Uhukkkk gimana ini? haruskah langsung disuguhi konflik? hehe
Sean rasanya masih enggan melepaskan pelukannya ke Zie, dia menghirup aroma tubuh istrinya itu dalam-dalam, sambil sesekali menciumi puncak kepala dan pipi. "Sean, aku lelah. Aku juga mengantuk, aku tadi bangun untuk memompa ASI lagi untuk Ken." Suara lengket Zie membuat Sean merasa kasihan. Dia akhirnya membiarkan sang istri istirahat dan menarik selimut untuk menutupi tubuh Zie yang hanya berbalut piyama satin tipis. "Tidurlah! Aku tidak ingin kalau kamu sampai sakit," bisik Sean. Ia yakin sudah membuat sang istri kehilangan banyak energi karena meladeninya semalaman. Zie bahkan berkata lututnya hampir copot tadi. Sean tersenyum mengingat ucapan itu, dikecupnya kening Zie sebelum turun dari atas ranjang menuju kamar mandi. Pria itu membersihkan tubuhnya yang lengket karena servis memuaskan dari sang istri. Ia membalut bagian bawah tubuhnya dengan handuk sambil mematut diri di depan cermin. "Sean, berjanjilah! kamu harus menjadi suami dan ayah yang baik mulai saat ini," ucapnya.
"Tanya apa?" Perasaan Raiga berubah tak enak. Ada ketakutan yang menjalar di hatinya melihat tatapan aneh dari Zie. "Kulitmu semakin gelap. Apa kamu tidak pakai skin care?" Sean tak bisa menahan tawa mendengar ucapan istrinya. Apalagi wajah Raiga dari tegang berubah menjadi masam. Pria itu mencebik kesal, tapi lega karena setidaknya masih tidak ada orang yang curiga tentang perasan yang dia pendam sendiri. "Ken, kamu tidak merepotkan oma dan opa 'kan?" tanya Sean mengabaikan muka sang adik yang cemberut. Ia mendekat ke Zie untuk menggoda putranya. Bayi berumur enam bulan itu tertawa dan mengulurkan tangan seolah ingin digendong sang papa. Namun, lagi-lagi Sean merasakan kepalanya seperti dihantam palu. Dia limbung sampai Raiga harus menahan tubuhnya. "Sean!" teriak Zie panik. Pembantu dan Ghea yang hendak turun ke lantai bawah juga ikut terkejut. Mereka buru-buru mendekat untuk memastikan apa yang terjadi sampai ibunda Keenan itu berteriak seperti tadi. "Apa kamu tidak apa-apa?
"Bulan madu? Ke mana? Aku tidak mungkin meninggalkan Ken lama-lama, kamu tahu sendiri, sedikit repot pergi karena aku harus memompa ASI."Zie mengedipkan mata karena wajah Sean begitu dekat. Dia takut Agita tiba-tiba masuk ke dalam lalu melihat posisinya dan Sean yang seintim ini."Sean, aku ke sini untuk mengecek kondisimu, bukan ingin bermesra-mesraan denganmu." Zie menegakkan kepala, dan apa yang selanjutnya terjadi tentu sudah bisa ditebak dengan sangat mudah.Sean menubrukkan bibir mereka, mencium lembut bahkan menyesap bibir Zie. Pria itu membuat sang istri gemas lalu memukul lengannya bertubi-tubi."Sean, kamu ya!"Perdebatan intim antara Sean dan Zie itu pun terdengar ke telinga Agita. Sekretaris yang merupakan adik kelas Sean dan teman seangkatan Zie semasa SMA itu memulas senyum tipis. Dia memilih untuk fokus ketimbang iri membayangkan kemesraan pasangan suami istri yang sedang dimabuk asmara itu.Sean tersenyum melihat tingkah Zie yang dirasa sangat menggemaskan, dia membim
“Apa Ken sudah tidur?” Zie masuk ke kamar sambil tersenyum-senyum. Meski di bawah tadi dia mencurahkan rasa gundahnya ke Gia, tapi setelah melihat Sean lagi dia merasa tidak perlu resah, asal bersama pria yang sangat dicintainya ini, apapun yang terjadi pasti bisa dia hadapi dengan kuat dan berani. Ia meyakini, Sean pasti baik-baik saja. Pria itu sehat, bahkan bisa mengajaknya bercinta sampai hari menjelang pagi. “Sudah, apa kamu mau mengucapkan selamat malam ke dia?” Zie mendekat, dia menghirup aroma tubuh Sean saat sudah berada tepat di depan pria itu. “Kamu memakai sabunku, tapi kenapa aku sangat menyukai baunya sekarang? Ah…. Mungkin karena itu bercampur dengan aroma alami tubuhmu,”ucap Zie asal. Ia membuat Sean tertawa lantas menarik tangannya. “Kenapa kamu sangat menggemaskan?” Sean memuji lantas mencium bibir Zie dengan cara menekan. Pria itu menghisap bibir Zie kuat-kuat lantas tertawa mendapati istrinya itu mengerucutkan bibir. “Sean! apa kamu alat penyedot debu?” “Kenap
“Sebenarnya saat berada di lapangan, selain tim relawan yang berangkat denganku, ternyata juga ada tim lain yang datang, mereka dari sebuah yayasan yang bisa dibilang cukup ternama, dan aku …. “Raiga menjeda lisan lantas menelan ludah susah payah mendapati Daniel memandanginya lekat.“Kamu … lalu apa?”“Aku dan dia melakukan itu.”Raiga memejamkan mata setelah berhasil jujur ke sang papa. Mulut Daniel dibuatnya menganga karena tak percaya. Di satu sisi Daniel tidak menganggap hal ini masalah besar karena sadar buah jatuh pasti tak jauh dari pohonnya. Sifatnya dulu kurang lebih pasti menurun ke salah satu putranya. Namun, kenapa harus dua-duanya? Parahnya baik Sean dan Raiga juga harus terlibat cinta satu malam.“Bagaimana kamu tahu sudah melakukan itu?” selidik Daniel.“Ada bercak darah.”“Damn! Perawan Rai?” Daniel mengumpat karena tak percaya.“Pa, aku juga perjaka. Aku baru pertama itu melakukannya dengan wanita.”“Oh … shit! Rai!” Daniel meremas sisi kepalanya sendiri. Ia benar-b
“Apa maksudmu, Sean?”Daniel ketakutan, meski tahu ke mana arah pembicaraan ini, tapi sebagai ayah dia merasa tidak siap.“Apa yang harus aku lakukan, Pa? aku tidak ingin Zie sedih, aku tidak bisa membiarkan Ken menjadi yatim.”Daniel berdiri dan langsung memeluk tubuh sang putra. Seumur hidupnya setelah dewasa, baru kali ini dia melihat Sean menangis. Daniel juga tak bisa menahan rasa sesak di dadanya. Ia dan Ghea bahkan sudah pernah menangis semalaman saat Sean tak sadarkan diri setelah kecelakaan yang menimpanya.“Ken tidak akan menjadi yatim, kita bisa mencari jalan lain. Papa akan mencarikan dokter terhebat di dunia untuk bisa menyembuhkanmu,” kata Daniel. Meski tanpa Sean ceritakan, dia yakin bahwa kondisi sang putra pasti sangat parah. Daniel terus memeluk Sean, hingga anaknya itu mulai bisa mengendalikan emosi dan perlahan mengurai pelukan.Sean menjelaskan pertemuannya dengan dokter Billy, hingga Daniel meminta Sean untuk jujur saja ke Zie.“Kami sedang menikmati masa-masa in
“Kenapa kamu tidak kembali ke sini?” “Aku sepertinya tidak akan kembali ke sana, lagipula program itu hanya tinggal dua minggu.” Raiga menutup panggilan temannya. Ia meletakkan ponsel ke meja dengan kasar tanpa menyadari Ghea berdiri tepat di belakangnya. Wanita yang melahirkannya itu bukannya tidak tahu kalau sang putra sedang murung, hanya saja Ghea tidak ingin memaksa jika memang Raiga tak ingin bercerita. Ghea memeluk Raiga dengan melingkarkan tangan ke leher, putranya itu pun menoleh kaget lantas mencium pipinya. “Mama belum tidur?” “Papamu belum pulang.” “Apa lembur?” tanya Raiga. Sejujurnya dia merasa kasihan ke Ghea yang setiap hari sendirian di rumah sebesar itu. Meski diam dan tak pernah mengeluh, Raiga tahu sang mama pasti kesepian. “Mungkin,”jawab Ghea masih terus memeluk erat sang putra bungsu. “Seharusnya Mama minta saja Sean dan Zie tinggal di sini, jadi rumah ini tidak sepi karena ada Keenan.” Ghea mengukir senyum mendengar perkataan Raiga. Di satu sisi terdeng
“Aku lupa, tidak menghitungnya. Dulu banyak cowok yang menyatakan cinta, hanya saja aku terlalu bucin padamu.”Zie memalingkan muka ke arah luar jendela mobil. Ia mengingat jawabannya semalam saat Sean menanyakan apakah Raiga pernah menyatakan cinta padanya atau tidak. Zie jelas tidak ingin suaminya itu cemburu buta. Apalagi salah paham pada Raiga.Namun, sepertinya Sean tidak puas dengan jawaban itu. Terbukti setelahnya memilih untuk tidur dan tak banyak bicara pagi harinya. Zie berpikir sang suami tidak puas dengan jawabannya, padahal Sean sedang cemas. Ia berharap dokter Billy tidak akan melakukan kesalahan saat memberikan penjelasan tentang kondisinya.“Apa kepalanya terbuat dari baja, kenapa tidak memakai helm?”Saat berada di lampu merah , Zie mengomentari seorang pengendara motor yang berhenti tepat di depan mobil Sean. Ia melirik sekilas ke Sean, tapi suaminya itu hanya memandang dan tak merespon ucapannya.Zie semakin merasa bersalah memikirkan jawabannya semalam, dia hampir