Laura mengangguk. Dia segera menghubungi Mella. [Halo, Ra. Lo kemana aja? Kenapa ngilang kemarin? Gue udah di Jakarta. Besok gue ke sana.]
"Mell,” ujar Laura pelan.
[Lo kenapa, Ra? Lo abis nangis? Kenapa?]
Laura hanya menggeleng. Dia tak sanggup menceritakannya. Air mata Laura meleleh. Sandra segera mengambil alih ponsel Laura dan menjelaskan secara singkat pada Mella. Sandra juga tidak terlalu paham dengan masalah Laura. Yang dia tahu hanya Davi kecelakaan dan Gavin membawa Davi pergi.
[Mbak, bilang ke Laura kalo sekarang aku sama Leon bakal langsung ke Bandung.]
***
"I'm okay, Mell,” ujar Laura malas. Entah sudah berapa kali Mella bertanya tentang keadaannya. Laura sampai bosan sendiri menjawabnya.
Mella menghembuskan nafasnya panjang. "Kalo lo okay kayak yang lo bilang, lo nggak bakal murung kayak gini, Ra. Liat tu di luar, Anton khawatir dari kemarin
"Oh sorry, man,” ujar Richard. "Babe, look at this!" Richard memberikan ponsel Gavin pada Chloe. "She is so beautiful. Isn't she?"Davi tersenyum senang. "Ya, Bundais so beautiful.”Chloe mengangguk setuju. "Ya,Babe. Pantas Gavin tak pernah melirik Meghan. Laura terlihat polos dan manis.”Richard kembali mengambil ponsel Gavin dan melihat foto-foto Laura. Chloe bukannya marah malah tersenyum maklum. Gavin tidak suka melihat tatapan kagum Richard pada Laura, walau hanya sebatas fotonya.Gavin mengambil paksa ponselnya dan memasukkannya ke saku. "Chloe,save your boyfriend well!” desis Gavin dengan tetap menatap tajam Richard.***Mella mengantarkan Laura menujuflorist. Sudah dua minggu sejak Gavin membawa Davi pergi, Mella tetap memperlakukannya dengan tak biasa. Sebenarnya Laura sudah menolak, tapi MellaisMella.
Meghan tertawa hambar. [I'm okay,Ric.] Mereka diam. Tak ada yang berbicara. Meghan terdengar menghembuskan nafasnya panjang. [Ya... I'm sorrowful. But what can i do? WhatAkashwant isLaura.] ujar Meghan lirih.Richard dapat merasakan perasaan sahabat kecilnya itu. "You're a strong woman.”Meghan tersenyum di seberang sana. [Thanks,Ric] ujar Meghan dengan nada sok kuat. [Sudah ya, Ric. Aku ingin pergi.] ujar Meghan dengan mematikan ponselnya.Richard menyimpan ponselnya. Dia kembali memandang langit London yang terlihat indah. Richard menolehkan kepalanya saat merasa pintu balkon kembali terbuka.Gavin berdiri di sana dengan kikuk. "Ikut aku beli cincin.”***"Apa mending kita nyusulin Kak Gavin aja ke London?” tanya Mella.Laura menggeleng. Dia sudah tak ingin berharap lagi. Toh kata Gavin dia akan sesekali menemui Laura di si
Pelan-pelan Laura mengobati luka Gavin. Sesekali Gavin meringis merasa perih. Tapi dia senang Laura seperhatian ini dengannya. "Aku udah empat kali bonyok gara-gara kamu,” ujar Gavin.Laura menatap Gavin kaget. "Empat kali?"Gavin mengangguk. "Dulu sama ayahmu, dua kali sama Leon dan temenku di London.”"Papa?” tanya Laura bingung."Ya, aku pernah ke sana dan papamu menghajarku abis-abisan.” Gavin dapat melihat perubahan wajah Laura. Laura terlihat sedih.Gavin menggenggam tangan Laura erat. "Maaf, aku nggak bermaksud ngingetin kamu tentang orang tuamu.”Laura mencoba tersenyum. "Aku nggak papa kok.”"Ra,” panggil Gavin dengan nada serius. "Aku mungkin nggak bisa ngubah masa lalumu, tapi boleh aku dampingi kamu di masa depan?"***Laura menarik tangannya pelan. "Aku... Aku nggak tau, Kak.” Dia menunduk, tak berani menatap Gavin.Gavin menarik dagu Laura agar menatapn
