"Apakah itu benar-benar Intan? Tapi kenapa dengan wajahnya?" Kinara mencoba berpikir keras, mengingat wanita yang baru saja menabraknya terlihat seperti sosok Intan yang tengah menjadi buronan polisi, namun dengan wajah yang hampir penuh dengan bekas luka sayatan benda tajam."Kinara! Kenapa lama sekali? Aku khawatir kamu kenapa-napa," ucap Arka dengan begitu cemas, menghampiri Kinara di depan toilet umum."Arka, aku sepertinya melihat Intan," ucap Kinara setengah berbisik. Membuat Arka seketika terkejut dengan hal itu."Benarkah? Di mana? Jika memang benar, aku akan segera menelfon polisi." Arka begitu antusias dengan ucapannya. Tangannya dengan cepat merogoh ponsel dari saku celananya, namun Kinara dengan cepat menghentikannya."Tunggu dulu! Sebenarnya aku masih kurang yakin dengan hal itu, tapi wanita itu wajahnya mirip sekali dengan Intan, meskipun ada beberapa bekas luka sayatan di bagian wajahnya," jelas Kinara, membuat Arka terdiam.Sementara itu, wanita yang baru saja tidak se
Sementara itu, Kinara memutuskan untuk melupakan kejadian di depan toilet umum tadi, dirinya merasa tidak mungkin menemukan Intan di keramaian seperti ini. Intan adalah seorang buronan polisi saat ini, tidak mungkin jika dirinya berani muncul dalam keramaian, dan luka bekas sayatan itu, sepertinya memang bukan Intan."Sudahlah, Arka, mungkin aku salah mengenali orang. Tidak mungkin Intan yang tengah menjadi buronan bisa muncul di keramaian seperti ini," ucap Kinara merasa ragu dengan tebakannya sendiri."Benarkah? Jika menurutmu memang seperti itu, ya sudah, lupakan saja.""Ayo makan takoyaki!" Kinara terlihat begitu antusias ketika kembali mengingat takoyaki yang baru saja dibelikan oleh Arka. Kinara dengan cepat menarik lengan Arka menuju tempat duduknya yang semula. Kinara begitu antusias membuka satu persatu kotak takoyaki dan mulai mencicipinya."Arka, ayo makan! Kenapa diam saja?" ucap Kinara ketika mendapati Arka yang masih termenung di depannya, seperti tengah memikirkan sesua
Sementara itu, Intan yang begitu tersiksa dengan perasaan rindunya yang begitu menggebu, akhirnya memutuskan untuk pergi menemui Bayu di kediamannya.Namun Intan begitu terkejut ketika sampai di sana, rumah itu nampak telah lama tak berpenghuni. Dedaunan kering nampak berhamburan di seluruh penjuru halaman rumah, dengan penampakan mobil Bayu yang telah tertutup debu tebal. Rumah Bayu juga nampak gelap gulita di malam hari, seperti tidak berpenghuni untuk waktu yang lama. Apa yang sebenarnya terjadi selama dirinya pergi? Dalam otak Intan terdapat tanda tanya besar.Ketika masih terdiam di depan rumah milik Bayu, Intan tidak sengaja terlihat oleh seorang ibu paruh baya yang tinggal di sekitar sana."Cari siapa, Nak?" tanya ibu paruh baya itu yang merupakan salah satu tetangga Bayu, menghampirinya yang masih membeku di tempat semula. Intan dengan cepat kembali memakai masker dan topi hitam miliknya, khawatir orang lain akan mengenalinya dan melaporkannya ke polisi."Maaf, Bu, kemana oran
