"Oh sorry, man,” ujar Richard. "Babe, look at this!" Richard memberikan ponsel Gavin pada Chloe. "She is so beautiful. Isn't she?"
Davi tersenyum senang. "Ya, Bunda is so beautiful.”
Chloe mengangguk setuju. "Ya, Babe. Pantas Gavin tak pernah melirik Meghan. Laura terlihat polos dan manis.”
Richard kembali mengambil ponsel Gavin dan melihat foto-foto Laura. Chloe bukannya marah malah tersenyum maklum. Gavin tidak suka melihat tatapan kagum Richard pada Laura, walau hanya sebatas fotonya.
Gavin mengambil paksa ponselnya dan memasukkannya ke saku. "Chloe, save your boyfriend well!” desis Gavin dengan tetap menatap tajam Richard.
***
Mella mengantarkan Laura menuju florist. Sudah dua minggu sejak Gavin membawa Davi pergi, Mella tetap memperlakukannya dengan tak biasa. Sebenarnya Laura sudah menolak, tapi Mella is Mella.
Meghan tertawa hambar. [I'm okay,Ric.] Mereka diam. Tak ada yang berbicara. Meghan terdengar menghembuskan nafasnya panjang. [Ya... I'm sorrowful. But what can i do? WhatAkashwant isLaura.] ujar Meghan lirih.Richard dapat merasakan perasaan sahabat kecilnya itu. "You're a strong woman.”Meghan tersenyum di seberang sana. [Thanks,Ric] ujar Meghan dengan nada sok kuat. [Sudah ya, Ric. Aku ingin pergi.] ujar Meghan dengan mematikan ponselnya.Richard menyimpan ponselnya. Dia kembali memandang langit London yang terlihat indah. Richard menolehkan kepalanya saat merasa pintu balkon kembali terbuka.Gavin berdiri di sana dengan kikuk. "Ikut aku beli cincin.”***"Apa mending kita nyusulin Kak Gavin aja ke London?” tanya Mella.Laura menggeleng. Dia sudah tak ingin berharap lagi. Toh kata Gavin dia akan sesekali menemui Laura di si
Pelan-pelan Laura mengobati luka Gavin. Sesekali Gavin meringis merasa perih. Tapi dia senang Laura seperhatian ini dengannya. "Aku udah empat kali bonyok gara-gara kamu,” ujar Gavin.Laura menatap Gavin kaget. "Empat kali?"Gavin mengangguk. "Dulu sama ayahmu, dua kali sama Leon dan temenku di London.”"Papa?” tanya Laura bingung."Ya, aku pernah ke sana dan papamu menghajarku abis-abisan.” Gavin dapat melihat perubahan wajah Laura. Laura terlihat sedih.Gavin menggenggam tangan Laura erat. "Maaf, aku nggak bermaksud ngingetin kamu tentang orang tuamu.”Laura mencoba tersenyum. "Aku nggak papa kok.”"Ra,” panggil Gavin dengan nada serius. "Aku mungkin nggak bisa ngubah masa lalumu, tapi boleh aku dampingi kamu di masa depan?"***Laura menarik tangannya pelan. "Aku... Aku nggak tau, Kak.” Dia menunduk, tak berani menatap Gavin.Gavin menarik dagu Laura agar menatapn
"Kau memang pantas menjadi ibu. Kau terlalu lembut,” komentar Richard."Oh ayolah, Akash. Jangan terlalu kaku. Aku tak akan merebut Laura. Aku sudah memiliki Chloe,” ujar Richard dengan mengecup pipi Chloe cepat."Betul itu, Tuan Bucin. Di sini nggak bakal ada yang ngambil Laura. Entah kalau yang di luar sana,” ujar Mella malas."Mell, udah. Nggak selesai-selesai kalo disautin terus,” ujar Laura menengahi.Tok tok tokLaura sekarang yang membuka pintu. Laura dan yang lainnya terkejut saat Laura telah membuka pintu. Laura mencoba tersenyum walau terlihat canggung pada wanita yang ada di hadapannya kini. Laura bingung harus bereaksi seperti apa."Kalian bersenang-senang tanpa ngajak gue?” gerutu wanita itu."Meghan?"***"Meghan?” panggil Chloe dengan bingung."Yes, i am,” ujar Meghan tanpa beban. Sebenarnya dia merasakan ke kecanggungan di sini. Tapi dia t
Dalam hati Laura sangat ingin Gavin menceritakan masa lalunya. Dia ingin tahu kehidupan Gavin selama di London. Apakah Gavin terjebak oleh pergaulan di sana. Apa saja yang sudah dilalui Gavin di sana. Dan masih banyak kata "apa" di kepalanya.Namun Laura sadar, dia hanya sebatas ibu dari anak Gavin. Tidak lebih. Walau sebenarnya Laura ingin lebih. Tapi dia tidak bisa."Sepertinya aku mulai mencintaimu, Ra.”***Laura menatap mobil yang ada di depan rumahnya. Dia sangat mengenal mobil itu. Laura merasa gugup. Dia takut apa yang dipikirkannya terjadi."Siapa, Ra?” tanya Gavin.Laura tersentak. Dia segera menatap Gavin. "Kak Angin. Sepupuku.”Gavin berhenti di pinggir jalan depan rumah Laura. Halaman rumah Laura hanya mampu menampung satu mobil. "Ehm… Kak Gavin nggak perlu ikut turun, ya. Aku aja yang turun.” Laura membenarkan posisi tidur Davi di gendongannya dan membuka pintu mobilnya.Laura berjal
Happy New Year!! Semoga tahun 2022 lebih menyenangkan dibandingkan 2021. Sebenernya aku spontan aja si nulis ini. Ehemm... Dengan ini CrOWN resmi selesai. Kayanya emang nggak adil buat siapa-siapa di ending season 1 ini. Kadang, emang ga semua ending kudu berakhir bersama atau menikah hehe. Tapi, karena aku penganut azas hidup itu adil, jadi aku bakalan nerusin perjalanan hidup Laura. Mungkin nggak panjang atau mungkin bakalan panjang banget. Kalo yang CrOWN ini aku udah nyimpen draft-nya, jadi tinggal post. Kalo yang season 2 ini pure aku nulis dari awal. Jadi, aku nggak bisa memprediksi jumlah bab jadi season 2 ini. Rencananya, aku bakalan bikin sekitar 20 atau 25 bab. Apa aja isinya? Nah untuk isinya, aku bakalan nyeritain sisi-sisi yang belum dibahas di season 1. Aku spill salah satunya ya hehehe. Akan ada sedikit kisah antara Geo-Shanti-Vega. Omong-omong, aku nggak bisa bikin karakter jahat di
Semesta selalu mengetahui keadaan hati tanpa perlu dibisiki. Seperti saat ini, rintik hujan seperti mengisi relung hati seorang wanita yang sedang berlari dari peliknya takdir. Air menetes melewati kaca kereta, mewakili air mata yang tidak bisa menetes dari mata seorang wanita yang kini tengah memandangi jendela kereta itu. Ditahannya setetes air mata itu dengan sekuat tenaga sampai dirinya sadar bahwa dia tidak bisa lagi menahan air dari kelopak matanya. Dengan perlahan, air itu meleleh dari mata kirinya. Cukup, ucapnya dalam hati. Sudah cukup satu air mata itu. Dia tidak ingin menitikkan air matanya dengan percuma. Dia ingin menjadi wanita yang lebih kuat lagi. Bukankah wanita memang terlahir kuat? Ditatapnya anak laki-laki yang tidur berbantalkan pahanya. Dia memaksakan bibirnya untuk melengkungkan sebuah senyuman. Namun la
“Aku Maurin, Mbak. Ayo, aku anter ke pasar.” "Aku Laura. Makasih ya mau direpotin,” ucap Laura. Mereka keluar dari kost Laura dan mencegat becak. Maurin banyak cerita tentang kehidupannya. Ternyata Maurin lebih muda dua tahun darinya, dia baru lulus kuliah dan sekarang bekerja menjadi guru taman kanak-kanak salah satu TK di tengah kota. Selama berbelanja, Laura sesekali mengecek uangnya. Tak sekali-dua kali dia tergiur untuk menggunakan kartu debit milik Gavin yang lupa tak dikembalikannya. Apa dia harus menggunakannya? Apa dia boleh menggunakannnya? Laura menggeleng. Setelah dia pergi dari kehidupan Gavin, tidak pantas rasanya jika dia masih menggunakan kartu debit Gavin. Tapi, Laura benar-benar membutuhkan. Pikiran Laura berkecamuk. Nanti, nanti dia akan mengembalikan uang Gavin setelah hatinya sembuh. Nanti. “Rin, anterin aku ke ATM.” *** Gavin menjalankan mobilnya ke
Setelah puas bercerita, Bu Lela kembali ke rumahnya. Kini Laura kembali sendiri, ditemani semilir angin malam yang tidak terlalu dingin. Laura kembali memandangi langit. Langit tampak kosong, tidak ada bintang yang mempercantik langit. Laura menghembuskan nafasnya panjang. Laura merasa kesepian, sama seperti langit. Akhir-akhir ini, hidupnya diberi warna oleh Gavin, tapi sekarang telah kosong. Bahkan belum sehari dia pergi, tapi dia merasakan kekosongan itu dengan sangat. Laura kira semua akan sama saja, toh tujuh tahun tanpa Gavin terasa baik-baik saja. Laura bisa melakukan apapun sendiri. Tapi setelah Gavin hadir, dia—dengan kurang ajarnya—memporak-porandakan kehidupan Laura. Kini, Laura harus kembali memaksa dirinya untuk menjadi mandiri dan tidak lagi bergantung pada siapapun.&nb