Oke. Jadi singkatnya begini.
Ini adalah Andromeda. Negara fiktif yang punya teknologi setara dunia nyata abad 18-an.
Ketika kebangsawanan dan kasta sosial masih dipermasalahkan. Ketika senjata api mulai mengalami transformasi signifikan besar-besaran.
Di dunia klasik ini, terdapat seorang rakyat jelata bernama Jeanette Folkstein yang—karena suatu alasan—mendapatkan beasiswa untuk menimba pendidikan yang sama di sekolah khusus bangsawan.
Di sana dia bertemu beberapa pria tampan yang akan menjadi pasangan potensialnya. Seorang putra mahkota—hah, tentu saja yang ini pasti, mesti, harus ada. Seorang calon Duke. Seorang murid pertukaran sekaligus diplomat dari kerajaan sekutu. Dan seorang ahli magis.
Tapi, oh, tapi.
Jeanette yang baik hati, murni hatinya, dan rajin menabung mesti menghadapi ancaman besar berupa seorang wanita jahanam.
Itu adalah Irene Livingsworth. Putri Duke Livingsworth sekaligus tunangan dari sang putra mahkota.
Dan setelah berkaca—dengan heboh—dan memastikan berkali-kali, aku kini menjelma sebagai Rachel Dawver. Dedengkot Irene.
Hah? Dari mana aku tahu semua detail informasi ini, katamu?
Ya karena aku yang membuat semua ini.
Oke. Em … ini sebenarnya memalukan, tapi aku dulunya seorang penulis.
Iya, iya. Ngerti. Aku tahu menghidupi keluarga melarat dengan jadi penulis full-time itu enggak realitis dan rada bego, tapi ya saat itu kan masih puber. Sebelum akhirnya jadi warga negara yang baik seperti sekarang dan pasrah pada kenyataan.
Jadi kesimpulannya: aku mati ditabrak mobil, lalu terakhir kembali jadi tokoh—yang sama sekali—enggak penting di cerita yang kubuat bertahun-tahun lalu.
Bego banget kalau ada yang percaya itu.
Tapi, sialnya aku juga tak punya tebakan lain.
Toh semua informasi yang diberitahu pelayan di depanku ini sama dengan informasi yang kususun dalam novel itu. Bahkan sampai detail-detailnya.
Setting yang terinspirasi era Victorian—karena saat itu aku pengen tampil beda dan muak dengan trope abad pertengahan. Karakter Irene yang sesuai dengan gambaranku dulu—yang juga terinspirasi dari tokoh lain. Sampai tokoh pelayan yang menyerupai Ibu.
Yamaap.
Perempuan yang kutemui dulu kebanyakan kurang waras. Jadi referensi wanita rajin, penuh perhatian, dan lumayan pengertian ya cuma ibuku saja. Jadilah semua pelayan kubuat seperti dia.
Semoga saja detail yang itu tidak tidak akurat.
Seram juga kalau semua pelayan wajahnya sama.
“Nona, bagaimana?”
“Hm? Hah? Ya. Udah baikan, tenang aja, tenang aja.” Hampir saja lupa kalau kini aku masih di tengah pembicaraan.
Aku menatap si pelayan lurus-lurus dan memberi pandangan meyakinkan. Tapi, dia tetap saja curiga.
“Sepertinya saya harus lapor ke Tuan Lucian.”
“Lucian?” Aku menutup mulut. Aduh! Kalau bereaksi lebih mencurigakan lagi, nih pelayan bakal makin bertingkah.
Tapi, omong-omong Lucian itu siapa?
Itu terdengar familier. Apa dia salah satu tokoh sampingan yang penting? Rasanya aku tak memberi latar belakang khusus ke tokoh minor macam si Rachel ini.
“Dia itu … komandan penjaga kastil kita?” Aku mendongak ragu.
Si pelayan malah menghela napas dan beranjak pergi dengan pasrah.
“Heh! Bentar, bentar!” Aku bangkit dan mencegat tangannya sebelum pergi. Bisa gawat kalau aku ini bukan orang yang mereka sangka.
“Maaf, Nona. Ini sudah yang ketiga kali Nona ‘kambuh’, dan ini yang terparah.”
“Jadi ini bukan yang pertama, ya?” Aku mengelus dagu. Rupanya Rachel punya semacam komplikasi yang ‘aneh’.
Akhir-akhir ini dia dihinggapi penyakit mirip demensia ringan sesaat. Rachel sudah dibawa ke sana-kemari untuk disembuhkan. Mulai dari tabib konvensional hingga ahli obat abis magis.
Tapi tidak ada yang ampuh.
Yang didapat cuma vonis-vonis aneh. Satu tabib bilang Rachel diinfeksi virus misterius yang menyerang otak. Sedangkan di lain tempat bilang kalau Rachel dikutuk.
Apa-apaan itu?
Ini candaan? Atau malah jebakan?
Tunggu. Jangan-jangan benar kalau ini adalah dunia setelah kematian?
“Em … kamu gak usah terlalu khawatir gitu, deh. Liat nih, aku segar bugar dan baik-baik aja, kok.” Aku memasang senyum menghibur yang terpaksa.
“Bukan saja anda sudah lupa sama semuanya, sifat anda juga mulai berubah. Saya khawatir lam-lama anda akan kehilangan diri sendiri.”
“Eh? Berubah?” Me-memangnya sifat Rachel Dawver sebelumnya itu gimana?
Ketika menulis ini, aku jarang memberi detail khusus untuk para tokoh sampingan.
Si pelayan mengangguk. Aku makin panik. “Be-berubah gimana, sih, maksudmu? Hahaha! Bercanda aja, deh. Gak mungkin, ah. Emangnya Power Ranger apa.”
Aku melirik si pelayan dengan ragu-ragu, kecurigannya belum surut.
Malah makin jadi, sepertinya.
Bego juga, sih, aku. Tahu apa orang era Victoria soal Power Ranger?
“Cara bicara, cara anda menatap, cara anda duduk. Sigh! Bukannya anda yang sering mengajari saya untuk bersikap lebih anggun?”
Sial!
Matanya itu seteliti apa, sih? “I-ini karena aku baru bangun, oke? Lagian di sini gak ada orang selain kamu yang liat, ‘kan?”
“Tapi bukannya Nona yang bilang untuk berlaku anggun setiap saat supaya jadi kebiasaan?”
Sialan kau, Rachel asli. “Kamu ngeraguin aku?”
Si pelayan kontan tersentak. Lalu berkata dengan nada agak terbata-bata. “Maaf, Nona. Bukan begitu maksud sa—”
“Tatap aku!” Aku memberi pandangan yang intens. Kali ini tanpa rasa panik yang meragukan. “Kamu ngeraguin aku? Aku sudah bilang lho, kalau aku gak kenapa-kenapa. Aku baik-baik aja. Kok reaksinya malah gitu, sih? Bukannya pelayan berlaku ke gitu ke tuannya sendiri itu agak kurang ajar?”
Si pelayan itu merunduk. Kalah sepenuhnya.
Huh! Rasakan! Dikiranya cuma gara-gara punya wajah sama dengan Ibu bisa langsung berlaku seenak jidat?
Tapi, jujur, yang barusan itu agak menguras tenaga.
Kutarik napas pelan-pelan. Ayo, Nadia. Cemen banget, deh. Toh kamu kan juga ‘benci’ ke orangtuamu.
Setelah menunggu beberapa lama, pelayan itu akhirnya kembali berani angkat bicara. Dia menunduk, kali ini penuh penyesalan. “Maafkan saya sekiranya perkataan dan perbuatan saya lancang, Nona. Saya tidak pernah bermaksud meragukan Nona sama sekali.”
Aku tersenyum, tak nyaman. Buru-buru menyuruhnya mendongak lagi. “Bagus, deh, kalau ngerti. Ya udah sana kel—”
“Tapi ini semua saya lakukan untuk kebaikan diri Nona sendiri. Jadi maaf bila ini lancang, saya akan tetap pergi.”
Hah?
Berengsek! Dasar orang tak tahu diuntung! Kembalikan simpati enggak pentingku tadi!
“Eh, tunggu!”
Sekejap berikutnya, si pelayan sudah ngacir keluar.
Aku langsung bangkit. Masih dengan setelan tipis yang lumayan kepanjangan, aku menyusulnya , dihadapkan pada satu lorong panjang-hening-megah.
Uwaw!
Baru kali ini aku melihat isi dalam dari kastel asli.
Lantainya diisi karpet sutra merah yang lebih mulus dari hidup kalian semua.
Dinding-dindingya ditempeli rongga berisi lilin seukuran lengan, ornamen berkilau, dan ragam lukisan.
Oh, iya. Hampir lupa kalau aku kini sedang kejar-kejaran.
Ke mana pula itu orang kurang ajar?
Setelah meneliti ke sana-kemari, si pelayan ternyata sudah berada kian puluh meter di depan, berbelok, lalu masuk ke sebuah ruangan.
Kacau!
Untuk seukuran wanita setengah baya, staminanya gila-gilaan.
Aku kembali berlari, menyusul secepat yang kubisa.
Tapi, apa-apaan tubuh ini? Rasanya baru bergerak sebentar, tapi kenapa aku malah sudah ngos-ngosan? “Tunggu,” sahutku bengek, lirih, setengah mati.
Setelah melalui perjuangan hidup-mati yang menguras tenaga, akhirnya aku sampai.
Kepalaku pening. Tapi penglihatanku masih cemerlang.
Terlambat!
Wanita sialan itu sudah berbincang-bincang dengan seorang pria asing bernama Lucian apalah itu. Sang pria melirikku, mengangguk-angguk.
Si pelayan undur diri, sempat-sempatnya pamit kepadaku ketika kami berpapasan.
Kurespons saja dengan begitu sopan—mata mendelik dan gigi taring keluar.
Detik berikutnya, kami cuma berduaan.
Sebenernya, sih, aku lumayan seneng. Setelah lirik-lirikan mesra barusan, aku sadar kalau tampangnya lumayan.
Tapi, ketidaktahuanku membuatku gelisah.
Dia ini siapaku di sini?
Nasibku jadi bagaimana?
Jadilah, daripada menunggu terus dalam ketidakpastian, aku mengambil langkah lebih awal. “Em ..., Tuanku. Apa yang dibilang sama pelayan itu gak usah didengerin. Coba nih liat, sehat sentosa gini dibi—”
“Aku tau, kok, Dik,” sahut si Lucian. Berbalik sepenuhnya, tapi mata masih melihat suatu perkamen kulit.
Hah? “Dik?”
Akh!
Surai pirang yang terlalu panjang untuk ukuran pria itu, wajah dengan kulit sepucat porselen yang identik dengan mukaku sekarang, senyum tenang seolah segala sesuatu ada di kendalinya yang kerap bikin aku gak nyaman.
Gak salah lagi.
Dia Lucian Dawver.
Ahli magis jenius sekaligus pewaris County of Dawver.
Salah satu harem-nya Jeanette.
Kakak kembar Rachel. ‘Sekarang’ jadi kakak kembarku.
Pantas saja ketika mendengar namanya, tenggorokanku terasa pahit.
Masalahnya, di antara semua pasangan potensial Jeanette, personalitinya paling menyusahkan. Dengan kepribadian super tenang dan sok misterius. Tipikal pria yang selalu punya rahasia.
Ya ... dasar tokohnya salah satu kakak kelas yang pernah kutaksir, sih. Dia ganteng, dewasa, dan selalu bisa diandalkan. Mantan ketua OSIS. Punya prestasi bejibun. Ramah kepada semua orang. Bukan plauboy.
Tipe cowok idaman untuk ABG delusional.
Itu cinta sejati pertamaku, sekaligus yang terakhir.
Aku pikir saat itu orang baik yang sempurna emang benar ada, sebelum akhirnya kupergoki dia bekerja sebagai mucikari dari sebuah tempat pelacuran yang ada di pelosok Ibukota.
Menyeret teman seangkatan, junior, hingga guru perempuan dalam jual-beli perlendiran dengan iming-iming uang besar tanpa usaha. Memanfaatkan rasa percaya semua orang dan reputasi besar yang dimiliki.
Huh! Memang ya. Semua cowok sama aja! Bajingan!
Untung saja uang tutup mulutnya sepadan.
“Tapi, benar kamu gak apa-apa?” tanya Lucian, hampir saja aku nyaris mengira itu nada khawatir betulan.
Aku mengangguk yakin. “Iya. Kan dibilang gak usah dipusingin omongan tuh pelayan ngaco. Liat sendiri, ‘kan?” Aku menunjukkan otot super-kecilku yang kian layu karena lemas.
“Oke.”
“Kalau tetep gak percaya—” Tunggu. Oke? “Oke?” Kuulang pertanyaanku dengan lebih lantang.
Lucian menatapku lekat-lekat, masih memasang senyum menjengkelkan itu. “Oke. Ada masalah lain?”
Itu ... jauh lebih mudah dari yang kuduga. Kukira dia bakal menjebakku dalam permainan pikiran rumit hingga aku mengaku dan tamat.
Aku berjingkat keluar sambil menggaruk-garuk kepala.
Apa dia menyembunyikan sesuatu, ya?
Aku melirik ke belakang. Menemukan Lucian sudah memunggungiku, membaca tumpukan kertas kulit dan buku-buku rumit, kehilangan minat kepadaku.
Apa jangan-jangan aku yang berpikir terlalu berlebihan?
Lagi pula, dia ini prototipe sempurna dari si kakak kelas. Ditulis oleh aku yang kala itu otaknya masih dipenuhi ladang bunga asri alih-alih nafsu tak menyehatkan untuk duit.
Sepertinya begitu.
Tapi, aku tetap tak yakin.
Setelah berkontemplasi dan berpikir masak-masak, akhirnya aku sampai pada kesimpulan paling masuk akal. Ini semua mimpi. Aku mati? Reinkarnasi? Novelku yang mewujud jadi dunia betulan? Antara kewarasanku yang sudah hilang atau aku kini cuma hanya terperangkap dalam bunga tidur siang bolong yang panjang, terancam dipecat begitu bangun. Gawat! Kalau begitu … aku mesti cepat-cepat bangun. “Nona.” Aku berhenti berusaha mencubit pipi dan mencakar pergelangan tangan, menoleh, lantas mendapati si pelayan kurang ajar itu menatapku khawatir. Aku langsung pasang wajah sewot. Tapi, lagi-lagi aku tak sanggup bertahan. Dasar lemah kau, Nadia! “Apaan, sih? Mau ngadu lagi? Mau bilang aku sekarang udah gak waras?” Si pelayan me
Kutatap Dimitri dengan pandangan menyidik yang saksama. Begini. Aku ini punya ingatan terlampau bagus. Bahasa ilmiahnya ingatan fotografi. 'Teman'-ku menyebutnya ciri-ciri pendendam. Sedangkan aku mencatatnya dalam daftar 'hal-hal yang kukira berharga tapi tak bisa diuangkan'. Jadi, ketika kubilang si Dimitri ini tak pernah ada, maka begitulah kenyataannya. Belum lagi tentang sikap Irene yang tak pernah kuduga. Atau tubuh sialan ini yang staminanya terlampau lemah.
Enggak jarang aku berpikir kalau hidup itu bagaikan permainanRussian Roultte.Kau cuma diberi dua pilihan.Mati. Atau menderita lebih lama.Sebagai orang terdidik dengan otak mumpuni yang telah teruji, tentu aku pilih yang pertama.Konsep brilian itulah yang coba kuterapkan di kehidupan asing nan ajaib ini, tapi—bahkan dalam dunia yang secara harfiah ciptaanku sendri—nasibku memang tak pernah mulus.Aku melayangkan pandangan penuh kebencian ke Jeantte dan Irene yang ada di barisan tengah.Apa inisiatifku terlalu jelas ya sampai Irene tahu niat asliku?"Mo
Sebenarnya, aku ini punya penyakit keras kronis: nasib yang kadang tidak mujur.Dan bila kambuh, paling sedikit aku bakal ketiban tiga kesialan dalam sehari.Mulai dari dibuang ke alam delusi yang seharusnya sudah kukubur, pendam dalam-dalam, dan lupakan bertahun-tahun lalu.Bertransformasi jadi cewek pendengki letoy yang orientasi hidupnya cuma untuk jadi kacung penjahat wanita.Lalu mendapat kesempatan lebih cepat untuk jadi samsak hidup.Apalagi setelah ini? Tiba-tiba petir menyambar atau jadi lumpuh seumur hidup?Aku meneguk ludah tiap kali berusaha memperhatikan ini dari dekat.Dinding-dindingnya kelabu dan seakan nampak tak kenal ampun. Dengan dua obor yang belum menyalakan menangkring di masing-masing mata angin.Lantainya kebanyakan dipenuhi pasir, tapi ada permukaan datarnya juga, jadi aku t
Saat kubilang dunia gonjang-ganjing, itu tidak berarti secara metaforis atau aku tengah berusaha mengumpamakan sesuatu dengan puitis—dengar ya, aku ini bukan orang yang suka bertele-tele.Tapi, itu benar-benar terjadi. Secara hafiah.Arena berguncang. Sekali. Dua kali.Gempa? Ada juga, ya, di dunia ini?Serangan Arsenault batal dan keseimbangannya kacau.Ketika dia roboh dan kurasa kali ini aku benar-benar merasa akan mati, muncul suatu bayangan gigantis menyerupai … kaki?Jenjang. Kikuk.Aku menengadah, menemukan pemiliknya yang tengah menatap balik dengan muka babak belur dan lelah.Aku tidak percaya yang kulihat. “Dimitri?”Cewek itu mewujud secara abnormal tak jauh di depan sana—kaki setinggi hampir dua meter sementara anggota badan lainnya nampak sekurus lidi.
Kabar baiknya? Aku ternyata masih hidup.Kabar buruknya? Aku ternyata masih hidup.Rupanya bahkan hilang kesadaran tidak membuatku ‘terbangun’ ke dunia nyata.Ini sebenarnya mimpi macam apa? Panjang banget, dah.Atau diriku kini lagi koma atau kritis, ya?Atau malah beneran sudah mati?“Eh! Aw! Aw!” Aku meringis begitu sebuah ambal kasar membasuh tempat di mana lebam dan bengkak dulunya berada. “Bisa pelan-pelan gak, sih?”Rasanya sakit banget, setan.Si pelayan buru-buru minta maaf dengan mata berkaca-kaca, padahal terakhir kuingat dia itu lelaki. “Ma-maaf, Nona. Saya—”“Ck! Udah, ah. Sana.”“Tapi—”Kuberi saja cowok cengeng itu tatapan tajam. Sepertinya berhasil buat dia
Aku tak pernah mengerti mengapa semua orang menganggap ayah sebagai sosok pahlawan. Atau seorang pemimpin. Atau kepala keluarga. Ya … maksudku, apa kau mau menganggap pecundang tanpa kuasa riil sebagai sosok teladan yang tangguh dan pantas dihormati? Sejak lahir, aku diberkati ayah yang tak terlalu berguna. Pria yang cuma bisa menyombongkan kepintaran serta wawasan anehnya pada semua orang—ya meskipun itu terbukti secara tertulis, sih—dan tidak pernah menghasilkan penemuan signifikan. Karena itulah, ketika gagal dan bangkrut, kerjanya sehari-hari cuma merenung. Mengeluh. Merutuk. Mengutuk semua orang yang mengkhianatinya. Menyumpahi orang-orang yang meninggalkannya sendirian di belakang. Pengecut menyedihkan! “Ayah .…” Lucian berdiri. Memasang senyum. Setelannya makin resmi dalam
Banyak yang bilang aku pesimis, padahal aku cuma realistis.Jadi tiap kali bertemu orang atau hal baru, aku cenderung memikirkan skenario terburuk yang akan terjadi.Semisal, tiba-tiba dalam antrean ada seorang yang mengalah dan menyuruhku duluan, ada kemungkinan kalau orang itu adalah penguntit menjijikkan yang berusaha menarik simpatiku dan menculikku begitu aku terpedaya—hah! Seperti bakal kejadian saja! Dikiranya aku ini bocah empat belas tahun lugu yang bisa dibodoh-bodohi?Baiknya, sih, kau terapkan juga.Itu bakal bermanfaat banyak dan membuat batin menjadi lebih tentram—setidaknya itu berhasil untukku.Karena itulah, ketika mendapati Alfie adalah bajingan tak bertanggung jawab lain, aku tak terlalu kaget.Setidaknya, meskipun cuma pecundang yang penuh gengsi, ayahku dulu masih punya otak.Tapi, si Alfie ini sudah angku
Percaya atau enggak, semua ini bener-bener di luar kendali.Aku juga ngira aku bakal mati kala itu.Emang pastinya bakal ada serangan.Di antara daerah lain, penjagaan kami hampir serapuh tahu. Bahkan cuma dengan dua puluh orang terlatih, kastil ini akan langsung jatuh.Tapi, ya … enggak secepat itu, setan.Mana, ketika mereka datang, mereka bawa satu pasukan penuh pula.Kira-kira jumlahnya ada sekitar dua belas ribu orang. Bersenjata lengkap. Armor mengilap. Bahkan ada artileri.Upaya yang sia-sia untuk menyerbu kastil enggak berharga.Padahal, kalau mereka minta aku nyerah baik-baik, bakal langsung kulakukan.api, orang-orang ini punya pemikiran aneh tentang musuhnya. Bahwa kami dianggap sebagai perwujudan setan yang mesti dibasmi, diperkosa, dibantai hingga musnah dan menjamin kemenangan.Maka, sembari menunggu mana pilihan paling pas yang bakal kudapat, aku mendapat kemuliaan untuk ngehuni penjara bawah tanah.Aku pernah ke sini sekali.Kala itu lebih ramai.Ada si Wilson tolol it
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini buka
Sejak awal ini konyol. Bilangnya udah enggak seperti dulu lagi, tapi apa yang kulakuin di sini? Terjebak dalam dunia khayal tempat seharusnya aku enggak berada. Aku lebih penasaran, seberapa lama samaran murahan ini bakal bertahan. Maksudku, cuma selembar kain hitam bertudung yang dari bagian bahu hingga lengannnya koyak-koyak, bukannya kami bakal langsung dicurigain. Lagi, si Jeanette tolol ini juga gak nyiapin aku alas kaki. Apa dia enggak mempertimbangkan semua ini? Kayaknya aku terlalu berharap banyak. Pada akhirnya, meski dijulukin pahlawan dan penjahat perang—tergantung dari mana kau dengernya—nih cewek masih remaja. Pribadi berpikiran sempit yang punya semangat sekonyol orang pengidap gangguan jiwa. Selain prajurit, aku nyaksiin demonstrasi. Kumpulan massa dari para rakyat jelata dengan proporsi tubuh abnormal yang mendengarkan ceramah orang-orang teler. Orang-orang teler yang mengatakan ‘kebenaran’. “Negeri ini udah dikutuk di hari pertama Pengkhianat itu diangkat
`“Itu gak mungkin.”Bard sepertinya yang paling mengerti. “Aku tau dia temanmu, tapi … orang-orang akan selalu berubah, hingga pada titikk yan gak bisa kau kenalin.”Banyak yang bilang itu kabar angin, tapi berdasarkan pengalmanku dari berbagai sisi, itu merupakan kebenaran yang cuma dilebih-lebihkanEntah di bagian mananya, tapi hanya ada satu simpulan: banyak orang mati di Ibukota.“Aku mau keluar cari angin dulu.”Yang lain menanggapi dalam bungkam.Mengerti apa yang kurasakan.Sejak hari itu, aku udah berjanji.Pada diri sendiri, bahwa mulai sekarang aku bakal nyiptain ‘perubahan’.Tapi, bukan seperti yang dikehendaki Brown dan kawanannya.Visi mereka terlalu liar, brutal, dan tak manusiawi.Oh, tentu aku dengar soal mereka juga.Tentang gaung revolusi yang diserukan seluruh penjuru negeri.Mereka bahkan berani bawa-bawa nama Dia Yang Menguasai Langit dan Bumi. Menyebut kampaye kekerasan itu sebagai Perang Suci.Itu keterlaluan. Itu mesti kuhentikan.Tapi, tidak secara langsung.Be
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini bukan
“Nyamankan dirimu sendiri, Rachel. Enggak usah terlalu tegang begitu. Aku enggak bakal nyakitin kamu atau gimana, kok. Gimana pun, kita ini temen lama, bukan?”Ya? Kalau begitu, biarkan kudaratkan satu pukulan paling kuat yang kubisa ke wajah bodohmu itu.Mungkin, setelahnya, aku jadi enggak terlalu gugup lagi.Karena gimana ya …Belum ada tiga hari sejak kedatangan bajingan-bajingan asing ini, dan mereka udah memperlakukan istana bak rumah sendiri.Kamar-kamar tamu ditempati sembarangan.Barak dan persenjataan dikuasai.Tentara-tentara yang tersisa dilucuti—alasannya sih untuk ngehindari kekerasan yang enggak perlu.Itu dalih tolol—atau mungkin enggak?Entahlah.Karena, terlepas dari info ini valid atau enggak, jumlah pasukannya enggak kurang dari 15 ribu.Membanjiri kota dengan intimdasi dan todongan yang dibalut dengan begitu manis hingga nampak seperti persembahan yang menarik.Apa salah satu di antara mereka ada yang punya kemampuan memgendalikan pikiran, ya?Makudku, mengubah per
Itu konsep yang asing: ketakutan.Apa aku pernah takut sebelumnya?Ah, ya.Nostalgia lain.Masa lalu lain.Emangnya aku semacam pecundang yang nganggur ya?Aku gak punya waktu untuk melanglangbuana ke perkara yang bahkan enggak penting.Lagian, ketakutan itu respons yang sealami rasa lapar.Bahkan orang paling berani pun bisa gentar ketika di ambang kematian.Tapi, apa yang bikini ini jadi berbeda?TOK! TOK! TOK!Aku menyahut, hamper sepelan lirihan. “Masuk.”Meski tanpa berbalik ke belakang, aku bisa menyadari tatapan iba George yang mencolok. “Ini kekejian yang enggak bisa dimaafkan. Bisa-bisanya mereka … oh, demi Yang Maha Penyaya—““Kamu dapetin anak itu?” Aku lagi enggak ingin dengar nama-Nya di saat kayak begini.Entah itu yang mereka sembah atau apa pun yang pernah menemuiku di masa lalu.Namun, George justru bungkam.Apa dia pergi diam-diiam, ya?Cih, orang-orang ini.Emang, ya. Kau diamkan sekali dan mereka pikir kau itu figur lemah yang bisa dikuasai.Ketika berbalik, aku me
Orang-orang Willvile bakal digantung, dan aku enggak ngerasain apa-apa.Dengar.Gini-gini, aku masih punya empatI. Kesenstifian hati. Dan rasa manusiawi.Tapi, apa pula yang bisa dikasihani dari para bajingan barbar itu?Enggak dulu maupun sekarang, kerjanya selalu menyusahkan.Lebih-lebih si Evelyn sialan itu yang masih bisa memasang senyum meski udah di atas dudukan. Bahkan ketika lehernyadipasang jerat dan algojo ambil ancang-ancang.Cuma bangsawan yang diberi hak untuk ngasih tahu pesan terakhirnya—seperti yang kubilang sebelum-sebelum ini: persetan sama rakyat jelataDan binatang-binatang itu punya hak yang lebih rendah lagiDigantung adalah hukuman yang terlalu ringan.Ya … meskipun ngelihat mereka menggelayut sambil menggelepar-gelepar di udara mata, melotot, dan mulut mengap-mengap karena kehilangan napas secara pelan-pelan itu lumayan muasin; tapi kebiadaban mereka belum diganjar sepenuhnya.Andai aja regulasi negeri fiktif sialan ini lebih simpel, udah kuberi mereka hukuman
“Lagi?”Percuma saja, dari sudut pandang mereka, apa pun yang kukatakan bakal menjadi geraman yang membuat bulu kuduk merinding.Bahkan meski aku tak punya niat membunuh—dan tak pernah demikian.Itu semua bukan untuk tujuan keji seperti itu.Hari itu aku kehilangan segalanya.Kebahagiaan. Harapan. Tujuan.Dan itu membuatku bertanya-tanya, untuk apa?Apakah ini pantas?Apakah aku seberdosa itu?Namun, bak belaian paling lembut, gemulai, dan menentramkan; sebentuk suara agung menyahut dari langit.Memberi pencerahan paling absud sekaligus paling masuk akal.Dewa mengambil, dewa juga memberi.Ibu, Fio, Janine, dan semua orang adalah harga mahal yang tak sepadan dengan nyawaku—awalnya, pemikiran bodoh kayak begitu entah kenapa terlintas.Tapi, kekekalan ini merupakan berkah niscaya yang datang bukan untuk disia-siakan.Neraka kosong dan para iblis ada di sini. Aku adalah titisan yang dikirim untuk membasmi mereka.Memusnahkan kekejian. Membumihanguskan kejahatan. Meluluhlantakkan segala w