Meskipun sudah dilarang, Leonardo tetap menerobos masuk ke ruang kerja Ibu Kepala Panti. Mama ada di sana yang serta-merta melebarkan kedua tangannya. Tapi, bukan kehangatan pelukan ibunya itu yang dia cari, Leo mengalihkan mata kepada laki-laki gagah di hadapan Mama.
“Papaaa!” panggilnya seraya menghampiri laki-laki itu. Kemudian dia mengulurkan mangkok yang dipegangnya erat-erat dari tadi. “Getuk Lindri.” Dia ingin Papa mencoba makanan favoritnya tersebut.
Leonardo dapat menyaksikan kalau ayahnya menunduk sambil menggerak-gerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Dia menduga Papa sedang meneliti makanan bertabur kelapa parut itu, sama seperti sewaktu Leo pertama kali mencobanya. Namun, bukannya menerima mangkok yang disodorkan oleh Leonardo, ayahnya malah menepuk-nepuk kepala Leo dengan lembut.
“Nggak suka?” kata Leo dengan pupil mata yang membesar.
Alih-alih menjawab, Papa justru mengatakan, “Kamu di sini dan jaga Mama, ya.”
Kalimat itu membawa Papa keluar dari ruangan tersebut. Leo ingin mengejarnya. Tapi, rupanya satu tangan Mama telah menggandengnya lekat-lekat.
***
“Maaf, Leo gagal jaga Mama.”
Laki-laki itu menutup besek yang sebelumnya menyimpan Getuk Lindri. Dia lalu menyentuhkan pipinya ke penanda makam yang bertuliskan nama Delilah Baskoro. Kemudian, dengan bekal botor air yang dia bawa dia menyirami makam ibunya tersebut.
Bertepatan dengan air yang habis, seorang pria berpakaian batik dan celana hitam mengambil botol tersebut dari tangan Leonardo. “Langsung pulang, Mas?” tanya pria itu seraya mengangkat besek kosong.
“Ya, tapi bukan ke rumah!”
***
Istilah ‘bukan rumah’ yang dimaksud oleh Leonardo justru merupakan kediaman, yaitu sebuah apartemen yang terletak di jantung kota Jakarta. Luasnya biasa-biasa saja dengan satu kamar tidur saja. Ruang tamu dan dapur juga dibiarkan tanpa sekat. Tapi semuanya kosong melompong tanpa ada perabotan sama sekali.
“Danny, desainer interiornya bagaimana?” tanya Leonardo.
Danny adalah asisten Leonardo yang turut serta dengannya saat berziarah ke makam ibunya tadi pagi.
“Meeting senin depan.”
Leo tidak ingat kapan tepatnya Danny bekerja sebagai asistennya, dia hanya ingat laki-laki itu telah menemaninya pada awal-awal dia berkantor di Armadjati Group. Dia merasa bersyukur dengan keberadaan laki-laki itu yang selalu sigap membantunya.
“Jadi pindah, Mas?”
Alih-alih menjawab, Leonardo memeriksa pintu geser yang mengarah ke balkon. Apartemen itu terletak di lantai 35 dan menyajikan pemandangan gedung-gedung tinggi kota Jakarta. Kekosongan tempat itu turut menumbuhkan kesepian dalam hatinya. Dengan situasi seperti itu, apalagi yang masuk ke dalam pikirannya selain seorang wanita.
“Saya percaya nggak ada yang kebetulan.”
“Eh?” Leonardo menoleh ke arah Danny.
“Everything happens for a reason. Apa yang sekarang kita rasa nggak masuk akal, nanti-nanti baru kita tahu maksudnya.”
Leonardo mengusap wajahnya. “Saya nggak mengerti,” ucapnya kemudian. Tentu saja dia berbohong. Danny adalah saksi bagaimana dia patah hati oleh karena seorang wanita.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar berulang kali pertanda ada panggilan masuk. Dia menjawab, “Halo?” dan meneruskan dengan kata, “Baik, Pa!”
Kepada Danny, dia memberikan kode agar asistennya itu segera mengikutinya.
