Tidak dapat dibayangkan oleh Dina kalau kejadian ini sampai ke telinga Bastian. Lebam di wajahnya memang sudah tidak dapat diidentifikasi, tapi perihnya masih dapat Dina rasakan.
“Maaf?” Terus-terang, Dina tidak tahu apa akar masalahnya. Tapi, dia tetap harus memohon demi menghindari kemarahan Bastian. “Maaf,” katanya lagi dengan mantap.
“Selama kerja, kamu harus pakai seragam, Nduk.” Mbok Surti yang akhirnya memberi tahu.
“Nggak bisa kayak gini. Aku nggak bisa direcokin sama hal yang remeh kayak gini. I can’t stress this enough,” cerocos Wendy. “Bastian harus tanggung jawab kalau ini nggak akan –
“Maaf, maaf. Aku belum tahu. Aku ganti.”
“Terlambat! Aku udah STREEES!”
Langkah Dina mundur satu langkah karena teriakan Wendy tersebut. Kebalikan dengannya, bergegas Mbok Surti menghampiri menantu Keluarga Armadjati itu dan menepuk-nepuk bahunya. Pembantu senior itu juga menuntun Wendy untuk duduk di sofa terdekat.
Selagi Wendy mengatur napasnya yang menderu-deru, Mbok Surti melambaikan tangannya memberi kode agar Dina segera berlalu dari tempat itu. Yang tentu saja dia lakukan dengan secepat kilat.
***
Dalam kamar, Dina mematut seragam putih-putih yang sempat dia kenakan kemarin. Dia mengendus ketiaknya. Untunglah tidak atau belum berbau sama sekali. Setelahnya dia kembali menemui Wendy demi menerima perintah pertama di hari itu.
Baru sampai di lorong menuju sayap kiri bangunan, Mbok Surti sudah menghadang jalannya. Dina disuruh ke dapur saja untuk menyiapkan sarapan buat majikannya itu.
“Yang simpel saja, Nduk. Panasin bapao yang di kulkas sama potong buah.”
Dina memandang sekeliling dapur yang sudah bebas dari piring kotor bekas semalam. “Mbok bersihin?”
“Mana sempat. Itu kan urusan cleaning service.”
Dina mendesahkan, “Oh.” Oleh karena penjelasan Mbok Surti, hanya ada satu kemungkinan: Leo yang membersihkan semuanya.
“Cepat. Nanti kamu dimarahin lagi, lho.”
Perintah itu membuat Dina buru-buru mencari bapao di dalam freezer.
***
Takut-takut, Dina menyerahkan baki berisi sarapan ke ruang santai tempat Wendy biasanya berdiam. Wanita itu sekilas saja melirik kedatangan Dina dan memberikan kode agar dia meletakkan makanan di atas meja.
“Know your place.”
Tidak mendengar dan mengetahui dengan jelas maksud kata-kata itu, balasan, “Hah?” keluar dari mulut Dina.
“Kalian para pembantu semuanya sama aja. Sok cantik dan genit menggaet majikan.”
“Maaf?”
“Kalian harus terus diingatkan tempat kalian itu di mana. Jangan mimpi ketinggian. Nanti jatuhnya sakit.”
Tidak nyaman dengan celotehan Wendy tersebut, Dina memilin-milin jarinya sendiri. Dia tidak habis pikir mengapa menantu Keluarga Armadjati itu sedemikian marah hanya karena Dina tidak mengenakan seragam khusus pelayan.
“Kenapa masih di sini? Mau bikin selera makanku hilang?”
Suara Dina bergetar sewaktu menjawab, “Kalau nggak ada yang perlu lagi, saya pergi dulu,” sembari menundukkan tubuh.
“Wait….”
Dina yang sudah membalikkan badan menghentikan langkahnya. Dengan takut-takut, dia menghadap Wendy kembali dan sabar menunggu instruksi dari majikannya itu.
***
Dina menyesal karena tidak mengindahkan nasihat Mbok Surti agar tidak berlama-lama setelah mengerjakan satu tugas. Jika banyak bertanya, mereka akan direpotkan dengan tugas baru lainnya.
Dia memandang sekeliling garasi yang luasnya tiga kali enam kali lipat dibandingkan rumah kontrakannya. Hanya ada satu mobil yang terparkir di sana. Tapi tujuan Dina tidak ada kaitannya dengan mobil-mobil tadi. Tugas berikutnya adalah membereskan barang-barang yang berserakan di sana.
“Lho, Nduk, kok di sini?”
