DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 72"Nadya, tolong aku Nadya. Mas Hendra sepertinya kena serangan jantung. Aku harus bagaimana?"Aku terdiam sejenak dengan hati berdebar. Wajah Sindy yang polos dan memelas seakan membayang di wajahku. Juga kata-katanya di pemakaman Tante Liana kemarin. Dia rela berpura-pura atas kematian madunya demi meraih simpati orang lain. Dia membuang identitas demi hidup nyaman berlimpah harta, bahkan tak mengakui hubungan darahnya dengan sang kakak. Bagaimana aku harus percaya pada orang seperti dia?"Nadya…""Sindy, Kau salah menghubungi orang. Seharusnya yang kau panggil itu dokter, bukan aku. Lagi pula, bukankah kau bisa menyetir? Di rumahmu ada ART kan? Bawalah Om Hendra ke rumah sakit.""Tapi aku…""Maaf ya. Ini sudah larut malam. Aku tadi lupa mematikan ponsel. Bye Sindy. Segeralah hubungi dokter." Ujarku lalu menyudahi percakapan dan mematikan ponsel tanpa menunggu jawaban darinya..Apa sebenarnya yang ingin dia rencanakan? Tiba-tiba saja, aku teringat
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 73"Nadya… Sayang…"Ada yang menepuk-nepuk pipiku. Lalu sepasang tangan memeluk tubuhku yang menegang. Ponsel ditangan, yang tanpa sadar ku cengkraman erat-erat ditarik orang. Lalu suara isak tangis samar terdengar.Allah, aku rasanya tak ingin bangun lagi jika kenyataan yang nanti akan kuterima terlalu menyakitkan. Tidak cukupkah aku kehilangan Mama dan Papa. Kenapa harus Intan juga?Tiba-tiba suara tangis bayi melengking, membuatku terkejut. Reflek, aku melepaskan diri dari pelukan sosok tubuh beraroma maskulin yang sangat kukenal tadi. Aku membuka mata dan mendapati Vio menangis keras dalam gendongan Mbok Asih. Mbok Asih sendiri sibuk menenangkan Vio sambil mengusap air matanya sendiri.Aku mengerjakan, mengulurkan tangan hendak mengambil Vio, tapi tangan Aryan menahanku."Kau yakin kuat menggendong Vio?"Aku mengangguk, merasakan dadaku yang mengeras, merespon suara Vio yang meminta ASI. Aryan memberi isyarat pada Mbok Asih, yang segera memberikan
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 74Aku melangkah ke bibir danau dengan tangan tetap dalam genggaman Aryan. Air danau yang pekat di malam seperti ini membuat hatiku gentar. Jika dari atas saja aku merasa takut, apalagi Intan di dalam sana. Danau ini luas sekali. Tentu saja, setelah Danau Toba, Danau Ranau adalah yang terbesar di Sumatera. Danau dengan pemandangan indah yang memanjakan mata ini telah menelan sahabatku."Kami sedang bersampan, tapi ponsel Intan jatuh. Dia terkejut dan refleks menjangkaunya. Sampan kehilangan keseimbangan hingga dia jatuh ke dalam air." Ujar Surya tadi."Tapi Intan itu seorang perenang Surya. Bagaimana caranya dia tidak bisa menyelamatkan diri?" Tanyaku tak percaya.Surya tertunduk."Kami bersampan sampai ke tengah. Kata Intan untuk terakhir kalinya sebelum pulang.""Dan kau? Apa yang kau lakukan?""Maaf, aku tidak bisa berenang Nadya.""APA?!""Ssstt… sayang…" Aryan menarikmu, memeluk bahuku. Dia membiarkanku menangis untuk kesekian kalinya."Jangan me