***
Gedung Armadjati Group terletak di jantung kota Jakarta. Terdiri dari 46 lantai, semua lini bisnis perusahaan itu dikendalikan dari tempat ini. Sekuriti tidak meminta tanda pengenalnya. Resepsionis pun tidak memaksanya melakukan proses registrasi. Wajah Leonardo sudah dikenal oleh semua orang. Tidak heran karena dia sudah tujuh tahun lalu-lalang di kantor usaha keluarganya tersebut.
Alih-alih menuju lorong tempat lift berada, Danny dan dirinya berbelok ke koridor khusus tempat mereka akan naik ke lantai 33. Dengan menempelkan kartu khusus, lift privat mengantarkan keduanya ke tujuan mereka.
“Finally….”
Leonardo mendekati pemilik suara yang menyambutnya itu. Laki-laki itu bertubuh tinggi besar. Tapi ketika berhadap-hadapan, dia dapat menyamainya dalam pandangan eye level yang sama. Juntaian rambut dekat telinga beliau sudah menunjukkan warna abu-abu, tapi sorot matanya tajam dan menakutkan. Dia melirik ke sampingnya yang kosong. Seharusnya Danny ada di sana. Dia menoleh ke belakang dan menyaksikan asistennya itu menunggu di luar pintu kaca.
“Bagaimana persiapan Pitidoku?”
Leonardo tidak diberikan kesempatan untuk mengambil napas terlebih dahulu. Tapi dia tidak peduli. Dia mengabaikan pertanyaan itu dan sibuk menyeduh teh di pantry pribadi yang disediakan di kantor tersebut.
“Leo, we must follow the schedule.”
Sambil membawa secangkir teh, Leonardo mendaratkan tubuhnya di sofa, menyesap teh, dan meletakkan perlahan cangkir minumannya ke atas meja. Dia lalu menyilangkan kaki sebelum berkata, “Papa ingat ini hari apa?”
“What?” Laki-laki yang dia panggil Papa itu ikut duduk di hadapannya. “I know it’s Saturday.”
Benar saja. Ayahnya lupa kalau hari ini adalah peringatan berpulangnya ibunya ke alam baka. Leonardo menghela napas. Pelan saja karena dia tidak ingin Papa menyadari dan menjadikan itu masalah baru.
“Tapi kita bukan orang malas seperti karyawan yang digaji. Kita yang ciptakan uang.” Ayahnya melanjutkan dengan volume suara yang lebih rendah. “Dan kalau di kantor, saya bukan Papamu.”
Leo tidak menyangkal kerja keras Papalah yang membuat bisnis Keluarga Armadjati semakin menggurita di mana-mana. Kantor megah ini salah satu buktinya. Leonardo mengalihkan matanya ke seluruh penjuru ruang kerja ayahnya. Jendela kaca menghadirkan pemandangan gedung-gedung tinggi di sekelilingnya. Meja besar dan panjang yang menjadi saksi keuletan Papa dalam bekerja.
Leo sendiri sudah tujuh tahun bergabung dengan perusahaan milik keluarganya itu. Meskipun demikian, dia masih merasa tidak bisa apa-apa. Dia hanya menjalankan apa yang sudah dirintis oleh ayahnya. Dan setiap hari, dia takut kalau-kalau pekerjaannya dinilai gagal.
“Kamu tahu kan, kalau semuanya berjalan lancar, Pitidoku bisa meraup dana dari masyarakat umum sampai tiga kali lipat.”
“Pa….” Leo melihat kernyitan dahi ayahnya dan meralat, “Pak Hidayat. Pitidoku bisnis yang berbahaya. Dari awal saya sudah sarankan untuk nggak direalisasikan.”
“Omong kosong. Semua orang butuh uang. Bayangkan kalau meminjam uang semudah memencet tombol HP? Di situlah kita akan untung besar.”
“Tapi kewajiban melunasinya bisa mencekik mereka.”
“Mau cepat ya harus ada harga yang dibayar, dong. Coba, di mana lagi mereka bisa dapat uang tanpa harus datang ke kantor pegadaian, tanpa jaminan, tanpa ada cek kelayakan. Hanya selembar KTP. Jenius.” Papa tertawa-tawa.
“Dispute, kredit macet, bad PR,” bantah Leo.
Papa memandanginya lekat-lekat. Leonardo berusaha mengartikan tatapan orang tua itu. Pupil mata yang membesar; apakah artinya Papa sedang bersemangat?
