Dengan berat hati akhirnya Kevin menjawab, “baiklah. Namun saya meminta beberapa syarat.”
“Katakan saja Nak, yang penting kamu mau menikahi Icha.” Seno dengan terbuka menyetujui semua syarat yang akan diajukan calon menantunya itu.
“Saya tidak bisa membelikan Icha rumah, kebutuhan sehari-hari juga tidak bisa,” sebut Kevin dengan tegas. Ia tak ingin menjanjikan apapun pada istri barunya ini. Karena Kevin melakukan pernikahan dengan terpaksa.
“Tidak masalah, biar semua Bapak tanggung. Nak Kevin cukup nikahin Icha saja,” setuju Seno tanpa komplain.
“Bukankah kamu punya cafe!?” teriak Icha tiba-tiba. Perempuan itu menatap mata Kevin dengan tajam, setajam pisau yang ia pegang.
“Itu termasuk harta Dea, Cha. Aku tidak bisa memberikannya padamu.” Kevin berusaha menjelaskan, karena memanglah itu kenyataannya. Ketika Dea mengetahui pernikahaan ini, perempuan itu bisa merampas semua kekay
“Tadi ban mobilnya Kevin bocor Ma, jadi Nina tebengin dia,” ngeles Nina. Kevin lagi-lagi dibuat tercengang oleh perempuan yang berdiri di sampingnya. Bagaimana bisa dia berbohong dengan mulus tanpa hambatan. “Ohh gitu.” Nala mengangguk-anggukkan kepalanya. “Masuk dulu yuk, Mama tadi bawa rica-rica bebek kesukaan Kevin. Ayo Nina,” ajak Nala. “Ehh... Nina harus pulang Ma, Mas Levi sekarang pasti nunggu kepulanganku,” tolak Nina secara halus. “Oh iya, hati-hati ya Nin,” jawab Nala. Nina langsung mencium tangan Nala dan masuk ke dalam mobilnya. Kevin dan Nala pun masuk ke dalam rumah. Dada Kevin berdetak kencang melihat David, ayah mertuanya. Lelaki itu menatapnya dengan tajam. Ia sudah berkali-kali mendapatkan tatapan tajam dari ayah mertuanya. Namun, hari ini lebih gahar dibanding sebelumnya. “Darimana kamu?” suara bariton David memenuhi seluruh ruangan. “E... dari cafe teman Pa,” jawab Kevin dengan gugup. Ada beberapa pe
“Emm...” Dea bergumam.“Iya, gimana Sayang?” tanya Rita sekali lagi.Dengan hati yang gundah Dea akhirnya menjawab, “boleh kok Ma.”Jawaban yang sangat terpaksa, karena ia tak bisa menolak mertuanya.“Oke kalau begitu, tunggu Mama sama Papa ya Sayang. Obatnya jangan lupa diminum ya,” nasihat Rita.“Hehe iya Ma.”Ia sangat terpaksa menyetujui permintaan Rita.“Yaudah, kalau gitu teleponnya Mama matiin dulu ya. Assalamualaikum Sayang.”“Waalaikumsalam Ma.”Tutt... Sambungan telepon terputus.“Hahh...” helaan napas terasa begitu berat. Mau tidak mau dia harus menghubungi Kevin untuk segera pulang.“Mbak ini sarapannya,” kata Mbok Lastri memecahkan lamunan Dea.“Makasih Mbok.”Dea memakan sarapan itu hingga tandas, meninggalkan mentimun dan sambal.Setelah itu ia meminum o
Debaran ini terasa sangat sakit, Dea meringis kesakitan memegang dadanya.Kevin yang melihat kondisi Dea yang kesakitan lantas menghampirinya dengan panik.“Dea!” panggil Kevin. Lelaki itu memegang tangan istrinya. Dengan cepat Dea menyibakkan tanganya, ia merasa jijik jika disentuh lelaki baj*ngan seperti Kevin.“Kenapa? Kamu kenapa Sayang?” tanya Rita histeris.“Bawa ke dokter! Cepat!” Gito pun ikut histeris melihat menantunya yang kesakitan.“Ahaha-ha tidak apa-apa Ma Pa,” jawab Dea. “Ada semut nakal di bajuku,” lanjutnya dengan bibir bawah yang tergigit malu.“Astaga Sayang! Sekarang bagaimana? Semutnya masih ada?” tanya Rita.“Sudah mati kok Ma, aku cubit barusan. Hehe...” kekeh Dea mencairkan suasana yang tegang.“Hahaha... Kamu ini ada-ada saja Dea. Bikin Papa panik aja,” tawa Gito pecah memenuhi seluruh ruangan.Kevin
Dea merasa kesakitan saat kakinya tanpa sengaja tertindih badan Kevin.Mendengar teriakan Dea, Kevin langsung jingkat melepaskan istrinya.“Apa kau mau membunuhku!!!” teriak Dea. Kakinya benar-benar terasa sakit.“Tidak-tidak, bukan seperti itu De. Aku tidak sengaja,” sanggah Kevin. Dia benar-benar tak sengaja menyenggol kaki istrinya.“Tutup mulutmu itu! Aku sangat muak padamu Mas!” Dea sangat marah.“Maafkan aku.” Kevin menatap istrinya dengan sendu, ia benar-benar merasa bersalah telah membuat Dea kesakitan seperti ini. Sedangkan istrinya langsung membelakanginya tak menggubris ucapan Kevin.Lelaki itu mengacak-acak rambutnya. Ia sangat frustrasi menghadapi istrinya.Perlahan Dea terlelap dalam tidurnya.“Sayang,” panggil Kevin lembut. Yang didapatkan bukan sahutan manja, justru suara dengkuran Dea.“Hah,” Kevin menghela nafasnya. Memilih merebahk
