Tidak seperti biasanya, aula gedung Sekolah Tinggi Pariwisata yang berlokasi di Bandung saat itu begitu ramai. Pengunjungnya pun semua istimewa, rapi jali dengan jas atau kebaya. Alunan paduan suara menyanyikan Gaudeamus Igitur dengan semangat. Hari itu adalah hari bahagia bagi semua mahasiswa yang sudah bersusah-payah menamatkan perkuliahannya.
Di barisan ketiga belas, ada satu perempuan berkebaya hijau dengan bawahan kain batik bermotif klasik. Lagu mars pertanda menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi sudah beberapa lama terhenti sewaktu nama perempuan itu dipanggil, “Dina Indira Sudiro. Manajemen Tata Boga Kelas Internasional.”
Gadis yang dipanggil itu sudah melewati usia 21 tahun. Meskipun terlihat natural, dia merias wajahnya agar tampak istimewa. Alisnya yang lebat hanya disisir rapi, tapi dia mengenakan perona mata hijau lembut dipadu dengan sedikit warna perak. Matanya yang bulat indah dipertegas dengan eye liner abu-abu. Pipinya memerah dengan sejumput bintik-bintik hitam yang samar. Bibirnya yang penuh semakin mengilap dengan gincu merah jambu. Rambutnya disanggul dengan tambahan konde ukuran medium saja.
Dia berdiri tegak sehingga ketahuan kalau ukuran tubuhnya relatif lebih tinggi dibandingkan teman-teman wanita sebayanya. Senyumnya terukir dari telinga kanan ke kiri. Sesuai gladi bersih sebelumnya, dia sudah tahu hendak ke mana akan melangkah. Begitu berjalan ke podium, dia sempatkan mengedarkan pandangan. Dia menemukan orang yang dia cari. Lelaki berusia 51 tahun yang dilihatnya sedang bertepuk tangan. Itu adalah ayahnya, Indra Sudiro. Dina membalasnya dengan acungan jempol.
***
Seremoni wisuda yang telah usai menimbulkan kerumunan di pintu keluar. Belum lagi jejeran papan bunga yang berlomba-lomba sampaikan ucapan selamat. Tidak ada satupun yang menyebutkan nama Dina. Tapi bagi dia tidak masalah karena sekonyong-konyong ada Ayah yang menyongsongnya.
“Selamat, Nak!” Ayah menyerahkan buket bunga di genggamannya.
Dina memeluk Ayah meskipun direpotkan dengan memegang bunga serta tas tangannya. Ayah adalah satu-satunya orangtua Dina yang masih tersisa setelah ditinggal ibunya tujuh tahun lalu. Dia mengintip ekspresi sang ayah. Ada kebingungan yang terpancar di mata ayahnya itu. Begitupun lengan Ayah yang hanya menggantung tanpa membalas pelukannya. Dina menepuk punggung ayahnya lembut.
“Sini, Ayah bawakan.” Ayah mengambil alih tas Dina. Gadis itupun berjalan bergandengan lengan dengan ayahnya.
Mereka baru saja sampai di lapangan parkir yang terjauh di lingkungan gedung tempat penyelenggaraan wisuda. Mau bagaimana lagi? Hanya lokasi sepi itu yang tersisa menjadi peraduan mobil pinjaman mereka.
Tiba-tiba seseorang mendorong ayah dari belakang sampai tasnya terlempar ke udara. Pegangan Dina juga terlepas sehingga dia sibuk mengendalikan keseimbangannya. Orang yang mendorong ayahnya bertampang sangar dan menakutkan. Padahal, dirinya sudah dianugerahi dengan tinggi badan yang menjulang. Tapi, jika dibandingkan dengan laki-laki itu, Dina seolah-olah kucing yang berhadapan dengan harimau. Meskipun demikian, dia mencoba menghardik laki-laki itu. Namun, tanpa dia perhitungkan ada sosok lain yang menahan tangannya.
“Bayar utangmu!” itu kata laki-laki yang berperawakan sangar tadi, Dina akan menjuluki orang itu sebagai Si Sangar saja.
Dengan bagian belakang lengan yang terkunci oleh teman Si Sangar, Dina tidak mampu melepaskan diri dan tangannya hanya mampu bergerak sepersekian sentimeter sebelum ditarik kembali.
“Sudah dua tahun menunggak. Kami juga sudah kasih kelonggaran, tapi malah kabur-kaburan!” Si Sangar memukul wajah ayahnya.
“Hei,” teriak Dina.
Perhatian Si Sangar berganti. Dia membalikkan badan dan menunjuk-nunjuk Dina. “Kau anaknya?”
