"Bukan siapa-siapa," jawab Kaivan cepat. Ia langsung menyerahkan helm pada Raya dan mengusir Yuri agar segera pergi. Yuri itu mirip seperti Radit, memiliki mulut yang sama-sama Ember. Bahaya kalau ada dia.
"Gue kasih tau Embun nih, biar dia engga kemakan sama buaya kayak elo."
Kaivan menyipitkan mata dan mengumpat tanpa suara. Pemuda dengan lesung pipi yang manis itu langsung meminta Raya untuk naik ke atas motornya.
Selama di jalan, Raya memikirkan apa yang di katakan Yuri tadi. Ia memang tidak memiliki perasaan pada Kaivan tapi mendengar pemuda itu mendekati gadis lain membuat hatinya merasa aneh. Padahal, selama ini Raya selalu menginginkan Kaivan memiliki pacar agar perasaannya pada Raya menghilang.
Apakah ini perasaan cemburu? Raya menggeleng, tidak mungkin. Di hatinya hanya ada satu cowok dan itu bukan Kaivan. Jadi, Raya tidak mungkin merasa cemburu. Lagian bagus kalau Kaivan suka sama cewek lain, jadi Raya tidak merasa bersalah karena tidak menerima perasaan Kaivan.
Kaivan melihat Raya dari spionnya. Tumben sekali gadis itu akan diam melamun. Biasanya Raya akan cerewet, gadis itu suka sekali menceritakan apapun pada Kaivan. Meski kadang ceritanya di ulang-ulang sampai Kaivan hapal.
"Kenapa diem?"
Raya melihat Kaivan yang meliriknya. Gadis itu memajukan tubuh karena tadi suara Kaivan samar di telingnya.
"Ngomong apa?"
Kaivan menghela napas. Tidak mengulang lagi pertanyaannya. Mungkin saja Raya sedang memikirkan si cowok berengsek itu.
***
"Kaivan yang nabrak?"
Yuri tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya saat mendengar cerita dari Embun. "Seriusan lu?"
Embun mengangguk. Sudah menduga kalau Yuri akan terkejut mendengarnya. Embun sendiri saja tidak menyangka. Dunia memang sempit sekali. Dari ribuan manusia yang berlalu lalang di jalan, motor Kaivan lah yang menabraknya. Bakal ketemu setiap hari pula setelah ini.
"Kamu kenal, Yuri?" tanya Mama Selena yang sejak tadi mendengar obrolan dua cewek muda itu.
Yuri mengangguk. "Iya, Tante. Temannya abang aku."
Yuri kembali lagi menatap Embun. Dia memajukan wajah ingin berbisik. "Jadi tadi dia datang kesini?"
Embun mengangguk. Ia menunjuk buah di atas meja dengan dagunya. "Bawa buah tuh, kayaknya dia emang niat mau tanggung jawab deh sampek nyamperin ke sini sebelum papa gue bawa polisi."
Yuri menatap buah yang dibawa Kaivan. Tadi dia sempat mendengar obrolan Kaivan dengan Raya, Yuri menghela napas. Kasihan sekali Embun kalau berpikir Kaivan benar-benar membawa buah itu untuknya.
"Kaivan memang cowok yang tanggung jawab, sih, meski kelihatannya slengean kayak gitu," ujar Yuri.
Dari pada memberi tahu Embun yang sebenarnya mending muji Kaivan ajalah sekali. Yuri engga tega kalau membuat Embun merasa malu karena mengira buah itu untuknya. Mana masih ada orang tua Embun lagi, Yuri semakin tidak enak kalau bicara jujur.
"Jadi, Kaivan mau tanggung jawab?"
Embun mengangguk, membuat Yuri merasa lega. Kalau saja Kaivan engga mau tanggung jawab, Yuri akan menendang pemusa itu dari rooftop kampus. "Bagus deh."
"Elo ada nomornya, engga? Gue lupa tadi minta, kalau gue mau kemana-mana biar gampang ngontaknya," kata Embun.
Yuri menggeleng-gelengkan wajahnya. "Engga usah bingung, dia tadi pagi minta nomor sama akun sosmed lu. Pasti bakalan di hubungi sama dia nanti," kata Yuri.
Embun menaikkan sebelah alis, ingin bertanya lebih lanjut tapi mamanya lebih dulu menyela. Wanita itu dengan semangat menarik kursi dan mendekat ke samping Yuri. Meninggalkan suaminya yang tadi mengajaknya bicara.
"Kaivan tuh sebenarnya gimana?"
Yuri membuka mulutnya tidak paham. Embun mendengus melihat kelakuan mamanya. Sudah tua juga tapi masih aja kelakuannya kayak ABG. Kalau lihat yang cakep dikit jiwa keponya meluap.
"Pa, Mama mulai centil, nih," adunya yang membuat sang Papa mendengus.
Mamanya juga menepuk kakinya pelan dengan mata melotot. "Enak aja kalau ngomong, bukan gitu. Kaivan kelihatan sopan dan manis banget."
Yuri menipiskan bibir, menahan tawa sebisanya. Belum tahu aja sifat Kaivan itu kayak gimana kalau ada di kampus. Kaivan memang bukan anak nakal yang suka bikin ulah, sih. Cowok itu lebih seperti buaya yang suka menebar omongan manis walau fokusnya cuma ke Raya aja.
Makanya kemarin Yuri sempat kaget waktu Kaivan tiba-tiba datang dan mendekati Embun terang-terangan. Bahkan Yuri sampai berdebat dengan kakaknya, mengira kalau sikap Kaivan mungkin karena kalah taruhan atau apa. Yuri masih tidak menyangka kalau mendekati Embun merupakan inisiatif Kaivan sendiri. Tapi, Kaivan tadi masih saja dekat dengan Raya.
Kalau kata Radit, sih. Kaivan tidak mungkin bisa lepas dari Raya walau sudah di sakiti kayak bagaimanapun.
"Jadi, gimana Yuri? Kaivan baik apa engga? Kayaknya sih baik, ya. Wajahnya manis gitu, vibe good boy banget," ujar mama Embun masih memuji.
Yuri menghela napas. Kalau mamanya ini salah satu mahasiswi kampus, pasti akan menjadi ketua klub fans fanatiknya Kaivan nih.
"Eum, Mas Kaivan baik sih, Tante. Dia juga bisa masak lho, dulu pernah sekali masak di rumah sama abang," kata Yuri membuat Safira makin berbinar senang.
Yuri tidak bohong, Kaivan memang bisa masak dan rasanya juga enak. Bahkan Yuri yang cewek aja kalah masakannya sama Kaivan.
Embun meringis melihat mamanya berbinar senang seperti gadis yang kasmaran. Embun pikir, pasti hanya mamanya saja yang terpesona sama orang yang sudah menabrak putrinya.
"Ma, dia yang nabrak Embun, lho. Kok kamu kelihatan senang?" tanya Papa Embun yang sudah merasa gemas.
Safira menoleh, melihat papanya dan Embun bergantian. "Mama tahu kok dia yang sudah mencelakai putri mama yang berharga ini. Mama tuh senang karena Kaivan kelihatan baik dan tulus orangnya, mama jadi lega aja karena dia mau bertanggung jawab, itu juga membuktikan kalau dia adalah cowok yang baik."
Penjelasan Safira yang panjang lebar membuat papa Embun mendengus. "Baru ketemu sekali tahu darimana kalau dia anak baik, jangan lihat dari covernya doang. Kalau baik dia engga akan kabur kemarin, pasti bakalan langsung bawa Embun ke rumah sakit."
"Tapikan dia udah minta maaf dan datang kesini buat tanggung jawab tadi, mungkin aja kemarin Kaivan buru-buru," balas Safira masih belum mau mengalah.
Papa Embun yang ingin menjawab terkejut dengan Embun yang mendengus. "Embun mau istirahat, debatnya di luar aja. Malu sama Yuri," katanya.
Embun tidak menyangka, karena Kaivan saja kedua orang tuanya sampai berdebat seperti ini. Embun tidak tahu Kaivan baik atau tidak, gadis itu hanya mengobrol dengan Kaivan sekali kemarin dan tadi juga. Waktu mereka ngobrol juga tidak lama, Embun belum bisa mengambil kesimpulan seperti apa sifat pemuda itu.
Walau Yuri bilang Kaivan baik tapi gadis itu kemarin juga bilang kalau sifat Kaivan itu seperti buaya. Bahkan Embun ingat, kemarin waktu Kaivan menabraknya, cowok itu sedang membonceng seorang cewek.
