Dayu menutup mulutnya dengan tangan dan menoleh ke arah lain demi menghindari beratatan dengan makhluk itu. Jelas dia tidak mungkin bereaksi lebih banyak atau Dimas akan menjadi lebih kacau. Setelah merasa lebih tenang, barulah gadis itu kembali duduk dengan tenang meski sedikit gemetaran dan memandang ke arah wajah Dimas, menghindari untuk menatap ke bawah."Kenapa kamu mengatakan itu? Apa yang membuat kamu berpikir bahwa kamu sudah mati? Lihat, aku bahkan masih bisa menarik hidung mancungmu atau mencubit pipimu yang selembut adonan kue buatan Leag!" Dayu mencoba membuat suasan lebib baik meski pertanyaannya cukup berat dengan menambahkan sedikit candaan.Dimas tersenyum sedikit saat Dayu mengaduk pipinya seperti adonan kue, dan saat tangan Dayu dengan usil menggelitiki lehernya, Dimas tertawa sampai terpingkal.Obrolan mereka menjadi lebih tenang setelah itu. Dimas bercerita mengenai keresahan yang tidak bisa dia pahami dengan baik. Sesuatu yang mendorongnya untuk menjauh dari orang
"Nalaaa!! Nala!!!" Suara itu menyebut nama Nala berulang.Suara Anto jelas terdengar, membuat Dayu mengepalkan tangannya karena merasa bahwa selama ini Anto hanya memanfaatkan dirinya dan juga Dimas. Cowok itu mendekati dia dan keluarganya hanya untuk mencari tumbal demi menjadi seorang dukun sakti yang akan terhubung dengan Danyang, lalu menciptakan kejahatan-kejahatan yang keji di dunia.Dayu tak akan bisa dengan mudah memaafkan cowok itu, bahkan jika dia sempat berpikir Anto telah banyak membantunya dan sempat ia anggap sebagai salah satu temannya. Setidaknya, Dayu ingin sekali menampar cowok itu beberapa kali dan memakinya karena telah menjadi sosok yang begitu tega mengorbankan Dimas untuk menjadi tumbal kegilaannya."Nala, kamu benar-benar pengganggu sialan!! Kenapa kamu mencampuri urusanku?" Suara Anto terdengar meski kelihatannya makhluk di belakang Dimaslah yang bicara."Kamu sendiri yang muncul di depanku, aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan!" Nala menjawab d
Dayu ingin bertanya tapi dia tidak mengatakan sepatah katapun. Bahkan gadis itu membiarkan kediaman menguasai suasana antara dirinya dengan adik perempuan cowok yang sudah dia sebut namannya dalam do'a.Kepalanya berdenyut, membuat seluruh tubuhnya kehilangan tenaga secara instan, sementara raut wajah Naya yang begitu tenang menyurutkan niatnya untuk bertanya ke mana tepatnya mereka akan pergi. Meskipun tidak memperlihatkan rasa khawatir dan kegugupan yang menumpuk seperti Dayu, namun Naya berjalan sambil memandang lurus ke depan, seolah dia sedang mengikuti suatu petunjuk dan tak bisa memalingkan tatapannya barang satu detik pun. Tentu saja, segala pertanyaan menjadi susut dalan benak Dayu, tersimpan kembali sampai ditelan sesuasana senyap sepanjang perjalanan.Kanan dan kiri, mata Dayu hanya bisa menemukan pohon-pohon yang berjajar cukup rapat, dengan semak dan rerumputan menyelimuti bagian pangkalnya. Suasanya sepi dan sunyinya memberi kesan mencekam hati, seolah menjelaskan bahwa