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 75Aku tiba di rumah yang telah tiga hari kutinggalkan. Aryan langsung ke rumah Bunda mengantarkan ASIP. Di kuncinya pintu dari luar begitu melihatku berbaring lunglai seakan tanpa daya. Aku menatap langit langit kamar, pada plafon ukir berwarna putih yang melukiskan wajahnya.Setelah tiga hari berlalu dan Intan belum juga ditemukan, polisi mulai pesimis dia masih hidup. Danau yang luas menyulitkan pencarian sementara waktu terus berjalan. Air mataku menitik. Bagaimana bisa kau meninggalkan aku begitu saja In? Dan apa maksud tulisanmu itu? Perempuan lain di hati suamiku.Apakah benar itu hanya judul novel yang akan kau tulis? Atau memang itu petunjuk darimu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Surya? Wanita yang sedang bulan madu, apakah punya waktu untuk sekedar memikirkan alur novel?Aku biarkan air mataku terus turun. Sambil memeluk guling, aku berusaha memejamkan mata. Sudah tiga hari aku tidak tidur dengan benar. Rasa lelah, ngantuk dan pikiran
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 76Mbok Asih gemetar, wajahnya pucat pasi dan dia terus menunjuk nunjuk ke arah ruang tamu dengan ujung telunjuknya yang bergetar getar. Ketakutan di wajahnya menular padaku."Ha… hantu?"Mbok Asih mengangguk kuat kuat. Aku melirik jam. Baru jam sebelas malam. Aryan belum pulang, mungkin sebentar lagi.Selagi aku dan Mbok Asih bingung hendak melakukan apa, pintu depan diketuk. Sebuah ketukan lembut dan halus, seakan akan dia tak ingin didengar, tapi juga ingin diketahui, menggema di tengah malam yang sepi. Mbok Asih mengkeret, dia memegang tanganku kuat kuat."Itu hantunya Mbak!"Aku tertegun. Mana mungkin hantu mengetuk pintu? Lalu, Tiba-tiba saja kudengar sebuah suara yang amat kukenal berseru memanggil namaku."Nadya!"Aku terkesiap. Itu suara Intan! Ya Allah, itu benar suara Intan. Apakah aku sedang bermimpi?Kali ini ketukan di pintu disertai suara Intan memanggil namaku berulang kali. Tanpa sadar aku menepis tangan Mbok Asih dan berlari menurun
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 77PoV INTANAku terus berenang menuju tepian danau di sisi lain cottage. Tapi air yang dingin membuat kaki dan tanganku terasa berat sekali. Aku mendorong dorong kaki, berusaha melepas sepatu yang kupakai agar lebih ringan. Berusaha tenang, meski jantungku terus berdegup kencang. Danau ini luas sekali, dan demi menghindari Surya, aku berenang menjauh hingga agak ke tengah. Mampukan aku mencapai tepian? Oh Tuhan aku tak bisa membiarkan kedua manusia zalim itu menguasai hartaku. Aku lebih rela memberikan semuanya pada anak yatim dari pada dia.Hupp… sepertinya aku mencapai tepian. Terasa ada yang menggores pipiku, mungkin ranting kayu. Rasanya perih. Tapi aku tak bisa lagi memikirkan perasaan sakit itu karena ada yang jauh lebih sakit di dalam sini, di hatiku. Aku menggapai ke atas, berusaha mengangkat tubuh. Rasa lelah karena berenang bermeter meter jauhnya, di air yang dingin seperti es sementara hari masih subuh membuatku kehabisan tenaga. Aku nyari
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 78Begitu masuk ke dalam rumah, Aryan terpana melihat dua sosok asing dengan penampilan misterius yang berdiri di dekatku. Tapi kemudian dia mengenali bahwa salah satunya adalah Intan. Tampak jelas keterkejutan disana, rasa tak percaya, bahagia, juga sedih melihat keadaan adik sepupunya yang kurang terawat itu. Tenggorokanku sendiri tercekat oleh rasa haru. Bagi Intan, Aryan dan Ayah Bundanya adalah keluarganya yang terdekat sementara Tante Rosa masih di Amerika."Intan…" Desis Aryan.Dan Intan langsung menghambur ke dalam pelukan suamiku. Dia terisak isak disana sementara mata Aryan sendiri berkaca kaca. Pertemuan yang tak pernah disangkanya akan terjadi."Apa yang terjadi?" Tanya Aryan begitu Intan melepaskan pelukannya. "Dan kau?" Aryan kini menatap Salma yang menunduk."Ini Salma Bang." Jawabku.Aryan tersentak."Tenanglah Bang. Aku akan menceritakannya. Sekarang, bagaimana kalau kita biarkan mereka istirahat dulu? Besok aku akan memanggil dokter
DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 79"Apakah sudah cukup semua yang kau ingin tahu tentang diriku, Nadya?"Sindy berdiri, dia sama sekali tidak tampak mabuk. Sesaat, aku terkejut melihatnya. Dia tahan sekali minum bergelas gelas anggur tapi tak memberi efek apa apa. Dan dia, pandai sekali bersandiwara. Beberapa detik lamanya kami saling bertatapan. Sebelum akhirnya dia tertawa terbahak bahak penuh kemenangan."Kaget? Yeay! Kamu kena prank!" Serunya sambil bertepuk tangan. "Kau lupa ya? Aku ini penjahat. Minuman seperti itu ibarat air putih bagiku."Aku berusaha untuk tetap tenang. Ingat, selalu ada Plan B untuk setiap rencana. "Ah, nggak juga. Aku tahu kok kalau kamu cuma pura pura mabuk." Ujarku. "Okelah kita perjelas saja. Sepertinya aku sudah cukup mendengar semua yang kau katakan. Jadi apakah kau mau ikut secara sukarela denganku ke kantor polisi?"Dia menghentikan tawanya secara mendadak."Apa? Kau kira aku gila ya? Hey…" Dia melambaikan tangannya di depan wajahku. "Kau terperan
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 20 (ENDING)Dengan perasaan ngeri, aku melihat Surya menggenggam revolver itu, menelitinya sesaat dan tersenyum. Dengan wajah menggila, dia menciumi senjata itu. Aku memandangnya dengan benci. Ternyata, dia tak pernah berubah. Dia masih menjadi budak Sindy."Tembak mereka berdua. Farrel lebih dulu. Aku ingin menikmati saat-saat Intan menjadi gila karena kehilangan suaminya.""Kalian memang pasangan gila." Aku lalu menatap Surya, pada matanya yang kini fokus padaku."Aku tak pernah menyangka. Ku pikir penjara akhirnya akan membuatmu sadar. Permintaan maafmu itu palsu belaka. Dan kau pernah memohon padaku untuk melihat anakmu. Lihat itu!" Aku menunjuk Axel yang berada dalam bekapan tangan Anis, "Itu anakmu, Surya. Anak yang ada dalam perutku saat kau menenggelamkan aku di danau ini."Surya tampak terguncang. Matanya mengawasi Axel, yang tak lagi meronta. Dia tengah menyimak pembicaraan kami."Dia kerap bertanya, apakah benar Ayahnya seorang pembunuh? Kini, kau in
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 19Mas Farrel dapat merasakan tatapanku yang membeku, terpaku pada mobil berbody besar yang tengah memasuki halaman parkir hotel. Dengan dada berdebar kencang, aku menunggu sampai mobil itu benar-benar berhenti. Lalu sepasang kaki jenjang memakai stoking hitam turun. Sepatunya mempunyai heels setinggi lima sentimeter, masih tampak luwes jika dibawa berjalan cepat. Naik ke atas, ada rok span dari kulit yang juga berwarna hitam, dipadu jaket dengan bahan dan warna sama. Aku bersiap melihat wajah Sindy disana. Tapi kemudian aku terkejut.Wanita itu bukan Sindy. Meski ada kacamata hitam besar yang menutupi hampir separuh wajahnya, aku tahu dia bukan Sindy. Wajah Sindy telah melekat dalam ingatanku bertahun-tahun lamanya. Terakhir kali aku melihatnya di depan sekolah Axel beberapa hari yang lalu, wajahnya juga tak berubah. Namun, wanita ini, meski aku tak mengenalnya, ada bagian dari dirinya yang mengingatkanku pada seseorang. Entah siapa.Wanita itu menurunkan kaca
