Pagi hari di komplek River Villa.Erlangga meninggalkan ruang makan dengan wajah gelisah.Sampai pagi ini, Er masih tidak melihat keberadaan Prabujaya di rumah besar. Dia sempat melirik ke arah kamar pria tua itu ketika Erlangga keluar dari kamarnya tadi pagi. Tetapi Er melihat pintu kamarnya masih tertutup rapat.Bahkan saat duduk di meja makan, ayahnya masih tidak muncul di sana untuk menemaninya sarapan pagi."Ini tidak lucu. Apa dia harus bersikap seperti ini padaku hanya karena masalah itu? Apa susahnya bicara langsung padaku? Kenapa harus main petak umpet seperti ini?" oceh Erlangga. Er mendengus kesal sambil memukul meja makan hingga membuat pelayan yang berdiri di belakangnya terlonjak kaget."Sudahlah, sebaiknya anda sarapan sekarang. Makanannya tidak enak jika sudah dingin," kata Nyonya Helen untuk menenangkannya.Dia maju dan berdiri di sisi Erlangga untuk mengambilkan makanan untuk diletakkan di atas piringnya.Erlangga tidak menolaknya. Dia menerimanya dan langsung memak
"Tuan, saya akan pergi sekarang," kata Alex setelah Erlangga duduk di kursinya."Apa ada perintah lain yang harus saya kerjakan?" tanyanya kemudian.Erlangga mengangkat wajahnya, memandang Alex yang masih setia berdiri di seberang meja kerjanya."Tidak ada. Pergilah sekarang! Aku ingin mendengar kabar darimu secepatnya dan jangan kecewakan aku," kata Erlangga memberi perintah."Siap, Tuan Muda Erlangga. Saya tidak akan mengecewakan anda."Usai berkata begitu, Alex langsung memutar tubuhnya dan mulai berjalan menuju pintu.Dia baru saja akan membukanya ketika pintu di depannya tiba-tiba didorong oleh seseorang dari luar. Refleks Alex langsung mundur selangkah untuk menghindari tubuhnya diterjang oleh daun pintu."Nona Viona? Sedang apa anda di sini?" desis Alex saat mereka bertemu.Gadis itu tampak terkejut saat melihat Alex sedang berdiri di depannya. Tubuhnya yang kekar dan tinggi jelas menghalangi jalan gadis itu untuk masuk ke dalam."Oh, maaf ... aku hanya ingin bertemu dengan Erl
"Aku tidak ingin menikah!"Suara lantang Viona terdengar saat gadis itu masuk ke ruang kerja ayahnya.Ilham Samudra adalah seorang pengusaha konveksi. Dia telah lama menjadi sahabat Prabujaya Pamungkas.Saat ini, Ilham sedang berada di ruang kerjanya, di kediaman mereka."Kamu tiba-tiba datang dan bicara omong kosong seperti itu. Ada masalah apa? Apa kamu bertengkar dengan Rangga?" Ilham mendongak, menatap wajah putrinya yang cemberut."Aku ingin pernikahan kami dibatalkan. Aku sudah tidak mau menikah dengannya lagi!" ucap Viona tegas. Gadis itu menghempaskan pantatnya di atas sofa empuk yang terletak di tengah-tengah ruangan."Apa kamu serius? Vi, jangan main-main dengan pernikahanmu. Sebelumnya Papa sudah mengingatkanmu, tapi kamu tetap bersikeras ingin menikah dengan Rangga. Sekarang kamu tidak bisa membatalkannya begitu saja!" terang Ilham. Dia mencoba memberi putrinya peringatan agar tidak membuat keputusan yang akan disesali olehnya."Tapi, Pa --""Tinggal dua minggu, Vi. Sehar
Di rumah sakit, Tuan Prabujaya telah sadar dari pingsannya, tetapi alat bantu pernafasannya masih menempel di hidungnya yang bangir.Daniel dengan setia berdiri di samping ranjangnya, menjaganya agar tetap merasa nyaman."Dimana aku?" Itu adalah pertanyaan pertama yang lolos dari mulut Prabujaya ketika dia sadarkan diri.Dia terlihat bingung saat tak berhasil mengenali ruangan itu sebagai kamar pribadinya."Anda ada di rumah sakit, Tuan. Dan sudah dua hari anda tidak sadarkan diri," jawab Daniel."Dua hari?" Prabujaya tampak linglung. Dia memutar bola matanya, berusaha mengingat kejadian terakhir kali.Namun, yang berhasil diingat olehnya ialah ketika mereka dalam perjalanan pulang dari kantor kepolisian daerah kabupaten."Benar, Tuan. Tapi syukurlah anda sudah sadar. Saya sangat khawatir."Prabujaya menghela napasnya pelan. Ketika mengingat sesuatu, dia lalu kembali bertanya pada aaistennya."Apa Erlangga tidak datang ke sini? Sepertinya dia tidak merasa khawatir sedikitpun," ucapny