"Apakah kamu kira kamu bisa menyombongkan diri? Ini bukan wilayahmu. Latar alam ghaib yang tidak bisa ditangani oleh seorang dokter sekalipun!" Suara Anto terdengar begitu jelas dan begitu dekat.Nala tidak bereaksi berlebihan, masih sama saja. Wajahnya masih biasa saja. Entah karena dia yang sangat yakin pada dirinya sendiri atau karena dia memang tidak merasa harus mengkhawatirkan sesuatu."Apa kamu pernah mendengarnya?" Nala balik bertanya dengan tiba-tiba. "Mendengar apa, hah?" Anto tak punya pilihan lain selain balik bertanya, karena pertanyaan Nala tidak menjelaskan apa yang sedang dia maksudkan."Suara Danyang. Apakah kamu pernah mendengar suaranya?" tanya Nala.Anto diam, tapi dengusannya terdengar jelas, diwakili oleh makhluk yang menjadi raksasa berkat menyerap residu dari penumbalan."Danyang tidak perlu bicara, alam ini sudah mewakilinya!" Anto menjawab dengan cukup gusar.Nala tersenyum. Wajahnya begitu tenang tapi matanya menantang dan setiap kata yang melincur dari bib
Setiap kelopak bunga akan gugur setiap kali kaki dua gadis manusia itu melangkahkan kaki mereka di bawah naungan pepohonan asing. Dayu terus mengikuti setiap jejak yang Naya buat dengan setia, sembari sesekali dia menjejakkan kakinya lebih kuat karena getaran yang terasa.Dayu yakin sekali bahwa semua getaran itu masih disebabkan oleh hal yang sama, dan bersumber dari tempat yang sama. Meski Dayu tidak mengetahui dengan pasti apa yang sedang terjadi pada Nala dan juga Dimas, tapi Dayu percaya bahwa Nala pasti tidak akan menyerah. Sebagai gantinya, Dayu juga harus tetap berjuang untuk bisa mencapai pohon keramat yang entah mengapa masih saja terlihat sangat jauh itu.Mereka sudah berjalan untuk beberapa waktu. Dayu tak akan mengatakan berapa menit atau berapa jam karena dia sudah mengerti sejak pertama kali dia dijebak oleh Mak Nik dulu, bahwa waktu yang barjalan di alam ghaib tidak beriringan dengan waktu di dunia manusia. Kalau Dayu tidak salah ingat, dia merasa hanya beberapa menit
"Apakah kamu berpikir untuk kembali ke tempat yang paling kamu benci?"Sebuah suara terdengar, bertanya pada Dayu yang baru saja hendak berjalan menuruni bukit untuk bisa mencapai pohon keramat.Suara itu terasa sangat akrab, sama sekali tidak asing dan terdengar begitu nyaman di telinga.Dayu sadar dia seharusnya tak mempedulikan apapun selain pohon keramat yang sudah terlihat jelas, tapi mendengar suara yang terasa seperti angin itu membuat Dayu tidak bisa mengendalikan dirinya, membuatnya menoleh dan mendapati seseorang yanh berdiri tenang tanpa alas kaki.Sosoknya kali ini masih tampil dengan wujud serupa dengan Nala, nyaris tak ada bedanya. Hanya saja, sangat menyukai Nala membuat Dayu mengingat setiap detail dari cowok itu, dan hal itu menjadi alasan baginya untuk bisa merasakan debaran yang hebat tiap kali berhadapan dengan Nala.Debaran itulah yang tidak dia rasakan sekarang, dan itu menjelaskan bahwa sosok yang bertanya padanya tadi bukanlah Nala. Debaran yang dia rasakan buk
Pohon itu sudah ada di hadapannya. Dayu sebenarnya terkejut begitu membuka mata, karena dia secara tiba-tiba malah sudah terbaring di bawah pohon raksasa yang rindang. Cahaya tak benar-benar bisa membus tempatnya berada, tapi masih bisa menelusup dari balik celah dedaunan yang tipis dari pepohonan lain di sekitar. Suasana tempat itu jelas tak bisa dikatakan menenangkan meski Dayu bisa mendengar suara burung-burung yang berkicau, taburan bunga di tanah dan juga kebisingan yang nihil. Oh, memangnya siapa yang tak akan nerasa creepy jika berada di tempat yang dinaungi oleh gelap meski beralaskan rumput empuk yang menerima cukup cahaya. Aura yang pohon raksasa itu pancarkan saja sudah cukup untuk membuat siapa pun menjauh. Setidaknya Dayu rasa seperti itu. "Pohon keramat." Dayu berucap lirih. Dia lantas berusaha bangun namun menemukan bahwa tubuhnya seperti tubuh anak rusa yang belum lama lahir. Butuh usaha keras untuk bangkit, jadi Dayu memutuskan untuk duduk sebelum berdiri. Dia mer
"Tidak ada apapun dari diriku yang adalah milik kamu, Danyang. Kita sama sekali tidak saling terikat dalam utang piutang!" Nala berucap.Tawa Danyang berhenti. Sosoknya kembali serupa dengan sosok Nala yang indah, tapi dalam versi yang lebih pucat. Jika mata Nala menggambarkan ketenangan batin, maka mata Danyang sebaliknya, mata itu menyorotkan kemarahan dan juga luapan kengerian.Saat Danyang mengambil satu langkah maju, dari dalam tanah muncul sosok-sosok dengan rupa yang aneh. Sebagian seperti jasad tak berjiwa, sebagian seperti tubuh yang kosong dan tak lengkap."Aku akan mengambil kembali, dirimu. Kamu seharusnya milikku, Nala!" ucap Danyang.***Dayu memandang pohon raksasa itu. Dia bisa melihat kehidupan-kehidupan yang indah dan berwarna-warni di sana, bergerak secara teratur dan berputar di sekitar pohon yang rindah.Seperti yang pernah dia baca entah kapan, selama ada sebuah pohon, maka pasti akan ada kehidupan di sekitarnya."Jadi, tidakkah kamu ingin meminta sesuatu pada po
"Apa maksudmu? Apa yang ada di sana?" Dayu bertanya pada sosok yang terus mengulang kata tunjuk yang sama itu.Dia tak merasa perlu untuk berpura-pura tak mendengar, karena dia yakin di dalam mobil itu bukan hanya dia yang mendengarnya."Di sana! Itu di sana!" Sosok gadis itu seolah tidak bisa memahami apa yang Dayu tanyakan, dia hanya menjawab dengan kalimat yang sudah dia ucapkan sebelumnya, dia ulang dan ulangi lagi saja."Hei!" Dayu merasa sedikit kesal sendiri sehingga dia langsung membentak sosok itu tanpa sadar.Nala terbangun karena suara bentakan Dayu, sementara sosok itu justru menghilang dari sana. Dalu tertawa dan terlihat senang sekali."Nah, seperti itu. Ketika kamu menunjukkan bahwa kamu juga bisa menjadi lebih kuat darinya, dia akan menyembunyikan dirinya darimu!" Dalu memuji apa yang baru saja Dayu lakukan, meski Dayu tak sengaja melakukannya."Ah, begitukah? Tapi, dia terus mengulang kalimat yang sama, menunjuk ke arah yang sama, menyebalkan sekali!" Dalu menyahut.N
"Hah? Bagaimana caranya aku memotong tangan makhluk ini?" Dayu bertanya dengan panik.Anehnya, Dalu terkekeh seolah semua itu hanyalah lelucon, sementara Nala menoleh dengan wajah tenangnya yang terlihat sedikit lebih pucat dari biasanya dan memberikan senyum yang membuat Kiana merasa nyaman."Tidak apa-apa. Setiap dari kita bisa memutus rantai jika kita mau!" Dalu berucap.Dayu menggelengkan kepalanya. Dia tak mengerti. Rasanya, hanya dengan mendengar apa yang Dalu katakan saja sudah terasa mengerikan.Wanita yang sudah bisa dikatakan dalam usia dewasa itu menunjukkan sikap yang sangat stabil. Dia tenang dalam situasi yang menurut Dayu bisa disebut genting atau tak menguntungkan sekalipun, sementara di saat yang lain dia bisa terlihat ceria dalam porsi yang tidak berlebihan. Kali ini juga sama. Dalu berjalan mendekat, memutari meja hingga berada di sebelah Dayu lalu menunjukkan apa yang dia maksud dengan memotong tangan makhluk itu.Dia tenang seperti air, tapi saat tangannya dengan
"Ya, semacam itulah. Apakah kamu tidak bisa melihat apa yang sedang dia ajak berbicara?" Dalu balik bertanya.Dayu langsung menggelengkan kepalanya tanpa ragu. Dia sangat yakin hanya melihat Nala di sana dan tak melihat apapun yang lain. Cowok itu berpenampilan santai tapi rapi, membuatnya terpesona. Sejujurnya, dia tak bisa memperhatikan hal lain karena Nala yang belum resmi menolaknya, dan cowok itu semakin hari juga terlihat semakin gemerlapan di matanya."Dia bersama dengan wujud dari ingatannya sendiri!" Dalu menjawab.Mobil yang Dalu kendarai mendekati Nala, lalu berhenti persis di depan cowok itu. Begitu roda mobik berhenti bergerak secara resmi, Dalu melepas sabuk pengamannya lalu turun dari mobil dan meninggalkan pintu mobil dalam keadaan terbuka.Nala mendatangi adik dari mendiang ibunya itu, menyapanya lalu mencium tangannya dengan sangat sopan. Dalu membisikkan sesuatu kepada Nala, dan saat itulah Dayu disadarkan bahwa Dalu memiliki tubuh yang terbilang tinggi.Begitu kedu
"Bukankah manusia sangat sombong? Ya, kamu benar, kalian sangat sombong. Itu adalah apa yang membuat kalian dan kami menjadi mirip, tapi semakin lama aku pikir manusia menjadi lebih serakah dari makhluk apapun. Ketika mereka berpikir bisa memperbudak aku, maka aku akan menang melawan orang-orang semacam itu!" Danyang berucap.Dalu terkekeh."Benar, benar. Benar sekali. Maka bukankah kamu hanya akan perlu melihat siapakah yang lebih baik di antara kami dan mereka, sementara kamu hanya akan menerima keuntungannya?" Gadis itu seolah tengah membenarkan apa yang Danyang katakan, tapi dalam makna yang sebenarnya, dia masih mengajukan sebuah dorongan agar Danyang tidak ikut campur.Danyang menyeringai. Dengan penampilan dan rupa Nala, seringaiannya itu tidak nampak menyenangkan untuk diingat bagi Dayu, karena itu bisa merusak sosok Nala dalam kepalanya.Begitu Danyang mengibaskan tangannya, Dayu langsung kembali menyaksikan penampakan genteng-genteng yang berjejeran. Dalu yang ada di sebelah
"Siapa yang kamu maksud?" tanya Dayu.Dalu menoleh lalu tersenyum. Gadis itu melepas outer yang dia pakai dan menggantungnya dengan rapi, meletakkan tas kecil yang menggantung di bahunya, lalu kembali berjalan ke arah balkon."Orang yang sedang mencoba menyeret Danyang keluar dari tempat tinggalnya dan membawa makhluk itu ke dunia manusia ini. Orang itu memang kuat dan dia berpikir bahwa dirinya akan menjadi lebih kuat dengan memanfaatkan energi Danyang. Kesombongan manusia benar-benar melampaui jangkauan akal!" Dalu menjelaskan apa yang dia maksud kepada Dayu sambil terus berjalan sampai dia bisa berada di balkon.Dayu turut berjalan untuk menyusul Dalu. Dia berdiri di sebelah wanita itu, menghirup aroma parfumnya dengan jelas sampai kemudian dia bisa menghirup aroma bebungaan yang bercampuran."Apakah itu dia?" tanya Dalu.Dayu mengenyitkan dahi, memandang ke kanan dan ke kiri."Di bawah sana. Laki-laki yang sudah mati itu, apakah itu dia yang kamu maksud?" tanya Dalu lagi, memperte
Dayu melambaikan tangan kepada adik barunya yang begitu muncul sudah langsung berusia enam belas tahun itu sambil tersenyum lebar, begitu juga ketika bunda dan ayah melambaikan tangan kepada dirinya. Seharusnya, jika sesuai rencana, dia akan turut serta mengantar Dimas ke sekolahnya, tapi dia akhirnya memutuskan untuk tinggal.Dia punya hal lain yang harus dilakukan, dan Dimas membantunya untuk meyakinkan ayah serta bunda bahwa Dayu memang lebih baik tinggal dan tak turut bepergian jauh untuk mengantar. Apa lagi, sebenarnya ayah sendiri juga belum memiliki kembali keberanian untuk menyetir sendiri dalam jarak jauh, membuat mereka harus menyertakan seorang supir yang kebetulan direkomendasikan oleh pihak hotel.Satu hal yang baru Dayu tahu adalah hotel itu merupakan salah satu aset milik keluarga Nala. Hotel paling besar di pusat kabupaten yang sebenarnya tak terlalu ramai, dan mungkin tidak akan memberikan keuntungan yang besar. Akan tetapi, menurut cerita Nala semalam setrlah ditodon