“Pagi,” jawab Gito ramah. Icha langsung mencium tangan pria paruh baya itu. Wanita berbadan semok itu langsung duduk di salah satu kursi meja makan tempat mereka berkumpul. Ia menampilkan senyum manis terbaiknya. “Bagaimana keadaannya Mbak Dea? Sudah baikan?” tanyanya sok ramah. Dea hanya menganggukkan kepalanya. Senyum anggun dikeluarkannya pada istri siri suaminya. Kevin merasa panas dingin berada di situasi seperti ini. Sedangkan Gito meneliti Icha dari atas sampai bawah. ‘Masih kalah cantik dengan menantuku,’benak Gito. Ruangan menjadi hening seketika. Icha masih memamerkan senyum manisnya sedangkan Dea sibuk dengan ponselnya. “Ada perlu apa kamu kesini?” tanya Kevin memecahkan keheningan. Gito melirik anaknya dan tamu itu dengan cepat. “Aku hanya ingin membicarakan soal cafe Mas,” jawab Icha santai. “Kita bahas di luar saja.” Kevin langsung berdiri dari tempat duduknya dan berjalan keluar rumah. Deng
“Jangan Sekarang Cha, aku harus berangkat kerja,” tolak Nino. Padahal Icha belum mengeluarkan sepatah katapun padanya.Alis Icha mengerut dan matanya melotot, dia merasa kesal mendapat penolakan dari lelaki di depannya.“Kita bicara sebentar. Kita harus bicara sekarang! Atau adikmu tidak selamat,” ancam perempuan itu berapi-api.Mendengar kata adik, membuat Nino mau tak mingikuti kemauan Icha.“Baiklah. Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nino.“Rebut Dea dari Kevin,” jawab Icha. Ini adalah rencana yang harus ia lakukan untuk mendapatkan Kevin seutuhnya.“Aku tidak mau.”Lagi-lagi perempuan itu mendapatkan penolakan dari Nino. Saudara kembar ini memang sangat merepotkan untuk diajak bekerja sama. Namun, karena tak ada pilihan lain Icha memilih mereka berdua sebagai partner.“Apa kamu sudah tahu kalau adikmu hamil?” tanya Icha licik.Lelaki itu teke
Gito menantikan jawaban dari kedua orang tersebut, namun tak kunjung mendapatkannya. Dea hanya mampu menunduk, bersenggama dengan Kevin rasanya sangat menjijikkan. Mengingat lelaki itu sudah terjamah oleh wanita lain. Kevin melirik istrinya, tak ada respon - bahkan bibir Dea terkatup rapat. “Sudah, sudah. Papa bikin suasana tidak nyaman saja,” lerai Rita yang peka dengan situasi dan kondisi yang terjadi. “Hehe... Maafin Papa ya.” Gito memohon maaf pada sepasang suami istri tersebut. Kevin hanya tersenyum tipis, begitu pula Dea. Mereka pun melanjutkan sarapannya dengan penuh hikmat. Sebelum berangkat kerja, Kevin sempat mencium kening istrinya dengan penuh kasih sayang di depan orangtuanya. Hal ini sudah lama tak ia lakukan. “Hati-hati Mas,” ujar Dea. “Iya, kamu juga jaga diri ya.” Kevin mengelus lembut rambut istrinya yang sedikit bergelombang. Dea menganggukkan kepalanya. Tak hanya Kevin, Rita dan Gito pun ikut b
“Sudah berapa bulan?”“Menginjak tiga bulan,” jawab Levi. Tatapan mengintimidasi diberikan Dea pada Nina.“Apa kau yakin?” tanya Dea meremehkan.Levi menatap adiknya dengan penuh kebingungan. Nina semakin gemetar melihat adik iparnya menjadi sosok yang berbeda. Dea sudah berubah.Kini senyum manis di wajah adik iparnya membuat Nina merinding.“Nina... Dengarkan aku baik-baik,” ujar Dea dengan tatapan yang penuh intimidasi pada kakak iparnya.“Perbaiki semua perbuatan bejatmu, sebelum aku membongkarnya. Kuberikan satu minggu untukmu,” lanjutnya.Mata Nina melebar, ‘Apa maksudnya?’ benak perempuan itu. Dia sangat kebingungan dengan pernyataan adik iparnya.Melihat lawannya kebingungan, dengan baik hati Dea memberikan clue pada Nina.“Aku sudah mengetahui semuanya dari Icha, bahkan ada buktinya,” tutur Dea santai.Tubuh wanit
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng