dengan puitis—dengar ya, aku ini bukan orang yang suka bertele-tele.Tapi, itu benar-benar terjadi. Secara hafiah.Arena berguncang. Sekali. Dua kali.Gempa? Ada juga, ya, di dunia ini?Serangan Arsenault batal dan keseimbangannya kacau.Ketika dia roboh dan kurasa kali ini aku benar-benar merasa akan mati, muncul suatu bayangan gigantis menyerupai … kaki?Jenjang. Kikuk.Aku menengadah, menemukan pemiliknya yang tengah menatap balik dengan muka babak belur dan lelah.Aku tidak percaya yang kulihat. “Dimitri?”Cewek itu mewujud secara abnormal tak jauh di depan sana—kaki setinggi hampir dua meter sementara anggota badan lainnya nampak sekurus lidi.
Kabar baiknya? Aku ternyata masih hidup.Kabar buruknya? Aku ternyata masih hidup.Rupanya bahkan hilang kesadaran tidak membuatku ‘terbangun’ ke dunia nyata.Ini sebenarnya mimpi macam apa? Panjang banget, dah.Atau diriku kini lagi koma atau kritis, ya?Atau malah beneran sudah mati?“Eh! Aw! Aw!” Aku meringis begitu sebuah ambal kasar membasuh tempat di mana lebam dan bengkak dulunya berada. “Bisa pelan-pelan gak, sih?”Rasanya sakit banget, setan.Si pelayan buru-buru minta maaf dengan mata berkaca-kaca, padahal terakhir kuingat dia itu lelaki. “Ma-maaf, Nona. Saya—”“Ck! Udah, ah. Sana.”“Tapi—”Kuberi saja cowok cengeng itu tatapan tajam. Sepertinya berhasil buat dia
Aku tak pernah mengerti mengapa semua orang menganggap ayah sebagai sosok pahlawan. Atau seorang pemimpin. Atau kepala keluarga. Ya … maksudku, apa kau mau menganggap pecundang tanpa kuasa riil sebagai sosok teladan yang tangguh dan pantas dihormati? Sejak lahir, aku diberkati ayah yang tak terlalu berguna. Pria yang cuma bisa menyombongkan kepintaran serta wawasan anehnya pada semua orang—ya meskipun itu terbukti secara tertulis, sih—dan tidak pernah menghasilkan penemuan signifikan. Karena itulah, ketika gagal dan bangkrut, kerjanya sehari-hari cuma merenung. Mengeluh. Merutuk. Mengutuk semua orang yang mengkhianatinya. Menyumpahi orang-orang yang meninggalkannya sendirian di belakang. Pengecut menyedihkan! “Ayah .…” Lucian berdiri. Memasang senyum. Setelannya makin resmi dalam
Banyak yang bilang aku pesimis, padahal aku cuma realistis.Jadi tiap kali bertemu orang atau hal baru, aku cenderung memikirkan skenario terburuk yang akan terjadi.Semisal, tiba-tiba dalam antrean ada seorang yang mengalah dan menyuruhku duluan, ada kemungkinan kalau orang itu adalah penguntit menjijikkan yang berusaha menarik simpatiku dan menculikku begitu aku terpedaya—hah! Seperti bakal kejadian saja! Dikiranya aku ini bocah empat belas tahun lugu yang bisa dibodoh-bodohi?Baiknya, sih, kau terapkan juga.Itu bakal bermanfaat banyak dan membuat batin menjadi lebih tentram—setidaknya itu berhasil untukku.Karena itulah, ketika mendapati Alfie adalah bajingan tak bertanggung jawab lain, aku tak terlalu kaget.Setidaknya, meskipun cuma pecundang yang penuh gengsi, ayahku dulu masih punya otak.Tapi, si Alfie ini sudah angku
Hidupku hancur.Runtuh.Jadi sebuyar abu.Jadi, kesimpulan dan pesan moral dari metafora nirguna di atas adalah: jangan sekolah kalau mood-mu lagi jelek.Jujur, aku ini orang baik. Dan sangat normal.Lagian, banyak skenario buruk yang mungkin akan terjadi ketika orang kelepasan marah, ‘kan?Malah, ada yang lebih buruk.Seenggaknya, tingkahku enggak melibatkan senjata api.Boro-boro AK-47.T-tapi, katanya, sih, orang terpandang itu punya hati sensitif.Dan kalau berani macam-macam dengan mereka, bakal ada konsekuensi yang mengerikan menanti.Semoga saja orang-orang kaya ini tidak sama brengseknya dengan yang ada di dunia nyata.