Dina menoleh dan menemukan Mbok Surti lewat di depan pintu sambil membawa ember dan sekop. Dia menunjuk benda-benda berantakan yang memenuhi garasi. “Mbok bilang ada cleaning service?”
“Ah, iya. Biasanya ini tugasnya Rosidah sama Alika.”
Kalau begitu, Dina tidak bisa mengelak dari mengerjakan tugas yang membosankan itu.
“Nanti Mbok bantu, ya. Mbok balikin ini dulu,” katanya seraya menunjuk ember dan sekop yang dipegang.
Dina mendesah lega. Dia tersenyum dan menganggukkan kepala. Kalau ada bala bantuan, pasti tidak akan terlalu lama menyelesaikan tugasnya. Dia berkacak pinggang dan dalam hati memutuskan untuk terlebih dahulu memilah-milah barang di garasi berdasarkan kegunaannya masing-masing.
Dina sudah menyelesaikan satu tumpukan dan hendak menyusun tumpukan selanjutnya sewaktu dia mendengar namanya dipanggil oleh Mbok Surti.
“Mbok –
Lidahnya terhenti tatkala melihat bahwa pembantu senior itu tidak sendiri. Ada Wendy di sampingnya.
“Aku bilang kamu kan yang bersihin garasi. Bukan kamu dan Mbok Surti.”
Kalimat itu disampaikan dengan tenang. Namun, ada nada kenyinyiran yang menyiratkan kekejaman ditangkap oleh pendengaran Dina. Dia sampai bergidik dibuatnya. Dina menundukkan kepala.
“Aku akan pakai mobil siang nanti.” Lirikan mata Wendy memindai garasi yang berantakan. “Aku mau lihat semuanya rapi. Tahu kan akibatnya kalau nggak?”
Jantung Dina mempercepat irama. Dia tidak berani menyampaikan respons apa-apa.
Wendy melayangkan langkah dengan anggun ketika berlalu dari tempat penyimpanan mobil diiringi Mbok Surti yang mengikuti dari belakang.
Dina berjingkat-jingkat memastikan menantu Keluarga Armadjati itu lenyap dari pandangannya. Tapi tapak kaki gadis itu berhenti karena mendengar Wendy melantunkan perintah. “Iya, Bacon.”
Dina menahan napas. Dia tidak tahu konteksnya apa, namun pengucapan nama laki-laki itu langsung membuatnya bergidik ketakutan. Tanpa dia sadari, Dina menyentuhkan jari di pipinya.
Tanpa berlama-lama lagi, dia bergerak cepat membersihkan barang-barang. Akan tetapi, dia terkesiap karena Wendy kembali dengan melongokkan wajah ke garasi.
“Habis ini, bersihkan kolam renang!” perintah nyonya muda itu dengan santai lalu silam dari pandangan Dina.
***
Dina sudah tidak tahu berapa kali dia menggosok-gosokkan alat pembersih ke dasar lantai kolam renang itu. Yang dia tahu, lengannya sudah mati rasa. Masih ada setengah bagian lagi yang harus dia bersihkan sementara langit sudah berubah menjadi kemerah-merahan. Dia menyenderkan tangkai alat pembersih.
Saat ini, harusnya dia sibuk melamar sana-sini sesuai jurusan kuliahnya. Semestinya dia sedang penuh semangat membuktikan kalau dia mampu bersaing dengan pekerja usia produktif lainnya. Dia bisa berkarya dan dapat dibanggakan oleh keluarganya. Tapi, rencananya gagal total karena dipaksa mendekam di rumah iblis ini.
Mendadak, perut Dina berbunyi. Tubuhnya sudah memberikan tanda kalau saat itu dia memerlukan asupan kalori. Tapi, bagaimana kalau Wendy melaporkannya kepada Bacon? Dia tidak mampu melawan laki-laki raksasa itu. Dia sudah pernah mencoba dan gagal.
Dina terduduk lemas, tenggelam dalam kolam renang yang kering. Tidak dia pedulikan bajunya yang basah karena air sabun. Tiba-tiba, alat pembersih jatuh mengenai kepalanya. Dina pun menangis sambil berteriak sekuat tenaga yang perlahan-lahan berubah menjadi isak semata.
Tahu-tahu, telinganya menangkap sebuah bunyi. Dina menahan isakannya. Dia memastikan apa yang baru saja dia dengar. Ketika tidak ada suara lanjutan yang menghampiri indera pendengarannya, Dina setengah berdiri dan mencoba mengintip apa yang ada di atas kolam renang tersebut.
Begitu matanya menangkap suatu bayangan, sontak dia membungkukkan badan dan menutupi kepala dengan tangannya.