Mendadak, Papa berdiri dan menghampiri meja besarnya. Dari sana, dia mengambil satu dokumen dan melemparkannya kepada Leo. “You already waste so much money on this. FIX IT! I don’t want to lose.”
Leonardo terlonjak kaget. Dokumen itu cukup berat dan mengenai dahinya. Masih dengan jantung yang berdetak tidak karuan, dia mengambil dokumen dan berlalu dari kantor ayahnya itu.
***
“Kita ke mana, Mas?” tanya Danny yang menyetir.
Larut dalam pikirannya membuat Leonardo tidak menyadari kalau mereka sudah berkendara dengan mobil sedari tadi. Tentu saja dia masih tidak habis pikir dengan perilaku ayahnya tadi. Tapi sebagai anak yang patuh, dia tetap memeriksa dokumen yang tadi dilempar oleh ayahnya itu.
Pitidoku adalah anak perusahaan yang sedang dirintis oleh Armadjati Group. Sejak berkantor, baru kali ini kantor keluarganya itu membangun bisnis baru dan Leo ditugaskan menanganinya. Masalahnya, hati Leo tidak sreg dengan Pitidoku. Secara sederhana, usaha itu adalah start-up yang memindahkan perilaku meminjam uang secara online dalam bentuk aplikasi. Leo sudah memperkirakan berbagai masalah yang timbul kalau pinjaman online ini jadi diluncurkan.
“Untuk Pitidoku, ada kabar dari OJK?” Leonardo tahu kalau tim aplikasi terbaru buatan perusahaannya itu sedang menjajaki perizinan dari Otoritas Jasa Keuangan.
“Belum. Apa perlu disiapkan hadiah?”
“Danny!” tegur Leo. Hadiah yang dimaksud adalah sogokan yang diberikan kepada pihak-pihak berwenang demi memuluskan rencana bisnis. Praktik ini biasa dilakukan oleh Armadjati Group. Tapi, asistennya itu seharusnya sudah paham bahwa Leo tidak menyetujui cara tersebut sama sekali. Memang, prinsipnya sama sekali bertentangan dengan budaya perusahaan. Dan dia harus hati-hati kalau terang-terangan atau bersikap ekstrem melawannya. Oleh karena itu, Leo beranggapan jika proses itu sudah terlaksana sebelumnya, akan dia biarkan saja. Tapi dia tidak mau mengikuti kebiasaan itu jika dia masih memegang kendali.
“Yaaah, kalau memang itu yang diperlukan?”
Leonardo membalikkan halaman dokumen dan membacanya dengan cermat. “Tolong atur meeting saja sama tim Pitidoku. Senin pagi….” Dia berpikir sejenak, kemudian melanjutkan, “sampai malam.”
“Meeting desainer interior jam dua?”
“Batalkan saja. Ganti hari lain.”
Leonardo meletakkan dokumen ke kursi belakang mobil. Dia lalu mengatur tempat duduknya dalam posisi miring karena dia butuh rebahan demi memulihkan tenaganya. Tepat saat Leo menempelkan kepala di head rest, sebuah pesan masuk di ponselnya.
Leo tersenyum melihat foto Sup Kacang Merah yang memenuhi layar gawainya tersebut.
***
Dalam film The White Tiger digambarkan bahwa masyarakat miskin tidak dengan sendirinya menjadi miskin, tetapi sengaja dimiskinkan. Situasi tersebut melekat terus dalam diri warganya karena telah dikukuhkan selama mungkin, lengkap dengan penanaman sikap inferior dan pasrah berserah diri kepada Tuhan. Pada akhirnya, masyarakat kelas bawah akan merasa wajar diperlakukan rendah bak sampah oleh kalangan atas. Kemudian, mereka akan kehilangan niat untuk maju dan mematuhi tuan-tuan kaya itu laksana budak.Penggambaran itu sepertinya cocok dengan apa yang dialami oleh Dina. Gadis itu mengaku kalau dia bukanlah berasal dari latar-belakang keluarga kaya. Dia dan ayahnya bersusah-payah agar dia dapat menyelesaikan kuliah. Di saat dia bersemangat karena berpikir akan terlepas dari jeratan kemiskinan dengan modal pendidikan yang dia terima, tahu-tahu dia terjerembab pada situasi yang menjadikannya sebagai warga kelas bawah.Dina menggosok toilet dengan sekuat tenaga. Setel
Dina kembali ke kamar lamanya, kamar pembantu yang dia tempati bersama Mbok Surti. Melewati lemari, dia melihat bayangannya yang terpantul dari cermin yang tertempel di pintu lemari tersebut. Seorang gadis yang penampakannya kusut-masai balik menatapnya. Kondisinya… menyedihkan.Seragam pelayan putih-putih ini penyebabnya. Mengenakannya setiap hari seperti merelakan kebebasannya direnggut oleh para majikan yang mempekerjakan para asisten rumah tangga. Tidak, tidak. Nasibnya lebih parah karena dia sama sekali tidak digaji. Dia adalah budak. Dina muak. Dengan emosi, dia melepas seragam itu dan mencampakkannya ke sembarang arah. Setelahnya, asal-asalan dia mengambil atasan berleher sabrina dan celana pendek.Dina membaringkan tubuh di tempat tidur. Semua peristiwa yang mengantarnya kepada kejadian tadi membayang terus di pikirannya. Lima ratus juta! Jumlah uang yang sangat banyak yang bahkan Dina sendiri pun tidak berani memimpikannya. Berapa lama lagi dia akan dap
Berhari-hari setelah Dina menceritakan semuanya kepada Mbok Surti, dia sudah menjelajahi hampir seluruh bagian mansion Keluarga Armadjati. Dia tahu di mana kamar yang ditempati oleh Bapak Hidayat dan Ibu Yasmine. Kalau sebelumnya dia berpikir sayap kiri tempat Bastian dan Wendy berdiam sudah mewah, maka bagian utama rumah ini jauh lebih mewah dari itu.Dia juga menelusuri sayap kanan yang merupakan area kekuasaan Leonardo. Berbeda dengan dua bagian rumah lainnya yang penuh dengan perabot mewah, Leonardo menata sayap kanan gedung dengan lebih sederhana. Minimalis. Semua furnitur hanya berada di sana karena memang dibutuhkan.Ada satu ruangan yang pintunya terbuka dan itu menyebabkan langkah Dina terhenti. Soalnya, dinding kamar itu sangat mencolok perhatian dengan warna ungu yang terang. Bukan pilihan yang biasa untuk seorang laki-laki seperti Leonardo. Dia melangkahkan kaki lebih dekat lagi.“Kamar Mbak Olivia,” kata sebuah suara yang mengagetkannya.
Seperti kebiasaan yang telah dipelajari oleh Dina begitu pertama kali dia menjejakkan kaki di sana, malam itu seluruh anggota Keluarga Armadjati telah ditunggu untuk makan bersama. Menu telah disiapkan oleh chef langganan keluarga.Dina memperhatikan sekeliling dan mendapati tangan Mbok Surti yang gemetaran sewaktu memindahkan sup tom yam ke mangkok kecil. Dia langsung mengambil alih sendok dari tangan pembantu senior itu dan melanjutkan tugas tersebut. Ada lima mangkok untuk lima penghuni yang dia letakkan di samping set piring masing-masing.Pada meja buffet, Mbok Surti menyiapkan minuman kesukaan masing-masing penghuni. Dina menuangkan serbuk obat tidur ke dalamnya; jus apel favorit Pak Hidayat dan kopi hitam tanpa gula milik Ibu Yasmine.Tiba-tiba, tangan Dina dihentikan sewaktu hendak menambahkan obat yang telah dia siapkan ke dalam jus kiwi-nya Wendy. “Yang ini jangan, Nduk!”“Tapi –“Non Wendy tidak aka