Intan meringkuk ketakutan, bersembunyi di balik tembok pagar rumah orang. Dirinya benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan Kinara untuk yang kedua kalinya. Nafasnya menderu hebat, sesekali matanya melirik ke arah toko yang sebelumnya dia tempati untuk tidur. Terlihat Kinara yang tengah menaiki motor, berboncengan dengan seorang pria yang wajahnya tertutupi oleh helm berwarna hijau."Siapa pria itu? Apakah pacar baru Kinara? Kenapa dia cepat sekali mendapatkan seorang pacar? Sementara dirinya baru saja bercerai dari, Mas Bayu," gumamnya dari balik tembok pagar."Tidak bisa begini, aku harus menanyakan langsung pada Kinara," tekadnya."Tunggu-tunggu, jika aku nekat menemui Kinara, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Kinara akan menelfon polisi untuk menangkapku? Tidak! Tidak boleh, aku akan mengintipnya dari sini saja," gumamnya, Intan kembali mencari tempat persembunyian di balik tembok tua di samping toko kue Kinara. Dirinya bersender di sana, menunggu hingga Kinara kemba
"Jangan salah faham dengan ucapanku," lanjut Kinara dengan membalikkan tubuh Arka menghadapnya."Aku hanya tidak ingin tinggal bersama orang yang bukan bagian dari keluargaku, karena hal itu akan menimbulkan fitnah," lanjutnya, membuat Arka seketika terdiam. Sebenarnya apa yang dikatakan Kinara ada benarnya juga. Dirinya merupakan orang luar yang tidak seharusnya memaksa Kinara untuk tinggal satu atap bersamanya, meski niatnya baik, untuk melindungi Kinara dan buah hatinya, yang telah dia anggap seperti anaknya sendiri."Makanya, cepatlah menikah denganku! Agar aku bisa melindungimu dari bahaya apa pun di luar sana!" ucap Arka dengan lantang, dirinya benar-benar tidak bisa menunggu lagi, dia takut jika Kinara akan kembali mengingkari janji untuk menunggunya selama empat bulan, Arka benar-benar takut jika hal serupa terulang kembali, ketika Kinara meninggalkannya untuk menikahi pria pilihan ibunya."Arka, tunggu aku empat bulan lagi, aku janji, saat waktu itu telah tiba, aku akan berse
Arka terbelalak, namun Kinara segera menggeleng dengan cepat."Ti-tidak, bukan begitu, aku hanya tidak ingin terjadi apapun denganmu," dalihnya, Kinara tidak ingin jika Arka mengetahui hati nuraninya yang masih merasa iba jika melihat sang mantan suami terkapar lemas di atas lantai.Arka menghempaskan kuat kera kemeja Bayu. Tubuhnya dituntun menjauh oleh Kinara dengan nafas yang masih memburu. Tatapan matanya tidak bisa membohongi Bayu, seolah tengah mengancam nyawa yang masih terkapar di lantai dengan darah yang masih mengucur deras.Bukan tidak mampu untuk melawan, tapi tubuhnya seketika lemas hanya dengan mendengar suara Kinara yang memanggil Arka dengan sebutan sayang. Bahkan lidahnya pun terasa keluh, ingin rasanya berteriak, namun hal itu tak mampu dia lakukan. Hanya suara isakan tangis yang terdengar lirih keluar dari mulutnya."Apa kamu masih merasa kasihan dengan orang itu?" tanya Arka lirih, namun Kinara mengetahui emosi yang mulai kembali tersulut hanya dari ucapannya yang
Arka tersenyum puas melihat Kinara yang dengan begitu tegasnya melarang Bayu untuk datang lagi ke kediamannya dari kejauhan.Kinara menghampiri Arka yang terlihat telah menyambut dirinya dengan senyum penuh kemenangan.Kinara dan Arka memperhatikan Bayu dari kejauhan, yang tengah bersusah payah untuk segera berdiri dan meninggalkan toko Kinara. Bayu nampak terdiam mematung untuk sesaat, menatap lekat tempat yang tidak bisa dia datangi lagi sesuka hati. Menghembuskan nafas berat sebelum benar-benar pergi menghilang dari sana."Apa kamu menyesal?" lirih Arka ketika menyadari Kinara yang masih tidak berpaling memandangi punggung Bayu yang semakin menjauh hingga menghilang dari pandangan mata."Tidak, tidak akan pernah," tegas Kinara. Dirinya hanya bermaksud untuk membuat semua luka yang Bayu ciptakan di masa lalu ikut menghilang ketika melihat Bayu semakin menjauh darinya."Baguslah, aku merasa puas dengan ketegasanmu." Arka menepuk pelan lengan Kinara yang masih termenung di sampingnya.
"Iya, memang benar," ucap Kinara yang akhirnya merasa tenang, memperhatikan sang Bodyguard yang sedang bermain dengan buah hatinya."Astaga! Aku hampir lupa untuk memesan makanan delivery untuk sarapan," ucap Arka dengan menepuk jidatnya. Dirinya segera berlari ke dalam toko untuk mengambil ponselnya. Hal itu membuat Kinara memperhatikan tingkahnya dengan mengerinyitkan dahi.***Sementara itu, Intan terlihat termenung di tepi jembatan, matanya menatap sungai yang tengah mengalir, tatapan matanya seakan menembus dalamnya air sungai di bawah sana, memikirkan semua kebenaran yang baru saja diterima oleh telinganya. Hal itu membuatnya memikirkan bagaimana cara Kinara melakukan semua itu padanya. Padahal dari luar, Kinara nampak seperti perempuan bodoh yang bahkan tidak sebanding dengannya, lantas bagaimana cara dia mematangkan rencananya hingga tak menimbulkan rasa curiga darinya sama sekali. Intan mulai mengingat bagaimana hancurnya kehidupan setelah Kinara melancarkan aksinya. Tanganny
Tawa itu seketika menghilang, menyisakan kesunyian yang begitu mencekam. Raut wajah panik menyoroti seorang pria yang tengah terdiam, masih duduk di atas tempat tidur pasiennya. Sorot mata tajam itu terasa begitu mengiris, menatap lekat lantai rumah sakit yang berada di bawah tubuhnya."Sayang, ikutlah denganku besok, aku hanya ingin Nathan melihat wajah Ayah kandungnya untuk yang terakhir kali. Tidak ada maksud lain," ucap Kinara. Dirinya berusaha meyakinkan sang Suami yang masih meragukan kesetiaannya.Arka seketika mendongak. Menatap Kinara dengan wajah tak percaya. Mulut itu terasa kaku untuk sesaat, sampai akhirnya memutuskan sesuatu yang tidak dipercayai oleh semua orang. "Baiklah, besok kita pergi ke sana."Saking tidak percayanya, kedua Pengawal dan Risa saling bertukar pandang. Dengan tatapan penuh kebingungan.***Keesokan harinya. Setelah keluar dari rumah sakit. Arka dan Kinara segera berangkat menuju rumah sakit jiwa yang sebelumnya merawat Bayu. Mereka meninggalkan buah
Kinara berharap cemas, ketika mendengar suara langkah kaki beriringan yang semakin mendekati ruangannya. Tubuhnya terasa kaku untuk sekedar berdiri meminta pertolongan. Jahitan di bawah perut masih terasa begitu nyeri hingga menusuk tulang."Mbak Risa, tolong segera panggil Dokter. Arka pingsan," ucapnya dengan suara serak ketika mendapati seorang wanita yang ia kenal baru memasuki ruangan. Nampak seorang wanita cantik yang tengah menggendong anak laki-laki berusia dua tahun. Dua pria bertubuh besar di belakangnya pun ikut panik. Mereka berlari keluar ruangan untuk mencari bantuan dari tenaga medis yang bertugas di sana.Selang beberapa menit, ketiga orang itu kembali dengan seorang Dokter pria yang tengah mengekor di belakang mereka."Tolong bantu baringkan Pasien di tempat tidur, untuk memudahkan saya dalam memeriksa," ujar sang Dokter dengan nada panik.Kedua Pengawal Arka segera membaringkan tubuh atasannya di atas tempat tidur rumah sakit di samping Kinara. Setelahnya mereka berd