"Kau memang pantas menjadi ibu. Kau terlalu lembut,” komentar Richard."Oh ayolah, Akash. Jangan terlalu kaku. Aku tak akan merebut Laura. Aku sudah memiliki Chloe,” ujar Richard dengan mengecup pipi Chloe cepat."Betul itu, Tuan Bucin. Di sini nggak bakal ada yang ngambil Laura. Entah kalau yang di luar sana,” ujar Mella malas."Mell, udah. Nggak selesai-selesai kalo disautin terus,” ujar Laura menengahi.Tok tok tokLaura sekarang yang membuka pintu. Laura dan yang lainnya terkejut saat Laura telah membuka pintu. Laura mencoba tersenyum walau terlihat canggung pada wanita yang ada di hadapannya kini. Laura bingung harus bereaksi seperti apa."Kalian bersenang-senang tanpa ngajak gue?” gerutu wanita itu."Meghan?"***"Meghan?” panggil Chloe dengan bingung."Yes, i am,” ujar Meghan tanpa beban. Sebenarnya dia merasakan ke kecanggungan di sini. Tapi dia t
Dalam hati Laura sangat ingin Gavin menceritakan masa lalunya. Dia ingin tahu kehidupan Gavin selama di London. Apakah Gavin terjebak oleh pergaulan di sana. Apa saja yang sudah dilalui Gavin di sana. Dan masih banyak kata "apa" di kepalanya.Namun Laura sadar, dia hanya sebatas ibu dari anak Gavin. Tidak lebih. Walau sebenarnya Laura ingin lebih. Tapi dia tidak bisa."Sepertinya aku mulai mencintaimu, Ra.”***Laura menatap mobil yang ada di depan rumahnya. Dia sangat mengenal mobil itu. Laura merasa gugup. Dia takut apa yang dipikirkannya terjadi."Siapa, Ra?” tanya Gavin.Laura tersentak. Dia segera menatap Gavin. "Kak Angin. Sepupuku.”Gavin berhenti di pinggir jalan depan rumah Laura. Halaman rumah Laura hanya mampu menampung satu mobil. "Ehm… Kak Gavin nggak perlu ikut turun, ya. Aku aja yang turun.” Laura membenarkan posisi tidur Davi di gendongannya dan membuka pintu mobilnya.Laura berjal
Happy New Year!! Semoga tahun 2022 lebih menyenangkan dibandingkan 2021. Sebenernya aku spontan aja si nulis ini. Ehemm... Dengan ini CrOWN resmi selesai. Kayanya emang nggak adil buat siapa-siapa di ending season 1 ini. Kadang, emang ga semua ending kudu berakhir bersama atau menikah hehe. Tapi, karena aku penganut azas hidup itu adil, jadi aku bakalan nerusin perjalanan hidup Laura. Mungkin nggak panjang atau mungkin bakalan panjang banget. Kalo yang CrOWN ini aku udah nyimpen draft-nya, jadi tinggal post. Kalo yang season 2 ini pure aku nulis dari awal. Jadi, aku nggak bisa memprediksi jumlah bab jadi season 2 ini. Rencananya, aku bakalan bikin sekitar 20 atau 25 bab. Apa aja isinya? Nah untuk isinya, aku bakalan nyeritain sisi-sisi yang belum dibahas di season 1. Aku spill salah satunya ya hehehe. Akan ada sedikit kisah antara Geo-Shanti-Vega. Omong-omong, aku nggak bisa bikin karakter jahat di
Semesta selalu mengetahui keadaan hati tanpa perlu dibisiki. Seperti saat ini, rintik hujan seperti mengisi relung hati seorang wanita yang sedang berlari dari peliknya takdir. Air menetes melewati kaca kereta, mewakili air mata yang tidak bisa menetes dari mata seorang wanita yang kini tengah memandangi jendela kereta itu. Ditahannya setetes air mata itu dengan sekuat tenaga sampai dirinya sadar bahwa dia tidak bisa lagi menahan air dari kelopak matanya. Dengan perlahan, air itu meleleh dari mata kirinya. Cukup, ucapnya dalam hati. Sudah cukup satu air mata itu. Dia tidak ingin menitikkan air matanya dengan percuma. Dia ingin menjadi wanita yang lebih kuat lagi. Bukankah wanita memang terlahir kuat? Ditatapnya anak laki-laki yang tidur berbantalkan pahanya. Dia memaksakan bibirnya untuk melengkungkan sebuah senyuman. Namun la
“Aku Maurin, Mbak. Ayo, aku anter ke pasar.” "Aku Laura. Makasih ya mau direpotin,” ucap Laura. Mereka keluar dari kost Laura dan mencegat becak. Maurin banyak cerita tentang kehidupannya. Ternyata Maurin lebih muda dua tahun darinya, dia baru lulus kuliah dan sekarang bekerja menjadi guru taman kanak-kanak salah satu TK di tengah kota. Selama berbelanja, Laura sesekali mengecek uangnya. Tak sekali-dua kali dia tergiur untuk menggunakan kartu debit milik Gavin yang lupa tak dikembalikannya. Apa dia harus menggunakannya? Apa dia boleh menggunakannnya? Laura menggeleng. Setelah dia pergi dari kehidupan Gavin, tidak pantas rasanya jika dia masih menggunakan kartu debit Gavin. Tapi, Laura benar-benar membutuhkan. Pikiran Laura berkecamuk. Nanti, nanti dia akan mengembalikan uang Gavin setelah hatinya sembuh. Nanti. “Rin, anterin aku ke ATM.” *** Gavin menjalankan mobilnya ke
Suara tepukan tangan terdengar meriah. Tangan Gavin mengelus surai lembut Laura yang tampak terharu. Di depan sana, di atas panggung, Davi berdiri dengan penuh percaya diri karena meraih predikat sebagai lulusan terbaik di taman kanak-kanak. Nama Gavin dipanggil untuk mendampingi Davi di atas panggung. “Kamu aja yang naik ke panggung.” Gavin menepukkan tangannya pada telapak tangan Laura yang menggenggam erat karena terlalu antusias.Laura menoleh. “Kak Gavin aja. Semuanya yang di atas ditemenin ayahnya.”“Aku mau videoin kamu di sini. Kamu aja yang naik.”Laura menatap Gavin dengan wajah terharu. “Terima kasih,” ujar Laura sebelum beranjak dari duduknya dan menghampiri Davi. Sebelum berdiri di belakang Davi, Laura mengecup puncak kepala Davi dan menggumamkan beberapa kata selamat sehingga wajah Davi terlihat lebih berseri.Gavin menatap dua sosok kesayangannya dari kursi wali murid. Dalam bayangannya, Gavin tidak pernah bermimpi berada di fase seperti ini. Jika boleh, Gavin ingin me
Di samping itu semua, Laura sangat terharu dengan interaksi antara Geo dan Gavin. pasangan ayah-anak tersebut beberapa kali melakukan interaksi, meskipun kecanggungan masih terasa di sana. Paling tidak, Laura tidak lagi melihat kebencian di mata Gavin saat menatap Sang Ayah. Laura menjadi saksi bagaimana beberapa hari ini Gavin mencoba berdamai dengan masa lalunya. Sejak perceraian Geo, hubungan suami dan ayah mertuanya itu sedikit membaik. Bahkan, Gavin juga menerima permintaan maaf Vega meskipun dirinya tidak ingin sama sekali berhubungan dengan mantan ibu tirinya itu.***Kembali lagi ke waktu dua hari setelah Laura keluar dari rumah sakit, Laura dan Gavin duduk berdua di depan rumah Laura. Geo, ayah Gavin, baru saja kembali dari rumah Laura sebab ada beberapa hal yang perlu beliau diskusikan bersama Arkan. Di sanalah Laura tahu bahwa antara Geo dan Vega sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan karena secara resmi sudah bercerai.“Kak Gavin…” Laura menjeda ucapannya. Jujur saja, d
Punggung Laura yang tegang kini mulai mengendur. “Jangan hari ini ya, Kak?” pinta Laura pada Gavin.Gavin menganggukkan kepalanya. Tangannya masih belum berhenti untuk mengelus tengkuk Laura. “Hari ini aku cuma mau denger cerita tentang kamu dan Davi yang masih belum aku tau.”Malam itu, Laura dan Gavin habiskan untuk membahas banyak sekali hal. Bukan hanya Laura, Gavin juga menceritakan tentang kesehariannya selama dia bersekolah di luar negeri. Laura merasa sangat antusias mendengar cerita dari Gavin tentang masa kuliah karena dia tidak bisa merasakan masa itu dulu. Jika ditanyakan menyesal atau tidak, Laura tidak menyesal. Baginya, menjadi ibu yang baik untuk Davi sudah membuatnya sangat puas.***Laura dan Gavin menata barang-barangnya di rumah baru mereka. Laura sangat berterima kasih kepada Gavin saat lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan rumah untuk ditinggalinya bertiga. Gavin juga sangat mempertimbangkan lokasinya untuk perkembangan Davi. Gavin memilih lokasi d
“Abis sarapan aku mau ngajak kamu buat nyiapin berkas buat akad, takutnya nanti Davi kecapean kalo ikut kita.” Laura hanya menganggukkan kepalanya paham saat menerima penjelasan Davi. Gavin membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Laura masuk. Laura hanya diam menurut saat Gavin yang biasanya memilih untuk menyetir sendiri mobil saat bersamanya, hari ini menggunakan supir. Begitu mobil melaju, Gavin langsung merebahkan kepalanya ke arah Laura. Tubuhnya juga dia dekatkan hingga menempel penuh dengan Laura. “Kak Gavin jangan gini, ah. Malu.” Laura berbisik pada Gavin karena takut menyinggung supir Gavin. “Aku kangen banget,” ujar Gavin yang semakin menempelkan tubuh mereka. *** Laura dan Gavin sudah menyelesaikan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk menikah pada empat hari mendatang. Tentu saja banyak uang yang harus Gavin keluarkan agar proses yang dibutuhkan lancar dan cepat. Atas permintaan Laura, akad akan dilakukan secara sederhana di rumahnya. Tidak serta merta menur
Vega berdiri dan mendekatkan dirinya pada Geo yang menatapnya dengan datar. “Mas, apapun keputusanmu, aku terima. Kalo kamu mau ceraiin aku juga aku terima, Mas. Asalkan kamu bisa maafin aku.”“Kamu bisa ngembaliin semuanya, nggak? Bisa bikin Shanti hidup dan maafin aku lagi? Bisa bikin Gavin nggak benci aku lagi? Bisa bikin semuanya balik normal lagi. Kalo kamu bisa, aku maafin kamu.”“Mas, aku nyesel, aku minta maaf.” Vega menggumamkannya berkali-kali dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya.Geo menghembuskan nafasnya dengan berat. “Jelasin semuanya ke Gavin tanpa ada yang kamu tutupi. Setelah itu, saya akan ngajuin perceraian kita. Saya nggak bisa nikah sama orang jahat seperti kamu.” Geo mulai mengembalikan gaya bahasa seperti dulu dan Vega hanya bisa pasrah.***Dua hari berlalu dan Laura hari ini keluar dari rumah sakit. Dari tadi, Gavi sudah disibukkan dengan administrasi. Sebelumnya, Arkan sudah ingin mengurusnya, namun dengan tegas Gavin menolaknya. Bagi
Dunia Geo terasa runtuh pada saat membaca berkas dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Vega tengah mengandung. Meskipun Geo tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi di malam itu, dirinya tetap harus mempertanggung-jawabkannya. Geo menghembuskan nafasnya panjang, semua ini terasa berat baginya.Geo tidak sanggup jika harus mengatakannya pada Shanti dan Gavin. Dirinya belum siap, tidak akan siap jika kedua orang itu harus membencinya. Mata Geo memanas, hatinya sangat hancur saat dirinya membayangkan bagaimana reaksi Shanti dan Gavin.“Aku nggak masalah kalau kita harus nikah siri dan menyembunyikannya dari Shanti, Mas.”“Keluar.” Hanya satu kata itu yang bisa Geo ucapkan.“Mas, aku-”“Saya bilang keluar, Vega!” tegas Geo dengan nada tinggi. Vega akhirnya mengangguk sedih dan memilih untuk keluar dari ruangan Geo. Vega memberikan sedikit ruang pada Geo. Namun, hanya ada satu pilihan pada saat ini, yaitu Geo menikahinya.“Maafin aku, Shanti.”***“Ma, aku kemaren denger Mama nangis
