Virzash berjalan dengan langkah-langkah cepat, diiringi tatapan para krona yang hampir semuanya tampak khawatir. Wajahnya memerah.
Ada apa ini?
“Seaneh itukah Bakat Ganda?” Venus langsung bertanya begitu Virzash tiba di kursinya.
Virzash menggaruk telinganya sembari bertopang di atas meja. Wajahnya agak menunduk, menghindari tatapan anak-anak lain; junior maupun senior.
“Ini Bakat langka,” katanya pelan. “Kurasa aku mendapatkan warisan Bakat ini dari nenekku yang ketiga.”
“Hah? Bagaimana?” sambar Venus tak mengerti. “Nenek ketiga bagaimana?”
“Neneknya nenek nenekku,” jawab Virzash membingungkan.
Rupanya dia melihat ekspresi Venus yang kosong, sebab ia lantas menjelaskan, “Nenekku punya nenek. Nah, neneknya nenekku ini punya nenek lagi. Nenek itulah yang kumaksud.”
Shad berdecak kesal.
“Itu tidak penting, tahu?!” Shad menukas serius. “Yang terpenting adalah, kau jadi seperti kami!”
“Jadi tidak normal, maksudmu?” kata Virzash datar. Shad cengar-cengir lagi.
Sesi Pemilihan Bakat berlanjut dengan agak-agak tegang. Venus memperhatikan, banyak raut-raut wajah tampak lega saat yang terpanggil ternyata hanya memiliki Bakat biasa.
“Jadi, apa masalahnya?” Venus kembali menanyakan topik semula.
Ris memandang Venus dengan serius.
“Tiga belas tahun yang lalu ada kelompok yang menamakan dirinya Voltura,” ia menjelaskan. “Hampir semua volt ber-Bakat istimewa di negeri ini direkrut oleh mereka. Bahkan yang paling parah, seluruh murid ber-Bakat istimewa yang belum lulus dari sini diam-diam ikut bergabung, dan beberapa di antaranya membuat kekacauan dengan melukai murid lain secara acak. Hal itu membuat citra Volta Juana jadi agak menakutkan. Kemudian, sekitar delapan tahun yang lalu, sebuah pasukan keamanan bernama Voltum berhasil mengalahkan pemimpin Voltura yang memiliki Bakat Rahasia, dan menangkap hampir sebagian anggotanya. Kurasa, itulah yang membuat semua orang di sini jadi waswas dan agak waspada dengan murid yang ber-Bakat tak biasa. Takut kalau-kalau kejadian yang lampau terulang lagi.”
“Tapi, kelompok Voltura sudah tidak ada lagi, kan?” Venus berkata skeptis. “Lalu, kenapa mereka masih bersikap begini? Dan, demi apapun yang ada di sini, masa ada volt yang memiliki Bakat Rahasia?!”
“Volt ber-Bakat Rahasia memang ada, dan itu satu di antara sejuta!” Lou mendengus. “Lagipula, kejadian traumatis ini bukannya gara-gara Voltura atau pemimpinnya saja, tahu?”
Ris mengangguk muram. Matanya menatap seorang cowok berbadan gempal yang baru naik ke atas podium.
“Banyak sekali catatan kejahatan berat yang sebagian besar pelakunya adalah volt istimewa,” ujar Ris melanjutkan. “Sudah sejak dahulu, bahkan sebelum kelompok Voltura muncul. Meskipun aku jadi merasa tidak adil, tetapi aku bisa mengerti kenapa negeri ini jadi waspada dengan keberadaan volt-volt tidak biasa ini.”
Giliran Venus yang mendengus.
“Yang benar saja,” ucapnya sebal. “Terus yang kejahatan berat yang sebagian kecil lainnya dilakukan oleh volt biasa itu bagaimana?”
“Itu artinya bukan prioritas, Dik,” ujar Lou dengan sinis. “Secara, cuma pelaku minor begitu.”
“Lagipula,” Ris menukas lebih jauh, “para anggota Voltura cuma tertangkap sebagian, kataku. Yang berarti, sebagian lain berhasil kabur entah kemana. Desas-desus mengatakan mereka berhasil memasuki Bumi Pertama, dan anggota Voltum mengejar serta menumpasnya. Namun, tak ada yang benar-benar percaya bahwa mantan anggota Voltura sudah dilumpuhkan semua. Khususnya si pemimpin Voltura. Volt ber-Bakat Rahasia seperti dia sangat sulit untuk dikalahkan.”
“Kenapa?” Venus bertanya heran.
Ris menjawab dengan lebih muram, “Bizura, begitu kami menyebut volt ber-Bakat Rahasia, mampu menguasai semua Bakat. Namun, ada satu Bakat yang benar-benar mendominasi, dan itu jadi kelemahannya. Tidak ada orang lain yang bisa tahu apa Bakat Dominan tersebut, bahkan terkadang si pemilik pun tidak. Itu semua membuat Bizura jadi lebih berbahaya dari volt-volt aneh lainnya. Kita tidak akan bisa mengalahkan seorang Bizura jika kita tidak tahu apa kelemahannya.”
