Semua orang mungkin bisa menebak bagaimana perasaan Yura sekarang. Wanita itu kini sedang duduk di sebuah kafe menunggu kedatangan mantan pengawal yang akan menjadi ibu tirinya. Yura merasa dikhianati, bagaimana bisa papanya yang sudah puluhan tahun berumah tangga, bisa dengan mudah mengganti posisi sang mama dalam waktu tiga tahun.Amira —sosok yang dulu sering dia suruh-suruh dan marahi, tiba-tiba saja akan menjadi ibunya. Yura tertawa penuh ironi. Ia berpikir Amira pasti hanya ingin memanfaatkan harta dan pangkat yang dimiliki sang papa.Tak terasa Yura sudah menunggu hampir lima belas menit sampai Amira menampakkan batang hidungnya. Mantan pengawalnya itu mengenakan parka panjang untuk menutupi seragam yang dikenakan.“Apa sudah lama?” Tanya Amira.Yura tak menjawab, dia fokus memindai penampilan sang lawan bicara dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yura tak mungkin mencibir Amira, dia sudah tak seperti Yura yang dulu. Masalah demi masalah yang sudah dia lewati, juga gelar ibu ya
“Ken, itu tidak baik. Apa yang kamu lakukan ke Lea itu tidak mencerminkan sikap ke saudara. Lea jadi sedih ‘kan tadi?” Sean bicara dengan nada tegas.Zie tak mau memarahi sang putra, dia takut Keenan semakin berpikir dirinya pilih kasih dan malah membuat anak itu semakin benci. Zie juga tidak meminta Sean untuk menegur Keenan seperti ini, tapi Sean dengan sendirinya menasehati.Bukan tanpa alasan Sean bicara lantang. Ini karena Lea menangis saat dijemput Yura dan Raiga tadi, tidak ada kekerasan fisik yang Keenan lakukan. Hanya saja, putranya itu terus mendiamkan dan tidak mengajak Lea bermain.“Aku tidak suka sama dia,” ketus Keenan.Sean yang sedang mengendarai mobil hampir menoleh dan memarahi sang putra. Namun, Zie lebih dulu menahan lengannya dan menggeleng.“Ken, katakan pada Mama apa yang membuatmu tidak menyukai Lea! Jika hanya karena perhatian Mama kemungkinan besar kita sedang salah paham. Lea itu anak uncle Rai dan onty Yura, jadi mana mungkin Mama lebih sayang Lea dibanding
Yura yang selama ini tidak pernah berbohong ke Raiga merasakan tekanan yang sangat besar hari itu. Ia menitipkan Lea ke sang suami, lantas meminta izin ke kampus mengurus wisuda.Sebenarnya Raiga berniat untuk mengantar tadi, tak mengapa bagi pria itu untuk menunggu sang istri sampai selesai dengan urusannya. Ia dan Lea bisa pergi ke taman atau membeli es krim. Namun, Yura menolak dengan alasan dia takut Lea tidak nyaman dan rewel. Ia juga belum tahu berapa lama urusannya di kampus akan selesai.Yura akhirnya lega saat bisa pergi dari halaman rumah sambil mengendarai mobil. Ia membuang napas panjang dari mulut. Hari itu dia memantapkan diri memeriksakan kandungan ke Dokter spesialis. Yura bahkan sengaja pergi ke kota sebelah agar tidak ada dokter kandungan atau rekan kerja Raiga yang mengenali. Yura juga sudah memastikan bahwa dokter kandungan yang akan dia temui tidak mengenal dirinya.Setelah menyetir hampir dua jam. Yura akhirnya sampai. Ia memarkirkan mobil di halaman sebuah klini
Jejak air mata yang tertinggal tidak bisa Yura sembunyikan begitu saja. Sesampainya di rumah dia langsung menyapa Lea, menggendong anak itu dan mengajaknya bercanda. Namun, Raiga bisa melihat dengan jelas bahwa dirinya tidak baik-baik saja. Tak ingin langsung bertanya, Raiga menyusul Yura ke atas, mendapati Yura membawa putrinya ke kamar, dia pun membiarkan sang istri menidurkan Lea lebih dulu, sambil bertanya-tanya di dalam hati apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa wajah Yura sangat sedih setelah kembali dari kampus.Raiga duduk di ruang kerjanya. Ia menyalakan laptop dan sedang melihat rancangan bangunan klinik miliknya yang sebentar lagi akan selesai dibangun, saat tiba-tiba dia ingat Yura ingin melakukan program hamil lagi."Apa sudah saatnya aku mengatakan kebenarannya ke Yura?" gumam Raiga. Pria itu termenung beberapa saat sampai pintu ruang kerjanya di ketuk.Yura menjulurkan kepala. Wanita itu memulas senyuman manis dan bertanya," Apa kakak sudah makan siang?"Raiga malah ters
“Aku tidak percaya Rai bisa menyembunyikan hal seperti ini dari Yura.”Seperti malam-malam sebelumnya. Sean dan Zie selalu menyempatkan diri melakukan pillow talk. Dari sekadar membahas pekerjaan, sampai fokus ke perkembangan Keenan. Namun, malam itu agaknya berbeda, karena mereka membicarakan Yura yang baru saja mengadu ke Zie tentang apa yang disembunyikan sang suami selama tiga tahun ini.“Sepertinya aku paham kenapa Rai melakukan itu, aku bukan sedang membelanya sebagai kakak, tapi jika berada di posisinya, aku juga akan melakukan hal yang sama,”ucap Sean. Ia membelai rambut Zie yang sedang bersandar di pundaknya.“Hari itu aku kehilangan seorang anak, dan Yura kehilangan rahimnya,” balas Zie. Tatapannya menerawang, dia diam beberapa saat sebelum kembali bicara. “Aku mungkin masih bisa mengandung lagi, tapi Yura tidak bisa. Aku saja merasa sangat sedih, apalagi Yura.”Sean mengusap lengan Zie lalu mencium keningnya dalam-dalam. Ia tahu wanita itu pasti teringat kembali akan putri
Pagi itu, Daniel memandang keluar jendela hotel yang sedang dia tempati bersama Ghea. Beberapa tahun belakangan pria itu memang lebih sering pergi mengunjungi negara-negara yang belum pernah istrinya datangi. Namun, tanpa anak-anaknya tahu diam-diam Daniel mencurigai sesuatu. Hal yang mengusik ketenangan pria itu berasal dari putra bungsunya sendiri - Raiga. Meski Raiga meminta pengangkatan rahim Yura dirahasiakan, tapi hal itu tidak bisa disembunyikan dari Daniel. Ia mendengar dari adik iparanya yang merupakan pemilik rumah sakit tempat Yura ditangani. Semua dokter sangat yakin harapan hidup sang bayi sangat tipis, tapi ternyata bayi itu bisa selamat.Daniel pun menarik kesimpulan sendiri. Dua cucu perempuannya lahir di hari yang sama, Zie yang yakin anaknya sehat dan baik-baik saja malah meninggal hari itu, dan Yura yang dalam kondisi luka parah bisa melahirkan anak yang sehat. Sebuah tanda tanya besar bersarang di kepala Daniel. Ia tidak ingin sampai mati belum menemukan jawabann
“Apa menjawab panggilanku begitu susah? Sampai-sampai kamu mengabaikan?” Sean benar-benar marah karena Zie tidak membalas panggilannya dan seperti mengabaikan, apalagi dia harus menghadapi Keenan yang marah dan tantrum.“Bukan begitu.” Zie hendak menjelaskan, tapi Sean seolah tidak peduli.“Kamu seharusnya lebih memedulikan Ken, ketimbang Lea! Kamu tahu jelas mana yang anak kandung dan mana yang bukan.”Sean langsung pergi meninggalkan Zie, kemudian mengajak Keenan berangkat ke sekolah. Zie sendiri hanya bisa diam memegangi kening, merasa sangat bersalah karena semalam mengabaikan Keenan, dan putranya itu kini tampak marah kepadanya.Sean mengantar Keenan ke sekolah sampai memastikan putranya itu masuk, sebelum kemudian kembali melajukan mobil menuju ke perusahaan. Sean masih merasa kesal, hingga ponselnya yang ada di dashboard berdering dan nama Kimi terpampang di sana.“Halo tante,” jawab Sean.“Sean, kamu jangan lupa hari ini harus melakukan check up rutin,” ucap Kimi dari seberan
Setelah kejadian Keenan yang marah. Zie akhirnya memutuskan untuk tidak menjenguk Lea lagi. Seperti hari ini, dia hanya di rumah dan menemani Keenan untuk menyenangkan perasaan putranya itu.Zie sedang menemani Keenan menggambar di kamar. Dia begitu perhatian dan mengarahkan anak itu saat akan membubuhkan warna.“Ma, kapan Oma dan Opa pulang?” tanya Keenan sambil fokus mewarnai.“Mama belum tanya. Apa kamu mau melakukan video call sama Oma dan Opa untuk tanya langsung?” tanya Zie menawari.Keenan menggelengkan kepala, kemudian menjawab, “Ga usah, nanti juga kalau mereka pulang, Ken diminta datang karena mau dikasih oleh-oleh.”Zie tertawa mendengar jawaban Keenan, kemudian kembali mengarahkan anaknya menggambar, hingga mendengar suara pintu apartemen terbuka dan menoleh.Kenan langsung melompat turun dari kursi karena tahu jika yang datang adalah sang papa, hal ini membuat Zie sampai terkejut karena Keenan sangat aktif.“Kamu sedang apa, hem?” tanya Sean sambil menggendong Keenan.“Men