“Maaf, nggak bermaksud bikin kamu kaget.”
Dina mendongakkan kepala. Di atas sana, berdiri Leonardo. Dia membuang wajah karena malu berhadap-hadapan dengan laki-laki itu. Tidak dalam keadaan yang super berantakan seperti sekarang ini. Dina memandangi bajunya yang sudah lembab dan sangat tidak nyaman dikenakan. Belum lagi rambutnya yang awut-awutan. Sangat kontras dengan penampilan Leonardo yang rapi dengan setelan jas berwarna abu-abu.
“Naik!”
Alih-alih mematuhi permintaan pria itu, Dina memungut tangkai pel dan melanjutkan mendorong alat itu untuk menyikat lantai kolam renang.
“Hei, naiklah. Aku bawakan makanan.”
Seakan-akan tidak dapat diajak berkompromi, perutnya bernyanyi. Dina menyerah akan kekeraskepalaannya dan meletakkan sikat pembersih sembarangan. Dia berjalan miring ke arah tangga kolam demi menghindari bertatapan dengan Leonardo. Langkahnya kalah cepat karena pria itu sudah mengulurkan tangannya.
Dina mengabaikannya. Dia tidak mau telapak tangan Leonardo tertular kotor. Namun, begitu gadis itu sampai di atas, anak pertama Keluarga Armadjati itu malah mengalungkan jasnya ke tubuh Dina.
Dina enggan menerimanya, tapi laki-laki itu memaksa, “Kalau sakit, justru kamu yang dimarahin agensimu.”
Rupanya, Leonardo masih menganggap dirinya adalah pekerja suruhan yang diambil dari kantor penyaluran karyawan.
“Rosidah pernah potong gaji selama dua minggu ditambah sanksi penalti.”
Dina menarik jas agar lebih menutupi tubuhnya. Sebenarnya bukan karena dia takut jadi sakit dan mengalami seperti peringatan dari Leonardo itu. Tapi, jas yang dia pakai memberikan kenyamanan untuknya. Apakah itu dari wangi yang menampar indera penciumannya? Atau karena bahan kain pakaian yang membungkus tubuhnya? Dina yakin jenisnya adalah wool yang bisa saja bercampur khasmir. Pasalnya kain itu lembut sekali menyentuh lehernya.
Di tengah-tengah kehangatan yang dinikmati oleh gadis itu, mendadak Leonardo menarik kembali jas tersebut. Meskipun agak kaget, Dina memaklumi. Dipikir-pikir, tidak mungkin kakak dari Bastian itu bersikap baik kepadanya.
“Tanganmu juga perlu ditutupi.” Dengan lembut Leonardo membentangkan jas dan menuntun tangan Dina agar mengenakan pakaian itu dengan benar.
Ada suatu titik dalam hati Dina yang tersentuh dengan perhatian itu. Dia memberanikan melihat Leo dan menyelami bola mata hitam laki-laki itu. Ditambah senyum dan kerutan dahi yang seolah-olah memastikannya baik-baik saja.
“Ada makanan di situ,” Leo menunjuk pondok.
Wajah Dina mendadak memerah teringat akan momen di bawah sinar bulan yang dia lalui bersama Leo. Saking gugupnya, dia batuk-batuk kecil berpura-pura membersihkan tenggorokannya. “Tapi tugasnya belum selesai.”
“Santai,” kata Leo. Pria itu lalu berjalan ke bagian yang Dina kira adalah tempat duduk pinggir kolam. Ternyata, tempat duduk itu memiliki fungsi ganda sebagai penyimpanan. Leo mendorong salah satu pintu dan mengeluarkan alat pembersih bertangkai panjang.
“Hei, ayo makan!” suruh Leo.
Dina menyendokkan nasi dan ayam semur yang tersaji di pondok. Matanya tidak lepas dari sosok Leo yang menyingsingkan lengan baju lalu mendorong sisa-sisa air berlumut kolam renang tanpa perlu turun ke dasar kolam. Dia menyuap makanannya pelan-pelan. Tidak rela dia apabila suasana ini cepat berakhir.
Ketika kolam renang sudah bersih, suasana sudah mulai gelap. Leo menyalakan lampu luar, menyimpan peralatannya, dan menyalakan air yang perlahan-lahan memenuhi kolam.
“Kamu sudah bisa berenang, tuh.”
Dina sibuk menghitung kunyahannya sehingga kata, “Hah?” yang terlontar.
“Sampai lupa makan demi bersihin kolam, apalagi kalau bukan karena nggak sabar berenang.”
Dina sedikit tersedak mendengarnya. Dia mengatur agar dapat bernapas normal. Untunglah berhasil.
