“Siapa yang akan menjadi partnerku untuk membantu persalinan cucu pak menteri?”Raiga bertanya ke asistennya yang baru saja memberikan daftar nama para ibu hamil yang meminta bantuan persalinan padanya. Pria itu fokus menatap nama-nama itu — yang didominasi dari keluarga kaya. Raiga sendiri tak ambil pusing dengan ucapan orang yang belakangan menyindirnya sebagai dokter kandungan kalangan atas. Ia merasa memikirkan omongan orang hanya akan membuatnya terjebak di situasi yang membuat dirinya tidak nyaman.“Ibu Vita, Dok.”Jawaban dari asistennya berhasil membuat Raiga mengalihkan tatapan dari kertas. Saat nama Vita disebut kenangan Raiga selalu kembali ke masa itu. Sampai detik ini dia berhasil membuat Vita diam perihal perbuatannya menukar bayi Sean. Raiga merealisasikan semua janjinya ke bidan itu untuk tutup mulut.Dari mulai menjadi pekerja tetap di rumah sakit Kimi, promosi jabatan, sampai merekomendasikan Vita ke ibu-ibu hamil yang kebanyakan konglomerat agar mengambil maternity
Beberapa perawat yang bergunjing seketika diam saat melihat Vita berajalan mendekat menuju ruangan Raiga. Vita sendiri bukannya tidak tahu dirinya menjadi bahan omongan pegawai lain, tapi dia memilih untuk bersikap cuek. Di satu sisi Vita merasa bersalah karena sudah menutupi sebuah kebohongan besar yang dilakukan Raiga, tapi di sisi lain dia juga merasa pantas mendapat posisinya sekarang. Bagi Vita ini setimpal dengan apa yang dia korbankan, yaitu kejujuran yang dimiliki. “Apa saya boleh masuk, Dok?” Seperti biasa Vita selalu bersikap ramah dan hormat ke Raiga, pria itu tentu saja langsung mempersilahkan. Raiga mengunci layar ponsel lalu meletakkannya ke meja. Ia baru saja menerima kiriman foto Lea yang sedang makan dengan lahap, beserta aduan dari Yura kalau putrinya terus saja merengek ingin pergi menemui Zie. “Silahkan duduk, bagaimana kabarmu?” Tanya Raiga berbasa-basi. “Baik, dokter sendiri bagaimana?” Vita tersenyum ramah, tiga tahun bekerja di rumah sakit itu, ditambah meny
"Ken sedang tidur bersama Miro, apa kalian sudah makan? Mau Mama siapkan makanan?"Berondongan pertanyaan dari Gia menjadikan senyum di wajah Sean dan Zie. Mereka saling lirik, sebelum Zie menjawab-"Kami sudah makan tadi, jadi mau istirahat saja."Gia yang sama sekali tak memiliki prasangka mengangguk lalu memanggil pembantu rumah untuk memastikan kamar Zie bersih untuk ditiduri. Meski kamar itu masih sering dipakai saat Zie menginap, tapi memastikan sang putri dan menantunya nyaman adalah hal penting untuk Gia."Aduh, kenapa harus menunggu dibersihkan? Keburu Ken bangun nanti." Sean berbisik pelan ke telinga sang istri. Ia yang sudah tak sabar memadu kasih tiba-tiba mengaduh karena Zie mencubit kecil perutnya."Bisa tidak diam dulu? Pasti akan sangat malu kalau ada yang sampai mendengar ucapanmu tadi," sewot Zie.Sean tertawa, cubitan itu diusap-usapnya sebelum lengannya memeluk pinggang Zie dan mengajak wanita itu duduk di ruang tengah. Namun, Zie menolak karena ingin ganti baju da
"Zie, pelan-pelan!" Sean memberi peringatan ke sang istri yang tergesa berlari menuju halaman rumah. Zie bahkan meletakkan piring makan Keenan hanya untuk menyambut seseorang yang saat ini sedang menunggunya di depan.Beberapa menit yang lalu Yura menghubungi dan menanyakan apakah Zie sibuk, dia ingin menitipkan Lea karena ada urusan mendadak. Yura tak sampai hati meninggalkan Lea bersama pembantu. Apa lagi sang mertua juga sedang tidak berada di rumah. Yura juga sudah meminta izin ke Raiga dan suaminya itu setuju menitipkan sang putri ke kakak iparnya. "Mama Ji!" Suara renyah Lea membuat senyuman dan langkah kaki Zie semakin ringan untuk mendekat ke mobil Yura yang terparkir di depan gerbang. Tampak Yura membukakan pintu dan tak lupa mengeluarkan tas kecil milik Lea yang diletakkan di kursi belakang. Bocah perempuan itu langsung memeluk kaki Zie, senyumannya begitu lebar hingga membuat siapapun yang melihat pasti sudah bisa menebak seberapa dekat mereka. Sebagai balasan Zie mengu
Semua orang mungkin bisa menebak bagaimana perasaan Yura sekarang. Wanita itu kini sedang duduk di sebuah kafe menunggu kedatangan mantan pengawal yang akan menjadi ibu tirinya. Yura merasa dikhianati, bagaimana bisa papanya yang sudah puluhan tahun berumah tangga, bisa dengan mudah mengganti posisi sang mama dalam waktu tiga tahun.Amira —sosok yang dulu sering dia suruh-suruh dan marahi, tiba-tiba saja akan menjadi ibunya. Yura tertawa penuh ironi. Ia berpikir Amira pasti hanya ingin memanfaatkan harta dan pangkat yang dimiliki sang papa.Tak terasa Yura sudah menunggu hampir lima belas menit sampai Amira menampakkan batang hidungnya. Mantan pengawalnya itu mengenakan parka panjang untuk menutupi seragam yang dikenakan.“Apa sudah lama?” Tanya Amira.Yura tak menjawab, dia fokus memindai penampilan sang lawan bicara dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yura tak mungkin mencibir Amira, dia sudah tak seperti Yura yang dulu. Masalah demi masalah yang sudah dia lewati, juga gelar ibu ya
“Ken, itu tidak baik. Apa yang kamu lakukan ke Lea itu tidak mencerminkan sikap ke saudara. Lea jadi sedih ‘kan tadi?” Sean bicara dengan nada tegas.Zie tak mau memarahi sang putra, dia takut Keenan semakin berpikir dirinya pilih kasih dan malah membuat anak itu semakin benci. Zie juga tidak meminta Sean untuk menegur Keenan seperti ini, tapi Sean dengan sendirinya menasehati.Bukan tanpa alasan Sean bicara lantang. Ini karena Lea menangis saat dijemput Yura dan Raiga tadi, tidak ada kekerasan fisik yang Keenan lakukan. Hanya saja, putranya itu terus mendiamkan dan tidak mengajak Lea bermain.“Aku tidak suka sama dia,” ketus Keenan.Sean yang sedang mengendarai mobil hampir menoleh dan memarahi sang putra. Namun, Zie lebih dulu menahan lengannya dan menggeleng.“Ken, katakan pada Mama apa yang membuatmu tidak menyukai Lea! Jika hanya karena perhatian Mama kemungkinan besar kita sedang salah paham. Lea itu anak uncle Rai dan onty Yura, jadi mana mungkin Mama lebih sayang Lea dibanding
Yura yang selama ini tidak pernah berbohong ke Raiga merasakan tekanan yang sangat besar hari itu. Ia menitipkan Lea ke sang suami, lantas meminta izin ke kampus mengurus wisuda.Sebenarnya Raiga berniat untuk mengantar tadi, tak mengapa bagi pria itu untuk menunggu sang istri sampai selesai dengan urusannya. Ia dan Lea bisa pergi ke taman atau membeli es krim. Namun, Yura menolak dengan alasan dia takut Lea tidak nyaman dan rewel. Ia juga belum tahu berapa lama urusannya di kampus akan selesai.Yura akhirnya lega saat bisa pergi dari halaman rumah sambil mengendarai mobil. Ia membuang napas panjang dari mulut. Hari itu dia memantapkan diri memeriksakan kandungan ke Dokter spesialis. Yura bahkan sengaja pergi ke kota sebelah agar tidak ada dokter kandungan atau rekan kerja Raiga yang mengenali. Yura juga sudah memastikan bahwa dokter kandungan yang akan dia temui tidak mengenal dirinya.Setelah menyetir hampir dua jam. Yura akhirnya sampai. Ia memarkirkan mobil di halaman sebuah klini
Jejak air mata yang tertinggal tidak bisa Yura sembunyikan begitu saja. Sesampainya di rumah dia langsung menyapa Lea, menggendong anak itu dan mengajaknya bercanda. Namun, Raiga bisa melihat dengan jelas bahwa dirinya tidak baik-baik saja. Tak ingin langsung bertanya, Raiga menyusul Yura ke atas, mendapati Yura membawa putrinya ke kamar, dia pun membiarkan sang istri menidurkan Lea lebih dulu, sambil bertanya-tanya di dalam hati apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa wajah Yura sangat sedih setelah kembali dari kampus.Raiga duduk di ruang kerjanya. Ia menyalakan laptop dan sedang melihat rancangan bangunan klinik miliknya yang sebentar lagi akan selesai dibangun, saat tiba-tiba dia ingat Yura ingin melakukan program hamil lagi."Apa sudah saatnya aku mengatakan kebenarannya ke Yura?" gumam Raiga. Pria itu termenung beberapa saat sampai pintu ruang kerjanya di ketuk.Yura menjulurkan kepala. Wanita itu memulas senyuman manis dan bertanya," Apa kakak sudah makan siang?"Raiga malah ters