Bu Lela mengibaskan tangannya tak acuh. “Ra popo. Wong iku yang beliin bukan Bata, tapi temennya Bata. Wong Davi yo akrab banget kok sama temennya Bata.”
Laura menganggukkan kepalanya, Davi memang mudah akrab dengan siapa saja. Davi yang cerewet dan aktif bisa menarik siapa saja untuk berkenalan dengannya. Entah sifat Davi yang seperti itu menurun dari siapa, baik dia maupun ayahnya Davi tidak ada yang memiliki sifat humble.
“Tapi Laura tetep aja sungkan, Bu. Kan mereka baru kenal, tapi beliin mainannya kok banyak banget.”
Bu Lela menepuk bahu Laura, “Yang biasanya beliin sampean makanan yo temennya Bata. Semua anak kos dikasih makanan sama dia.”
 
Laura semakin sesenggukan. Dia salah. Tidak seharusnya dia berbicara seperti itu. Semua itu di luar kendalinya. Laura masih lemas dengan kedua lengannya yang masih dicengkram Gavin. “Maaf,” lirih Laura dengan sesenggukan. Tubuh Laura bergetar, tangannya mengepal mengeluarkan banyak keringat. Berkali-kali Laura menggumamkan kata maaf. Dia… “Ayah.” Kedua orang dewasa itu membeku mendengar suara Davi. Laura dan Gavin sama-sama menengokkan kepalanya ke arah pintu. Di sana, ada Davi—dengan bercucuran air mata—berdiri dan di belakangnya ada Bata yang merasa tidak enak mendengar pertengkaran atasannya. “Davi.” Laura mendekati Davi dan langsung berjongkok saat sudah sampai di hadapan Davi. Davi dan Laura bertatapan den
Laura menggeliatkam tubuhnya merasakan elusan lembut di kepalanya. Laura menengokkan kepalanya ke atas. Di sana, dia menemukan Gavin yang tersenyum kepadanya. Laura membalikkan dirinya dan memeluk Gavin erat. Saat ini Laura tahu, bukan Meghan atau siapapun. Satu-satunya orang yang membutuhkan Gavin adalah dirinya. Sekali lagi, Laura ingin egois dan ingin memiliki Gavin hanya untuk dirinya. “Nanti kita digrebek orang kalo kayak gini,” ucap Gavin dengan nada geli. Laura tak mengindahkan ucapan Gavin. Laura semakin memeluk Gavin dan menenggelamkan kepalanya pada dada Gavin. “Jangan pergi. Di sini aja. Jangan tinggalin aku ya,” pinta Laura lirih. “Ucapan kamu nggak bisa ditarik lagi, Ra. Sekali kamu ngomong gitu, kamu nggak bakal lepas dar
Masa itu, dirinya merasa sendirian. Sangat sendirian. Jujur saja, Laura tidak pernah benar-benar membenci tetangganya yang mengasingkannya pada saat dirinya hamil. Menurut kebudayaan di sini, hamil di luar nikah memang lah hal yang tabu. Toh, walaupun mereka sepertinya tidak menyukai Laura, tapi mereka sangat menyayangi Davi. Walaupun hatinya sangat sakit saat diasingkan dengan tetangganya sendiri, paling tidak, Davinya tidak mendapatkan celaan sepertinya juga.Andaikan Laura dapat memutar waktu, dia akan dengan tegas menolak Mella untuk ikut mendaftar menjadi panitia. Tanpa sadar, satu air mata Laura menetes dari mata kirinya.Gara-gara malam prom itu, aku kehilangan masa depanku. Andaikan aku tidak menjadi panitia untuk acara prom night itu, mungkin sekarang Laura bisa menjadi bidan seperti cita-citanya dulu, batin Laura.Walaupun terdenagar pelan, di luar kamar kostnya Laura dapat mendengar suara pekikan Davi. Dan pekikan Davi sukses membuatnya semakin terluk
Masa itu, dirinya merasa sendirian. Sangat sendirian. Jujur saja, Laura tidak pernah benar-benar membenci tetangganya yang mengasingkannya pada saat dirinya hamil. Menurut kebudayaan di sini, hamil di luar nikah memang lah hal yang tabu. Toh, walaupun mereka sepertinya tidak menyukai Laura, tapi mereka sangat menyayangi Davi. Walaupun hatinya sangat sakit saat diasingkan dengan tetangganya sendiri, paling tidak, Davinya tidak mendapatkan celaan sepertinya juga.Andaikan Laura dapat memutar waktu, dia akan dengan tegas menolak Mella untuk ikut mendaftar menjadi panitia. Tanpa sadar, satu air mata Laura menetes dari mata kirinya.Gara-gara malam prom itu, aku kehilangan masa depanku. Andaikan aku tidak menjadi panitia untuk acara prom night itu, mungkin sekarang Laura bisa menjadi bidan seperti cita-citanya dulu, batin Laura.Walaupun terdenagar pelan, di luar kamar kostnya Laura dapat mendengar suara pekikan Davi. Dan pekikan Davi sukses membuatnya semakin terluk
Kamu nggak bisa ngeles lagi, Ra. Aku bakalan selalu nuntut pernikahan ke kamu. Davi emang sekarang belom paham, tapi nanti Davi pasti bakalan nanya ke kita.” “Aku takut, Kak. Kalo misalnya nanti aku nggak seperti apa yang Kak Gavin harapin gimana?” “Kamu udah lebih dari ekspektasiku, Ra. Bahkan kalo kamu mau bikin prenuptial agreement, aku nggak masalah.” Gavin mengenggam tangan Laura, mencoba menyakinkan Laura bahwa apa yang dikatakannya adalah serius. “Jadi?” Laura menatap Gavin lama. Setelah itu dirinya menghembuskan nafas panjang dan mengangguk. “Aku mau,” ujar Laura dengan lirih. “Lagipula, aku nggak ada pilihan lain, kan?” Gavin langsung menarik Laura ke dalam pelukannya. “Thanks, Ra.” Berkali-kali Gavin menggumamkannya pada Laura. “Minggu depan kita ke Jakarta. Aku bakal minta izin langsung ke orang tuamu.” “Nggak perlu!” *** Laura menidurkan tubuhnya ke atas ranjang yang telah ditiduri Davi lebih awal. Kepalany
Laura yang sedari tadi fokus terhadap sketsa milik Gavin mendongak. Ternyata, Gavin sedah duduk di hadapannya. Laura lalu mengangguk. “Tadi Bu Dara nanya, Davi nggak masuk beberapa bulan ke mana aja gitu. Untungnya Davi masih bisa lanjut sekolah di sana.”“Menurutmu itu salah siapa?” tanya Gavin dengan menyedekapkan kedua tangannya di depan dada.Laura menunjukkan senyum pepsodentnya kepada Gavin. “Maaf.”Wanita beranak satu itu menyiapkan bekal yang dibawakannya tadi diselingi dengan obrolan ringan bersama Gavin. Bagi Laura, Gavin yang ada di hadapannya sangat berbeda dengan Gavin yang dikenalnya dulu. Lelaki di hadapannya sangat dewasa dan bisa mengontrol emosinya.“Harusnya kita emang kaya gini, Ra.”Laura mendongak dan mentaap Gavin tepat di matanya. “Maksudnya?”“Kita bisa ngobrol santai, nggak ada debatnya juga.”***Laura membereskan wadah sisa makan
Langkah Laura terhenti saat merasakan lengan kekar yang memeluknya dari belakang. Pemilik dari lengan tersebut tentulah Gavin. Tubuh Laura hanya terdiam. Jujur saja, Laura sangat menikmati cara bagaimana Gavin meciumi puncak kepalanya.“Jangan marah. Aku cuma mau yang terbaik buat kamu. Kalo aku nggak maksa kamu sekarang, kamu bakal selalu jalan di tempat.” Gavin membisikkannnya tepat di samping telinga Laura.“Aku tahu,” lirih Laura. Walaupun lirih, Laura yakin jika Gavin mendengarnya. Gavin mempererat pelukannya kepada Laura.“Aku mau pulang, Kak.” Laura mencoba melepaskan pelukan Gavin. Nyaman memang, tapi Laura juga harus pulang. Laura masih harus mengurus beberapa hal di sekolah Davi.“Sebentar aja. Aku cape banget,” ujar Gavin dengan suara terendam rambut Laura.“Kak Gavin pasti nggak nyaman banget kalo kaya gini.” Tinggi Gavin dan Laura sangat kontras. Mungkin saat ini, tingginya ad
Laura menggeleng dengan kuat. “Laura yang salah, Pa. Laura mohon, terima Laura lagi, Pa. Laura nggak mau lagi pisah sama Papa Mama.”Setelah peristiwa haru biru itu, Arkan menuntun Laura untuk duduk di sofa. Masih tersisa isakan Laura yang terdengar di sana. Laura benar-benar merasakan pulang saat ini. Rasanya sangan menenangkan.Dari tempat duduknya, Laura dapat melihat perubahan yang signifikan dari kedua orang tuanya. Keriput yang terlihat samar dari wajah Arkan dan Farah menunjukkan bahwa Laura sudah terlalu lama tidak “pulang”. Apalagi, warna rambut Arkan yang mulai memutih menyadarkan Laura bahwa sudah sangat banyak waktu yang terbuang percuma.Laura menyesal karena telah meragukan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Harusnya, Laura tidak ragu untuk segera kembali ke rumah. seburuk apapun dirinya, orang tuanya pasti akan merangkulnya. Laura snagat paham jika sikap Arkan dulu hanya karena dirinya terlalu terkejut dengan apa yang telah menimpa Laura. Laura sangat maklum akan hal