Nala tersenyum, dia tidak mengatakan apapun tapi dia sedang menelepon. Dayu tak mengerti mengapa cowok itu berlaku demikian, tapi sepertinya dia hanya sedang menerima instruksi dari seseorang setelah mengatakan satu kalimat saja selain salam."Seperti yang sudah kamu katakan waktu itu!"Setelah kalimat itu, selama sepuluh menit, Nala hanya diam dan mendengarkan. Sesekali dia mengangguk-angguk atau menggeleng, kadang dia memandang ke arah Dayu atau Dimas lalu tersenyum.Setelah menyelesaikan panggilan telepon itu, Nala menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dia, entah mengapa melirik ke arah kirinya yang kosong sebentar lalu memberikan tatapan dan semakin lama semakin menajam, sebelum kemudian dia kembali menoleh ke arah lain dan memberikan tatapan lembutnya, seolah dia baru saja mengungkapkan ketidaksukaannya pada sesuatu yang ada di sampingnya."Siapa yang baru saja kamu telepon?" tanya Dayu."Oh, tanteku. Dia adik paling muda dari mendiang mama!" Nala menjawab sambil menyunggin
Dayu dibangunkan oleh Dimas ketika baru memejamkan mata dan membuatnya terkesiap."Katanya, tidak baik jika kita tidur dalam pergantian antara terang dan gelap!" Dimas mengingatkan Dayu.Sebenarnya, Dayu tak tahu dari mana Dimas bisa mendapatkan ide itu, tapi dia rasa apa yang Dimas katakan ada benarnya. Apa lagi setelah mengalami kejadian buruk seperti tadi, Dayu mengingatkan dirinya untuk tidak segampang itu tertidur."Berapa lama lagi sampai kita akan pergi ke restoran dan bertemu Nala?" tanya Dayu."Dayu, kamu merindukan Nala?"Suara ayah yang bertanya membuat Dayu menoleh. Sejenak dia sempat terlupa bahwa dia sedang berada di kamar kedua orang tuanya, dan pasangan itu sedang berada di dekatnya.Mereka menonton bersama-sama, sebuah series komedi yang bukannya membuat Dayu tertawa, tapi justru mengantuk."Oh, bukan begitu. Hanya saja ada yang mau aku bicarakan dengan Nala ketika kami bertemu nanti!" jawab Dayu.Ayah dan bunda tersenyum."Dia calon dokter yang sering kita temui buka
Dayu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tubuhnya bergetar dan dia mundur tiga langkah ke belakang. Dimas sendiri tak terlihat baik-baik saja. Cowok itu segera berbalik badan dan terlihat sedikit panik. Bagaimanapun, dari kejahatan yang sudah Agus lakukan, Dimas adalah target utama penumbalannya.Dua kakak beradik yang disatukan lewat ikatan pernikahan kedua orang tua mereka itu segera saling tatap. Tanpa mengatakan apapun, Dayu segera menyambar gawainya dan berusaha untuk menelepon Nala, tapi cowok itu tak mengangkatnya.Dimas juga terlihat kecewa saat Dayu menggelengkan kepalanya. Berdua, mereka kembali mengendap-endap ke arah balkon dan kembali memandang ke arah di mana tadi mereka bisa melihat sosok Agus berdiri mengawasi."Oh, syukurlah!" Dayu melepas napas lega saat melihat bahwa sosok itu sudah tak ada lagi di sana."Kak, kamu juga melihat dia tadi 'kan?" tanya Dimas dengan suara bergetar.Dayu menganggukkan kepala. Dia masih sangat terkejut sampai tak bisa menghentikan la