Geo menghembuskan nafasnya berat. Lagi dan lagi, rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya itu kembali menghantam hati Geo. Sebab dirinya, Dara dan Bagas, anak pertama Egi harus kehilangan peran ayah. “Baiklah,” ujar Geo dengan memaksakan senyumnya.“Makasih ya.” Vega memberikan senyum terbaiknya kepada Geo yang hanya dibalas anggukan singkat dari Geo.“Saya kabari Shanti dulu,” ujar Geo tanpa memberikan banyak atensi pada Vega.Geo bergerak gelisah dengan tangan memandangi layar ponselnya. Di sana, terdapat nama kontak “Soul” dan dibubuhkan emoji hati di sampingnya. Sedari tadi, kontak Shanti hanya berdering tanpa diangkat oleh empunya.Menyerah, Geo memilih untuk mengetikkan pesan pada Shanti bahwa dirinya tidak pulang untuk malam ini karena ada beberapa pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Untungnya, sebelum kematian Egi, Geo memang sudah sering menginap di kantor karena memang banyak pekerjaan yang hars segera diselesaikannya karena tenggat waktu yang sudah
Ciuman itu terhenti dengan Laura yang terengah-engah dan segera meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Berbeda dengan Laura, Gavin sama sekali terlihat biasa saja. Bahkan, tangan Gavin sekarang bergerak untuk membersihkan bibir Laura yang basah akibat saliva mereka berdua.“Faktanya emang kamu nggak nolak ciuman dari aku, Ra.”Laura menghembuskan nafasnya lelah. Berbicara dengan Gavin membuatnya tidak pernah bisa berkutik. Gavin dengan segala argumennya membuat Laura kalah. Selain itu, aura dominan yang menguar dari tubuh Gavin membuat siapa pun akan memilih diam daripada semakin kalah. “Terserah kak Gavin aja deh.”“Oh iya, Ra. Kamu kudu belajar pernafasan lagi, deh.”“Kenapa emangnya?” tanya Laura yang sedikit bingung dengan ucapan Gavin yang tiba-tiba dan sangat tak terduga itu.“Biar kita kalo ciuman bisa lebih lama.”***Vega POVAku berjalan menuju salah satu kamar di rumah sakit dengan kaki yang lemas. Setelah mendapatkan telpon dari pihak rumah sakit, serta merta hatiku dil
Tangan kiri Gavin yang sedari tadi diam dan tidak ikut mengelus rambut Laura beralih untuk mencubit pipi Laura dengan lembut. Tangan Laura terangkat untuk melindungi pipinya dari serangan Gavin. Meski begitu, Gavin masih memiliki cela untuk mencubit pipi Laura. Bahkan, sekarang Gavin beralih untuk mencubit hidung mancung Laura.“Kak Gavin, stop it,” ujar Laura dengan geli. Gavin terkekeh dan menghentikan cubitannya pada Laura.“I wanna kiss you so bad,” bisik Gavin dengan suara lirihnya. Bahkan saat ini, wajah Gavin berada tepat di atas wajah Laura. Bergerak sedikit saja, bibir Laura pasti akan menyentuh bibir milik Gavin.Wajah Laura rasanya terbakar melihat tatapan Gavin yang sangat intens padanya. Jantung Laura terasa berdebar. “Apa Kak Gavin bakal natap aku terus? Bukannya di film kalo orang ciuman bakal nutup matanya?” batin Laura menjerit. Dengan perlahan, Laura menutup matanya, mencoba untuk mengabaikan Gavin yang masih menatapnya dengan intens.Tubuh Laura semakin kaku saat me