Arka membelalak. Risa tidak tahu bagaimana perasaan atasannya saat ini. Dengan kekhawatiran bercampur rasa takut yang amat sangat, bagaimana mungkin dirinya akan pulang meninggalkan sang Istri dan buah hatinya untuk sekedar beristirahat di rumah."Apa ada masalah, Pak?" tanya Risa khawatir saat melihat raut kebingungan dari wajah atasannya."Bisakah kamu menutup mulut? Lebih baik kamu pergi jemput Nathan dan bawa kemari," ucap Arka seraya memegangi kepalanya.Pria tampan dengan kemeja putih yang terlihat lusuh kini melangkah pasti menuju salah satu ruangan rawat di rumah sakit itu.Risa masih membeku di tempat, menatap iba pada punggung lebar sang atasan yang semakin menghilang dari pandangan matanya. Sorot mata penat terlihat begitu jelas dari sana.Wanita yang kini telah mendapatkan kembali kesadarannya, terlentang di atas ranjang rumah sakit dengan membuang muka ketika sang Suami datang menghampiri. Rasa sesak masih terasa memenuhi dada. Setelah pernikahan pertamanya yang kandas ak
Tatapan sendu bercampur dengan kekhawatiran yang terpancar dari wajah lelah itu, membuat Dokter sedikit merasa iba, hingga mengizinkan Arka untuk menemani sang istri yang tengah berjuang antara hidup dan mati ketika berusaha melahirkan buah hati mereka di meja operasi.Dengan pakaian serba hijau dan jaring penutup kepala, Arka berdiri di samping meja operasi. Menatap nanar wajah yang kini tengah terpejam erat. Emosi yang baru saja meledak-ledak mengakibatkan tekanan darah meningkat hingga terjadi eklamsia pada Kinara. Kondisi darurat di mana ibu hamil kehilangan kesadaran hingga mengalami kejang.Memori Arka seketika berputar mundur, mengingat penjelasan sang Dokter mengenai kondisi kesehatan sang Istri yang kini terbaring lemah di meja operasi. Eklamsia bisa membahayakan nyawa ibu dan bayi dalam waktu bersamaan.Arka berlutut menghadap kepala sang Istri, memegangi tangan Kinara yang tengah terlentang dengan erat."Kinara, bangunlah." Satu kalimat itu berulang kali ia ucapkan dengan l
"Tidak! Lepaskan aku! Aku membencimu!" Kinara berteriak kencang seraya memberontak. Ia tidak bisa mengendalikan diri akibat emosi yang membara dalam hati. Rasa nyeri akibat luka lama yang kembali terbuka mengalahkan rasa sakit pada kontraksi pertamanya. Masih terlintas jelas memori otaknya ketika mendapati Arka bermain api di belakang."Aku tidak akan melepaskanmu. Setelah ini aku janji akan menyelesaikan kesalah pahamanmu padaku."Meski kualahan dengan sang Istri yang terus meminta turun dari gendongannya, Arka tidak menyerah, kaki jenjangnya melangkah cepat menuju mobil yang terparkir di halaman perusahaan miliknya. Dengan nafas menderu, ia merasa acuh tak acuh pada beberapa karyawan yang menatapnya terheran-heran.Salah satu sorot mata, nampaknya mampu menerka hal yang begitu membuat sang atasan merasa panik. Hingga ia memutuskan untuk mengekor dengan langkah cepat dari belakang."Pak Arka, apakah Mbak Kinara akan melahirkan?" Terdengar suara panik dari seorang wanita yang dengan c
Drrttt ... Drrttt ....Suara getaran ponsel menghentikan aktivitas mereka. Arka dengan cepat menyambar ponsel yang tengah bergetar di atas meja kerjanya."Pak, Anda harus cepat pergi ke kantor, ada salah satu Klien yang meminta Anda untuk membahas masalah saham perusahaan secepatnya." Terdengar suara panik dari seorang pria dari seberang telepon.Arka dan Kinara terlihat saling bertukar pandang untuk sesaat."Baiklah, saya akan segera pergi ke sana," jawab Arka dengan perasaan gusar sebelum menutup sambungan telepon."Ada apa, Sayang?""Belakangan ini saham perusahaan tiba-tiba turun secara misterius. Banyak Investor yang meminta penjelasan. Aku harus segera pergi," jelas Arka dengan raut wajah panik. Pria itu dengan cepat bangkit dan menyambar kasar jas hitam yang tergantung di senderan meja kerjanya."Tapi kamu bahkan belum beristirahat semenit pun." Kinara menatap khawatir pada tubuh pria yang terlihat panik di depannya.Arka perlahan mendekatkan tubuhnya. Kedua tangannya memegangi
Kinara hanya tertawa kecil. Meski sang suami bersikap seperti itu, dirinya tetap merasa bersalah karena menambah beban pekerjaan untuk suaminya. "Apa kamu lelah? Setelah membersihkan kekacauan ini aku akan memijat punggungmu sebentar.""Tidak! Lebih baik sekarang kamu istirahat. Biarkan Pelayan saja yang melakukan pekerjaan ini."Wajah wanita itu seketika berubah setelah persekian detik. Sorot mata tajam ia layangkan pada suaminya, karena salah menangkap maksud ucapan dari Arka. "Jadi maksudmu, lebih baik Pelayan saja yang memijat punggungmu? Lalu untuk apa menikahiku jika semua bisa dikerjakan oleh Pelayan?"Arka terdiam sejenak sembari mencerna ucapan ketus dari sang istri yang tidak bisa ia tangkap dengan baik. Sikap Kinara terlalu sensitif semenjak kehamilannya. Menjadikannya sering kali berseteru dengan sang suami hanya karena salah menangkap maksud ucapan lawan bicaranya. "Memangnya aku ada salah bicara?""Huh! Sudahlah, aku tidak ingin berbicara denganmu hari ini," ketus Kinara
"Kenapa diam? Ayo tertawa lagi!" ucap Arka lantang dengan gestur menantang.Dua pria berbadan kekar itu seketika terdiam membisu. Tak ada sedikit pun keberanian untuk menampik ucapan sang atasan."Se-sebenarnya, Tuan, kami tidak memiliki saran apa pun untuk hal ini." ucap Tono dengan tubuh yang sedikit bergetar."Apa maksudmu?" Sorot mata tajam nan mengintimidasi mulai dilayangkan pada kedua pria di depannya."Begini, Tuan. Seorang Ibu hamil yang menginginkan sesuatu cenderung tidak bisa dibantah. Jika itu nekat dilakukan, hal itu akan menjadi bumerang bagi diri Anda sendiri."Sorot mata tajam itu kini berfokus menatap arah lain. Otaknya mencoba berpikir keras. Menerjemahkan bahasa yang sedikit tidak ia mengerti."Singkatnya begin, Tuan. Jika Anda menentang keinginan Nyonya, bisa saja Nyonya pergi dari rumah meninggalkan Anda. Karena perasaan hati Ibu hamil cenderung lebih sensitif," jelas Toni ketika berhasil mengumpulkan keberanian beberapa detik yang lalu.Arka membelalak, "Hah? Se
Setelah melakukan ritualnya hingga dua kali di dalam kamar mandi, akhirnya sepasang kaki itu berjalan keluar mendekati sang Istri yang terlihat meringkuk di balik selimut.Air hangat masih terlihat mengucur melalui kaki jenjangnya. Handuk putih masih melilit tubuh bagian bawahnya. Namun lagi-lagi sang Istri merasa enggan untuk didekati."Sayang, bisakah kamu tidur di kamar lain untuk malam ini? Aku benar-benar tidak tahan dengan aroma tubuhmu."Belum juga kedua kaki itu menaiki ranjang. Aktivitas itu sudah dihentikan oleh penolakan sang Istri yang meminta Arka untuk tidur di tempat lain."Astaga, Sayang. Aku sudah mandi, bahkan ini sudah yang ke dua kali loh! Kamu mau aku bagaimana lagi?" pekik Arka frustasi. Kedua tangannya mengacak rambutnya kasar."Sayang, maafkan aku. Tapi sepertinya Anak kamu tidak menyukai aroma tubuh Papanya."Duar!Kalimat itu seolah membuat Arka bagaikan disambar petir di siang bolong. Matanya membelalak, ada perasaan tak percaya dengan apa yang baru saja mem