Laura yang sedari tadi fokus terhadap sketsa milik Gavin mendongak. Ternyata, Gavin sedah duduk di hadapannya. Laura lalu mengangguk. “Tadi Bu Dara nanya, Davi nggak masuk beberapa bulan ke mana aja gitu. Untungnya Davi masih bisa lanjut sekolah di sana.”
“Menurutmu itu salah siapa?” tanya Gavin dengan menyedekapkan kedua tangannya di depan dada.
Laura menunjukkan senyum pepsodentnya kepada Gavin. “Maaf.”
Wanita beranak satu itu menyiapkan bekal yang dibawakannya tadi diselingi dengan obrolan ringan bersama Gavin. Bagi Laura, Gavin yang ada di hadapannya sangat berbeda dengan Gavin yang dikenalnya dulu. Lelaki di hadapannya sangat dewasa dan bisa mengontrol emosinya.
“Harusnya kita emang kaya gini, Ra.”
Laura mendongak dan mentaap Gavin tepat di matanya. “Maksudnya?”
“Kita bisa ngobrol santai, nggak ada debatnya juga.”
***
Laura membereskan wadah sisa makan
Langkah Laura terhenti saat merasakan lengan kekar yang memeluknya dari belakang. Pemilik dari lengan tersebut tentulah Gavin. Tubuh Laura hanya terdiam. Jujur saja, Laura sangat menikmati cara bagaimana Gavin meciumi puncak kepalanya.“Jangan marah. Aku cuma mau yang terbaik buat kamu. Kalo aku nggak maksa kamu sekarang, kamu bakal selalu jalan di tempat.” Gavin membisikkannnya tepat di samping telinga Laura.“Aku tahu,” lirih Laura. Walaupun lirih, Laura yakin jika Gavin mendengarnya. Gavin mempererat pelukannya kepada Laura.“Aku mau pulang, Kak.” Laura mencoba melepaskan pelukan Gavin. Nyaman memang, tapi Laura juga harus pulang. Laura masih harus mengurus beberapa hal di sekolah Davi.“Sebentar aja. Aku cape banget,” ujar Gavin dengan suara terendam rambut Laura.“Kak Gavin pasti nggak nyaman banget kalo kaya gini.” Tinggi Gavin dan Laura sangat kontras. Mungkin saat ini, tingginya ad
Laura menggeleng dengan kuat. “Laura yang salah, Pa. Laura mohon, terima Laura lagi, Pa. Laura nggak mau lagi pisah sama Papa Mama.”Setelah peristiwa haru biru itu, Arkan menuntun Laura untuk duduk di sofa. Masih tersisa isakan Laura yang terdengar di sana. Laura benar-benar merasakan pulang saat ini. Rasanya sangan menenangkan.Dari tempat duduknya, Laura dapat melihat perubahan yang signifikan dari kedua orang tuanya. Keriput yang terlihat samar dari wajah Arkan dan Farah menunjukkan bahwa Laura sudah terlalu lama tidak “pulang”. Apalagi, warna rambut Arkan yang mulai memutih menyadarkan Laura bahwa sudah sangat banyak waktu yang terbuang percuma.Laura menyesal karena telah meragukan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Harusnya, Laura tidak ragu untuk segera kembali ke rumah. seburuk apapun dirinya, orang tuanya pasti akan merangkulnya. Laura snagat paham jika sikap Arkan dulu hanya karena dirinya terlalu terkejut dengan apa yang telah menimpa Laura. Laura sangat maklum akan hal
Setelah makan malam, Arkan menggiring Laura dan yang lainnya ke ruang tamu arena di sanalah satu-satuya ruangan yang memiliki sofa. Tiba-tiba saja, Laura merasa gugup di situasi saat ini. Laura gugup tanpa alasan yang jelas.“Nak Gavin,” panggil Arkan kepada Gavin.Laura semakin dibuat gugup padahal bukan dirinya yang dipanggil.“Iya, Om.”Arkan tersenyum dan menepuk pundak Gavin yang duduk di sofa yang berserongan dengannya. “Terima kasih sudah membawa Laura kembali.”Gavin tersenyum dan menganggukkan kepalanya pada Arkan. “Selain untuk menepati janji saya pada Om, Saya membawa Laura kembali untuk meminta restu dengan benar.”Laura tersedak oleh ludahnya sendiri saat mendengar ucapan Gavin. Laura tahu jika Gavin memang berniat untuk melamarnya. Namun, dirinya tidak menyangka jika Gavin mengatakannya saat ini. Di hari pertama Laura bertemu dengan kedua orang tuanya.“Bukannya aku tidak tahu terima kasih, tapi aku baru bisa menerima restumu saat Nak Gavin membawa orang tua Nak Gavin ke
Sebelum ibunya meninggal, ia menitipkan sebuah pesan yang sangat berat untuk Gavin lakukan.“Setelah ini, tolong Gavin jangan membenci Papa. Sejahat apapun Papa dalam pikiranmu, Papa tetaplah Papamu, Gavin. Berbaikanlah dengan Papamu. Selama ini, bukan hanya Gavin dan Mama yang menderita, Papamu juga merasakan hal yang sama.”Kata-kata terakhir yang Shanti ucapkan selalu membekas kepada Gavin. Hanya saja, sangat sulit untuk berbaikan dengan Geo. Dirinya memnag sudah memaafkan kesalahan Geo. Tapi untuk kembali menjadi seperti dulu, sepertinya Gavin tidak bisa.“Gavin, duduklah, Nak.” Gavin hanya menganggukkan kepalanya saat sudah berada di hadapan Geo. Tanpa kata, Gavin duduk di hadapan Geo.Gavin dapat merasakan tatapan hangat yang dipancarkan oleh Geo di sana. Sebisa mungkin, Gavin mencoba untuk tidak terpengaruh oleh tatapan yang dilemparkan oleh Geo kepadanya. “Gimana kabarmu, Nak?”“Saya sedang tidak ingin basa basi. Saya menemui Anda di sini untuk meminta Anda melamarkan saya pad
Melihat Gavin yang terdiam. Melihat keterdiaman Gavin membuat Geo sadar diri, permintaan yang dikemukakannya terlalu muluk. Geo terlalu serakah untuk meminta semuanya membaik dengan cepat. Harusnya, Geo sedikit lebih bersabar lagi.“Kalo kamu nggak mau, Papa-”“Papa,” ujar Gavin dengan menaatap penuh wajah keriput Geo.Geo tertegun. Rasa hangat itu langsung saja membanjiri hatinya. Kata yang selalu Geo tunggu-tunggu akhirnya terucap kembali oleh Gavin. Tanpa dimintanya, mata Geo mulai timbul lapisan kaca. Sedikit saja dirinya berkedip, maka butir air akan menetes dari mata kanannya.Geo terkekeh dan menundukkan kepalanya untuk menghapus air matanya. “Terima kasih, Gavin. Setelah sekian lama, Papa akhirnya bisa ngedenger kamu manggil Papa lagi.”***Arkan menyambut Gavin dan Geo dengan hangat. Sejujurnya, dari awal Arkan sudah merestui hubungan Gavin dengan Laura. Namun, Arkan masih belum ingin melepas Laura. Setelah terpisah dengan anak semata wayangnya selama lebih dari tujuh tahun,
Ingatannya tiba-tiba terpental ke malam dirinya pertama kali menembak Shanti. Malam itu, sepertinya semesta sedang mendukung keduanya untuk bersatu. Seperti malam ini, dulu banyak sekali bintang bertaburan. Dulu, malam itu terasa sangat spesial hanya karena kehadiran Shanti dan satu permen kapas yang mereka habiskan berdua.Geo tersenyum karena ingatannya masih sangat tajam. Bahkan, Geo masih merasakan perasaan menggebunya saat berhasil menyatakan perasaannya pada Shanti. “Nak Laura, ingin mendengarkan sebuah kisah?” tanya Geo dengan wajah menunjukkan senyuman yang teduh.*** Laura duduk di salah satu restoran dengan gelisah. Pasalnya, Vega mengajaknya untuk bertemu siang ini. Masih ingat dengan Vega? Yup! Ibu kandung dari Bagas yang merangkap sebagai ibu tiri dari Gavin. “Laura ya?” Wanita yang namanya dipanggil itu menoleh dan menemukan wanita paruh baya yang menatapnya dengan pandangan bertanya.“Halo, Tante Vega.” Laura menyapanya dengan canggung dan memper
Laura memiringkan tubuhnya hingga membelakangi Gavin. Jujur saja, Laura menyesal telah mengatakannya pada Gavin. Jauh di dalam lubuk hatinya, Laura tidak ingin mengundur atau bahkan membatalkan pernikahannya dengan Gavin. Namun, tentu saja Laura tidak boleh egois.“Aku belum selesai ngomong, Ra.”Gavin menyentuh punggung Laura. Laura sedikit menggeliat, memberikan gestur tidak nyaman pada Gavin. Ibu dari Davi itu terlalu tidak memiliki nyali untuk mengklarifikasikan ucapannya.“Laura Apsara Nawa,” tekan Gavin sekali lagi.“Lupain aja, Kak.”“Jangan paksa aku buat ngelakuin hal yang nggak kamu sukai, Laura,” desis Gavin. Dari telinganya, Laura dapat mendengar bahwa Gavin mencoba menahan suaranya. Jelas sekali bahwa Gavin sedang berusaha sekuat mungkin untuk tidak membentak Laura.***Gavin keluar dari rawat inap Laura dengan rahang yang mengetat. Salah satu sifat Laura yang sangat dibencinya adalah pemikir keras. Bukan pemikir keras dalam artian baik, melainkan pemikir keras hingga mem
“Kak Gavin nggak marah lagi?” cicit Laura dengan nada lemah karena baru bangun tidur.“Harusnya aku nggak marah ke kamu,” ujar Gavin dengan tangan masih mengelus kepala Laura.Laura sedikit menjauhkan tangan Gavin dari kepalanya. Dirinya ingin mendudukkan tubuhnya. Gavin yang melihat Laura sedikit kesusahan memilih untuk membantu Laura agar nyaman dalam duduknya.“Maafin aku kak. Tadi, aku cuma ngerasa nggak pantas buat bersanding sama Kak Gavin.”“Yang nentuin pantes nggaknya kamu buat aku itu cuma aku. Dan aku sendiri ngerasa kali kamu pantes bersanding sama aku.” Gavin meraih tangan Laura yang tidak terpasang jarum infus, lalu mengelusnya dengan lembut. “Harusnya aku yang minder mau nikahin kamu,” ujar Gavin dengan menatap Laura tepat di matanya.Gavin mengecup tangan Laura dengan lembut dan sangat tenang. “Karena kamu adalah wanita paling kuat dan luar biasa yang aku tahu,” ujar Gavin dengan mulut masih menempel di tangan Laura.***Laura memandangi Gavin dengan tatapan harunya. R