“Lebih tegak lagi. Lebih tegak. Kan udah kubilang, tepat sembilan puluh derajat. Kamu ini dengar gak, sih, dari tadi?”Maka, aku pun menurut.Coba mencondongkan tubuh secara vertikal. Setegang pasak. Setenang tombak.Sempat kukira kali ini bakal berhasil, tapi tiba-tiba satu buku yang tertumpuk di atas kepala jatuh.Satu lagi jatuh. Lalu lagi. Lalu yang lain hingga berhamburan.CTAS!Punggungku kembali disabet rotan.Rasanya sakit banget, setan.Panas melepuh dan lama-lama jadi pedas. Seperti ditempeli puluhan koyo cabe sekaligus—serangan perih berdenyut-denyut yang dipadukan sensasi terbakarPadahal yang sebelumnya masih belum pulih dan berdenyut-denyut, tambah lagi ini.Aku yakin punggungku kini sudah jadi merah, atau biru, atau malah timbul bekas lebam melintang yang jelek—awas saja kalau itu yang kejadian, enggak bakal kubiarkan wanita tua ini hidup dengan anggota tubuh utuh.“Etika di meja makan nol besar, gak tahu cara menulis dan mengeja yang benar, dan ini … bahkan duduk aja m
Percaya atau enggak, semua ini bener-bener di luar kendali.Aku juga ngira aku bakal mati kala itu.Emang pastinya bakal ada serangan.Di antara daerah lain, penjagaan kami hampir serapuh tahu. Bahkan cuma dengan dua puluh orang terlatih, kastil ini akan langsung jatuh.Tapi, ya … enggak secepat itu, setan.Mana, ketika mereka datang, mereka bawa satu pasukan penuh pula.Kira-kira jumlahnya ada sekitar dua belas ribu orang. Bersenjata lengkap. Armor mengilap. Bahkan ada artileri.Upaya yang sia-sia untuk menyerbu kastil enggak berharga.Padahal, kalau mereka minta aku nyerah baik-baik, bakal langsung kulakukan.api, orang-orang ini punya pemikiran aneh tentang musuhnya. Bahwa kami dianggap sebagai perwujudan setan yang mesti dibasmi, diperkosa, dibantai hingga musnah dan menjamin kemenangan.Maka, sembari menunggu mana pilihan paling pas yang bakal kudapat, aku mendapat kemuliaan untuk ngehuni penjara bawah tanah.Aku pernah ke sini sekali.Kala itu lebih ramai.Ada si Wilson tolol it
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini buka
Sejak awal ini konyol. Bilangnya udah enggak seperti dulu lagi, tapi apa yang kulakuin di sini? Terjebak dalam dunia khayal tempat seharusnya aku enggak berada. Aku lebih penasaran, seberapa lama samaran murahan ini bakal bertahan. Maksudku, cuma selembar kain hitam bertudung yang dari bagian bahu hingga lengannnya koyak-koyak, bukannya kami bakal langsung dicurigain. Lagi, si Jeanette tolol ini juga gak nyiapin aku alas kaki. Apa dia enggak mempertimbangkan semua ini? Kayaknya aku terlalu berharap banyak. Pada akhirnya, meski dijulukin pahlawan dan penjahat perang—tergantung dari mana kau dengernya—nih cewek masih remaja. Pribadi berpikiran sempit yang punya semangat sekonyol orang pengidap gangguan jiwa. Selain prajurit, aku nyaksiin demonstrasi. Kumpulan massa dari para rakyat jelata dengan proporsi tubuh abnormal yang mendengarkan ceramah orang-orang teler. Orang-orang teler yang mengatakan ‘kebenaran’. “Negeri ini udah dikutuk di hari pertama Pengkhianat itu diangkat
`“Itu gak mungkin.”Bard sepertinya yang paling mengerti. “Aku tau dia temanmu, tapi … orang-orang akan selalu berubah, hingga pada titikk yan gak bisa kau kenalin.”Banyak yang bilang itu kabar angin, tapi berdasarkan pengalmanku dari berbagai sisi, itu merupakan kebenaran yang cuma dilebih-lebihkanEntah di bagian mananya, tapi hanya ada satu simpulan: banyak orang mati di Ibukota.“Aku mau keluar cari angin dulu.”Yang lain menanggapi dalam bungkam.Mengerti apa yang kurasakan.Sejak hari itu, aku udah berjanji.Pada diri sendiri, bahwa mulai sekarang aku bakal nyiptain ‘perubahan’.Tapi, bukan seperti yang dikehendaki Brown dan kawanannya.Visi mereka terlalu liar, brutal, dan tak manusiawi.Oh, tentu aku dengar soal mereka juga.Tentang gaung revolusi yang diserukan seluruh penjuru negeri.Mereka bahkan berani bawa-bawa nama Dia Yang Menguasai Langit dan Bumi. Menyebut kampaye kekerasan itu sebagai Perang Suci.Itu keterlaluan. Itu mesti kuhentikan.Tapi, tidak secara langsung.Be