Dina mengangguk.
“Kau tahu kelakuan Bapakmu? Berani pinjam uang 500 juta tapi nggak berani melunasi!”
Dina membelalak. Lima ratus juta? Untuk apa uang sebanyak itu? Selama ini mereka hidup sangat kekurangan dan hanya bisa melewati hari-hari dengan super irit. Jadi, uang itu digunakan untuk apa? Dina menatap Ayah yang langsung menundukkan kepala.
“Yaaah?!” Dina menuntut jawaban. Tapi, Ayah tetap bergeming.
Si Sangar mendekatkan wajahnya ke arah Dina. Gadis itu memalingkan wajah. Dia dapat merasakan hembusan napas laki-laki itu. Dan sekarang, hidungnya menangkap bau jengkol di udara. Dina mengumpulkan tenaga dan mengayunkan kakinya ke bagian sensitif Si Sangar. Aksinya itu mengakibatkan kain batik yang dia kenakan robek sepaha.
“Aaawww,” lengking suara Si Sangar. Di balik perawakannya yang menyeramkan, ternyata laki-laki itu memiliki jenis suara yang seolah-olah transisi antara tenor dan soprano.
Dina merasa geli mendengarnya. Namun dia batal tertawa karena Si Sangar sudah tidak lagi menutupi bagian vitalnya dan sedang mengayunkan tangan. Laki-laki itu menamparnya di pipi kanan. Keras sekali. Telinga Dina sampai berdenging dibuatnya. Tanpa dapat dicegah, air mata mengalir di pipinya.
“Jangaaan!”
Dina menduga itu adalah perintah dari Ayah. Dia tidak dapat memastikannya karena mata yang masih menutup demi menetralkan rasa sakit akibat tamparan tadi. Apa yang akan terjadi kepada mereka? Bahunya naik turun merasa terancam. Hanya ada satu yang harus dia lakukan yang seharusnya sudah dia laksanakan dari tadi.
“TOLOOONG!” lolongnya berharap siapapun dapat mendengar permohonannya. Walaupun lapangan itu sepi, setidaknya akan ada orang yang melalui jalan itu, bukan? Setidaknya satu orang saja. Dina tidak lagi dapat memutuskan apakah permohonan batinnya tersebut merupakan sebuah asa ataupun penghiburan.
Rupanya, Si Sangar tidak kalah sigap. Dia mengambil sapu tangan dari sakunya dan mengikatkannya pada mulut Dina. Gadis itu melawan tapi gagal. Dia hanya dapat mendelik mendistribusikan kemarahan. Namun, air liur yang meluncur tanpa bisa ditahan membuat usahanya tampak konyol.
Si Sangar menghalangi upaya Ayah yang mencoba mendekatinya. Laki-laki itu menggenggam kerah kemeja Ayah dan memilinnya kuat-kuat. Dina menyaksikan ayahnya megap-megap mencari udara. Dia berteriak walaupun tahu itu tidak mengubah apa-apa.
“Kami bawa putrimu sampai kau lunasi utang!”
Sebaik mengatakan kalimat tersebut, Si Sangar melonggarkan genggamannya sehingga Ayah terpuruk ke tanah. Setelahnya, pria itu menendang orangtua Dina tersebut yang hanya bisa bereaksi memegangi perutnya.
Tak terhitung berapa kali Dina menyikut pinggang laki-laki yang menahan tangannya dari tadi. Tapi, apapun yang dia lakukan seperti tidak berhasil menggoyahkan pertahanan musuhnya. Sekarang, ditambah Si Sangar yang menyeretnya paksa menuju mobil hitam yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berada.
Dalam langkahnya yang ogah-ogahan, Dina berhasil menoleh ke belakang demi melihat keberadaan Ayah. Tampak tidak ada pergerakan apa-apa yang dilakukan oleh ayahnya itu. Posisi Ayah hanya meringkuk dengan kedua tangan melingkari perut. Dina khawatir luar biasa. Dia tahu kalau ayahnya sedang dalam fase teramat kesakitan. Tapi setidaknya berikan tanda bahwa Ayah masih dalam keadaan bernyawa.
“Cepat pergi!” perintah Si Sangar.
Dina menajamkan penglihatannya. Itu. Tangan ayahnya bergerak ke samping. Dia meneriakkan kata, “Ayah!” walaupun yang terdengar hanya gerungan semata.
Mendadak, rambutnya terasa sakit karena ada seseorang yang menjambaknya. Begitu dia didorong masuk ke dalam mobil, sanggul kondenya jatuh menggelinding di tanah.
***
Sudah tiga jam berlalu sejak dia diculik paksa oleh Si Sangar, namun belum ada tanda-tanda mobil yang membawa Dina berhenti. Mulutnya sudah mati rasa karena terus menganga. Tangannya kesemutan parah karena selalu terikat. Ketiga laki-laki di dalam kendaraan itu, yaitu Si Sangar, pria yang mengikat lengannya, dan pengemudi di kursi depan tampaknya tidak pernah menghilangkan pandang dari dirinya. Dina benar-benar terperangkap.Meskipun demikian, bukan berarti dia tidak mencari cara untuk kabur dari mereka. Sepanjang perjalanan, dia selalu mencuri dengar percakapan yang dilakukan oleh dua pria menyeramkan itu. Dia bahkan mencoba menyimpannya di kepala. Tapi, tidak banyak informasi yang dia dapatkan selain nama Bastian yang terus disebut-sebut.Mobil yang ditumpangi oleh Dina berbelok ke sebuah pekarangan luas yang dilengkapi kolam air mancur di tengah-tengah. Walaupun penasaran ke mana dia hendak dibawa, Dina sudah belajar untuk tidak terlalu memanjakan rasa ingin tahunya
Kebaya hijau dan kain batik teronggok sembarangan di lantai. Berdiri di depan kaca di kamar mandi, Dina hanya mengenakan pakaian dalam seraya mengompres wajahnya dengan air dingin.Tidak lama kemudian, muncul seorang pelayan berusia paruh baya yang tadi diidentifikasi Bacon sebagai Mbok Surti. Pembantu itu mengenakan seragam berwarna merah jambu dan membawakan tumpukan baju untuknya. Dina terlanjur dipenuhi rasa malu dan sakit hati untuk dapat mengucapkan terima kasih kepada Mbok Surti. Jadi, dia biarkan saja perempuan itu berlalu dan meninggalkannya sendirian.Dina mengenakan baju yang dibawakan. Ternyata baju itu juga berupa seragam, hanya saja keseluruhannya berwarna putih. Tidak ada pilihan lain. Dia terpaksa mengenakannya. Sayang, badannya yang tinggi hanya mengakomodir panjang rok sampai sepaha. Dia merasa direndahkan dan tangis air mata pun membanjiri pipinya.“Nduk!” panggil Mbok Surti dari luar ruangan.Dina mengatur embusan napasnya.
Sesuai yang diperintahkan oleh Mbok Surti, gadis itu berdiri tepat di samping meja yang penuh dengan hamparan makanan. Bukan, bukan dia yang menatanya. Memang benar informasi dari Mbok Surti. Ada chef khusus yang menyiapkan semuanya.Mbok Surti memindahkan gelas dari meja makan utama dan mengembalikannya kepada Dina. “Nona Wendy nggak minum jus nanas, Nduk.”Dina menggantinya dengan gelas yang berisi jus kiwi daripada apel dan jeruk. Mbok Surti menyetujui pilihan itu. Tepat pada saat asisten rumah tangga itu meletakkan jus di meja, ketukan langkah kaki terdengar memasuki ruang makan.“Nona Wendy,” sapa Mbok Surti sambil menarik sebuah kursi. “Mau roti?”“Papi kan belum datang.”“Tapi Nona nggak boleh kelaparan.”“Tenang, sebentar lagi dimulai, kan?” Wendy mengusap-usap perutnya.Ucapan Wendy terbukti karena setelah itu terdengar langkah kaki baru. Cepat-cepat Mbok
“Siapa?”Dina tidak mengenali suara itu. Tapi yang jelas, dia ketahuan. Dari balik selimut, matanya melirik ke kiri dan kanan. Dia memperkirakan apa yang terjadi jika dia bertindak nekat. Sedikit lagi. Hanya tinggal dua langkah dia sampai ke teras yang pintunya sudah terbuka. Dina mengambil ancang-ancang untuk berlari.Sekonyong-konyong teriakan, “Berhenti!” memenuhi udara dan selimut yang menutupi Dina terlepas. “Nyi Roro Kidul?” sambung pemilik suara misterius itu.“Bukan,” bisik Dina ketakutan.Tidak berapa lama kemudian, lampu menyala. Sekarang, Dina dapat mengetahui siapa yang menggagalkan rencananya. Leonardo.“Ah, asisten yang….”Gadis itu agak kesal. Mentang-mentang orang kaya, mereka tidak merasa perlu mengenal pekerja yang status sosialnya di bawah mereka. Sekalian saja perlakukan mereka seperti narapidana yang hanya dipanggil berupa angka saja.Leonar
Dengan segera, Dina menumbuk punggung Leonardo berharap apapun yang menghalangi jalan napas laki-laki itu segera dimuntahkan. Tidak ada hasil yang signifikan. Dina semakin khawatir. Sekilas keragu-raguan merongrong hatinya. Jika dia salah langkah, dia akan menjadi penyebab laki-laki itu menderita. Tapi, bayangan betapa bahaya kondisi Leonardo saat itu membuatnya mengambil sikap.Dina memeluk laki-laki itu dari belakang. Lengannya kemudian menjerat badan Leonardo dengan erat. Sesak napas pria itu semakin menggema. Dina mencoba sekali lagi dengan mengerahkan tenaganya lebih kuat lagi. Sebongkah timun pun mencelat dari mulut Leonardo. Pria itu terbatuk sekali dan setelahnya dapat bernapas dengan normal. Untunglah, syukur itu hanya dapat diucapkan Dina dalam hati.“Terima kasih.”Ucapan penghargaan dari Leonardo itu itu tidak pantas dia terima. Dina seharusnya merasa bersalah karena dialah penyebab laki-laki itu tersedak. Dan hampir mati, Dina tersentak
Tidak dapat dibayangkan oleh Dina kalau kejadian ini sampai ke telinga Bastian. Lebam di wajahnya memang sudah tidak dapat diidentifikasi, tapi perihnya masih dapat Dina rasakan.“Maaf?” Terus-terang, Dina tidak tahu apa akar masalahnya. Tapi, dia tetap harus memohon demi menghindari kemarahan Bastian. “Maaf,” katanya lagi dengan mantap.“Selama kerja, kamu harus pakai seragam, Nduk.” Mbok Surti yang akhirnya memberi tahu.“Nggak bisa kayak gini. Aku nggak bisa direcokin sama hal yang remeh kayak gini. I can’t stress this enough,” cerocos Wendy. “Bastian harus tanggung jawab kalau ini nggak akan –“Maaf, maaf. Aku belum tahu. Aku ganti.”“Terlambat! Aku udah STREEES!”Langkah Dina mundur satu langkah karena teriakan Wendy tersebut. Kebalikan dengannya, bergegas Mbok Surti menghampiri menantu Keluarga Armadjati itu dan menepuk-nepuk bahunya. Pem
“Maaf, nggak bermaksud bikin kamu kaget.”Dina mendongakkan kepala. Di atas sana, berdiri Leonardo. Dia membuang wajah karena malu berhadap-hadapan dengan laki-laki itu. Tidak dalam keadaan yang super berantakan seperti sekarang ini. Dina memandangi bajunya yang sudah lembab dan sangat tidak nyaman dikenakan. Belum lagi rambutnya yang awut-awutan. Sangat kontras dengan penampilan Leonardo yang rapi dengan setelan jas berwarna abu-abu.“Naik!”Alih-alih mematuhi permintaan pria itu, Dina memungut tangkai pel dan melanjutkan mendorong alat itu untuk menyikat lantai kolam renang.“Hei, naiklah. Aku bawakan makanan.”Seakan-akan tidak dapat diajak berkompromi, perutnya bernyanyi. Dina menyerah akan kekeraskepalaannya dan meletakkan sikat pembersih sembarangan. Dia berjalan miring ke arah tangga kolam demi menghindari bertatapan dengan Leonardo. Langkahnya kalah cepat karena pria itu sudah mengulurkan tangannya.
Dina memutar pegangan pintu dan tidak juga terbuka. Tidak ada rencengan kunci yang menempel di pintu seperti yang dia lihat pada malam sebelumnya. Tidak, keluhnya dalam hati. Hanya ini pintu keluar yang dia hapal tanpa perlu ketahuan Mbok Surti. Dia menyentuhkan jari ke material kaca yang mendominasi pintu. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Terlalu riskan jikalau dia sampai memecahkan kaca.Pikirannya berkelana memikirkan segala kemungkinan sampai membentur satu ide. Cepat-cepat dia berjalan menuju dapur. Dari sana dia bisa melewati pintu yang menuju kebun. Pintu bergeming saja sewaktu Dina mendorongnya. Hatinya kembali diliputi kekecewaan sehingga dia berteriak sambil mengatupkan mulut dengan bongkahan punggung tangannya.Tiba-tiba, cahaya menerangi ruangan itu yang membuat tubuh Dina sedikit terlonjak.“Nduk, ngapain?”Dina menghampiri konter dapur dan mengambil gelas. “Haus,” kilahnya.“Lho, di kamar ada air, kok?&rd
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar