Dalam hati Laura sangat ingin Gavin menceritakan masa lalunya. Dia ingin tahu kehidupan Gavin selama di London. Apakah Gavin terjebak oleh pergaulan di sana. Apa saja yang sudah dilalui Gavin di sana. Dan masih banyak kata "apa" di kepalanya.
Namun Laura sadar, dia hanya sebatas ibu dari anak Gavin. Tidak lebih. Walau sebenarnya Laura ingin lebih. Tapi dia tidak bisa.
"Sepertinya aku mulai mencintaimu, Ra.”
***
Laura menatap mobil yang ada di depan rumahnya. Dia sangat mengenal mobil itu. Laura merasa gugup. Dia takut apa yang dipikirkannya terjadi.
"Siapa, Ra?” tanya Gavin.
Laura tersentak. Dia segera menatap Gavin. "Kak Angin. Sepupuku.”
Gavin berhenti di pinggir jalan depan rumah Laura. Halaman rumah Laura hanya mampu menampung satu mobil. "Ehm… Kak Gavin nggak perlu ikut turun, ya. Aku aja yang turun.” Laura membenarkan posisi tidur Davi di gendongannya dan membuka pintu mobilnya.
Laura berjal
Happy New Year!! Semoga tahun 2022 lebih menyenangkan dibandingkan 2021. Sebenernya aku spontan aja si nulis ini. Ehemm... Dengan ini CrOWN resmi selesai. Kayanya emang nggak adil buat siapa-siapa di ending season 1 ini. Kadang, emang ga semua ending kudu berakhir bersama atau menikah hehe. Tapi, karena aku penganut azas hidup itu adil, jadi aku bakalan nerusin perjalanan hidup Laura. Mungkin nggak panjang atau mungkin bakalan panjang banget. Kalo yang CrOWN ini aku udah nyimpen draft-nya, jadi tinggal post. Kalo yang season 2 ini pure aku nulis dari awal. Jadi, aku nggak bisa memprediksi jumlah bab jadi season 2 ini. Rencananya, aku bakalan bikin sekitar 20 atau 25 bab. Apa aja isinya? Nah untuk isinya, aku bakalan nyeritain sisi-sisi yang belum dibahas di season 1. Aku spill salah satunya ya hehehe. Akan ada sedikit kisah antara Geo-Shanti-Vega. Omong-omong, aku nggak bisa bikin karakter jahat di
Semesta selalu mengetahui keadaan hati tanpa perlu dibisiki. Seperti saat ini, rintik hujan seperti mengisi relung hati seorang wanita yang sedang berlari dari peliknya takdir. Air menetes melewati kaca kereta, mewakili air mata yang tidak bisa menetes dari mata seorang wanita yang kini tengah memandangi jendela kereta itu. Ditahannya setetes air mata itu dengan sekuat tenaga sampai dirinya sadar bahwa dia tidak bisa lagi menahan air dari kelopak matanya. Dengan perlahan, air itu meleleh dari mata kirinya. Cukup, ucapnya dalam hati. Sudah cukup satu air mata itu. Dia tidak ingin menitikkan air matanya dengan percuma. Dia ingin menjadi wanita yang lebih kuat lagi. Bukankah wanita memang terlahir kuat? Ditatapnya anak laki-laki yang tidur berbantalkan pahanya. Dia memaksakan bibirnya untuk melengkungkan sebuah senyuman. Namun la
“Aku Maurin, Mbak. Ayo, aku anter ke pasar.” "Aku Laura. Makasih ya mau direpotin,” ucap Laura. Mereka keluar dari kost Laura dan mencegat becak. Maurin banyak cerita tentang kehidupannya. Ternyata Maurin lebih muda dua tahun darinya, dia baru lulus kuliah dan sekarang bekerja menjadi guru taman kanak-kanak salah satu TK di tengah kota. Selama berbelanja, Laura sesekali mengecek uangnya. Tak sekali-dua kali dia tergiur untuk menggunakan kartu debit milik Gavin yang lupa tak dikembalikannya. Apa dia harus menggunakannya? Apa dia boleh menggunakannnya? Laura menggeleng. Setelah dia pergi dari kehidupan Gavin, tidak pantas rasanya jika dia masih menggunakan kartu debit Gavin. Tapi, Laura benar-benar membutuhkan. Pikiran Laura berkecamuk. Nanti, nanti dia akan mengembalikan uang Gavin setelah hatinya sembuh. Nanti. “Rin, anterin aku ke ATM.” *** Gavin menjalankan mobilnya ke
Setelah puas bercerita, Bu Lela kembali ke rumahnya. Kini Laura kembali sendiri, ditemani semilir angin malam yang tidak terlalu dingin. Laura kembali memandangi langit. Langit tampak kosong, tidak ada bintang yang mempercantik langit. Laura menghembuskan nafasnya panjang. Laura merasa kesepian, sama seperti langit. Akhir-akhir ini, hidupnya diberi warna oleh Gavin, tapi sekarang telah kosong. Bahkan belum sehari dia pergi, tapi dia merasakan kekosongan itu dengan sangat. Laura kira semua akan sama saja, toh tujuh tahun tanpa Gavin terasa baik-baik saja. Laura bisa melakukan apapun sendiri. Tapi setelah Gavin hadir, dia—dengan kurang ajarnya—memporak-porandakan kehidupan Laura. Kini, Laura harus kembali memaksa dirinya untuk menjadi mandiri dan tidak lagi bergantung pada siapapun.&nb
Davi sudah tidak memberontak lagi. Sekarang Davi hanya diam dengan sisa sesenggukan. Laura mengelus kepala Davi pelan, setelah itu Laura beranjak dari kasur. Wanita beranak satu itu meneruskan kegiatannya untuk menata kue yang sudah matang tadi. Laura hendak keluar untuk mengantarkan kue yang telah siap itu ke Bu Lela. Sebelum itu, Laura menyempatkan dirinya untuk mengelus kepala Davi dengan lembut. Sebelum kembali ke indekosnya, Laura menyempatkan diri untuk mampir ke toko dan membeli ice cream dan cokelat untuk Davi. Laura rasa, cokelat dan ice cream dapat mengembalikan keceriaan Davi. “Davi, ini Bunda bawain ice-” “Bunda, ini Ayah mau ngomong.” Davi menghadapkan layar ponselnya ke Laura. Saat itu, Laura menyesal telah mengajari Davi cara untuk menghubungi dan
Laura memukul kembali kepalanya. Jantungnya berdebar. Laura berulang kali menarik dan mengeluarkan nafas, tapi dia tetap tidak bisa menanganinya. Hatinya merasa cemas, entah apa yang dicemaskannya. Keringat dingin mulai membasahi tangannya. Dengan gemetar, Laura beranjak dari ranjang dan mengambil air minum. Laura kembali mengatur nafasnya. Debaran di jantungnya sudah mulai normal. Laura berpegangan pada dinding. Tubuh Laura masih lemas. Laura mendengar pintu indekosnya diketuk. Laura hanya menjawab dengan sekadarnya. “Nduk, besok anak Ibu pulang, minta tolong catheringnya diurus, yo.” Laura hanya menjawab dengan gumaman. Laura memilih untuk beristirahat agar staminanya kembali. dia tidak ingin mengecewakan Bu Lela, setelah se
Tidur Laura terusik dengan suara pintu yang diketuk. Laura beranjak dari ranjang dengan kepala yang berat. Laura membuka pintunya sedikit dan mengeluarkan kepalanya. Saat membuka pintu, Laura merasa diawasi. Seperti ada yang memerhatikannya, tapi saat melihat sekitar hanya ada lelaki di hadapannya dan juga satu di Warung Anton. “Siapa ya?” tanya Laura dengan sikap waspada. Laura merasa asing dengan lelaki dengan usia sekitar beberapa tahun di atasnya ini. Sepertinya dia bukan orang sini. “Saya Bata, anaknya Bu Lela. Ini ada buah tangan.” Laura mengangguk dengan membuka pintunya lebih lebar. Dia melangkah dua langkah ke depan agar tubuhnya keluar dari rumah. “Kamu anakny
Bu Lela mengibaskan tangannya tak acuh. “Ra popo. Wong iku yang beliin bukan Bata, tapi temennya Bata. Wong Davi yo akrab banget kok sama temennya Bata.” Laura menganggukkan kepalanya, Davi memang mudah akrab dengan siapa saja. Davi yang cerewet dan aktif bisa menarik siapa saja untuk berkenalan dengannya. Entah sifat Davi yang seperti itu menurun dari siapa, baik dia maupun ayahnya Davi tidak ada yang memiliki sifat humble. “Tapi Laura tetep aja sungkan, Bu. Kan mereka baru kenal, tapi beliin mainannya kok banyak banget.” Bu Lela menepuk bahu Laura, “Yang biasanya beliin sampean makanan yo temennya Bata. Semua anak kos dikasih makanan sama dia.”