“Mending besok saja berenangnya. Mumpung aku libur.”
Atas kalimat Leo tadi, Dina tidak sepenuhnya yakin apakah itu sekadar candaan atau memang laki-laki itu menyangka demikian? Sudut logikanya menggerakkan niat agar dia bercerita tentang alasan dia berada di rumah itu. Siapa tahu laki-laki itu dapat membantunya? Sisi pikirannya yang lain mendebat niat itu dengan dasar bahwa Dina belum paham karakter Leonardo. Namun, beberapa hari ini pria itu menunjukkan kebaikannya.
Dina minum air sebelum memulai perbincangan, “Mas Leo.”
Tiba-tiba, dering telepon mengakibatkan Dina mengurungkan niatnya.
Leonardo mengangkat telepon itu dan bersuara, “Ya… oke, aku ke sana sekarang.” Dengan raut wajah kecewa, Leo memperlihatkan ponsel sebagai kode dia harus pergi dan meninggalkan Dina.
Dina teringat dia belum menyampaikan terima kasih. Dia juga belum mengembalikan jas yang masih menempel di tubuhnya. Tapi bibirnya kelu sehingga hanya dapat menyampaikan, “Eh,” sambil berdiri bermaksud mengejar Leo.
Gelapnya malam menimbulkan kesadaran kalau Leonardo pasti menghadiri makan malam wajib bersama Keluarga Armadjati. Dia pun batal menyusul pria itu.
***
Malam sudah larut sewaktu Dina menggunakan mesin cuci untuk membersihkan baju-baju serta pakaian dalamnya. Setelah itu, dia menuang pewangi banyak-banyak dan berlanjut dengan proses pengeringan. Dia mengambil selimut agar tubuhnya tetap hangat di malam yang dingin itu.
Deritan pintu berefek kepada Dina yang cepat-cepat menutupi kepalanya dengan selimut.
“Nduk?”
Kepalanya melongok dari selimut.
“Seragam kamu ada tiga, toh?”
Dina mengiyakan. “Tapi baju dalamku….”
“Coba kamu lihat lemarinya Rosidah, siapa tahu ada yang ketinggalan.”
Dina tahu persis kalau tidak ada apa-apa di lemari yang disebut-sebut Mbok Surti itu. Oleh karenanya dia bertanya, “Mbok punya uang? Aku boleh pinjam.”
Mbok Surti menggeleng. Meskipun Dina tidak percaya tapi dia diam saja. Bisa saja pembantu senior rumah itu ditugaskan melaporkan apapun tindak-tanduknya. Dia harus berhati-hati.
“Kalau HP? Aku pakai sebentar, Mbok?”
“Nduk, Nduk. Mbok ini sudah tua. Nggak ngerti main yang begituan.”
Dina manggut-manggut seraya memperhatikan mesin cuci yang telah berhenti pertanda bajunya sudah siap untuk dikeluarkan.
“Kamu tetap pakai baju itu toh Nduk.”
Dina melirik baju berleher sabrina yang diprotes Wendy tadi pagi. Kalau tidak dia pakai, dengan apa dia menutup auratnya?
“Ingat, kalau di depan Nona Wendy wajib pakai seragam.”
Bagaimana bisa Dina lupa kalau gara-gara itu seharian ini dia disiksa? Dia hanya menanggapinya dengan mengangguk-angguk.
Sekonyong-konyong, Mbok Surti memanjangkan tangan melewati badan Dina. Gadis itu agak terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu. Rupanya, Mbok Surti menjangkau sesuatu di belakang punggungnya. Aduh, mengapa dia sampai lupa kalau itu ada di sana.
“Ini jasnya harus di-laundry. Biar Mbok yang bawa.”
Dina terbata-bata sewaktu menjawab, “Iya.”
***
Lampu-lampu rumah itu sudah banyak yang dimatikan. Namun begitu, Dina sudah hapal dengan jalan yang harus dia lewati demi sampai ke tujuannya. Bermodalkan penerangan yang remang-remang, dia sudah melewati pembatas arch. Di sana, pintu tinggi yang ditutupi tirai. Di baliknya, ada jalan keluar yang dapat membawanya kabur dari rumah ini.
Dina memasang telinganya baik-baik. Sejauh ini, tidak ada bunyi-bunyi selain deru napasnya sendiri yang dapat dia dengar. Meskipun demikian, dia tetap waspada dan berjalan dengan ujung jari-jari kakinya semata. Semakin dekat dengan destinasinya, Dina mengalungkan selimut.
Raut wajahnya berbinar-binar karena sejauh ini tidak ada Leonardo yang menghentikan langkahnya. Dina pun menyibakkan tirai. Matanya melongo mendapati kenyataan yang terpampang jelas di sana.
***
Dina memutar pegangan pintu dan tidak juga terbuka. Tidak ada rencengan kunci yang menempel di pintu seperti yang dia lihat pada malam sebelumnya. Tidak, keluhnya dalam hati. Hanya ini pintu keluar yang dia hapal tanpa perlu ketahuan Mbok Surti. Dia menyentuhkan jari ke material kaca yang mendominasi pintu. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Terlalu riskan jikalau dia sampai memecahkan kaca.Pikirannya berkelana memikirkan segala kemungkinan sampai membentur satu ide. Cepat-cepat dia berjalan menuju dapur. Dari sana dia bisa melewati pintu yang menuju kebun. Pintu bergeming saja sewaktu Dina mendorongnya. Hatinya kembali diliputi kekecewaan sehingga dia berteriak sambil mengatupkan mulut dengan bongkahan punggung tangannya.Tiba-tiba, cahaya menerangi ruangan itu yang membuat tubuh Dina sedikit terlonjak.“Nduk, ngapain?”Dina menghampiri konter dapur dan mengambil gelas. “Haus,” kilahnya.“Lho, di kamar ada air, kok?&rd
Di dapur, Dina menahan air matanya sewaktu mencuci piring bekas wadah Beef Stroganoff yang dicampakkan oleh Wendy.“Nona Wendy tidak tahan asin, Nduk.”“Dia kan bisa bilang. Lagian ini juga nggak keasinan.” Dina mencuci tangannya, mengambil sendok, dan menyuapkan sebagian sisa Beef Stroganoff ke mulut Mbok Surti.Mata pelayan itu merem melek, “Enak, Nduk.”“Ya pasti enak,” gerutunya masih tidak menerima perlakuan Wendy yang semena-mena membuang makanan buatan Dina.Mbok Surti mengambil Getuk Lindri matang yang tadi didinginkan di dalam kulkas lalu mulai menyusunnya. Dina memperhatikan wadah kotak plastik yang disiapkan pembantu itu. Dia menggantinya dengan kotak besek bambu tradisional dengan mengalasinya pakai daun pisang.“Wah, bagus Nduk.”Dina menaburkan serutan kelapa di atasnya. Memang, gadis itu puas dengan penampakan kue tradisional tersebut.Tepat pada saat it
Seperti pemakaman lainnya, peristirahatan terakhir yang dikunjungi oleh Leonardo saat itu pun memiliki suasana adem dan aura tenang yang luar biasa. Pria itu mendatangi salah satu kuburan. Pada penanda di makamnya, tertulis nama Delilah Baskoro, ibunya yang telah meninggal delapan belas tahun yang lalu. Hari ini bertepatan dengan peringatan kepergian ibunya itu.Leonardo meletakkan bunga di atas kuburan. Setelahnya, dia bersila di atas tanah sambil membuka kotak bekal yang berisi Getuk Lindri.“Mama, Leo kangen,” lirihnya seraya memandangi nama ibunya yang tertulis di makam.***Mansion Keluarga Armadjati sudah besar dan megah ketika Leo dilahirkan. Tidak seperti sekarang yang bernuansa kelam, dahulu rumah itu penuh dengan warna dan keceriaan. Pagi di istana itu selalu diawali dengan musik riang gembira. Mama Leo, Delilah akan berkeliling dan menyapa semuanya, termasuk para pekerja. Jadi, tidaklah mengherankan apabila nyonya rumah itu dihormat
Mendadak, pintu kamar utama itu terbuka. Seorang wanita berkulit seputih pualam keluar sambil tertawa-tawa. Mata mereka bertatap-tatapan dan tawa itu terhenti. Di belakang, ada Bapak Hidayat yang menyamakan langkah dengan wanita tersebut.Diawali dengan dehaman, Pak Hidayat menjelaskan, “Ini Mbok Surti, yang mengurus rumah ini.”Wanita berkulit cerah itu memandangnya dari ujung rambut ke ujung kaki. Takut-takut Mbok Surti balas menatap, namun hanya berani sebentar saja. Meskipun demikian, dia dapat menilai kalau wanita itu cantik sekali. Rambutnya cokelat panjang diikat ekor kuda, Matanya teduh dengan kelopak yang dalam. Bibirnya penuh dipoles gincu merah. Pipi yang mulus seolah-olah tidak berpori-pori. Tubuhnya langsing dengan lekuk-lekuk di tempat yang tepat yang dibungkus dengan baju ketat berwarna merah.“She’s a maid? Kenapa tidak pakai seragam?”“Yaaah di sini bebas saja, Honey.”Perempuan it
Meskipun sudah dilarang, Leonardo tetap menerobos masuk ke ruang kerja Ibu Kepala Panti. Mama ada di sana yang serta-merta melebarkan kedua tangannya. Tapi, bukan kehangatan pelukan ibunya itu yang dia cari, Leo mengalihkan mata kepada laki-laki gagah di hadapan Mama.“Papaaa!” panggilnya seraya menghampiri laki-laki itu. Kemudian dia mengulurkan mangkok yang dipegangnya erat-erat dari tadi. “Getuk Lindri.” Dia ingin Papa mencoba makanan favoritnya tersebut.Leonardo dapat menyaksikan kalau ayahnya menunduk sambil menggerak-gerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Dia menduga Papa sedang meneliti makanan bertabur kelapa parut itu, sama seperti sewaktu Leo pertama kali mencobanya. Namun, bukannya menerima mangkok yang disodorkan oleh Leonardo, ayahnya malah menepuk-nepuk kepala Leo dengan lembut.“Nggak suka?” kata Leo dengan pupil mata yang membesar.Alih-alih menjawab, Papa justru mengatakan, “Kamu di sini dan jaga
Dalam film The White Tiger digambarkan bahwa masyarakat miskin tidak dengan sendirinya menjadi miskin, tetapi sengaja dimiskinkan. Situasi tersebut melekat terus dalam diri warganya karena telah dikukuhkan selama mungkin, lengkap dengan penanaman sikap inferior dan pasrah berserah diri kepada Tuhan. Pada akhirnya, masyarakat kelas bawah akan merasa wajar diperlakukan rendah bak sampah oleh kalangan atas. Kemudian, mereka akan kehilangan niat untuk maju dan mematuhi tuan-tuan kaya itu laksana budak.Penggambaran itu sepertinya cocok dengan apa yang dialami oleh Dina. Gadis itu mengaku kalau dia bukanlah berasal dari latar-belakang keluarga kaya. Dia dan ayahnya bersusah-payah agar dia dapat menyelesaikan kuliah. Di saat dia bersemangat karena berpikir akan terlepas dari jeratan kemiskinan dengan modal pendidikan yang dia terima, tahu-tahu dia terjerembab pada situasi yang menjadikannya sebagai warga kelas bawah.Dina menggosok toilet dengan sekuat tenaga. Setel
Dina kembali ke kamar lamanya, kamar pembantu yang dia tempati bersama Mbok Surti. Melewati lemari, dia melihat bayangannya yang terpantul dari cermin yang tertempel di pintu lemari tersebut. Seorang gadis yang penampakannya kusut-masai balik menatapnya. Kondisinya… menyedihkan.Seragam pelayan putih-putih ini penyebabnya. Mengenakannya setiap hari seperti merelakan kebebasannya direnggut oleh para majikan yang mempekerjakan para asisten rumah tangga. Tidak, tidak. Nasibnya lebih parah karena dia sama sekali tidak digaji. Dia adalah budak. Dina muak. Dengan emosi, dia melepas seragam itu dan mencampakkannya ke sembarang arah. Setelahnya, asal-asalan dia mengambil atasan berleher sabrina dan celana pendek.Dina membaringkan tubuh di tempat tidur. Semua peristiwa yang mengantarnya kepada kejadian tadi membayang terus di pikirannya. Lima ratus juta! Jumlah uang yang sangat banyak yang bahkan Dina sendiri pun tidak berani memimpikannya. Berapa lama lagi dia akan dap
Berhari-hari setelah Dina menceritakan semuanya kepada Mbok Surti, dia sudah menjelajahi hampir seluruh bagian mansion Keluarga Armadjati. Dia tahu di mana kamar yang ditempati oleh Bapak Hidayat dan Ibu Yasmine. Kalau sebelumnya dia berpikir sayap kiri tempat Bastian dan Wendy berdiam sudah mewah, maka bagian utama rumah ini jauh lebih mewah dari itu.Dia juga menelusuri sayap kanan yang merupakan area kekuasaan Leonardo. Berbeda dengan dua bagian rumah lainnya yang penuh dengan perabot mewah, Leonardo menata sayap kanan gedung dengan lebih sederhana. Minimalis. Semua furnitur hanya berada di sana karena memang dibutuhkan.Ada satu ruangan yang pintunya terbuka dan itu menyebabkan langkah Dina terhenti. Soalnya, dinding kamar itu sangat mencolok perhatian dengan warna ungu yang terang. Bukan pilihan yang biasa untuk seorang laki-laki seperti Leonardo. Dia melangkahkan kaki lebih dekat lagi.“Kamar Mbak Olivia,” kata sebuah suara yang mengagetkannya.
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar