Laura semakin sesenggukan. Dia salah. Tidak seharusnya dia berbicara seperti itu. Semua itu di luar kendalinya. Laura masih lemas dengan kedua lengannya yang masih dicengkram Gavin.
“Maaf,” lirih Laura dengan sesenggukan. Tubuh Laura bergetar, tangannya mengepal mengeluarkan banyak keringat. Berkali-kali Laura menggumamkan kata maaf. Dia…
“Ayah.” Kedua orang dewasa itu membeku mendengar suara Davi. Laura dan Gavin sama-sama menengokkan kepalanya ke arah pintu. Di sana, ada Davi—dengan bercucuran air mata—berdiri dan di belakangnya ada Bata yang merasa tidak enak mendengar pertengkaran atasannya.
“Davi.” Laura mendekati Davi dan langsung berjongkok saat sudah sampai di hadapan Davi. Davi dan Laura bertatapan den
Laura menggeliatkam tubuhnya merasakan elusan lembut di kepalanya. Laura menengokkan kepalanya ke atas. Di sana, dia menemukan Gavin yang tersenyum kepadanya. Laura membalikkan dirinya dan memeluk Gavin erat. Saat ini Laura tahu, bukan Meghan atau siapapun. Satu-satunya orang yang membutuhkan Gavin adalah dirinya. Sekali lagi, Laura ingin egois dan ingin memiliki Gavin hanya untuk dirinya. “Nanti kita digrebek orang kalo kayak gini,” ucap Gavin dengan nada geli. Laura tak mengindahkan ucapan Gavin. Laura semakin memeluk Gavin dan menenggelamkan kepalanya pada dada Gavin. “Jangan pergi. Di sini aja. Jangan tinggalin aku ya,” pinta Laura lirih. “Ucapan kamu nggak bisa ditarik lagi, Ra. Sekali kamu ngomong gitu, kamu nggak bakal lepas dar
Masa itu, dirinya merasa sendirian. Sangat sendirian. Jujur saja, Laura tidak pernah benar-benar membenci tetangganya yang mengasingkannya pada saat dirinya hamil. Menurut kebudayaan di sini, hamil di luar nikah memang lah hal yang tabu. Toh, walaupun mereka sepertinya tidak menyukai Laura, tapi mereka sangat menyayangi Davi. Walaupun hatinya sangat sakit saat diasingkan dengan tetangganya sendiri, paling tidak, Davinya tidak mendapatkan celaan sepertinya juga.Andaikan Laura dapat memutar waktu, dia akan dengan tegas menolak Mella untuk ikut mendaftar menjadi panitia. Tanpa sadar, satu air mata Laura menetes dari mata kirinya.Gara-gara malam prom itu, aku kehilangan masa depanku. Andaikan aku tidak menjadi panitia untuk acara prom night itu, mungkin sekarang Laura bisa menjadi bidan seperti cita-citanya dulu, batin Laura.Walaupun terdenagar pelan, di luar kamar kostnya Laura dapat mendengar suara pekikan Davi. Dan pekikan Davi sukses membuatnya semakin terluk
Masa itu, dirinya merasa sendirian. Sangat sendirian. Jujur saja, Laura tidak pernah benar-benar membenci tetangganya yang mengasingkannya pada saat dirinya hamil. Menurut kebudayaan di sini, hamil di luar nikah memang lah hal yang tabu. Toh, walaupun mereka sepertinya tidak menyukai Laura, tapi mereka sangat menyayangi Davi. Walaupun hatinya sangat sakit saat diasingkan dengan tetangganya sendiri, paling tidak, Davinya tidak mendapatkan celaan sepertinya juga.Andaikan Laura dapat memutar waktu, dia akan dengan tegas menolak Mella untuk ikut mendaftar menjadi panitia. Tanpa sadar, satu air mata Laura menetes dari mata kirinya.Gara-gara malam prom itu, aku kehilangan masa depanku. Andaikan aku tidak menjadi panitia untuk acara prom night itu, mungkin sekarang Laura bisa menjadi bidan seperti cita-citanya dulu, batin Laura.Walaupun terdenagar pelan, di luar kamar kostnya Laura dapat mendengar suara pekikan Davi. Dan pekikan Davi sukses membuatnya semakin terluk
Kamu nggak bisa ngeles lagi, Ra. Aku bakalan selalu nuntut pernikahan ke kamu. Davi emang sekarang belom paham, tapi nanti Davi pasti bakalan nanya ke kita.” “Aku takut, Kak. Kalo misalnya nanti aku nggak seperti apa yang Kak Gavin harapin gimana?” “Kamu udah lebih dari ekspektasiku, Ra. Bahkan kalo kamu mau bikin prenuptial agreement, aku nggak masalah.” Gavin mengenggam tangan Laura, mencoba menyakinkan Laura bahwa apa yang dikatakannya adalah serius. “Jadi?” Laura menatap Gavin lama. Setelah itu dirinya menghembuskan nafas panjang dan mengangguk. “Aku mau,” ujar Laura dengan lirih. “Lagipula, aku nggak ada pilihan lain, kan?” Gavin langsung menarik Laura ke dalam pelukannya. “Thanks, Ra.” Berkali-kali Gavin menggumamkannya pada Laura. “Minggu depan kita ke Jakarta. Aku bakal minta izin langsung ke orang tuamu.” “Nggak perlu!” *** Laura menidurkan tubuhnya ke atas ranjang yang telah ditiduri Davi lebih awal. Kepalany
Laura yang sedari tadi fokus terhadap sketsa milik Gavin mendongak. Ternyata, Gavin sedah duduk di hadapannya. Laura lalu mengangguk. “Tadi Bu Dara nanya, Davi nggak masuk beberapa bulan ke mana aja gitu. Untungnya Davi masih bisa lanjut sekolah di sana.”“Menurutmu itu salah siapa?” tanya Gavin dengan menyedekapkan kedua tangannya di depan dada.Laura menunjukkan senyum pepsodentnya kepada Gavin. “Maaf.”Wanita beranak satu itu menyiapkan bekal yang dibawakannya tadi diselingi dengan obrolan ringan bersama Gavin. Bagi Laura, Gavin yang ada di hadapannya sangat berbeda dengan Gavin yang dikenalnya dulu. Lelaki di hadapannya sangat dewasa dan bisa mengontrol emosinya.“Harusnya kita emang kaya gini, Ra.”Laura mendongak dan mentaap Gavin tepat di matanya. “Maksudnya?”“Kita bisa ngobrol santai, nggak ada debatnya juga.”***Laura membereskan wadah sisa makan
Langkah Laura terhenti saat merasakan lengan kekar yang memeluknya dari belakang. Pemilik dari lengan tersebut tentulah Gavin. Tubuh Laura hanya terdiam. Jujur saja, Laura sangat menikmati cara bagaimana Gavin meciumi puncak kepalanya.“Jangan marah. Aku cuma mau yang terbaik buat kamu. Kalo aku nggak maksa kamu sekarang, kamu bakal selalu jalan di tempat.” Gavin membisikkannnya tepat di samping telinga Laura.“Aku tahu,” lirih Laura. Walaupun lirih, Laura yakin jika Gavin mendengarnya. Gavin mempererat pelukannya kepada Laura.“Aku mau pulang, Kak.” Laura mencoba melepaskan pelukan Gavin. Nyaman memang, tapi Laura juga harus pulang. Laura masih harus mengurus beberapa hal di sekolah Davi.“Sebentar aja. Aku cape banget,” ujar Gavin dengan suara terendam rambut Laura.“Kak Gavin pasti nggak nyaman banget kalo kaya gini.” Tinggi Gavin dan Laura sangat kontras. Mungkin saat ini, tingginya ad
Laura menggeleng dengan kuat. “Laura yang salah, Pa. Laura mohon, terima Laura lagi, Pa. Laura nggak mau lagi pisah sama Papa Mama.”Setelah peristiwa haru biru itu, Arkan menuntun Laura untuk duduk di sofa. Masih tersisa isakan Laura yang terdengar di sana. Laura benar-benar merasakan pulang saat ini. Rasanya sangan menenangkan.Dari tempat duduknya, Laura dapat melihat perubahan yang signifikan dari kedua orang tuanya. Keriput yang terlihat samar dari wajah Arkan dan Farah menunjukkan bahwa Laura sudah terlalu lama tidak “pulang”. Apalagi, warna rambut Arkan yang mulai memutih menyadarkan Laura bahwa sudah sangat banyak waktu yang terbuang percuma.Laura menyesal karena telah meragukan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Harusnya, Laura tidak ragu untuk segera kembali ke rumah. seburuk apapun dirinya, orang tuanya pasti akan merangkulnya. Laura snagat paham jika sikap Arkan dulu hanya karena dirinya terlalu terkejut dengan apa yang telah menimpa Laura. Laura sangat maklum akan hal