Embun menuruni tangga kampus dengan terburu-buru. Ia beberapa kali menampar pipinya sendiri karena merasa bersalah. Embun sudah janji pada pacarnya kalau dia akan menonton pemuda itu tanding basket. Tapi lihatlah dirinya, ia keasikan menulis sampai lupa waktu. Kalau saja Fahra tidak mengingatkan maka sudah pasti Embun akan kena amuk nanti. Embun menyentuh lututnya, napasnya terengah-engah. Pertandingan basket sudah selesai, orang-orang mulai meninggalkan bangku mereka. Embun mengumpat kesal. "Mati deh gue." Embun melihat para pemain yang mulai memasuki ruang ganti. Embun berlari menghampiri seorang pemuda dengan bandana hitam di dahinya. "Dit, Kaivan mana?" Radit yang di hampiri mendengus. "Dit siapa? Panggil gue kakak, gue kating njir!" Embun menjilat bibirnya, ia menyentuh dahinya yang berkeringat. "Serah dah, mana tuh anak?" "Elo gak lihat pertandingan lagi ya? Wah para
Ini gila. Selama hidupnya dia tidak pernah percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Prinsip yang selalu ia percayai adalah cinta karena terbiasa. Kenapa? Karena dia sendiri sudah pernah mengalaminya. Dia tidak pernah tertarik dengan lawan jenis saat pertama kali lihat, memang beberapa kali dia akan mengagumi jika melihat gadis cantik. Tapi tidak pernah sampai berdebar seperti ini. Peneliti mengatakan orang bisa jatuh cinta hanya dalam waktu sembilan detik sampai empat menit di awal pertemuan mereka. Itulah kenapa Kaivan Putra yakin dia sudah jatuh cinta. Senyum manis, mata cerah, hidung mancung, pipi bulat, dan bibir plum yang terlihat manis milik Sifabella Embun mampu membuat Kaivan senyum-senyum tidak jelas di tempatnya. "Kalau engga salah gue kayaknya pernah lihat dia deh sebelumnya," ujar Radit melihat Embun yang kini fokus dengan laptop di depannya. Kaivan melirik, masih dengan
Embun membuka matanya perlahan. Ia melihat atap berwarna putih dan merasakan nyeri di tangannya. Embun menoleh ke kanan, melihat mamanya yang tertidur di atas sofa bersama papanya. Embun melirik jam dinding, pukul satu dini hari. Embun mengangkat tangan kanannya, memijat pelipisnya yang sakit. "Embun?" Safira membangunkan suaminya. "Pa, Embun sadar." Kedua orang tua itu langsung menghampiri putri mereka. "Papa panggilin dokter, ya?" Embun menggeleng. Ia merasa baik-baik saja, cuma merasakan nyeri di sekujur tubuhnya saja. "Aku engga papa kok, tapi sakit banget tubuhku. Pegel gitu," ujar Embun. Gadis itu mengangkat tangannya yang di perban. Ia berusaha mengingat apa yang membuatnya sampai di rawat di rumah sakit dengan banyaknya luka di tubuhnya seperti ini. Orang yang menaiki motor hitam terlintas di pikirannya. "Aku di tabrak, ya?" Mama Embun mengangguk. Ia mengusap air matanya yang
Kaivan menyatukan tangan di depan badannya, pemuda itu juga menunduk. Merasa malu pada Embun dan keluarganya, karena tingkah cerobohnya kemarin sekarang gadis itu harus di rawat di rumah sakit. "Saya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Embun dan keluarga, saya merasa bersalah. Saya akan bertanggung jawab penuh atas kesalahan yang saya buat." Kaivan membungkukkan badannya. Embun melirik papa dan mamanya yang masih diam saja, belum memberikan respon apapun. Embun berdehem, membuat kedua orang tuanya akhirnya menatapnya sebentar sebelum kembali fokus pada Kaivan. "Saya kecewa sebenarnya karena kamu kemarin kabur gitu aja, tapi saya merasa lega kamu berniat baik menemui kami dan meminta maaf," kata Safira. Wanita itu lalu menyikut suaminya yang masih bungkam. "Saya maunya ini dibawa ke hukum saja," kata papa Selena membuat Kaivan mendongak dan Embun melotot kaget. Tadikan sudah dibicarakan kalau mau jalur damai, k