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini bukan
“Nyamankan dirimu sendiri, Rachel. Enggak usah terlalu tegang begitu. Aku enggak bakal nyakitin kamu atau gimana, kok. Gimana pun, kita ini temen lama, bukan?”Ya? Kalau begitu, biarkan kudaratkan satu pukulan paling kuat yang kubisa ke wajah bodohmu itu.Mungkin, setelahnya, aku jadi enggak terlalu gugup lagi.Karena gimana ya …Belum ada tiga hari sejak kedatangan bajingan-bajingan asing ini, dan mereka udah memperlakukan istana bak rumah sendiri.Kamar-kamar tamu ditempati sembarangan.Barak dan persenjataan dikuasai.Tentara-tentara yang tersisa dilucuti—alasannya sih untuk ngehindari kekerasan yang enggak perlu.Itu dalih tolol—atau mungkin enggak?Entahlah.Karena, terlepas dari info ini valid atau enggak, jumlah pasukannya enggak kurang dari 15 ribu.Membanjiri kota dengan intimdasi dan todongan yang dibalut dengan begitu manis hingga nampak seperti persembahan yang menarik.Apa salah satu di antara mereka ada yang punya kemampuan memgendalikan pikiran, ya?Makudku, mengubah per
Itu konsep yang asing: ketakutan.Apa aku pernah takut sebelumnya?Ah, ya.Nostalgia lain.Masa lalu lain.Emangnya aku semacam pecundang yang nganggur ya?Aku gak punya waktu untuk melanglangbuana ke perkara yang bahkan enggak penting.Lagian, ketakutan itu respons yang sealami rasa lapar.Bahkan orang paling berani pun bisa gentar ketika di ambang kematian.Tapi, apa yang bikini ini jadi berbeda?TOK! TOK! TOK!Aku menyahut, hamper sepelan lirihan. “Masuk.”Meski tanpa berbalik ke belakang, aku bisa menyadari tatapan iba George yang mencolok. “Ini kekejian yang enggak bisa dimaafkan. Bisa-bisanya mereka … oh, demi Yang Maha Penyaya—““Kamu dapetin anak itu?” Aku lagi enggak ingin dengar nama-Nya di saat kayak begini.Entah itu yang mereka sembah atau apa pun yang pernah menemuiku di masa lalu.Namun, George justru bungkam.Apa dia pergi diam-diiam, ya?Cih, orang-orang ini.Emang, ya. Kau diamkan sekali dan mereka pikir kau itu figur lemah yang bisa dikuasai.Ketika berbalik, aku me
Orang-orang Willvile bakal digantung, dan aku enggak ngerasain apa-apa.Dengar.Gini-gini, aku masih punya empatI. Kesenstifian hati. Dan rasa manusiawi.Tapi, apa pula yang bisa dikasihani dari para bajingan barbar itu?Enggak dulu maupun sekarang, kerjanya selalu menyusahkan.Lebih-lebih si Evelyn sialan itu yang masih bisa memasang senyum meski udah di atas dudukan. Bahkan ketika lehernyadipasang jerat dan algojo ambil ancang-ancang.Cuma bangsawan yang diberi hak untuk ngasih tahu pesan terakhirnya—seperti yang kubilang sebelum-sebelum ini: persetan sama rakyat jelataDan binatang-binatang itu punya hak yang lebih rendah lagiDigantung adalah hukuman yang terlalu ringan.Ya … meskipun ngelihat mereka menggelayut sambil menggelepar-gelepar di udara mata, melotot, dan mulut mengap-mengap karena kehilangan napas secara pelan-pelan itu lumayan muasin; tapi kebiadaban mereka belum diganjar sepenuhnya.Andai aja regulasi negeri fiktif sialan ini lebih simpel, udah kuberi mereka hukuman
“Lagi?”Percuma saja, dari sudut pandang mereka, apa pun yang kukatakan bakal menjadi geraman yang membuat bulu kuduk merinding.Bahkan meski aku tak punya niat membunuh—dan tak pernah demikian.Itu semua bukan untuk tujuan keji seperti itu.Hari itu aku kehilangan segalanya.Kebahagiaan. Harapan. Tujuan.Dan itu membuatku bertanya-tanya, untuk apa?Apakah ini pantas?Apakah aku seberdosa itu?Namun, bak belaian paling lembut, gemulai, dan menentramkan; sebentuk suara agung menyahut dari langit.Memberi pencerahan paling absud sekaligus paling masuk akal.Dewa mengambil, dewa juga memberi.Ibu, Fio, Janine, dan semua orang adalah harga mahal yang tak sepadan dengan nyawaku—awalnya, pemikiran bodoh kayak begitu entah kenapa terlintas.Tapi, kekekalan ini merupakan berkah niscaya yang datang bukan untuk disia-siakan.Neraka kosong dan para iblis ada di sini. Aku adalah titisan yang dikirim untuk membasmi mereka.Memusnahkan kekejian. Membumihanguskan kejahatan. Meluluhlantakkan segala w