Leonardo memasuki sebuah kantor dengan tulisan Pitidoku tertera pada dinding. Tidak ada resepsionis yang menyambut. Luas ruangan itu juga biasa-biasa saja. Kalau dibandingkan dengan ruang kerja beberapa kantor lainnya dari bidang usaha Armadjati Group, Pitidoku tidak ada apa-apanya.Dia disambut oleh Danny dan beberapa karyawan lain yang bertepuk tangan. “Selamat, Mas. Pitidoku sudah terdaftar.”Leonardo berterima kasih. “Berkat kerja keras kalian semua.” Dia kemudian memberikan kartunya kepada Danny dan memberikan instruksi kepada asistennya itu untuk mentraktir makan karyawan Pitidoku.Tentu saja berita itu membuat semuanya bergembira dan serta-merta berlalu dan meninggalkan Leonardo sendirian. Laki-laki yang biasa dipanggil Leo itu memandang sekeliling. Kantor Pitidoku hanya memiliki satu ruangan berkonsep open space. Semua anggota tim akan menyalakan laptop masing-masing untuk bekerja di meja panjang. Untungnya, saat itu juml
Leonardo memasuki rumah besar yang disebut-sebut haknya oleh ayahnya sebagai anak pertama Keluarga Armadjati. Dia ingat kalau sempat menghabiskan masa kecilnya di sini. Namun, sampai sekarang dia tidak menganggap kediaman itu sebagai rumahnya. Tidak ada sisa-sisa kenangan bahagia yang menempel di benaknya saat menempati rumah tersebut. Momen suka cita yang terpatri dalam ingatannya justru berada di panti asuhan tempat dia dan Mama tinggal dahulu.Dia baru kembali ke rumah ini ketika Mama meninggal. Kedatangannya saat itu disambut oleh tiga orang asing yang tidak pernah dikenalnya; yaitu Tante Yasmine, Olivia, dan Bastian yang belum genap berusia tiga tahun. Tentu saja, dia yang baru lulus Sekolah Dasar tidak mengerti bagaimana bersikap dengan ketiganya. Entah karena Papa ingin mengakrabkan Leo dengan mereka atau bermaksud lain, tiba-tiba saja ayahnya itu menitahkan agar mereka makan malam bersama, setiap harinya. Padahal, ketika Mamanya masih ada sekalipun, laki-laki tua itu
Kata orang, ketika kita di ambang kematian, kilas balik perjalanan hidup kita akan terbayang-bayang di mata. Tidak demikian halnya yang dialami oleh Dina. Dia yakin akhir hidupnya telah tiba sewaktu Bastian melucutinya. Tapi, bukan fragmen kehidupannya yang memenuhi isi kepalanya, melainkan rasa yang campur aduk, antara malu, tidak berdaya, muak, geram, jijik, dan tidak berharga dia alami sekaligus.Dia memejamkan mata dan mencoba mengosongkan apapun yang ada dalam pikirannya. Dina merasakan sentuhan di bahunya yang langsung saja dia tepis. Walaupun keadaannya sudah terpojok, dia akan tetap melawan laki-laki bajingan yang ada di belakangnya itu sekuat tenaga. Karena dia tahu, hanya kematian yang dapat membebaskannya dari kekejaman Bastian.“Ini aku, Leo.”Apakah yang dia dengar itu benar? Dina tidak mempercayai telinganya sehingga ingin mengonfirmasi dengan matanya. Di sanalah laki-laki itu tersenyum kepadanya. Senyum Leonardo sebenarnya tipis saja d
Panas matahari yang menembus dinding kaca membangunkannya. Dina memandang sekeliling. Kamar itu kosong. Tidak ada perabotan sama sekali. Matanya beralih ke jaket yang menutupi sebagian tubuhnya. Dina bangkit berdiri dan menarik ritsleting jaket sampai ke leher. Sewaktu menyadari kain bawahannya sudah robek sana sini, Dina ke luar kamar mencari-cari pakaian cadangan yang bisa dia pakai.Apartemen itu didominasi dengan pembatas kaca sehingga pantulan surya menerangi semua ruangannya. Dina mengelilingi ruang tamu yang berdamping-dampingan dengan dapur. Semuanya kosong melompong. Dia juga memeriksa kamar mandi. Sama saja. Tidak ada apa-apa. Dina memutar keran dan lega begitu air mengalir membasahi tangannya. Dia membasuh wajah dan mengernyit akibat rasa perih yang mengenai luka di wajahnya.Tiba-tiba, Dina terkesiap. Mas Leo? Di mana laki-laki itu? Dina mengingat-ingat kejadian tadi malam. Matanya berkaca-kaca akan kenangan buruk yang mampir di kepalanya sehingga
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar