Share

Buset! Beneran Nih Mati?

Penulis: Gru
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku terbangun ketika sinar matahari menyorot usil dari balik jendela.

Kepalaku pusing dan pandanganku masih buram.

Ketika sudah sadar sepenuhnya, ternyata aku berada di tengah ruang yang benar-benar asing.

Ruang ini diisi meja rias penuh peralatan make-up aneh yang enggak pernah kulihat, selimut dari wol berenda, serta pintu seputih tulang yang sepertinya dari marmer berkilau.

Bentar!

Ini di mana?

Aku tak punya interior-interior mahal begini.

Kenapa pula aku di sni?

Ketika kuingat-kuingat, memorinya kabur-kabur.

Seperti biasa, semalam aku mampir ke bar Yuda, pesan minuman, bincang mesra bersama Rendi, lalu semuanya jadi sureal.

Tunggu. Apa aku dibawa ke sini oleh Rendi dan menghabiskan malam mesra dalam keadaan tak sadar?

Oh, Rendi, kamu si bajingan kecil nakal. Pengen nikmat sendirian saja. Di depan selalu pasang muka malu-malu, tapi di belakang justru ganas begini.

Huh! Tidak bisa kumaafkan. Awas saja nanti kalau bertemu dan melakukannya lagi, biar kubuat kamu enggak bisa berdiri.

Tapi itu berarti perasaan kita mutual, ‘kan? Perasaanku berbalas, ‘kan?

Hoho! Dasar ya laki-laki. Gengsi dinomorsatukan, padahal di dalam hati sama-sama mau.

Ya, tidak apalah. Kali ini kumaklumi.

Lagi pula dia sudah susah-susah memberi dan memakaikan aku gaun bagus begini.

Hm. Apa, sih, bahannya? Rasanya halus, nyaman, sejuk, wangi. Seperti rangkulan itu sendiri.

Eh. Bukan saatnya aku memikirkan ini. Hari sudah menjelang siang—lihat saja sinar matahari juga telah terik begitu.

Gawat! Aku kan ada rencana presentase jam sembilan nanti bersama bos mata keranjang itu dan dewan-dewan atas perusahaan. Kepribadiannya memang bikin jijik, tapi kalau aku mengacaukan meeting dan membuatnya malu, hidupku bakal ikut hancur.

Aku bangkit dan mencari tas ke sana-kemari, bergegas pergi dari sini.

Tapi, kok, tidak ada ya?

Lagi pula hotel macam apa ini? Ruangannya luas sekali—mungkin hampir tiga perempat ruang keluarga di rumah biasa. Ranjangnya saja ditopang empat tiang dan punya semacam naungan kelambu yang bisa dibuka-tutup.

Benda-benda di sini semuanya terbuat dari mahoni asli dan diukir dalam desain klasik yang kuno, tapi estetik.

Ah. Aku terdistraksi lagi, ‘kan.

Ayolah, Tasku, di mana, sih, kamu?

Dalam ingatan terakhir, aku ingat masih dalam setelan rapi dan menenteng tas selempang kebanggan itu ke mana-mana.  Tidak mungkin Rendi mengambilnya, ‘kan?

Iya. Dia itu masih muda—masih dalam umur-umur pubertas pula, punya rasa ingin tahu yang besar—mungkin, dan punya kesempatan untuk melakukannya. Tapi, dia bukan tipikal orang seperti itu.

Atau jangan-jangan yang membawaku ke sini bukan Rendi?

Bagaimana kalau ternyata Yuda yang melakukannya?

Aku tahu si berengsek itu diam-diam menyimpan rasa kepadaku sejak semester lima. Aku yang dalam keadaan tak sadar dan tanpa pertahanan akan jadi sasaran hasrat bejat menjijikkannya dengan mudah.

Atau malah bukan salah satu dari mereka? Jangan-jangan yang melakukan ini adalah orang lain? Orang yang tak pernah kukenal? Seperti om-om hidung belang atau preman jalanan.

Preman? Sepertinya aku familier dengan mereka. Seakan aku pernah berurusan atau setidaknya melihat aksi mereka dari dekat secara langsung, baru-baru ini.

Di dekat kantor? Di lingkungan rumah? Di dekat bar?

Ah iya. Di dekat bar. Ketika dalam perjalanan pulang. Aku yang terlibat perkelahian bodoh dengan Yuda tak sengaja mendapati komplotan orang mengerikan itu tengah melecehkan seorang gadis.

Gadis itu sepertinya lolos, berlari, dan menabrakku. Aku terjatuh di tengah jalan raya. Dua mobil datang dari depan dan belakang. Lalu semuanya gelap.

Kesimpulan akhir: aku sepertinya sudah mati.

Tunggu, apa?

Jawaban prasangka mengerikan itu datang dalam cara yang tak terduga.

Pintu kamarku diketuk perlahan, lalu terdengar suara seorang wanita dalam bahasa yang tak pernah kuketahui—tapi anehnya bisa kumengerti. Kira-kira begini katanya: “Nona, anda sudah bangun?”

Waduh!

itu siapa?

Staff hotel? Atau malaikat penjaga Neraka?

Aku … benar-benar belum mati, ‘kan?

Karena begini, sejak umur lima belas, aku ini sudah—dengan bangga—memproklamirkan diri sebagai ateis tulen.

Mana siap aku kalau ternyata benar-benar ada hidup setelah kematian begini.

Ketika tengah merenungkan identitas relijiusku yang sudah morat-marit, tiba-tiba wanita—yang entah siapa—di balik pintu itu kembali bertindak tak terduga. “Nona, saya izin masuk.”

Kenop bergerak turun dan pintu mulai terbuka.

Waduh! Gawat! “Tunggu! Jangan masuk dulu!”

Pintu itu kembali tertutup. “Nona, anda sudah bangun?” kata wanita itu khawatir.

“Iya. Sudah. Sudah,” jawabku masih gelagapan. Aku meneguk ludah dan berusaha berpikir rasional.

Pertama-tama, aku harus memastikan dulu di mana sebenarnya aku sekarang.

Jadilah aku bergerak pelan—nyaris seperti berjingkat—mendekati pintu, mengumpulkan keberanian, lalu ganti bertanya. “Em … sebelumnya bisa kasih tau kamu siapa?”

Oke. Iya, tahu. Itu pertanyaan goblok. Tapi, saat itu aku terlalu bingung untuk merangkai kata. Kepalaku juga masih pusing karena alkohol semalam.

Reaksi si wanita kembali mengejutkanku. “Nona kambuh lagi?”

Hah? “Kambuh?”

“Nona. Saya akan masuk ke dalam.”

“Hah? EH! Tunggu! Jangan!” Aku berusaha menahan sekuat tenaga, tapi entah kenapa tenagaku jadi setengah lebih lemah dari biasanya. Jadilah aku terjerembab, kalah, dan saat itu menyadari sesuatu lain yang aneh—tubuhku ternyata lebih kurus daripada yang kuingat.

“Maaafkan saya, Nona. Nona gak apa-apa?” Ketika mendengar secara langsung, entah kenapa suara wanita itu jadi lebih familier.

Aku yang masih meringis kemudian berusaha bangkit, lalu mendongak penasaran.

Ini … ini tidak mungkin.

Di depan sana, dalam balutan seragam pelayan wanita ala Era Victoria, aku bertatap muka dengan seorang yang tak pernah kusangka. “Ibu?”

Bab terkait

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   Halusinasi Membunuhmu

    Oke. Jadi singkatnya begini. Ini adalah Andromeda. Negara fiktif yang punya teknologi setara dunia nyata abad 18-an. Ketika kebangsawanan dan kasta sosial masih dipermasalahkan. Ketika senjata api mulai mengalami transformasi signifikan besar-besaran. Di dunia klasik ini, terdapat seorang rakyat jelata bernama Jeanette Folkstein yang—karena suatu alasan—mendapatkan beasiswa untuk menimba pendidikan yang sama di sekolah khusus bangsawan. Di sana dia bertemu beberapa pria tampan yang akan menjadi pasangan potensialnya. Seorang putra mahkota—hah, tentu saja yang ini pasti, mesti, harus ada. Seorang calon Duke. Seorang murid pertukaran sekaligus diplomat dari kerajaan sekutu. Dan seorang ahli magis. Tapi, oh, tapi. Jeanette yang baik hati, murni hatinya, dan rajin menabung mesti menghadapi ancaman besar berupa seorang wanita jahanam.

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   Namanya Juga Fiksi!

    Setelah berkontemplasi dan berpikir masak-masak, akhirnya aku sampai pada kesimpulan paling masuk akal. Ini semua mimpi. Aku mati? Reinkarnasi? Novelku yang mewujud jadi dunia betulan? Antara kewarasanku yang sudah hilang atau aku kini cuma hanya terperangkap dalam bunga tidur siang bolong yang panjang, terancam dipecat begitu bangun. Gawat! Kalau begitu … aku mesti cepat-cepat bangun. “Nona.” Aku berhenti berusaha mencubit pipi dan mencakar pergelangan tangan, menoleh, lantas mendapati si pelayan kurang ajar itu menatapku khawatir. Aku langsung pasang wajah sewot. Tapi, lagi-lagi aku tak sanggup bertahan. Dasar lemah kau, Nadia! “Apaan, sih? Mau ngadu lagi? Mau bilang aku sekarang udah gak waras?” Si pelayan me

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   Makanya Pintar-Pintar Pilih Teman

    Kutatap Dimitri dengan pandangan menyidik yang saksama. Begini. Aku ini punya ingatan terlampau bagus. Bahasa ilmiahnya ingatan fotografi. 'Teman'-ku menyebutnya ciri-ciri pendendam. Sedangkan aku mencatatnya dalam daftar 'hal-hal yang kukira berharga tapi tak bisa diuangkan'. Jadi, ketika kubilang si Dimitri ini tak pernah ada, maka begitulah kenyataannya. Belum lagi tentang sikap Irene yang tak pernah kuduga. Atau tubuh sialan ini yang staminanya terlampau lemah.

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   Menyerah Sajalah

    Enggak jarang aku berpikir kalau hidup itu bagaikan permainanRussian Roultte.Kau cuma diberi dua pilihan.Mati. Atau menderita lebih lama.Sebagai orang terdidik dengan otak mumpuni yang telah teruji, tentu aku pilih yang pertama.Konsep brilian itulah yang coba kuterapkan di kehidupan asing nan ajaib ini, tapi—bahkan dalam dunia yang secara harfiah ciptaanku sendri—nasibku memang tak pernah mulus.Aku melayangkan pandangan penuh kebencian ke Jeantte dan Irene yang ada di barisan tengah.Apa inisiatifku terlalu jelas ya sampai Irene tahu niat asliku?"Mo

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   Pikirmu Aku Ini Orang yang Minta Dikasihani?

    Sebenarnya, aku ini punya penyakit keras kronis: nasib yang kadang tidak mujur.Dan bila kambuh, paling sedikit aku bakal ketiban tiga kesialan dalam sehari.Mulai dari dibuang ke alam delusi yang seharusnya sudah kukubur, pendam dalam-dalam, dan lupakan bertahun-tahun lalu.Bertransformasi jadi cewek pendengki letoy yang orientasi hidupnya cuma untuk jadi kacung penjahat wanita.Lalu mendapat kesempatan lebih cepat untuk jadi samsak hidup.Apalagi setelah ini? Tiba-tiba petir menyambar atau jadi lumpuh seumur hidup?Aku meneguk ludah tiap kali berusaha memperhatikan ini dari dekat.Dinding-dindingnya kelabu dan seakan nampak tak kenal ampun. Dengan dua obor yang belum menyalakan menangkring di masing-masing mata angin.Lantainya kebanyakan dipenuhi pasir, tapi ada permukaan datarnya juga, jadi aku t

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   Mempecundangi Laki-Laki Itu Rasanya Nikmat Juga

    Saat kubilang dunia gonjang-ganjing, itu tidak berarti secara metaforis atau aku tengah berusaha mengumpamakan sesuatu dengan puitis—dengar ya, aku ini bukan orang yang suka bertele-tele.Tapi, itu benar-benar terjadi. Secara hafiah.Arena berguncang. Sekali. Dua kali.Gempa? Ada juga, ya, di dunia ini?Serangan Arsenault batal dan keseimbangannya kacau.Ketika dia roboh dan kurasa kali ini aku benar-benar merasa akan mati, muncul suatu bayangan gigantis menyerupai … kaki?Jenjang. Kikuk.Aku menengadah, menemukan pemiliknya yang tengah menatap balik dengan muka babak belur dan lelah.Aku tidak percaya yang kulihat. “Dimitri?”Cewek itu mewujud secara abnormal tak jauh di depan sana—kaki setinggi hampir dua meter sementara anggota badan lainnya nampak sekurus lidi.

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   Kabar Baik

    Kabar baiknya? Aku ternyata masih hidup.Kabar buruknya? Aku ternyata masih hidup.Rupanya bahkan hilang kesadaran tidak membuatku ‘terbangun’ ke dunia nyata.Ini sebenarnya mimpi macam apa? Panjang banget, dah.Atau diriku kini lagi koma atau kritis, ya?Atau malah beneran sudah mati?“Eh! Aw! Aw!” Aku meringis begitu sebuah ambal kasar membasuh tempat di mana lebam dan bengkak dulunya berada. “Bisa pelan-pelan gak, sih?”Rasanya sakit banget, setan.Si pelayan buru-buru minta maaf dengan mata berkaca-kaca, padahal terakhir kuingat dia itu lelaki. “Ma-maaf, Nona. Saya—”“Ck! Udah, ah. Sana.”“Tapi—”Kuberi saja cowok cengeng itu tatapan tajam. Sepertinya berhasil buat dia

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   Mending Jadi Anak Yatim dibanding Punya Ayah Tak Berguna

    Aku tak pernah mengerti mengapa semua orang menganggap ayah sebagai sosok pahlawan. Atau seorang pemimpin. Atau kepala keluarga. Ya … maksudku, apa kau mau menganggap pecundang tanpa kuasa riil sebagai sosok teladan yang tangguh dan pantas dihormati? Sejak lahir, aku diberkati ayah yang tak terlalu berguna. Pria yang cuma bisa menyombongkan kepintaran serta wawasan anehnya pada semua orang—ya meskipun itu terbukti secara tertulis, sih—dan tidak pernah menghasilkan penemuan signifikan. Karena itulah, ketika gagal dan bangkrut, kerjanya sehari-hari cuma merenung. Mengeluh. Merutuk. Mengutuk semua orang yang mengkhianatinya. Menyumpahi orang-orang yang meninggalkannya sendirian di belakang. Pengecut menyedihkan! “Ayah .…” Lucian berdiri. Memasang senyum. Setelannya makin resmi dalam

Bab terbaru

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [ZACK] Di Ujung Dunia

    Percaya atau enggak, semua ini bener-bener di luar kendali.Aku juga ngira aku bakal mati kala itu.Emang pastinya bakal ada serangan.Di antara daerah lain, penjagaan kami hampir serapuh tahu. Bahkan cuma dengan dua puluh orang terlatih, kastil ini akan langsung jatuh.Tapi, ya … enggak secepat itu, setan.Mana, ketika mereka datang, mereka bawa satu pasukan penuh pula.Kira-kira jumlahnya ada sekitar dua belas ribu orang. Bersenjata lengkap. Armor mengilap. Bahkan ada artileri.Upaya yang sia-sia untuk menyerbu kastil enggak berharga.Padahal, kalau mereka minta aku nyerah baik-baik, bakal langsung kulakukan.api, orang-orang ini punya pemikiran aneh tentang musuhnya. Bahwa kami dianggap sebagai perwujudan setan yang mesti dibasmi, diperkosa, dibantai hingga musnah dan menjamin kemenangan.Maka, sembari menunggu mana pilihan paling pas yang bakal kudapat, aku mendapat kemuliaan untuk ngehuni penjara bawah tanah.Aku pernah ke sini sekali.Kala itu lebih ramai.Ada si Wilson tolol it

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [RACHEL] Pertama dan Terakhir

    Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini buka

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [RACHEL] Semuanya Enggak Penting

    Sejak awal ini konyol. Bilangnya udah enggak seperti dulu lagi, tapi apa yang kulakuin di sini? Terjebak dalam dunia khayal tempat seharusnya aku enggak berada. Aku lebih penasaran, seberapa lama samaran murahan ini bakal bertahan. Maksudku, cuma selembar kain hitam bertudung yang dari bagian bahu hingga lengannnya koyak-koyak, bukannya kami bakal langsung dicurigain. Lagi, si Jeanette tolol ini juga gak nyiapin aku alas kaki. Apa dia enggak mempertimbangkan semua ini? Kayaknya aku terlalu berharap banyak. Pada akhirnya, meski dijulukin pahlawan dan penjahat perang—tergantung dari mana kau dengernya—nih cewek masih remaja. Pribadi berpikiran sempit yang punya semangat sekonyol orang pengidap gangguan jiwa. Selain prajurit, aku nyaksiin demonstrasi. Kumpulan massa dari para rakyat jelata dengan proporsi tubuh abnormal yang mendengarkan ceramah orang-orang teler. Orang-orang teler yang mengatakan ‘kebenaran’. “Negeri ini udah dikutuk di hari pertama Pengkhianat itu diangkat

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [JEANETTE] Enggak Ada Lagi yang Tersisa

    `“Itu gak mungkin.”Bard sepertinya yang paling mengerti. “Aku tau dia temanmu, tapi … orang-orang akan selalu berubah, hingga pada titikk yan gak bisa kau kenalin.”Banyak yang bilang itu kabar angin, tapi berdasarkan pengalmanku dari berbagai sisi, itu merupakan kebenaran yang cuma dilebih-lebihkanEntah di bagian mananya, tapi hanya ada satu simpulan: banyak orang mati di Ibukota.“Aku mau keluar cari angin dulu.”Yang lain menanggapi dalam bungkam.Mengerti apa yang kurasakan.Sejak hari itu, aku udah berjanji.Pada diri sendiri, bahwa mulai sekarang aku bakal nyiptain ‘perubahan’.Tapi, bukan seperti yang dikehendaki Brown dan kawanannya.Visi mereka terlalu liar, brutal, dan tak manusiawi.Oh, tentu aku dengar soal mereka juga.Tentang gaung revolusi yang diserukan seluruh penjuru negeri.Mereka bahkan berani bawa-bawa nama Dia Yang Menguasai Langit dan Bumi. Menyebut kampaye kekerasan itu sebagai Perang Suci.Itu keterlaluan. Itu mesti kuhentikan.Tapi, tidak secara langsung.Be

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [RACHEL] Kapal Karam

    Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini bukan

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [RACHEL] Kabar Bahagia

    “Nyamankan dirimu sendiri, Rachel. Enggak usah terlalu tegang begitu. Aku enggak bakal nyakitin kamu atau gimana, kok. Gimana pun, kita ini temen lama, bukan?”Ya? Kalau begitu, biarkan kudaratkan satu pukulan paling kuat yang kubisa ke wajah bodohmu itu.Mungkin, setelahnya, aku jadi enggak terlalu gugup lagi.Karena gimana ya …Belum ada tiga hari sejak kedatangan bajingan-bajingan asing ini, dan mereka udah memperlakukan istana bak rumah sendiri.Kamar-kamar tamu ditempati sembarangan.Barak dan persenjataan dikuasai.Tentara-tentara yang tersisa dilucuti—alasannya sih untuk ngehindari kekerasan yang enggak perlu.Itu dalih tolol—atau mungkin enggak?Entahlah.Karena, terlepas dari info ini valid atau enggak, jumlah pasukannya enggak kurang dari 15 ribu.Membanjiri kota dengan intimdasi dan todongan yang dibalut dengan begitu manis hingga nampak seperti persembahan yang menarik.Apa salah satu di antara mereka ada yang punya kemampuan memgendalikan pikiran, ya?Makudku, mengubah per

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [RACHEL] Aku ... Enggak Bakal Tunduk

    Itu konsep yang asing: ketakutan.Apa aku pernah takut sebelumnya?Ah, ya.Nostalgia lain.Masa lalu lain.Emangnya aku semacam pecundang yang nganggur ya?Aku gak punya waktu untuk melanglangbuana ke perkara yang bahkan enggak penting.Lagian, ketakutan itu respons yang sealami rasa lapar.Bahkan orang paling berani pun bisa gentar ketika di ambang kematian.Tapi, apa yang bikini ini jadi berbeda?TOK! TOK! TOK!Aku menyahut, hamper sepelan lirihan. “Masuk.”Meski tanpa berbalik ke belakang, aku bisa menyadari tatapan iba George yang mencolok. “Ini kekejian yang enggak bisa dimaafkan. Bisa-bisanya mereka … oh, demi Yang Maha Penyaya—““Kamu dapetin anak itu?” Aku lagi enggak ingin dengar nama-Nya di saat kayak begini.Entah itu yang mereka sembah atau apa pun yang pernah menemuiku di masa lalu.Namun, George justru bungkam.Apa dia pergi diam-diiam, ya?Cih, orang-orang ini.Emang, ya. Kau diamkan sekali dan mereka pikir kau itu figur lemah yang bisa dikuasai.Ketika berbalik, aku me

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [RACHEL] Permainan Lama

    Orang-orang Willvile bakal digantung, dan aku enggak ngerasain apa-apa.Dengar.Gini-gini, aku masih punya empatI. Kesenstifian hati. Dan rasa manusiawi.Tapi, apa pula yang bisa dikasihani dari para bajingan barbar itu?Enggak dulu maupun sekarang, kerjanya selalu menyusahkan.Lebih-lebih si Evelyn sialan itu yang masih bisa memasang senyum meski udah di atas dudukan. Bahkan ketika lehernyadipasang jerat dan algojo ambil ancang-ancang.Cuma bangsawan yang diberi hak untuk ngasih tahu pesan terakhirnya—seperti yang kubilang sebelum-sebelum ini: persetan sama rakyat jelataDan binatang-binatang itu punya hak yang lebih rendah lagiDigantung adalah hukuman yang terlalu ringan.Ya … meskipun ngelihat mereka menggelayut sambil menggelepar-gelepar di udara mata, melotot, dan mulut mengap-mengap karena kehilangan napas secara pelan-pelan itu lumayan muasin; tapi kebiadaban mereka belum diganjar sepenuhnya.Andai aja regulasi negeri fiktif sialan ini lebih simpel, udah kuberi mereka hukuman

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [KIND MONSTER] Perang Suci

    “Lagi?”Percuma saja, dari sudut pandang mereka, apa pun yang kukatakan bakal menjadi geraman yang membuat bulu kuduk merinding.Bahkan meski aku tak punya niat membunuh—dan tak pernah demikian.Itu semua bukan untuk tujuan keji seperti itu.Hari itu aku kehilangan segalanya.Kebahagiaan. Harapan. Tujuan.Dan itu membuatku bertanya-tanya, untuk apa?Apakah ini pantas?Apakah aku seberdosa itu?Namun, bak belaian paling lembut, gemulai, dan menentramkan; sebentuk suara agung menyahut dari langit.Memberi pencerahan paling absud sekaligus paling masuk akal.Dewa mengambil, dewa juga memberi.Ibu, Fio, Janine, dan semua orang adalah harga mahal yang tak sepadan dengan nyawaku—awalnya, pemikiran bodoh kayak begitu entah kenapa terlintas.Tapi, kekekalan ini merupakan berkah niscaya yang datang bukan untuk disia-siakan.Neraka kosong dan para iblis ada di sini. Aku adalah titisan yang dikirim untuk membasmi mereka.Memusnahkan kekejian. Membumihanguskan kejahatan. Meluluhlantakkan segala w

DMCA.com Protection Status