***
“Maaf, nggak bermaksud bikin kamu kaget.”Dina mendongakkan kepala. Di atas sana, berdiri Leonardo. Dia membuang wajah karena malu berhadap-hadapan dengan laki-laki itu. Tidak dalam keadaan yang super berantakan seperti sekarang ini. Dina memandangi bajunya yang sudah lembab dan sangat tidak nyaman dikenakan. Belum lagi rambutnya yang awut-awutan. Sangat kontras dengan penampilan Leonardo yang rapi dengan setelan jas berwarna abu-abu.“Naik!”Alih-alih mematuhi permintaan pria itu, Dina memungut tangkai pel dan melanjutkan mendorong alat itu untuk menyikat lantai kolam renang.“Hei, naiklah. Aku bawakan makanan.”Seakan-akan tidak dapat diajak berkompromi, perutnya bernyanyi. Dina menyerah akan kekeraskepalaannya dan meletakkan sikat pembersih sembarangan. Dia berjalan miring ke arah tangga kolam demi menghindari bertatapan dengan Leonardo. Langkahnya kalah cepat karena pria itu sudah mengulurkan tangannya.
Dina memutar pegangan pintu dan tidak juga terbuka. Tidak ada rencengan kunci yang menempel di pintu seperti yang dia lihat pada malam sebelumnya. Tidak, keluhnya dalam hati. Hanya ini pintu keluar yang dia hapal tanpa perlu ketahuan Mbok Surti. Dia menyentuhkan jari ke material kaca yang mendominasi pintu. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Terlalu riskan jikalau dia sampai memecahkan kaca.Pikirannya berkelana memikirkan segala kemungkinan sampai membentur satu ide. Cepat-cepat dia berjalan menuju dapur. Dari sana dia bisa melewati pintu yang menuju kebun. Pintu bergeming saja sewaktu Dina mendorongnya. Hatinya kembali diliputi kekecewaan sehingga dia berteriak sambil mengatupkan mulut dengan bongkahan punggung tangannya.Tiba-tiba, cahaya menerangi ruangan itu yang membuat tubuh Dina sedikit terlonjak.“Nduk, ngapain?”Dina menghampiri konter dapur dan mengambil gelas. “Haus,” kilahnya.“Lho, di kamar ada air, kok?&rd
Di dapur, Dina menahan air matanya sewaktu mencuci piring bekas wadah Beef Stroganoff yang dicampakkan oleh Wendy.“Nona Wendy tidak tahan asin, Nduk.”“Dia kan bisa bilang. Lagian ini juga nggak keasinan.” Dina mencuci tangannya, mengambil sendok, dan menyuapkan sebagian sisa Beef Stroganoff ke mulut Mbok Surti.Mata pelayan itu merem melek, “Enak, Nduk.”“Ya pasti enak,” gerutunya masih tidak menerima perlakuan Wendy yang semena-mena membuang makanan buatan Dina.Mbok Surti mengambil Getuk Lindri matang yang tadi didinginkan di dalam kulkas lalu mulai menyusunnya. Dina memperhatikan wadah kotak plastik yang disiapkan pembantu itu. Dia menggantinya dengan kotak besek bambu tradisional dengan mengalasinya pakai daun pisang.“Wah, bagus Nduk.”Dina menaburkan serutan kelapa di atasnya. Memang, gadis itu puas dengan penampakan kue tradisional tersebut.Tepat pada saat it
Seperti pemakaman lainnya, peristirahatan terakhir yang dikunjungi oleh Leonardo saat itu pun memiliki suasana adem dan aura tenang yang luar biasa. Pria itu mendatangi salah satu kuburan. Pada penanda di makamnya, tertulis nama Delilah Baskoro, ibunya yang telah meninggal delapan belas tahun yang lalu. Hari ini bertepatan dengan peringatan kepergian ibunya itu.Leonardo meletakkan bunga di atas kuburan. Setelahnya, dia bersila di atas tanah sambil membuka kotak bekal yang berisi Getuk Lindri.“Mama, Leo kangen,” lirihnya seraya memandangi nama ibunya yang tertulis di makam.***Mansion Keluarga Armadjati sudah besar dan megah ketika Leo dilahirkan. Tidak seperti sekarang yang bernuansa kelam, dahulu rumah itu penuh dengan warna dan keceriaan. Pagi di istana itu selalu diawali dengan musik riang gembira. Mama Leo, Delilah akan berkeliling dan menyapa semuanya, termasuk para pekerja. Jadi, tidaklah mengherankan apabila nyonya rumah itu dihormat