Setelah makan malam, Arkan menggiring Laura dan yang lainnya ke ruang tamu arena di sanalah satu-satuya ruangan yang memiliki sofa. Tiba-tiba saja, Laura merasa gugup di situasi saat ini. Laura gugup tanpa alasan yang jelas.“Nak Gavin,” panggil Arkan kepada Gavin.Laura semakin dibuat gugup padahal bukan dirinya yang dipanggil.“Iya, Om.”Arkan tersenyum dan menepuk pundak Gavin yang duduk di sofa yang berserongan dengannya. “Terima kasih sudah membawa Laura kembali.”Gavin tersenyum dan menganggukkan kepalanya pada Arkan. “Selain untuk menepati janji saya pada Om, Saya membawa Laura kembali untuk meminta restu dengan benar.”Laura tersedak oleh ludahnya sendiri saat mendengar ucapan Gavin. Laura tahu jika Gavin memang berniat untuk melamarnya. Namun, dirinya tidak menyangka jika Gavin mengatakannya saat ini. Di hari pertama Laura bertemu dengan kedua orang tuanya.“Bukannya aku tidak tahu terima kasih, tapi aku baru bisa menerima restumu saat Nak Gavin membawa orang tua Nak Gavin ke
Suara tepukan tangan terdengar meriah. Tangan Gavin mengelus surai lembut Laura yang tampak terharu. Di depan sana, di atas panggung, Davi berdiri dengan penuh percaya diri karena meraih predikat sebagai lulusan terbaik di taman kanak-kanak. Nama Gavin dipanggil untuk mendampingi Davi di atas panggung. “Kamu aja yang naik ke panggung.” Gavin menepukkan tangannya pada telapak tangan Laura yang menggenggam erat karena terlalu antusias.Laura menoleh. “Kak Gavin aja. Semuanya yang di atas ditemenin ayahnya.”“Aku mau videoin kamu di sini. Kamu aja yang naik.”Laura menatap Gavin dengan wajah terharu. “Terima kasih,” ujar Laura sebelum beranjak dari duduknya dan menghampiri Davi. Sebelum berdiri di belakang Davi, Laura mengecup puncak kepala Davi dan menggumamkan beberapa kata selamat sehingga wajah Davi terlihat lebih berseri.Gavin menatap dua sosok kesayangannya dari kursi wali murid. Dalam bayangannya, Gavin tidak pernah bermimpi berada di fase seperti ini. Jika boleh, Gavin ingin me
Di samping itu semua, Laura sangat terharu dengan interaksi antara Geo dan Gavin. pasangan ayah-anak tersebut beberapa kali melakukan interaksi, meskipun kecanggungan masih terasa di sana. Paling tidak, Laura tidak lagi melihat kebencian di mata Gavin saat menatap Sang Ayah. Laura menjadi saksi bagaimana beberapa hari ini Gavin mencoba berdamai dengan masa lalunya. Sejak perceraian Geo, hubungan suami dan ayah mertuanya itu sedikit membaik. Bahkan, Gavin juga menerima permintaan maaf Vega meskipun dirinya tidak ingin sama sekali berhubungan dengan mantan ibu tirinya itu.***Kembali lagi ke waktu dua hari setelah Laura keluar dari rumah sakit, Laura dan Gavin duduk berdua di depan rumah Laura. Geo, ayah Gavin, baru saja kembali dari rumah Laura sebab ada beberapa hal yang perlu beliau diskusikan bersama Arkan. Di sanalah Laura tahu bahwa antara Geo dan Vega sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan karena secara resmi sudah bercerai.“Kak Gavin…” Laura menjeda ucapannya. Jujur saja, d
Punggung Laura yang tegang kini mulai mengendur. “Jangan hari ini ya, Kak?” pinta Laura pada Gavin.Gavin menganggukkan kepalanya. Tangannya masih belum berhenti untuk mengelus tengkuk Laura. “Hari ini aku cuma mau denger cerita tentang kamu dan Davi yang masih belum aku tau.”Malam itu, Laura dan Gavin habiskan untuk membahas banyak sekali hal. Bukan hanya Laura, Gavin juga menceritakan tentang kesehariannya selama dia bersekolah di luar negeri. Laura merasa sangat antusias mendengar cerita dari Gavin tentang masa kuliah karena dia tidak bisa merasakan masa itu dulu. Jika ditanyakan menyesal atau tidak, Laura tidak menyesal. Baginya, menjadi ibu yang baik untuk Davi sudah membuatnya sangat puas.***Laura dan Gavin menata barang-barangnya di rumah baru mereka. Laura sangat berterima kasih kepada Gavin saat lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan rumah untuk ditinggalinya bertiga. Gavin juga sangat mempertimbangkan lokasinya untuk perkembangan Davi. Gavin memilih lokasi d
“Abis sarapan aku mau ngajak kamu buat nyiapin berkas buat akad, takutnya nanti Davi kecapean kalo ikut kita.” Laura hanya menganggukkan kepalanya paham saat menerima penjelasan Davi. Gavin membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Laura masuk. Laura hanya diam menurut saat Gavin yang biasanya memilih untuk menyetir sendiri mobil saat bersamanya, hari ini menggunakan supir. Begitu mobil melaju, Gavin langsung merebahkan kepalanya ke arah Laura. Tubuhnya juga dia dekatkan hingga menempel penuh dengan Laura. “Kak Gavin jangan gini, ah. Malu.” Laura berbisik pada Gavin karena takut menyinggung supir Gavin. “Aku kangen banget,” ujar Gavin yang semakin menempelkan tubuh mereka. *** Laura dan Gavin sudah menyelesaikan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk menikah pada empat hari mendatang. Tentu saja banyak uang yang harus Gavin keluarkan agar proses yang dibutuhkan lancar dan cepat. Atas permintaan Laura, akad akan dilakukan secara sederhana di rumahnya. Tidak serta merta menur
Vega berdiri dan mendekatkan dirinya pada Geo yang menatapnya dengan datar. “Mas, apapun keputusanmu, aku terima. Kalo kamu mau ceraiin aku juga aku terima, Mas. Asalkan kamu bisa maafin aku.”“Kamu bisa ngembaliin semuanya, nggak? Bisa bikin Shanti hidup dan maafin aku lagi? Bisa bikin Gavin nggak benci aku lagi? Bisa bikin semuanya balik normal lagi. Kalo kamu bisa, aku maafin kamu.”“Mas, aku nyesel, aku minta maaf.” Vega menggumamkannya berkali-kali dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya.Geo menghembuskan nafasnya dengan berat. “Jelasin semuanya ke Gavin tanpa ada yang kamu tutupi. Setelah itu, saya akan ngajuin perceraian kita. Saya nggak bisa nikah sama orang jahat seperti kamu.” Geo mulai mengembalikan gaya bahasa seperti dulu dan Vega hanya bisa pasrah.***Dua hari berlalu dan Laura hari ini keluar dari rumah sakit. Dari tadi, Gavi sudah disibukkan dengan administrasi. Sebelumnya, Arkan sudah ingin mengurusnya, namun dengan tegas Gavin menolaknya. Bagi
Dunia Geo terasa runtuh pada saat membaca berkas dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Vega tengah mengandung. Meskipun Geo tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi di malam itu, dirinya tetap harus mempertanggung-jawabkannya. Geo menghembuskan nafasnya panjang, semua ini terasa berat baginya.Geo tidak sanggup jika harus mengatakannya pada Shanti dan Gavin. Dirinya belum siap, tidak akan siap jika kedua orang itu harus membencinya. Mata Geo memanas, hatinya sangat hancur saat dirinya membayangkan bagaimana reaksi Shanti dan Gavin.“Aku nggak masalah kalau kita harus nikah siri dan menyembunyikannya dari Shanti, Mas.”“Keluar.” Hanya satu kata itu yang bisa Geo ucapkan.“Mas, aku-”“Saya bilang keluar, Vega!” tegas Geo dengan nada tinggi. Vega akhirnya mengangguk sedih dan memilih untuk keluar dari ruangan Geo. Vega memberikan sedikit ruang pada Geo. Namun, hanya ada satu pilihan pada saat ini, yaitu Geo menikahinya.“Maafin aku, Shanti.”***“Ma, aku kemaren denger Mama nangis
Geo menghembuskan nafasnya berat. Lagi dan lagi, rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya itu kembali menghantam hati Geo. Sebab dirinya, Dara dan Bagas, anak pertama Egi harus kehilangan peran ayah. “Baiklah,” ujar Geo dengan memaksakan senyumnya.“Makasih ya.” Vega memberikan senyum terbaiknya kepada Geo yang hanya dibalas anggukan singkat dari Geo.“Saya kabari Shanti dulu,” ujar Geo tanpa memberikan banyak atensi pada Vega.Geo bergerak gelisah dengan tangan memandangi layar ponselnya. Di sana, terdapat nama kontak “Soul” dan dibubuhkan emoji hati di sampingnya. Sedari tadi, kontak Shanti hanya berdering tanpa diangkat oleh empunya.Menyerah, Geo memilih untuk mengetikkan pesan pada Shanti bahwa dirinya tidak pulang untuk malam ini karena ada beberapa pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Untungnya, sebelum kematian Egi, Geo memang sudah sering menginap di kantor karena memang banyak pekerjaan yang hars segera diselesaikannya karena tenggat waktu yang sudah
Ciuman itu terhenti dengan Laura yang terengah-engah dan segera meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Berbeda dengan Laura, Gavin sama sekali terlihat biasa saja. Bahkan, tangan Gavin sekarang bergerak untuk membersihkan bibir Laura yang basah akibat saliva mereka berdua.“Faktanya emang kamu nggak nolak ciuman dari aku, Ra.”Laura menghembuskan nafasnya lelah. Berbicara dengan Gavin membuatnya tidak pernah bisa berkutik. Gavin dengan segala argumennya membuat Laura kalah. Selain itu, aura dominan yang menguar dari tubuh Gavin membuat siapa pun akan memilih diam daripada semakin kalah. “Terserah kak Gavin aja deh.”“Oh iya, Ra. Kamu kudu belajar pernafasan lagi, deh.”“Kenapa emangnya?” tanya Laura yang sedikit bingung dengan ucapan Gavin yang tiba-tiba dan sangat tak terduga itu.“Biar kita kalo ciuman bisa lebih lama.”***Vega POVAku berjalan menuju salah satu kamar di rumah sakit dengan kaki yang lemas. Setelah mendapatkan telpon dari pihak rumah sakit, serta merta hatiku dil
Tangan kiri Gavin yang sedari tadi diam dan tidak ikut mengelus rambut Laura beralih untuk mencubit pipi Laura dengan lembut. Tangan Laura terangkat untuk melindungi pipinya dari serangan Gavin. Meski begitu, Gavin masih memiliki cela untuk mencubit pipi Laura. Bahkan, sekarang Gavin beralih untuk mencubit hidung mancung Laura.“Kak Gavin, stop it,” ujar Laura dengan geli. Gavin terkekeh dan menghentikan cubitannya pada Laura.“I wanna kiss you so bad,” bisik Gavin dengan suara lirihnya. Bahkan saat ini, wajah Gavin berada tepat di atas wajah Laura. Bergerak sedikit saja, bibir Laura pasti akan menyentuh bibir milik Gavin.Wajah Laura rasanya terbakar melihat tatapan Gavin yang sangat intens padanya. Jantung Laura terasa berdebar. “Apa Kak Gavin bakal natap aku terus? Bukannya di film kalo orang ciuman bakal nutup matanya?” batin Laura menjerit. Dengan perlahan, Laura menutup matanya, mencoba untuk mengabaikan Gavin yang masih menatapnya dengan intens.Tubuh Laura semakin kaku saat me