Setelah makan malam, Arkan menggiring Laura dan yang lainnya ke ruang tamu arena di sanalah satu-satuya ruangan yang memiliki sofa. Tiba-tiba saja, Laura merasa gugup di situasi saat ini. Laura gugup tanpa alasan yang jelas.“Nak Gavin,” panggil Arkan kepada Gavin.Laura semakin dibuat gugup padahal bukan dirinya yang dipanggil.“Iya, Om.”Arkan tersenyum dan menepuk pundak Gavin yang duduk di sofa yang berserongan dengannya. “Terima kasih sudah membawa Laura kembali.”Gavin tersenyum dan menganggukkan kepalanya pada Arkan. “Selain untuk menepati janji saya pada Om, Saya membawa Laura kembali untuk meminta restu dengan benar.”Laura tersedak oleh ludahnya sendiri saat mendengar ucapan Gavin. Laura tahu jika Gavin memang berniat untuk melamarnya. Namun, dirinya tidak menyangka jika Gavin mengatakannya saat ini. Di hari pertama Laura bertemu dengan kedua orang tuanya.“Bukannya aku tidak tahu terima kasih, tapi aku baru bisa menerima restumu saat Nak Gavin membawa orang tua Nak Gavin ke
Sebelum ibunya meninggal, ia menitipkan sebuah pesan yang sangat berat untuk Gavin lakukan.“Setelah ini, tolong Gavin jangan membenci Papa. Sejahat apapun Papa dalam pikiranmu, Papa tetaplah Papamu, Gavin. Berbaikanlah dengan Papamu. Selama ini, bukan hanya Gavin dan Mama yang menderita, Papamu juga merasakan hal yang sama.”Kata-kata terakhir yang Shanti ucapkan selalu membekas kepada Gavin. Hanya saja, sangat sulit untuk berbaikan dengan Geo. Dirinya memnag sudah memaafkan kesalahan Geo. Tapi untuk kembali menjadi seperti dulu, sepertinya Gavin tidak bisa.“Gavin, duduklah, Nak.” Gavin hanya menganggukkan kepalanya saat sudah berada di hadapan Geo. Tanpa kata, Gavin duduk di hadapan Geo.Gavin dapat merasakan tatapan hangat yang dipancarkan oleh Geo di sana. Sebisa mungkin, Gavin mencoba untuk tidak terpengaruh oleh tatapan yang dilemparkan oleh Geo kepadanya. “Gimana kabarmu, Nak?”“Saya sedang tidak ingin basa basi. Saya menemui Anda di sini untuk meminta Anda melamarkan saya pad
Melihat Gavin yang terdiam. Melihat keterdiaman Gavin membuat Geo sadar diri, permintaan yang dikemukakannya terlalu muluk. Geo terlalu serakah untuk meminta semuanya membaik dengan cepat. Harusnya, Geo sedikit lebih bersabar lagi.“Kalo kamu nggak mau, Papa-”“Papa,” ujar Gavin dengan menaatap penuh wajah keriput Geo.Geo tertegun. Rasa hangat itu langsung saja membanjiri hatinya. Kata yang selalu Geo tunggu-tunggu akhirnya terucap kembali oleh Gavin. Tanpa dimintanya, mata Geo mulai timbul lapisan kaca. Sedikit saja dirinya berkedip, maka butir air akan menetes dari mata kanannya.Geo terkekeh dan menundukkan kepalanya untuk menghapus air matanya. “Terima kasih, Gavin. Setelah sekian lama, Papa akhirnya bisa ngedenger kamu manggil Papa lagi.”***Arkan menyambut Gavin dan Geo dengan hangat. Sejujurnya, dari awal Arkan sudah merestui hubungan Gavin dengan Laura. Namun, Arkan masih belum ingin melepas Laura. Setelah terpisah dengan anak semata wayangnya selama lebih dari tujuh tahun,
Ingatannya tiba-tiba terpental ke malam dirinya pertama kali menembak Shanti. Malam itu, sepertinya semesta sedang mendukung keduanya untuk bersatu. Seperti malam ini, dulu banyak sekali bintang bertaburan. Dulu, malam itu terasa sangat spesial hanya karena kehadiran Shanti dan satu permen kapas yang mereka habiskan berdua.Geo tersenyum karena ingatannya masih sangat tajam. Bahkan, Geo masih merasakan perasaan menggebunya saat berhasil menyatakan perasaannya pada Shanti. “Nak Laura, ingin mendengarkan sebuah kisah?” tanya Geo dengan wajah menunjukkan senyuman yang teduh.*** Laura duduk di salah satu restoran dengan gelisah. Pasalnya, Vega mengajaknya untuk bertemu siang ini. Masih ingat dengan Vega? Yup! Ibu kandung dari Bagas yang merangkap sebagai ibu tiri dari Gavin. “Laura ya?” Wanita yang namanya dipanggil itu menoleh dan menemukan wanita paruh baya yang menatapnya dengan pandangan bertanya.“Halo, Tante Vega.” Laura menyapanya dengan canggung dan memper
Laura memiringkan tubuhnya hingga membelakangi Gavin. Jujur saja, Laura menyesal telah mengatakannya pada Gavin. Jauh di dalam lubuk hatinya, Laura tidak ingin mengundur atau bahkan membatalkan pernikahannya dengan Gavin. Namun, tentu saja Laura tidak boleh egois.“Aku belum selesai ngomong, Ra.”Gavin menyentuh punggung Laura. Laura sedikit menggeliat, memberikan gestur tidak nyaman pada Gavin. Ibu dari Davi itu terlalu tidak memiliki nyali untuk mengklarifikasikan ucapannya.“Laura Apsara Nawa,” tekan Gavin sekali lagi.“Lupain aja, Kak.”“Jangan paksa aku buat ngelakuin hal yang nggak kamu sukai, Laura,” desis Gavin. Dari telinganya, Laura dapat mendengar bahwa Gavin mencoba menahan suaranya. Jelas sekali bahwa Gavin sedang berusaha sekuat mungkin untuk tidak membentak Laura.***Gavin keluar dari rawat inap Laura dengan rahang yang mengetat. Salah satu sifat Laura yang sangat dibencinya adalah pemikir keras. Bukan pemikir keras dalam artian baik, melainkan pemikir keras hingga mem
“Kak Gavin nggak marah lagi?” cicit Laura dengan nada lemah karena baru bangun tidur.“Harusnya aku nggak marah ke kamu,” ujar Gavin dengan tangan masih mengelus kepala Laura.Laura sedikit menjauhkan tangan Gavin dari kepalanya. Dirinya ingin mendudukkan tubuhnya. Gavin yang melihat Laura sedikit kesusahan memilih untuk membantu Laura agar nyaman dalam duduknya.“Maafin aku kak. Tadi, aku cuma ngerasa nggak pantas buat bersanding sama Kak Gavin.”“Yang nentuin pantes nggaknya kamu buat aku itu cuma aku. Dan aku sendiri ngerasa kali kamu pantes bersanding sama aku.” Gavin meraih tangan Laura yang tidak terpasang jarum infus, lalu mengelusnya dengan lembut. “Harusnya aku yang minder mau nikahin kamu,” ujar Gavin dengan menatap Laura tepat di matanya.Gavin mengecup tangan Laura dengan lembut dan sangat tenang. “Karena kamu adalah wanita paling kuat dan luar biasa yang aku tahu,” ujar Gavin dengan mulut masih menempel di tangan Laura.***Laura memandangi Gavin dengan tatapan harunya. R
Tangan kiri Gavin yang sedari tadi diam dan tidak ikut mengelus rambut Laura beralih untuk mencubit pipi Laura dengan lembut. Tangan Laura terangkat untuk melindungi pipinya dari serangan Gavin. Meski begitu, Gavin masih memiliki cela untuk mencubit pipi Laura. Bahkan, sekarang Gavin beralih untuk mencubit hidung mancung Laura.“Kak Gavin, stop it,” ujar Laura dengan geli. Gavin terkekeh dan menghentikan cubitannya pada Laura.“I wanna kiss you so bad,” bisik Gavin dengan suara lirihnya. Bahkan saat ini, wajah Gavin berada tepat di atas wajah Laura. Bergerak sedikit saja, bibir Laura pasti akan menyentuh bibir milik Gavin.Wajah Laura rasanya terbakar melihat tatapan Gavin yang sangat intens padanya. Jantung Laura terasa berdebar. “Apa Kak Gavin bakal natap aku terus? Bukannya di film kalo orang ciuman bakal nutup matanya?” batin Laura menjerit. Dengan perlahan, Laura menutup matanya, mencoba untuk mengabaikan Gavin yang masih menatapnya dengan intens.Tubuh Laura semakin kaku saat me
Ciuman itu terhenti dengan Laura yang terengah-engah dan segera meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Berbeda dengan Laura, Gavin sama sekali terlihat biasa saja. Bahkan, tangan Gavin sekarang bergerak untuk membersihkan bibir Laura yang basah akibat saliva mereka berdua.“Faktanya emang kamu nggak nolak ciuman dari aku, Ra.”Laura menghembuskan nafasnya lelah. Berbicara dengan Gavin membuatnya tidak pernah bisa berkutik. Gavin dengan segala argumennya membuat Laura kalah. Selain itu, aura dominan yang menguar dari tubuh Gavin membuat siapa pun akan memilih diam daripada semakin kalah. “Terserah kak Gavin aja deh.”“Oh iya, Ra. Kamu kudu belajar pernafasan lagi, deh.”“Kenapa emangnya?” tanya Laura yang sedikit bingung dengan ucapan Gavin yang tiba-tiba dan sangat tak terduga itu.“Biar kita kalo ciuman bisa lebih lama.”***Vega POVAku berjalan menuju salah satu kamar di rumah sakit dengan kaki yang lemas. Setelah mendapatkan telpon dari pihak rumah sakit, serta merta hatiku dil