Mendadak, pintu kamar utama itu terbuka. Seorang wanita berkulit seputih pualam keluar sambil tertawa-tawa. Mata mereka bertatap-tatapan dan tawa itu terhenti. Di belakang, ada Bapak Hidayat yang menyamakan langkah dengan wanita tersebut.Diawali dengan dehaman, Pak Hidayat menjelaskan, “Ini Mbok Surti, yang mengurus rumah ini.”Wanita berkulit cerah itu memandangnya dari ujung rambut ke ujung kaki. Takut-takut Mbok Surti balas menatap, namun hanya berani sebentar saja. Meskipun demikian, dia dapat menilai kalau wanita itu cantik sekali. Rambutnya cokelat panjang diikat ekor kuda, Matanya teduh dengan kelopak yang dalam. Bibirnya penuh dipoles gincu merah. Pipi yang mulus seolah-olah tidak berpori-pori. Tubuhnya langsing dengan lekuk-lekuk di tempat yang tepat yang dibungkus dengan baju ketat berwarna merah.“She’s a maid? Kenapa tidak pakai seragam?”“Yaaah di sini bebas saja, Honey.”Perempuan it
Meskipun sudah dilarang, Leonardo tetap menerobos masuk ke ruang kerja Ibu Kepala Panti. Mama ada di sana yang serta-merta melebarkan kedua tangannya. Tapi, bukan kehangatan pelukan ibunya itu yang dia cari, Leo mengalihkan mata kepada laki-laki gagah di hadapan Mama.“Papaaa!” panggilnya seraya menghampiri laki-laki itu. Kemudian dia mengulurkan mangkok yang dipegangnya erat-erat dari tadi. “Getuk Lindri.” Dia ingin Papa mencoba makanan favoritnya tersebut.Leonardo dapat menyaksikan kalau ayahnya menunduk sambil menggerak-gerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Dia menduga Papa sedang meneliti makanan bertabur kelapa parut itu, sama seperti sewaktu Leo pertama kali mencobanya. Namun, bukannya menerima mangkok yang disodorkan oleh Leonardo, ayahnya malah menepuk-nepuk kepala Leo dengan lembut.“Nggak suka?” kata Leo dengan pupil mata yang membesar.Alih-alih menjawab, Papa justru mengatakan, “Kamu di sini dan jaga
Dalam film The White Tiger digambarkan bahwa masyarakat miskin tidak dengan sendirinya menjadi miskin, tetapi sengaja dimiskinkan. Situasi tersebut melekat terus dalam diri warganya karena telah dikukuhkan selama mungkin, lengkap dengan penanaman sikap inferior dan pasrah berserah diri kepada Tuhan. Pada akhirnya, masyarakat kelas bawah akan merasa wajar diperlakukan rendah bak sampah oleh kalangan atas. Kemudian, mereka akan kehilangan niat untuk maju dan mematuhi tuan-tuan kaya itu laksana budak.Penggambaran itu sepertinya cocok dengan apa yang dialami oleh Dina. Gadis itu mengaku kalau dia bukanlah berasal dari latar-belakang keluarga kaya. Dia dan ayahnya bersusah-payah agar dia dapat menyelesaikan kuliah. Di saat dia bersemangat karena berpikir akan terlepas dari jeratan kemiskinan dengan modal pendidikan yang dia terima, tahu-tahu dia terjerembab pada situasi yang menjadikannya sebagai warga kelas bawah.Dina menggosok toilet dengan sekuat tenaga. Setel
Dina kembali ke kamar lamanya, kamar pembantu yang dia tempati bersama Mbok Surti. Melewati lemari, dia melihat bayangannya yang terpantul dari cermin yang tertempel di pintu lemari tersebut. Seorang gadis yang penampakannya kusut-masai balik menatapnya. Kondisinya… menyedihkan.Seragam pelayan putih-putih ini penyebabnya. Mengenakannya setiap hari seperti merelakan kebebasannya direnggut oleh para majikan yang mempekerjakan para asisten rumah tangga. Tidak, tidak. Nasibnya lebih parah karena dia sama sekali tidak digaji. Dia adalah budak. Dina muak. Dengan emosi, dia melepas seragam itu dan mencampakkannya ke sembarang arah. Setelahnya, asal-asalan dia mengambil atasan berleher sabrina dan celana pendek.Dina membaringkan tubuh di tempat tidur. Semua peristiwa yang mengantarnya kepada kejadian tadi membayang terus di pikirannya. Lima ratus juta! Jumlah uang yang sangat banyak yang bahkan Dina sendiri pun tidak berani memimpikannya. Berapa lama lagi dia akan dap
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar