"Dok! Saya tidak bisa melakukan itu." Vita ketakutan, dia menggeleng menolak permintaan Raiga yang ingin menukar bayi milik Yura dan Zie. Raiga butuh bantuan, dia tidak bisa melepas selang-selang yang menempel pada tubuh bayi itu sendiri. "Dok bayi itu masih hidup!" Ucap Vita. "Bayi Anda masih -- " Raiga menarik tangan bidan yang merupakan asistennya itu dengan sangat kasar. Vita sampai meringis kesakitan dan diam ketakutan. "Aku akan menjamin karirmu di sini aman, tidak hanya percobaan tiga bulan, kamu akan langsung menjadi pekerja tetap, lagi pula ini anak kakakku sendiri, aku tidak menukar bayiku dengan anak orang lain," ucap Raiga. "Tapi Dok, tetap saja ini tidak dibenarkan, kamera CCTV pasti menangkap apa yang dokter lakukan." Vita mencoba mengingatkan, tapi niatan Raiga seperti kereta yang tak bisa dihentikan. "Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, selagi tidak ada bayi yang hilang di sini, untuk apa butuh mengecek CCTV." Tatapan mata Raiga tajam mengintimidasi, di bawah t
Ghea semakin memeluk erat Raiga. Sudah sangat jelas tidak ada satu orangpun yang ingin mengalami kejadian seperti ini. Raiga sendiri agaknya juga merasa bersalah karena telah menukar bayinya dengan bayi Zie, tapi mengingat kembali kondisi Yura, dia merasa semua ini memang pantas dan harus dia lakukan sebagai seorang suami. Daniel juga tak kuasa menahan kesedihan. Ia mendekat lalu menepuk punggung Raiga untuk menguatkan. Mereka berbincang sebentar di sana. Setelah Raiga tenang Ghea dan Daniel pamit pergi untuk menjenguk Zie. Keduanya juga masih perlu menemui Aris yang sedang berduka.Namun, nampaknya nestapa tak berhenti cukup di sana. Saat hampir sampai ke kamar perawatan Zie, Daniel dan Ghea samar mendengar tangisan dan suara Sean yang sedang marah. Beberapa kali putra sulung mereka itu berteriak seolah meminta penjelasan. Benar saja semakin didekati, mereka semakin takut dengan apa yang mungkin saja terjadi. "Bagaimana bisa? Bagaimana bisa putri kami meninggal?"Ghea limbung samp
Zie masih tak percaya alasan kepulangannya dari rumah sakit setelah melahirkan adalah mengantar putrinya ke peristirahatan terakhir. Zie pikir malam itu dia akan terjaga semalaman untuk memberi ASI baby Key, tapi ternyata dia insomnia karena masih berharap semua ini tidak nyata. Tidur bersisian bersama Sean, sakit yang dirasakan Zie paska persalinan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sesak di hatinya. Zie kembali terisak pilu, dia kini bingung harus diapakan semua baju dan perlengkapan bayinya yang ada di lemari."Menangislah Zie, karena aku pun ingin melakukan itu."Zie pikir Sean sudah tidur, tapi ternyata pria itu sama seperti dirinya yang masih tak bisa memejamkan mata. Zie meraih punggung tangan Sean yang melingkar di pinggang, dia berbalik dan melihat mata belahan jiwanya itu basah. "Dia pasti kedinginan, seharusnya dia bersama kita, memakai bedong yang hangat dan parfum bayi yang sudah aku siapkan," ujar Zie. Mendengar itu Sean mengangguk kecil, dihapusnya pipi sang ist
Dengan langkah lemah Raiga menuju kamar perawatan Yura, dia mencoba untuk bersikap biasa, setidaknya jangan sampai menangis di depan sang istri. Tak ada yang bisa dia syukuri saat ini, meski Yura tak mengalami cidera serius di kepala atau patah tulang, tapi gadis itu kehilangan rahim. Raiga membuang napas berkali-kali dari mulut, dia meraih gagang pintu lalu melangkah masuk. Namun, alangkah terkejutnya Raiga saat melihat Yura berbaring dengan bayi di sampingnya. Yura tak sadar Raiga datang, tapi dokter yang bertanggung jawab atas gadis itu mendekati Raiga lalu berkata-"Dia baru bisa tenang setelah kami sepakat membawa bayinya ke kamar, kata dokter Lily ini keajaiban karena putri kalian tidak mengalami cedera atau luka."Raiga meneguk saliva, tentu saja karena bayi itu sebenarnya adalah anak Sean dan Zie. "Baik Dok, terima kasih," jawabnya. Raiga mendekat ke ranjang setelah dokter dan perawat keluar. Ia memandangi bayi mungil itu, sungguh wajahnya sangat mirip dengan putrinya yang
Ghea mengusap pipi Zie penuh kasih sayang, menantunya itu terlihat tegar meski matanya masih terlihat sembab. Ghea baru saja datang, dia menanyakan kabar dan kondisi Zie terlebih dulu sebelum menyampaikan pesan dari Raiga soal permintaan ASI untuk anak pria itu dan Yura."Rai juga sudah menghubungiku tadi, aku sama sekali tidak keberatan kok, Ma. Nanti aku perahkan." Zie memulas senyum tipis, sedangkan Sean yang duduk tak jauh darinya hanya mendengarkan saja. Ia masih enggan berangkat kerja karena masih ingin menemani Zie di rumah sang mertua. Soal permintaan ASI itu, awalnya Sean sedikit keberatan jika sang istri harus memberikan ASI itu ke anak adiknya, bukan tanpa alasan. Ini karena Sean takut Zie merasa sedih karena tidak bisa memberikan ASInya ke anak sendiri, tapi malah ke anak orang lain. "Tidak apa-apa, dari pada aku pompa dan buang lebih baik untuk anak Rai, lagi pula anaknya juga perempuan." Begitu ucapan Zie saat meminta persetujuan Sean tadi. Setelah berbincang beberapa
"Ra, kamu harus kuat. Aku dan kakakmu harus terbang kembali ke Aussie, kami tidak bisa meninggalkan Kyle terlalu lama sendirian."Kakak ipar Yura memegang tangan gadis itu, memberi kekuatan karena dia sedih tidak bisa berlama-lama di Indonesia menemani Yura yang sedang berduka. Sebagai putri satu-satunya di keluarga, Yura memang tak terlalu dekat dengan dua kakak laki-lakinya. Yura mengangguk untuk menjawab sang ipar. Ia tak peduli mau ditemani atau tidak tetap saja kesedihan kehilangan Mirna tak bisa hilang begitu saja. "Ra, aku sebenarnya tidak ingin mengatakan ini, tapi kakakmu marah ke papa, dia bahkan menduga kecelakaan yang menimpamu ini disengaja."Yura yang awalnya tak peduli seketika melebarkan manik mata, dia mengerutkan kening meminta penjelasan ke iparnya. "Apa maksud kakak?""Aku tidak bisa mengatakannya lebih jauh, tapi jika ada apa-apa kamu bisa menghubungiku."Yura ditinggal sendirian dengan pertanyaan yang kini membuatnya tak tenang. Mungkinkah ada orang sejahat it
"Marsha! Bisa tidak mengetuk pintu dulu."Sean mengomel, dia memandang Zie yang kaget bukan kepalang. Istrinya itu pasti berpikir Raiga atau mungkin keluarga Yura yang datang. Marsha tertawa dan meminta maaf, dia tak menyangka kedatangannya membuat semua orang kaget."Maaf, perawat yang ada di luar tadi bilang Yura sedang sendirian." Marsha berjalan pelan lalu meletakkan buah tangan ke meja. Ia memang sengaja ke sana untuk menjenguk Yura, tak disangka sahabat baiknya juga sedang berkunjung. Marsha menanyakan kabar Yura lebih dulu, dia bahkan membantu istri sepupunya itu ke kamar mandi. "Apa ASI-mu belum lancar? Bagaimana kalau aku carikan booster? Besok akan aku buatkan sayur daun katuk," ucap Marsha. Ia menceritakan beberapa cara yang dinilai ampuh untuk memperlancar ASI agar Yura bisa mencobanya. Yura pun terharu, dia mengangguk dan berterima kasih ke Marsha. Di tengah keluarganya yang seolah tak peduli dengan kondisinya, keluarga Raiga benar-benar membuatnya merasa berharga.
Tiga tahun kemudian "Ken! Keenan!" Suara Zie pagi itu memecah keheningan rumah. Dia sudah memakai setelan kerja rapi, make up tipis sudah mempercantik penampilannya. Tiga tahun ini dia kembali bekerja di Lembaga Perlindungan Anak dan sudah enam bulan ini kembali menjadi pucuk pimpinan di sana. "Masih belum ketemu?" Sean keluar kamar sambil mengancingkan lengan kemejanya, dia menyodorkan lengan ke Zie karena kesusahan untuk melakukannya sendiri. "Iya, apa dia sengaja bersembunyi? Padahal tadi sepertinya sudah duduk manis." Zie bertanya ke Sean lalu menoleh sekeliling, mereka sekarang tinggal di apartemen yang tak jauh dari sekolah Keenan dan merasa jauh lebih nyaman. Mereka juga masih tak memiliki pembantu dan hanya memesan jasa bersih-bersih setiap sore, saat salah satu dari mereka sudah pulang. Terkadang Sean merasa kasihan karena Zie juga masih memasak untuknya dan sang putra, tapi saat diminta berhenti Zie akan berkata dia senang melakukan itu, apalagi melihat Sean dan Keenan