Mata obsidiannya seketika melebar. Wajah dimgin Erlangga langsung berubah sendu.Pantas saja jika beberapa hari ini perasaannya tidak karuan. Setiap kali melihat kamar ayahnya jantungnya selalu berdebar kencang tanpa sebab."Antar aku ke sana sekarang!"Erlangga langsung berdiri dari kursinya. Dia menarik ujung jasnya untuk merapikannya kemudian keluar dari ruang kantornya dengan langkah besar.Alex dengan setia mengekor di belakangnya hingga ketika keduanya keluar dari dalam lift. Suara langkah Erlangga menggema dari ujung koridor hingga mereka tiba di depan pintu masuk.Er masih sempat memberikan senyum ramahnya pada petugas keamanan yang dengan cepat membukakan pintu bagi mereka.Saat mereka telah berada di luar pintu, Alex dengan cepat memotong langkah Erlangga dan mendahuluinya untuk membukakan pintu untuknya.Dia dengan segera membawa mobil sedannya menjauh meninggalkan gedung Prabujaya Industry.Alex mengarahkan mobilnya menuju rumah sakit yang terletak di pusat kota. Itu adala
Erlangga duduk diam di kursinya tepat di samping ranjang Prabujaya.Er memandangi wajah tua Prabujaya yang mulai di tutupi keriput karena dimakan usia. Pipinya mulai merona menandakan kondisi tubuhnya yang mulai membaik.Er akhirnya bisa bernafas lega ketika sang ayah membuka matanya setelah Erlangga duduk menunggu selama satu jam lebih."Er?""Papa udah bangun? Gimana keadaan Papa sekarang? Bagian mana yang sakit?" Er segera memberondongnya dengan pertanyaan sambil memeriksa tubuh ayahnya."Er, Papa baik-baik aja," jawab Prabujaya."Kapan kamu datang?" tanya Prabujaya."Satu jam yang lalu. Tadi Papa lagi tidur saat aku datang."Prabujaya menghela napasnya panjang, kemudian berkata, "Apa Paman Daniel tidak mengabarimu? Tadi Papa memintanya untuk memberi tahu mu kalau Papa baik-baik aja, jadi kamu tidak perlu khawatir.""Dia memang tidak ada mengabariku," ucap Erlangga. Dia melirik tajam ke arah Daniel yang berdiri di sisi lain ranjang.Jelas itu adalah kalimat sindiran ditujukan pada
Nyonya Helen memangku kedua tangannya yang keriput di atas paha saat duduk di sofa empuk di ruang tamu. Sementara kepalanya sedikit menunduk menatap lantai marmer di bawah kakinya.Di hadapannya Erlangga sedang duduk sambil melipat tangannya di atas dada.Ruang tamu begitu hening tanpa suara. Sudah sepuluh menit sejak mereka duduk saling berhadapan untuk menjernihkan masalah yang terjadi di antara mereka.Erlangga masih menunggu ibu asuhnya itu berinisiatif untuk menjelaskan semuanya padanya. Namun, wanita paruh baya itu seakan menahan dirinya untuk bicara seperti yang dikehendaki Daniel sebelumnya. Nyonya Helen hanya tidak ingin membuat asisten Prabujaya marah padanya."Kenapa Ibu masih tidak bicara?" Erlangga akhirnya membuka suara mengawali pembicaraan mereka.Tatapannya lurus mengunci sosok wanita paruh baya di depannya.Beberapa detik kemudian, Nyonya Helen mengangkat wajahnya dan menatap anak asuhnya itu dalam-dalam.Di sana jelas terlihat raut wajah Erlangga yang dingin dan me
Pukul sembilan pagi.Dokter baru saja keluar dari ruang perawatan Prabujaya setelah selesai memeriksa kondisi kesehatannya pagi ini.Semburat merah muda menghias wajah pria paruh baya itu. Dia terlihat jauh lebih baik dibanding sebelumnya.Prabujaya kini dapat bernapas lega karena hari ini dokter telah melepas masker oksigen yang menempel di hidungnya sejak mereka membawanya ke rumah sakit beberapa hari yang lalu.Garis lengkung menghias bibir Dokter Gunawan yang berwarna coklat ketika dia mendapati hasil akhir yang cukup bagus dari semua test yang dijalankan oleh Prabujaya."Anda pulih dengan cepat, Tuan Prabujaya. Jika anda bisa mempertahankan kondisi anda tetap seperti ini, anda bisa segera keluar dari ruangan ini dalam dua hari." Dokter Gunawan merasa sangat bersemangat saat berbicara dengannya.Di depannya, Prabujaya tak berhenti menggantung senyuman di bibirnya. Akhirnya dia bisa bernapaa lega karena akan segera kembali ke rumahnya. Tempat persembunyian terbaik yang dia miliki