Tiga tahun kemudian "Ken! Keenan!" Suara Zie pagi itu memecah keheningan rumah. Dia sudah memakai setelan kerja rapi, make up tipis sudah mempercantik penampilannya. Tiga tahun ini dia kembali bekerja di Lembaga Perlindungan Anak dan sudah enam bulan ini kembali menjadi pucuk pimpinan di sana. "Masih belum ketemu?" Sean keluar kamar sambil mengancingkan lengan kemejanya, dia menyodorkan lengan ke Zie karena kesusahan untuk melakukannya sendiri. "Iya, apa dia sengaja bersembunyi? Padahal tadi sepertinya sudah duduk manis." Zie bertanya ke Sean lalu menoleh sekeliling, mereka sekarang tinggal di apartemen yang tak jauh dari sekolah Keenan dan merasa jauh lebih nyaman. Mereka juga masih tak memiliki pembantu dan hanya memesan jasa bersih-bersih setiap sore, saat salah satu dari mereka sudah pulang. Terkadang Sean merasa kasihan karena Zie juga masih memasak untuknya dan sang putra, tapi saat diminta berhenti Zie akan berkata dia senang melakukan itu, apalagi melihat Sean dan Keenan
Sejak sampai ke LPA Zie langsung fokus ke pekerjaannya. Sama halnya dengan Sean, dia juga hanya akan bekerja sampai jam sebelas. Zie masih tak menyangka dia akan mendapatkan posisi direktur lagi di LPA. Padahal bekerja di sana lagi menurut Zie sudah menjadi berkah tersendiri, apalagi bisa menduduki jabatan tertinggi. "Bisa kita rapat sebentar?"Zie datang ke ruangan staff dan meminta rapat. Ia sekaligus ingin izin pulang lebih awal kepada anak buahnya. Sekarang Zie memutuskan untuk tidak memiliki sekretaris seperti dulu, dia memilih mengurus semua keperluannya sendiri dengan bantuan admin kantor untuk urusan lain-lain yang tidak bisa dia kerjakan. Semua orang yang bekerja di LPA tentu merasakan perbedaan besar saat dipimpin oleh Zie. Wanita itu tidak terlalu membebani para staffnya untuk menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin. Ini karena mereka bukan pekerja perusahaan yang dituntut mendapatkan laba besar untuk perputaran roda perusahaan. "Terima kasih, singkat saja. Aku hanya mau
Perlahan tangan Sean mulai membuka kancing kemeja Zie, dia meloloskannya dengan sangat mudah hingga terlepas dari tubuh sang istri. Tak hanya Sean, Zie juga melakukan hal yang sama. Wanita itu mengurai ikatan dasi Sean masih dengan bibir yang bergerak meladeni nafsunya. Mereka sama-sama melepas tautan bibir saat merasa kehabisan napas. Zie menunduk dan tersenyum, dia melihat setengah dada bidang Sean dan tak lama menegakkan kepala, dia usap bibirnya yang basah sebelum melepaskan semua kancing baju Sean yang masih tersisa dengan tergesa-gesa. "I want you honey." Sean menyentuhkan jemarinya ke pipi Zie yang sudah merona. Ia tahu ciuman tadi cukup membangkitkan birahi sang istri. "Eat me!" Balas Zie dengan nada suara yang sangat menggoda. Ibarat santapan lezat dia meminta Sean untuk memakannya. Sean yang sudah terpancing pun tak melewatkan kesempatan itu. Dia meraih pinggang Zie hingga wanita itu bergelayut melingkarkan kaki ke pinggangnya. Bukannya membawa sang istri ke kamar, Sean
Sean masih tak ingin cepat-cepat melepaskan kenikmatan yang sedang dia rasakan. Dia masih terus menggerakkan miliknya menumbuk inti Zie yang masih ada di atas pangkuan. Lidahnya seperti tak bisa jauh dari dada Zie dan terus menyesap hingga sang empunya mengerang. Zie meliuk saat gelenyar aneh terasa mengaliri tubuhnya.Mereka mencapai puncak kenikmatan bersama-sama, saling memeluk dengan napas yang masih memburu."Aku mencintaimu." Sean berbisik mesra ke telinga Zie dan istrinya itu hanya mengangguk sebagai balasannya.Mereka membersihkan diri dan berganti baju, memutuskan untuk rehat dan memesan makanan dari layanan pesan antar. Zie lemas, dia yakin tidak akan bisa melanjutkan ronde kedua jika tidak mengisi tenaga dulu."Di situ saja!" Larang Sean saat bel pintu apartemen mereka berbunyi. Pria itu memindai penampilan sang istri. Zie hanya mengenakan kemeja miliknya tanpa memakai celana."Tidak ada yang boleh melihatmu seperti ini." Sean menyipitkan mata, sedangkan Zie tertawa lalu m
“Lea! Lea!”Yura mencari-cari keberadaan sang putri, baru saja ditinggal untuk mengambil makan tapi bocah itu sudah hilang dari ruang tengah tempatnya bermain. Yura berpapasan dengan pembantu rumah sang mertua, dia lantas bertanya apakah melihat putrinya.“Non Lea ada di depan,”jawab pembantu itu dengan senyuman.Yura memberikan piring makan Lea ke sang pembantu, dia bergegas menuju depan untuk mengecek keberadaan putrinya itu. Sejak tiga tahun yang lalu, Yura memang memilih tinggal di rumah Daniel karena Ghea sedikit memaksa. Ia dan Raiga sudah sempat tinggal di rumah yang disiapkan oleh suaminya itu, tapi beberapa kali Yura merasa diawasi. Ia merasa tidak nyaman dan akhirnya memilih tinggal bersama mertuanya saja.“Lea, kamu ngapain sih? Katanya mau maem tadi,”ucap Yura. Ia usap rambut sang putri, lalu ikut melihat ke arah luar, karena bocah itu menempelkan wajah ke jendela kaca.“Kok mama Ji ga datang-datang, aku nunggu mama Ji.”Yura pun membuang napas kasar, terkadang dia merasa
“Siapa yang akan menjadi partnerku untuk membantu persalinan cucu pak menteri?”Raiga bertanya ke asistennya yang baru saja memberikan daftar nama para ibu hamil yang meminta bantuan persalinan padanya. Pria itu fokus menatap nama-nama itu — yang didominasi dari keluarga kaya. Raiga sendiri tak ambil pusing dengan ucapan orang yang belakangan menyindirnya sebagai dokter kandungan kalangan atas. Ia merasa memikirkan omongan orang hanya akan membuatnya terjebak di situasi yang membuat dirinya tidak nyaman.“Ibu Vita, Dok.”Jawaban dari asistennya berhasil membuat Raiga mengalihkan tatapan dari kertas. Saat nama Vita disebut kenangan Raiga selalu kembali ke masa itu. Sampai detik ini dia berhasil membuat Vita diam perihal perbuatannya menukar bayi Sean. Raiga merealisasikan semua janjinya ke bidan itu untuk tutup mulut.Dari mulai menjadi pekerja tetap di rumah sakit Kimi, promosi jabatan, sampai merekomendasikan Vita ke ibu-ibu hamil yang kebanyakan konglomerat agar mengambil maternity
Beberapa perawat yang bergunjing seketika diam saat melihat Vita berajalan mendekat menuju ruangan Raiga. Vita sendiri bukannya tidak tahu dirinya menjadi bahan omongan pegawai lain, tapi dia memilih untuk bersikap cuek. Di satu sisi Vita merasa bersalah karena sudah menutupi sebuah kebohongan besar yang dilakukan Raiga, tapi di sisi lain dia juga merasa pantas mendapat posisinya sekarang. Bagi Vita ini setimpal dengan apa yang dia korbankan, yaitu kejujuran yang dimiliki. “Apa saya boleh masuk, Dok?” Seperti biasa Vita selalu bersikap ramah dan hormat ke Raiga, pria itu tentu saja langsung mempersilahkan. Raiga mengunci layar ponsel lalu meletakkannya ke meja. Ia baru saja menerima kiriman foto Lea yang sedang makan dengan lahap, beserta aduan dari Yura kalau putrinya terus saja merengek ingin pergi menemui Zie. “Silahkan duduk, bagaimana kabarmu?” Tanya Raiga berbasa-basi. “Baik, dokter sendiri bagaimana?” Vita tersenyum ramah, tiga tahun bekerja di rumah sakit itu, ditambah meny
"Ken sedang tidur bersama Miro, apa kalian sudah makan? Mau Mama siapkan makanan?"Berondongan pertanyaan dari Gia menjadikan senyum di wajah Sean dan Zie. Mereka saling lirik, sebelum Zie menjawab-"Kami sudah makan tadi, jadi mau istirahat saja."Gia yang sama sekali tak memiliki prasangka mengangguk lalu memanggil pembantu rumah untuk memastikan kamar Zie bersih untuk ditiduri. Meski kamar itu masih sering dipakai saat Zie menginap, tapi memastikan sang putri dan menantunya nyaman adalah hal penting untuk Gia."Aduh, kenapa harus menunggu dibersihkan? Keburu Ken bangun nanti." Sean berbisik pelan ke telinga sang istri. Ia yang sudah tak sabar memadu kasih tiba-tiba mengaduh karena Zie mencubit kecil perutnya."Bisa tidak diam dulu? Pasti akan sangat malu kalau ada yang sampai mendengar ucapanmu tadi," sewot Zie.Sean tertawa, cubitan itu diusap-usapnya sebelum lengannya memeluk pinggang Zie dan mengajak wanita itu duduk di ruang tengah. Namun, Zie menolak karena ingin ganti baju da