“Aku Maurin, Mbak. Ayo, aku anter ke pasar.”
"Aku Laura. Makasih ya mau direpotin,” ucap Laura. Mereka keluar dari kost Laura dan mencegat becak. Maurin banyak cerita tentang kehidupannya. Ternyata Maurin lebih muda dua tahun darinya, dia baru lulus kuliah dan sekarang bekerja menjadi guru taman kanak-kanak salah satu TK di tengah kota.
Selama berbelanja, Laura sesekali mengecek uangnya. Tak sekali-dua kali dia tergiur untuk menggunakan kartu debit milik Gavin yang lupa tak dikembalikannya. Apa dia harus menggunakannya? Apa dia boleh menggunakannnya? Laura menggeleng. Setelah dia pergi dari kehidupan Gavin, tidak pantas rasanya jika dia masih menggunakan kartu debit Gavin. Tapi, Laura benar-benar membutuhkan. Pikiran Laura berkecamuk.
Nanti, nanti dia akan mengembalikan uang Gavin setelah hatinya sembuh. Nanti. “Rin, anterin aku ke ATM.”
***
Gavin menjalankan mobilnya ke
Hai, fish.tro bersama kalian. Aku mau minta maaf soalnya makin ga terjadwal ngepost bab terbarunya. It's totally my bad. Aku ada beberapa kesibukan di dunia nyataku, jadi belom sempet ngepost hehehe. But, day by day aku selalu berusaha buat nyempetin nulis beberapa kata kok. Honestly, aku juga kena writer block. I'll always do my best for my beloved readers. Jangan lupa diamondnya yaa. Love you all. See me on my ig acc @fish.tro
Setelah puas bercerita, Bu Lela kembali ke rumahnya. Kini Laura kembali sendiri, ditemani semilir angin malam yang tidak terlalu dingin. Laura kembali memandangi langit. Langit tampak kosong, tidak ada bintang yang mempercantik langit. Laura menghembuskan nafasnya panjang. Laura merasa kesepian, sama seperti langit. Akhir-akhir ini, hidupnya diberi warna oleh Gavin, tapi sekarang telah kosong. Bahkan belum sehari dia pergi, tapi dia merasakan kekosongan itu dengan sangat. Laura kira semua akan sama saja, toh tujuh tahun tanpa Gavin terasa baik-baik saja. Laura bisa melakukan apapun sendiri. Tapi setelah Gavin hadir, dia—dengan kurang ajarnya—memporak-porandakan kehidupan Laura. Kini, Laura harus kembali memaksa dirinya untuk menjadi mandiri dan tidak lagi bergantung pada siapapun.&nb
Davi sudah tidak memberontak lagi. Sekarang Davi hanya diam dengan sisa sesenggukan. Laura mengelus kepala Davi pelan, setelah itu Laura beranjak dari kasur. Wanita beranak satu itu meneruskan kegiatannya untuk menata kue yang sudah matang tadi. Laura hendak keluar untuk mengantarkan kue yang telah siap itu ke Bu Lela. Sebelum itu, Laura menyempatkan dirinya untuk mengelus kepala Davi dengan lembut. Sebelum kembali ke indekosnya, Laura menyempatkan diri untuk mampir ke toko dan membeli ice cream dan cokelat untuk Davi. Laura rasa, cokelat dan ice cream dapat mengembalikan keceriaan Davi. “Davi, ini Bunda bawain ice-” “Bunda, ini Ayah mau ngomong.” Davi menghadapkan layar ponselnya ke Laura. Saat itu, Laura menyesal telah mengajari Davi cara untuk menghubungi dan
Laura memukul kembali kepalanya. Jantungnya berdebar. Laura berulang kali menarik dan mengeluarkan nafas, tapi dia tetap tidak bisa menanganinya. Hatinya merasa cemas, entah apa yang dicemaskannya. Keringat dingin mulai membasahi tangannya. Dengan gemetar, Laura beranjak dari ranjang dan mengambil air minum. Laura kembali mengatur nafasnya. Debaran di jantungnya sudah mulai normal. Laura berpegangan pada dinding. Tubuh Laura masih lemas. Laura mendengar pintu indekosnya diketuk. Laura hanya menjawab dengan sekadarnya. “Nduk, besok anak Ibu pulang, minta tolong catheringnya diurus, yo.” Laura hanya menjawab dengan gumaman. Laura memilih untuk beristirahat agar staminanya kembali. dia tidak ingin mengecewakan Bu Lela, setelah se
Tidur Laura terusik dengan suara pintu yang diketuk. Laura beranjak dari ranjang dengan kepala yang berat. Laura membuka pintunya sedikit dan mengeluarkan kepalanya. Saat membuka pintu, Laura merasa diawasi. Seperti ada yang memerhatikannya, tapi saat melihat sekitar hanya ada lelaki di hadapannya dan juga satu di Warung Anton. “Siapa ya?” tanya Laura dengan sikap waspada. Laura merasa asing dengan lelaki dengan usia sekitar beberapa tahun di atasnya ini. Sepertinya dia bukan orang sini. “Saya Bata, anaknya Bu Lela. Ini ada buah tangan.” Laura mengangguk dengan membuka pintunya lebih lebar. Dia melangkah dua langkah ke depan agar tubuhnya keluar dari rumah. “Kamu anakny
Bu Lela mengibaskan tangannya tak acuh. “Ra popo. Wong iku yang beliin bukan Bata, tapi temennya Bata. Wong Davi yo akrab banget kok sama temennya Bata.” Laura menganggukkan kepalanya, Davi memang mudah akrab dengan siapa saja. Davi yang cerewet dan aktif bisa menarik siapa saja untuk berkenalan dengannya. Entah sifat Davi yang seperti itu menurun dari siapa, baik dia maupun ayahnya Davi tidak ada yang memiliki sifat humble. “Tapi Laura tetep aja sungkan, Bu. Kan mereka baru kenal, tapi beliin mainannya kok banyak banget.” Bu Lela menepuk bahu Laura, “Yang biasanya beliin sampean makanan yo temennya Bata. Semua anak kos dikasih makanan sama dia.” 
Laura semakin sesenggukan. Dia salah. Tidak seharusnya dia berbicara seperti itu. Semua itu di luar kendalinya. Laura masih lemas dengan kedua lengannya yang masih dicengkram Gavin. “Maaf,” lirih Laura dengan sesenggukan. Tubuh Laura bergetar, tangannya mengepal mengeluarkan banyak keringat. Berkali-kali Laura menggumamkan kata maaf. Dia… “Ayah.” Kedua orang dewasa itu membeku mendengar suara Davi. Laura dan Gavin sama-sama menengokkan kepalanya ke arah pintu. Di sana, ada Davi—dengan bercucuran air mata—berdiri dan di belakangnya ada Bata yang merasa tidak enak mendengar pertengkaran atasannya. “Davi.” Laura mendekati Davi dan langsung berjongkok saat sudah sampai di hadapan Davi. Davi dan Laura bertatapan den
Laura menggeliatkam tubuhnya merasakan elusan lembut di kepalanya. Laura menengokkan kepalanya ke atas. Di sana, dia menemukan Gavin yang tersenyum kepadanya. Laura membalikkan dirinya dan memeluk Gavin erat. Saat ini Laura tahu, bukan Meghan atau siapapun. Satu-satunya orang yang membutuhkan Gavin adalah dirinya. Sekali lagi, Laura ingin egois dan ingin memiliki Gavin hanya untuk dirinya. “Nanti kita digrebek orang kalo kayak gini,” ucap Gavin dengan nada geli. Laura tak mengindahkan ucapan Gavin. Laura semakin memeluk Gavin dan menenggelamkan kepalanya pada dada Gavin. “Jangan pergi. Di sini aja. Jangan tinggalin aku ya,” pinta Laura lirih. “Ucapan kamu nggak bisa ditarik lagi, Ra. Sekali kamu ngomong gitu, kamu nggak bakal lepas dar
Masa itu, dirinya merasa sendirian. Sangat sendirian. Jujur saja, Laura tidak pernah benar-benar membenci tetangganya yang mengasingkannya pada saat dirinya hamil. Menurut kebudayaan di sini, hamil di luar nikah memang lah hal yang tabu. Toh, walaupun mereka sepertinya tidak menyukai Laura, tapi mereka sangat menyayangi Davi. Walaupun hatinya sangat sakit saat diasingkan dengan tetangganya sendiri, paling tidak, Davinya tidak mendapatkan celaan sepertinya juga.Andaikan Laura dapat memutar waktu, dia akan dengan tegas menolak Mella untuk ikut mendaftar menjadi panitia. Tanpa sadar, satu air mata Laura menetes dari mata kirinya.Gara-gara malam prom itu, aku kehilangan masa depanku. Andaikan aku tidak menjadi panitia untuk acara prom night itu, mungkin sekarang Laura bisa menjadi bidan seperti cita-citanya dulu, batin Laura.Walaupun terdenagar pelan, di luar kamar kostnya Laura dapat mendengar suara pekikan Davi. Dan pekikan Davi sukses membuatnya semakin terluk