Dengan langkah lemah Raiga menuju kamar perawatan Yura, dia mencoba untuk bersikap biasa, setidaknya jangan sampai menangis di depan sang istri. Tak ada yang bisa dia syukuri saat ini, meski Yura tak mengalami cidera serius di kepala atau patah tulang, tapi gadis itu kehilangan rahim. Raiga membuang napas berkali-kali dari mulut, dia meraih gagang pintu lalu melangkah masuk. Namun, alangkah terkejutnya Raiga saat melihat Yura berbaring dengan bayi di sampingnya. Yura tak sadar Raiga datang, tapi dokter yang bertanggung jawab atas gadis itu mendekati Raiga lalu berkata-"Dia baru bisa tenang setelah kami sepakat membawa bayinya ke kamar, kata dokter Lily ini keajaiban karena putri kalian tidak mengalami cedera atau luka."Raiga meneguk saliva, tentu saja karena bayi itu sebenarnya adalah anak Sean dan Zie. "Baik Dok, terima kasih," jawabnya. Raiga mendekat ke ranjang setelah dokter dan perawat keluar. Ia memandangi bayi mungil itu, sungguh wajahnya sangat mirip dengan putrinya yang
Ghea mengusap pipi Zie penuh kasih sayang, menantunya itu terlihat tegar meski matanya masih terlihat sembab. Ghea baru saja datang, dia menanyakan kabar dan kondisi Zie terlebih dulu sebelum menyampaikan pesan dari Raiga soal permintaan ASI untuk anak pria itu dan Yura."Rai juga sudah menghubungiku tadi, aku sama sekali tidak keberatan kok, Ma. Nanti aku perahkan." Zie memulas senyum tipis, sedangkan Sean yang duduk tak jauh darinya hanya mendengarkan saja. Ia masih enggan berangkat kerja karena masih ingin menemani Zie di rumah sang mertua. Soal permintaan ASI itu, awalnya Sean sedikit keberatan jika sang istri harus memberikan ASI itu ke anak adiknya, bukan tanpa alasan. Ini karena Sean takut Zie merasa sedih karena tidak bisa memberikan ASInya ke anak sendiri, tapi malah ke anak orang lain. "Tidak apa-apa, dari pada aku pompa dan buang lebih baik untuk anak Rai, lagi pula anaknya juga perempuan." Begitu ucapan Zie saat meminta persetujuan Sean tadi. Setelah berbincang beberapa
"Ra, kamu harus kuat. Aku dan kakakmu harus terbang kembali ke Aussie, kami tidak bisa meninggalkan Kyle terlalu lama sendirian."Kakak ipar Yura memegang tangan gadis itu, memberi kekuatan karena dia sedih tidak bisa berlama-lama di Indonesia menemani Yura yang sedang berduka. Sebagai putri satu-satunya di keluarga, Yura memang tak terlalu dekat dengan dua kakak laki-lakinya. Yura mengangguk untuk menjawab sang ipar. Ia tak peduli mau ditemani atau tidak tetap saja kesedihan kehilangan Mirna tak bisa hilang begitu saja. "Ra, aku sebenarnya tidak ingin mengatakan ini, tapi kakakmu marah ke papa, dia bahkan menduga kecelakaan yang menimpamu ini disengaja."Yura yang awalnya tak peduli seketika melebarkan manik mata, dia mengerutkan kening meminta penjelasan ke iparnya. "Apa maksud kakak?""Aku tidak bisa mengatakannya lebih jauh, tapi jika ada apa-apa kamu bisa menghubungiku."Yura ditinggal sendirian dengan pertanyaan yang kini membuatnya tak tenang. Mungkinkah ada orang sejahat it
"Marsha! Bisa tidak mengetuk pintu dulu."Sean mengomel, dia memandang Zie yang kaget bukan kepalang. Istrinya itu pasti berpikir Raiga atau mungkin keluarga Yura yang datang. Marsha tertawa dan meminta maaf, dia tak menyangka kedatangannya membuat semua orang kaget."Maaf, perawat yang ada di luar tadi bilang Yura sedang sendirian." Marsha berjalan pelan lalu meletakkan buah tangan ke meja. Ia memang sengaja ke sana untuk menjenguk Yura, tak disangka sahabat baiknya juga sedang berkunjung. Marsha menanyakan kabar Yura lebih dulu, dia bahkan membantu istri sepupunya itu ke kamar mandi. "Apa ASI-mu belum lancar? Bagaimana kalau aku carikan booster? Besok akan aku buatkan sayur daun katuk," ucap Marsha. Ia menceritakan beberapa cara yang dinilai ampuh untuk memperlancar ASI agar Yura bisa mencobanya. Yura pun terharu, dia mengangguk dan berterima kasih ke Marsha. Di tengah keluarganya yang seolah tak peduli dengan kondisinya, keluarga Raiga benar-benar membuatnya merasa berharga.
Tiga tahun kemudian "Ken! Keenan!" Suara Zie pagi itu memecah keheningan rumah. Dia sudah memakai setelan kerja rapi, make up tipis sudah mempercantik penampilannya. Tiga tahun ini dia kembali bekerja di Lembaga Perlindungan Anak dan sudah enam bulan ini kembali menjadi pucuk pimpinan di sana. "Masih belum ketemu?" Sean keluar kamar sambil mengancingkan lengan kemejanya, dia menyodorkan lengan ke Zie karena kesusahan untuk melakukannya sendiri. "Iya, apa dia sengaja bersembunyi? Padahal tadi sepertinya sudah duduk manis." Zie bertanya ke Sean lalu menoleh sekeliling, mereka sekarang tinggal di apartemen yang tak jauh dari sekolah Keenan dan merasa jauh lebih nyaman. Mereka juga masih tak memiliki pembantu dan hanya memesan jasa bersih-bersih setiap sore, saat salah satu dari mereka sudah pulang. Terkadang Sean merasa kasihan karena Zie juga masih memasak untuknya dan sang putra, tapi saat diminta berhenti Zie akan berkata dia senang melakukan itu, apalagi melihat Sean dan Keenan
Sejak sampai ke LPA Zie langsung fokus ke pekerjaannya. Sama halnya dengan Sean, dia juga hanya akan bekerja sampai jam sebelas. Zie masih tak menyangka dia akan mendapatkan posisi direktur lagi di LPA. Padahal bekerja di sana lagi menurut Zie sudah menjadi berkah tersendiri, apalagi bisa menduduki jabatan tertinggi. "Bisa kita rapat sebentar?"Zie datang ke ruangan staff dan meminta rapat. Ia sekaligus ingin izin pulang lebih awal kepada anak buahnya. Sekarang Zie memutuskan untuk tidak memiliki sekretaris seperti dulu, dia memilih mengurus semua keperluannya sendiri dengan bantuan admin kantor untuk urusan lain-lain yang tidak bisa dia kerjakan. Semua orang yang bekerja di LPA tentu merasakan perbedaan besar saat dipimpin oleh Zie. Wanita itu tidak terlalu membebani para staffnya untuk menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin. Ini karena mereka bukan pekerja perusahaan yang dituntut mendapatkan laba besar untuk perputaran roda perusahaan. "Terima kasih, singkat saja. Aku hanya mau
Perlahan tangan Sean mulai membuka kancing kemeja Zie, dia meloloskannya dengan sangat mudah hingga terlepas dari tubuh sang istri. Tak hanya Sean, Zie juga melakukan hal yang sama. Wanita itu mengurai ikatan dasi Sean masih dengan bibir yang bergerak meladeni nafsunya. Mereka sama-sama melepas tautan bibir saat merasa kehabisan napas. Zie menunduk dan tersenyum, dia melihat setengah dada bidang Sean dan tak lama menegakkan kepala, dia usap bibirnya yang basah sebelum melepaskan semua kancing baju Sean yang masih tersisa dengan tergesa-gesa. "I want you honey." Sean menyentuhkan jemarinya ke pipi Zie yang sudah merona. Ia tahu ciuman tadi cukup membangkitkan birahi sang istri. "Eat me!" Balas Zie dengan nada suara yang sangat menggoda. Ibarat santapan lezat dia meminta Sean untuk memakannya. Sean yang sudah terpancing pun tak melewatkan kesempatan itu. Dia meraih pinggang Zie hingga wanita itu bergelayut melingkarkan kaki ke pinggangnya. Bukannya membawa sang istri ke kamar, Sean
Sean masih tak ingin cepat-cepat melepaskan kenikmatan yang sedang dia rasakan. Dia masih terus menggerakkan miliknya menumbuk inti Zie yang masih ada di atas pangkuan. Lidahnya seperti tak bisa jauh dari dada Zie dan terus menyesap hingga sang empunya mengerang. Zie meliuk saat gelenyar aneh terasa mengaliri tubuhnya.Mereka mencapai puncak kenikmatan bersama-sama, saling memeluk dengan napas yang masih memburu."Aku mencintaimu." Sean berbisik mesra ke telinga Zie dan istrinya itu hanya mengangguk sebagai balasannya.Mereka membersihkan diri dan berganti baju, memutuskan untuk rehat dan memesan makanan dari layanan pesan antar. Zie lemas, dia yakin tidak akan bisa melanjutkan ronde kedua jika tidak mengisi tenaga dulu."Di situ saja!" Larang Sean saat bel pintu apartemen mereka berbunyi. Pria itu memindai penampilan sang istri. Zie hanya mengenakan kemeja miliknya tanpa memakai celana."Tidak ada yang boleh melihatmu seperti ini." Sean menyipitkan mata, sedangkan Zie tertawa lalu m