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 18Nadya memelukku erat, berusaha meredam getaran tubuhku. Dia tadi langsung naik taksi ke sekolah dan mengambil alih mobil. Kami akhirnya pulang ke rumahku. Dia lalu menyuruhku merebahkan diri di atas sofa, menyelimuti tubuhku dan meminta Bik Marni membuatkan teh hangat."Bagaimana Sindy bisa berkeliaran di luar? Dan dia tahu anak-anak ada di sekolah yang sama.""Mungkin hanya kebetulan In. Tenanglah.""Apa kau percaya kebetulan, Nad? Bukankah tak pernah ada kebetulan dalam hidup kita selama ini?"Nadya terdiam. Aku memejamkan mata. Bayangan wajah Sindy tak juga mau hilang dari benakku. Bibirnya yang tertawa lebar tanpa suara itu seakan menantangku, mengatakan bahwa penjara tak mampu membuatnya terkurung."Bagaimana kabar keluarga Salma?"Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Bik Marni datang membawakan dua gelas teh hangat dan sepiring bakwan yang masih panas. Aku segera meraih gelas itu, menghangatkan tanganku yang masih terasa dingin."Salma masih di Malays
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (17)PoV INTANAku meletakkan tas di tas meja dengan hati kalut. Kematian Mantan Ibu mertuaku, yang tanpa sengaja kutemukan di dalam rumahnya akan menjadi babak baru. Bagaimana bisa aku masuk ke dalam rumahnya tepat saat Ibu tiada? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku beruntung karena tak menyentuh Ibu sedikitpun, begitu pula Mas Farrel. Meski begitu menghadapi interogasi polisi ternyata sangat melelahkan. Terutama ketika fakta bahwa aku adalah korban percobaan pembunuhan yang pernah dilakukan oleh si pemilik rumah."Aku akan menelepon Om Helmi, bersiap jika kita butuh pengacara." Mas Farrel memelukku. Kami baru saja pulang dari pemakaman Ibu.Aku mengangguk, menyandarkan kepala ke sandaran sofa sambil memejamkan mata. Setelah sekian lama waktu berlalu, bukankah seharusnya semua akan baik-baik saja? Tapi kenapa aku justru seakan menghadapi hidup yang penuh misteri. Waktu empat belas tahun yang telah berlalu seakan hanya sebuah jeda, sebelum aku akhirnya tiba pada a
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 16POV SURYA"Kita adalah partner paling hebat. Dulu, sekarang, kelak. Aku akan memaafkanmu karena mengabaikanku di penjara. Tapi mulai saat ini, tetaplah disini. Kita lanjutkan semua yang dulu terpaksa terjeda."Suaranya masih seperti dulu, penuh desah dan merayu. Aku menatap matanya dan seketika kenangan itu terlempar ke masa empat belas tahun silam. Di ruang pelantikan, ruangan yang tadinya akan menjadi tempat pelantikan ku, aku merangkak di kaki Intan, memohon ampun. Bukan untuk memintanya mencabut segala tuntutan karena itu tak mungkin lagi. Aku berlutut meminta maaf darinya, meski aku tahu kesalahanku tak termaafkan.Selain itu, aku telah menyadari bahwa sebulan tanpa dirinya adalah siksaan. Aku benar-benar sakit, sampai nyaris bunuh diri. Semua orang melihatku yang sangat terpukul karena kehilangan istri. Namun, yang terjadi adalah, aku tengah dihantam gelombang rasa sesal dan bersalah. Rasa yang ternyata sangat menyiksa."Aktingmu luar biasa. Kau layak
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 15POV SURYAAku terbangun dengan kepala pusing seperti biasa. Terlalu banyak tidur hingga kehilangan orientasi waktu. Entah sudah berapa lama aku disini. Seminggu? Dua minggu? Sebulan? Dua bulan? Rasanya aneh sekali. Bangun, makan, lalu tidur. Bangun, makan dan tidur lagi. Ku pandangi tubuhku. Perlahan tapi pasti, tulang tulang yang kemarin hanya terbungkus kulit, kini berisi. Aku tak pernah kelaparan disini seperti saat di rumah. Jika Mbak Wulan hanya memberiku sepiring nasi ditabur garam setiap hari, disini, segala rupa makanan mewah terhidang dalam jumlah banyak. Aku bisa makan sepuasnya.Tiba-tiba saja aku teringat Ibu. Dadaku langsung berdebar kencang. Ada rasa yang ngelangut disini, sebuah rasa yang tak nyaman. Wajah tua itu membayang, berkerut dan nyaris lupa cara tersenyum. Setelah aku menghancurkan keluarga karena ulahku sendiri, Ibu pasti sangat menderita. Kini, di usianya yang melewati tujuh puluh tahun, Ibu tampak sepuluh tahun lebih tua. Bungkuk,
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (14)PoV INTANAxel turun dari mobil sambil memandang rumah Surya dengan alis mengerut. Dia yang selama ini hidup berkecukupan, sepertinya merasa heran ada rumah yang tampak demikan menyedihkan. Untung saja, halamannya tidak berupa semak belukar lagi.Tanpa berkata-kata, aku menggandeng tangannya menuju pintu. Mas Farrel menyusul di belakang sambil menjunjung kantong berisi kotak kue. Dalam hati, aku bertanya tanya, adalah yang seperti kami? Aku adalah korban percobaan pembunuhan mantan suamiku sendiri. Dan kini aku justru kerap menyambangi keluarganya karena satu alasan : demi Axel."Mama. Berhenti. Aku nggak mau masuk."Suara Axel membuat langkahku terhenti seketika. Kutatap wajah tampan jagoanku. Matanya terpaku pada daun pintu kayu yang lapuk dimakan rayap. Rumah sunyi, tapi aku tahu Ibu ada di dalam, mungkin tengah merenungi hari yang suram usai anak kesayangannya divonis hukuman penjara demikian lama. Terlalu sering menangis membuat penglihatannya kabur.
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 13"Apa maksud Mbak Wulan? Aku hanya bertemu Surya satu kali, di sini, tiga hari yang lalu."Mbak Wulan menyipitkan matanya. "Kau kesini?"Aku mengangguk dengan canggung. "Hanya ingin memastikan bahwa dia tak akan menemui anakku sebelum mendapat izin dariku."Mbak Wulan menatapku curiga."Dan apa yang kau katakan hingga dia pergi? Dia bilang pada Ibu, seorang wanita menawarinya pekerjaan dengan gaji besar. Aku pikir itu kau."Aku menggeleng."Aku sama sekali tidak melakukan itu Mbak."Mbak Wulan lalu duduk dengan wajah sedih di bangku bambu yang ada di teras."Harusnya dia tidak seenaknya pergi. Aku toh ikhlas memberinya makan walau hanya sepiring nasi setiap hari, tanpa lauk."Suaranya membuatku terenyuh. Aku memang gampang iba. Mas Farrel menarikku keluar. Dikeluarkannya beberapa lembar uang seratus ribuan dan diberikannya padaku."Sayang, Berikan pada mertuamu. Kasihan dia."Aku mengangguk tanpa kata-kata dan berjalan melewati Mbak Wulan di teras. Masuk ke d
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (12)PoV INTANAku berdiri di depan rumah, bolak balik mengecek jalan raya, menunggu mobil antar jemput sekolah. Farin sudah pulang sejak tadi. Sementara Axel, seharusnya dia sudah tiba sejak setengah jam yang lalu. Sopir mobil jemputan tidak bisa kuhubungi, mungkin sengaja tidak mengangkat telepon agar konsentrasi pada stir. Tepat pukul tiga lebih tiga puluh, bersamaan dengan adzan ashar berkumandang dari masjid komplek, sosoknya muncul dari ujung jalan. Axel pulang berjalan kaki! Dia melangkah sambil menundukan kepala, sementara kakinya bergantian menyepaki kerikil, daun daun kering, dan apa saja yang bisa dia raih dengan kakinya. Dikuasai rasa terkejut, sejenak aku tak mampu melakukan apa-apa. Hingga kemudian aku turun dari teras rumah dan berlari menyongsongnya."Axel, kok jalan kaki? Katanya naik jemputan."Axel langsung meraih tanganku dan menciumnya sebelum melangkah masuk."Axel kok nggak jawab Mama?"Axel berbalik, dan aku terkejut mendapati sinar mat