“Bagaimana kalau si anggota Voltum ini menyerang secara acak?” Venus berujar. “Dari antara sepuluh Bakat, salah satunya pasti akan bereaksi!”
Lou mendengus dan memutar bola mata. “Bukan begitu cara kerjanya, Dik. Kau harus tahu terlebih dahulu apa Bakat Dominan-nya, lalu kau mesti mencari lagi titik kelemahan pada Bakatnya yang satu itu. Dan, meski kau sudah tahu keduanya, bukan hal yang mudah untuk menangkap seorang Bizura begitu saja. Butuh kesepuluh jenis volt dengan jumlah banyak agar bisa membunuhnya.”
“Kecuali kau punya sekutu seorang Bizura juga,” timpal Shad sambil mengangkat bahu. “Setidaknya, itu kata seorang Bizura lain yang hidup beberapa ratus tahun silam pada dunia.”
“Ya,” Riss ikut menyahut. “Masalahnya, Bizura bukan jenis volt yang mudah kau temukan.”
Venus diam-diam merasa ngeri. Kalau benar si pemimpin Voltura itu masih berkeliaran dengan bebas, bisa gawat. Bagaimana jika mereka membangun kembali kelompok Voltura itu? Aduh, memikirkannya pun jangan!
“Venus Samudera!”
Venus terlonjak begitu keras sampai menyenggol pundak Virzash. Virzash cuma menatap gadis itu dengan geli.
“B-Bagaimana mereka bisa tahu identitasku?” Venus bergumam sendiri seperti orang demam.
“Identitasmu pasti sudah terdaftar, 'kan?” kata Lou sambil menatap Venus dengan aneh.
“Mana mungkin?!” Venus menyanggah keras. “Ayah meninggalkanku, dan kata ayah angkatku, ibu kandungku meninggal karena kecelakaan kapal.”
“Kakek-nenek?” Shad menduga.
“Kata ayah angkatku, mereka meninggal jauh sebelum aku lahir,” sahut Venus keras kepala, merasa marah harus mengingat sosok Bima lagi.
“VENUS SAMUDERA!”
Kali ini Shad bahkan ikut terlonjak. Virzash mendorong punggung Venus agar ia cepat-cepat ke depan sebelum siapapun menyeretnya secara paksa. Venus mengepalkan tangan dan berharap semoga Bakat-nya biasa saja. Sudah cukup ia memaksa diri ikut-ikutan berteman dengan kumpulan volt ber-Bakat aneh, dan berujung tidak disukai banyak murid lain, tanpa harus menanggung anugerah Bakat aneh itu sendiri.
Venus berdiri di tengah podium dan menunggu dengan senewen. Naas, pikirannya semakin tak keruan saat semenit berlalu tanpa kejadian apa-apa. Bisik-bisik kembali merebak, dan Venus tak kalah khawatirnya dengan mereka. Venus menggigit pipi bagian dalamnya. Jangan bilang kalau Bakat-nya juga Ganda, atau yang lebih parah, tak punya Bakat sama sekali?!
Tentu saja, semuanya tidak benar.
Air dalam bejana kaca mulai berkecipak dan melayang, kemudian berhenti di ketinggian satu meter di depan Venus. Helaan napas lega terdengar keluar dari bibir Venus dan ruangan besar itu. Bu Mana tersenyum lebar dan juga tampak lega. Venus hampir membalasnya saat ia melihat api pada lilin di bawah terlihat goyah, kemudian terangkat. Gagak di samping api itu berkaok-kaok keras, tapi tetap bertahan di tempatnya. Mata Venus melebar, dan perasaannya kehilangan kendali. Tubuhnya diam membeku, dan sensasi dingin yang menakutkan merayapi punggungnya. Api itu berhenti di samping sepercik air yang masih melayang di hadapan Venus.
Tiba-tiba, seakan mendapat perintah, benda-benda yang lain mulai mengikuti teladan sang Api. Batu, logam listrik, toples kosong tanpa tutup, tanaman dalam pot, balok es, besi, dan segenggam tanah bergerak serempak menyejajarkan diri di kiri-kanan api dan air. Kemudian, kesembilan benda ini mengangkat diri lebih tinggi dan bergerak membentuk bingkai bulat di hadapan Venus. Yang paling bawah adalah tanah, sejajar dengan lututnya. Dan yang teratas, adalah toples kosong yang melayang-layang ganjil di atas garis kepala Venus. Seakan itu belum berakhir, gagak di bawah yang tadi sempat berkaok, terbang mengelilingi tubuh Venus. Gagak itu terus berkitar sambil berkaok mengerikan.
Tanpa penjelasan Ris yang baik pun, Venus tahu ini sudah kelewatan. Ia datang ke Bumi Kedua hanya untuk menjadi sasaran ketakutan dan kebencian banyak orang.
Venus dilahirkan hanya untuk menjadi Bizura nan menyebalkan.
Berengsek.
Venus harap ia tinggal di Portal Gelap saja untuk selamanya.
Venus ingat saat ia turun dari podium, setelah Bu Mana mengumumkan dengan gemetar bahwa ia adalah seorang Bizura, seluruh yang ada di ruangan besar itu menjadi sangat hening. Pandangan para murid lain sungguh membuat gadis itu menggigil. Mereka menatapnya dengan sorot mata seakan dia adalah malaikat pencabut nyawa berwujud kalajengking raksasa. Ada ketakutan dan kekhawatiran yang begitu besar dalam tatapan mereka, tetapi yang paling membuat Venus takut adalah sorot kebencian yang tidak dikemukakan secara jelas oleh mereka. Kebencian itu tertutup oleh rasa takut, tetapi kau bisa merasakannya dengan jelas di udara.Venus berjalan dengan langkah-langkah yang ia usahakan agar tetap tenang. Namun, udara seperti memaksanya untuk berhenti dan bersembunyi. Tatapan ratusan siswa dan belasan krona di ruangan itu menghunjam punggung dan seluruh tubuhnya. Rasa dingin yang menakutkan menyebar hingga ke dalam tulang-tulangnya. Rasanya butuh bertahun-tahun kemudian, sebelum akhirnya Venus t
Krona itu menjelaskan, hanya murid-murid yang menghuni asrama terkait yang bisa memasukinya. Sebab, murid terkait harus memindai matanya sebelum masuk. Saat itu Venus bertanya, bagaimana bisa Volta Juana bisa memindai mata seorang murid baru dan asing seperti dirinya, sementara mereka baru datang hari ini di sini? Pak Saka menjawabnya dengan mengatakan bahwa data dan identitas mereka sudah didaftarkan sejak mereka masih bayi, termasuk sidik jari dan identitas mata seperti ini.“Mungkin ayahmu sempat mengurus segalanya setelah kau lahir,” gumam Virzash pada Venus yang kebingungan.Pemikiran bahwa ayahnya masih memiliki setitik kepedulian, bahkan hanya untuk mengurus keperluan sesepele sekolah di dimensi lain, sungguh membuat Venus merasa setidak-tidaknya berharap.Perlu beberapa saat sebelum tiba giliran Venus untuk memindai matanya. Pemindai mata itu berada di tembok samping pintu, dan meskipun pintu sudah terbuka sejak murid pertama memindai matanya
Rasanya Venus baru saja bermimpi tentang dirinya yang sedang berduel dengan seekor belalang raksasa, ketika suara alarm yang sangat melengking menyentaknya, hingga ia bangun dan terduduk tiba-tiba. Gara-gara itu pandangannya jadi agak berkunang-kunang. Venus mengerang dan berbaring lagi selama beberapa detik. Diraihnya tablet di atas nakas. Hari masih menunjukkan pukul 6 pagi, dan ada sebuah pesan masuk di gawai itu dengan bunyi berdenting keras satu kali. Gadis itu membuka pesannya dengan tangan masih memeluk guling. Pesan itu berisi jadwal pelajaran untuk siswa baru kelas satu. Venus berkedip-kedip membaca jadwal pada hari ini.Venus mengeluh. Ia mencoba tidur lagi, tetapi semenit kemudian suara alarm kembali menyentak telinganya.“Duh, Gusti!”Ia duduk dan menatap langit-langit kamarnya, berharap bisa menemukan mata-mata teknologi yang sedang mengawasinya. Sambil mengucek matanya, Venus mencoba menanyakan hal itu pada gawainya. Ia tak mengira bend
“Jadi, apakah ada yang tahu apa batasan dalam menggunakan Bakat?”Saat ini, Venus dan seluruh murid kelas satu sedang berbaris di tengah-tengah sebuah lapangan tertutup. Dinding-dinding hitam yang mengelilingi tanah lapang itu tampak berdiri angkuh, seakan ingin menghalangi siapapun yang ingin masuk ke lapangan itu tanpa izin. Mereka berada di sana dalam rangka praktik pelajaran Pengembangan Bakat, tepat setelah jam istirahat selesai.Pak Zub, krona pelatih berwajah tegas yang barusan bicara, memandang wajah-wajah di depannya dengan tajam. Venus menoleh pada Virzash dan menatapnya.“Apa?” bisik Virzash, merasa terganggu.“Kau tahu jawabannya?” selidik Venus.“Kau tidak pernah membuka tabletmu?”Venus memutar bola mata.“Kau berkata seakan kau sudah tahu,” gumam Venus sebal. “Kenapa tidak menjawab pertanyaan dari Pak Zub, kalau begitu?”Wajah Virzash memerah
Kesepuluh Pelatih Sementara berseru-seru kepada kelompoknya masing-masing, menggiring mereka untuk keluar dari lapangan tertutup tersebut. Ekspresi murid-murid baru terlihat panik dan agak takut, tetapi para pelatih menyarankan untuk tetap tenang agar tidak mengacaukan suasana. Meski begitu, kaki mereka melangkah lebih cepat daripada sekadar berjalan saja.Venus menoleh pada Virzash, merasa bingung harus bagaimana. Pak Zub saat itu sedang menengadahkan kepala, matanya seperti mencari-cari sesuatu. Krona beruban itu sama sekali tidak menghiraukan Venus dan Virzash.“Kita pergi sendiri atau bagaimana?” bisik Venus tegang, meski gadis itu tak tahu apa tepatnya yang membuat ia tegang.Virzash menatap separuh anak-anak lain yang sudah setengah jalan menuju pintu keluar.“Kita susul mereka sajalah,” Virzash memutuskan, matanya mengerling Pak Zub. “Krona pelatih ini sepertinya bahkan tidak akan sadar kalau kita hilang. Yuk!”
Sekali lagi, Venus terbangun di kegelapan. Tubuhnya begitu lemah. Membuka mata pun terasa seperti sebuah pekerjaan yang melelahkan.Kemudian, ia ingat dengan apa yang telah terjadi.Gadis itu mengeluh. Ia memijit dahinya yang masih bekernyut nyeri. Tangan Venus meraba perutnya, merasakan sakit yang kini sudah tidak ada lagi. Jantungnya tak lagi terasa nyeri. Ia bisa bernapas sebaik manusia sehat manapun.Venus mencoba membuka mata lagi, berpikir dengan sadar bahwa membuka mata atau tidak, pemandangan yang tersedia tetap tidak akan berubah.Yang ada hanya kegelapan.“Tuhan, aku di mana?” bisik Venus merana.Kenangan tentang Portal Gelap membuatnya panik. Jika dulu portal itu menariknya masuk ke Bumi Kedua, bagaimana jika portal yang ini menariknya keluar dan kembali ke Bumi Pertama? Kembali kepada keluarga angkatnya?Atau, jangan-jangan Venus sebenarnya sudah mati? Apakah kematian seorang volt selalu begini? Terdampar di ke
Bayang-bayang terpelesat ke sana kemari. Wujud mereka seperti malaikat kematian yang enggan meninggalkan makhluk bernapas hidup-hidup. Suaranya bagai angin yang berdesau, seirama dengan gerakan tak bertubuh citra tersebut.Siluet seorang pria dan seorang wanita tampak berdiri di tengah-tengah kepungan itu, berdiri dan saling berhadapan, seakan tak ada yang lebih penting daripada itu. Gerak bibir mereka seperti sedang berbicara.Citra kelabu itu perlahan memudar menjadi kabut yang mengaburkan penglihatan. Suara tawa tiba-tiba menggelegar, menciptakan gema yang menggiriskan hati, seakan ia keluar dari palung kematian.Bintik-bintik gelap dengan cepat menyebar, menutup sepetak kelabu yang tersisa. Namun, gema tawa itu masih ada. Menggoncang jiwa. Seandainya mungkin, orang mati pun niscaya terbangun kembali, lalu kembali mati berkubang ketakutan.Saat tawa itu berhenti, sebuah kesadaran tampak menunjukkan keberadaannya. Kesadaran itu menggigil seakan tengah b
Dalam tiga puluh menit selanjutnya, mereka membicarakan aksi heroik Venus yang dijuluki Sang Bizura Yang Payah oleh teman-temannya. Sementara Venus sendiri sibuk makan seraya mengomeli semangkuk muntahan nasi abon yang ia pegang.“Dari mana kau yakin kalau kau bakal bisa mengeluarkan Bakat sebesar itu?” satu saat Virzash bertanya penasaran.“Nah, betul juga,” Shad mengiyakan. “Bagaimana kalau perhitunganmu ternyata salah, Ven?”Venus memutar-mutar bola mata dan mengetuk-ngetuk pinggiran mangkuknya.“Maaf sudah mengecewakan kalian, tapi aku tidak merasa sudah menghitung apapun saat itu!” ucapnya ketus. “Pak Zub bakal diserang oleh segerombol kepala setan terbang, dan kalian malah mempertanyakan bagaimana caraku bisa berpikir?! Aku nggak berpikir!”“Pantas kau mati,” cetus Lou tiba-tiba.Ketukan Venus pada mangkuknya berhenti kira-kira sepersekian detik. Kata-kata Lou meng
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting
Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs
Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu
Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet